Wajah Zea sudah sangat memerah. Ingin rasanya ia menjerit sekencang mungkin, tapi semua itu terasa sia-sia. Lumatan ganas pria di depannya benar-benar membuatnya tak bisa menghindar. Bahkan untuk sekedar menghindar pun, rasanya itu seperti mustahil.Hanya air mata yang akhirnya mampu menyelamatkannya. Mengalir membasahi pipinya yang bersentuhan langsung dengan wajah seorang Leon.Pria yang masih bertindak brutal itu perlahan membuka matanya. Merasakan tetesan air yang mendadak melenyapkan nafsunya. Memundurkan wajahnya perlahan sembari melepaskan cengkraman tangannya yang sebelumnya mengekang kuat tangan Zea.Leon tidak tahu kenapa dia bisa senekat itu. Seolah menjilat ludahnya sendiri yang selama ini selalu menyebut Zea sebagai seorang gadis rendahan yang tak akan mungkin ia sentuh, bahkan seujung kukunya sekalipun."Maafkan aku, aku...." ujar Leon tak mampu melanjutkan ucapannya sendiri. Menatap Zea yang memilih membuang muka sambil menangis sedih.Sebagai seorang wanita Zea meras
"Aaaaasaaa!" jerit Zea sekeras mungkin. Memperlihatkan wajah syok saat bertemu penampakkan yang tak biasa itu.Tanpa Zea sadari, suara jeritan Zea yang melengking kencang itu menggema hingga ke setiap sudut sekolah. Membuat seisi penghuni sekolah ikut panik dan penasaran dengan apa terjadi.Beberapa murid yang berada dekat dengan ruang perpustakaan bahkan tanpa ragu berlari masuk ke ruangan itu. Meninggalkan pelajaran yang masih berlangsung tentunya.Tak berselang lama, sosok yang ada tepat di hadapan Zea itu mendadak tertawa terkekeh. Zea yang sebelumnya sudah siap berlari untuk kabur, malah menjadi ragu dengan suara tawa sosok yang dia kira hantu itu."Kau han-tu kan?" tanya Zea polos. Memperhatikan detail ujung kaki, hingga kepala pria di depannya itu. Membaca papan name tag milik si pria yang kelihatan asli. "Alan.""Hahaha mana ada hantu yang doyan salak. Dasar gadis bodoh," ucap pria itu sambil tertawa terpingkal-pingkal. Menertawai Zea yang langsung menelan ludah seketika.Akib
Tangan mungilnya sudah selesai mengenakan rok sekolah. Sigap beralih mengambil kemeja putih polos- menggantung di balik pintu lemari di depannya. Rutinitas yang hampir setiap hari Zea jalani seperti pelajar pada umumnya.Wajahnya yang terlihat malas tetap harus bergerak cepat jika tidak ingin namanya terpampang paling atas di mading sekolah sebagai siswa paling malas di SMA Garuda Perkasa.Kreet!Belum juga selesai Zea mengancingkan semua baju, pintu kamar mendadak terbuka perlahan. Mata gadis itu membulat lebar. Meremas kedua ujung kemeja atas yang belum sempat ia tautkan dengan tangan gemetar.Sesosok pria dengan wajah tanpa rasa bersalah menyeringai lebar ke arah Zea. Tatapannya terlihat picik. Menyembunyikan niatan kotor yang bahkan bisa terbaca jelas dari langkahnya yang mengendap-endap berusaha masuk kamar, seperti seorang penyusup."Selamat pagi sayang, bagaimana kabarmu, lama kita tidak bertemu ya?" Berbicara dengan suara sangat pelan. Menggeser tubuhnya perlahan agar bisa m
Suasana rumah menjadi kacau. Darah yang keluar dari tubuh Aron mulai merembes ke lantai. Tangan Lily bahkan sudah berubah warna merah karena tak henti mengguncang tubuh ayahnya."Apa yang terjadi? Kenapa... Oh Tuhan apa yang kalian lakukan pada Ayah kalian?" tanya Hera dengan wajah syok. Menjatuhkan tas jinjingnya yang berisi belanjaan dapur dengan spontan.Tak ada jawaban dari kedua putrinya. Keduanya memperlihatkan ekspresi bertolak belakang. Zea lebih seperti patung hidup yang tak henti memperlihatkan rasa bersalahnya.Meski syok Hera berusaha cepat mengendalikan diri. Secepat mungkin menekuk kedua lututnya ke hadapan tubuh suaminya yang tergeletak tak berdaya. Hera tidak tahu harus senang atau sedih melihat kondisi suaminya itu. Ada rasa yang aneh yang membuatnya tidak menggila seperti saat kehilangan suami pertamanya. Tidak ingin membuang waktu lebih lama. Hera cepat meraih telapak tangan kanan Aron untuk mencari detak nadinya."Ibu apa Ayah baik-baik saja? Apa dia mati?" tany
Hera berusaha sekuat tenaga untuk mencakar lengan Aron. Berusaha melepaskan diri dari maut yang Aron bawa lewat cekikannya.Hal yang lebih menyakitkan dari itu adalah tatapan tajam suaminya yang kini beralih menatap kedua putrinya. "Ja-ngan sa-ki-ti ke-dua a-nakku!" Pekik Hera di sisa nafasnya yang mulai terasa berat. Tak sanggup jika harus mati meninggalkan kedua putrinya di tangan bedebah seperti Aron.Lily yang melihat Hera di antara hidup dan mati tidak mau tinggal diam. Meminta Zea untuk kabur, "Pergilah, Zea. Selamatkan dirimu. Aku yang akan menyelamatkan Ibu," ucap Lily yakin,lalu dengan sekuat tenaga menyerang balik Aron."Ayah tolong lepaskan! Ibu bisa mati!" Jerit Lily tak kuasa menahan tangis. Memegangi tangan Aron berusaha melepaskan cengkraman yang membuat Hera mulai kehilangan kesadaran. Melihat Lily yang berusaha ingin menyelamatkan Zea, membuat amarah Aron kembali meledak. "Dasar anak tidak tidak tau diuntung! Kau sama bodohnya dengan Ibumu!"Brak!Dengan satu tang
Ucapan Zea untuk sesaat mampu membuat Tuan Wilson kebingungan. Namun karena gadis di depannya memasang wajah serius, dirinya berubah tertawa terpingkal-pingkal."Kau? Menikah denganku? Bhahaha... Apa aku tidak salah dengar?" tanya Tuan Wilson terkekeh.Zea mengerutkan alisnya. Merasa tidak ada yang salah dengan ucapannya, tapi kenapa semua orang menertawakannya. Termasuk ketiga pelayan yang mendampingi Tuan Wilson, meski secara diam-diam."Kenapa Bapak tertawa, adakah sesuatu yang salah dengan ucapan saya?" tanya Zea mulai kesal bercampur malu."Tidak tidak. Ucapanmu memang tidak salah, tapi sepertinya ada yang perlu diluruskan dari otakmu hahaha," imbuh Tuan Wilson masih tertawa senang tanpa mempedulikan raut wajah Zea yang mulai berubah masam."Dengar Nak. Usiaku sudah tidak mengizinkanku untuk melangkah ke arah sana. Jangankan menikah lagi, membawa tubuhkku sendiri saja aku kesulitan. Ada-ada saja kau ini," imbuh Tuan Wilson mulai bisa mengendalikan tawanya."Tapi Ibuku bilang... .
Dua hari sudah berlalu. Zea sudah kembali pulang ke rumah lamanya. Beruntung Ibu dan adik perempuannya baik-baik saja. Berkat bantuan Tuan Wilson keduanya cepat dilarikan ke rumah sakit. Hanya Zea yang dirawat di rumahnya. Untuk alasannya sendiri Zea belum mengetahuinya. Yang Zea tahu, berhasil diselamatkan oleh anak buah Tuan Wilson.Mengenai Aron. Setelah dihajar hingga babak belur, dia berhasil kabur lewat jendela kamar. Beruntung Zea berhasil diselamatkan sebelum hal mengerikan menimpanya.Tuan Wilson tidak lepas tangan. Dia tetap berbaik hati menepati janjinya untuk melindungi keluarga Hera. Terbukti dari adanya beberapa pria yang siaga mengawasi rumahnya hingga hari ini. Berjaga-jaga jika si brengsek Aron kembali dan membuat ulah lagi.Zea pun sudah mulai bisa beraktifitas secara normal. Melanjutkan sekolahnya yang sempat terhenti sesaat karena insiden mengerikan yang menimpanya itu.Tet tet teeeet!Bel istirahat berbunyi juga. Rasanya kepala Zea sudah seperti ingin meledak. Se
Tidak ada yang bisa menandingi rasa sakit, saat ditinggal pergi oleh orang yang kita sayangi untuk selamanya.Siap tidak siap, mau tidak mau, Zea harus menghadapi takdirnya sebagai seorang yatim piatu.Hera benar-benar telah pergi. Meninggalkan dunia yang bahkan tidak memberinya senyum di sisa akhir kematiannya yang tragis.Di atas pusara lahat Hera, Zea tidak henti meratap. Rasanya hatinya belum bisa merelakan kepergian Ibunya itu.Ada rasa marah yang perlahan membakar hatinya. Berubah menjadi kobaran dendam, pada bedebah yang seharusnya bertanggung jawab atas hilangnya nyawa ibunya."Malang sekali nasibnya. Seandainya suami pertamanya tidak mati, mungkin dia tidak akan semenderita ini.""Benar, apa gunanya memiliki anak yang bahkan tidak bisa melindungi Ibunya sendiri.""Ya ya ya, aku bahkan beberapa kali melihat Hera babak belur setelah ribut dengan mantan suaminya itu.""Tapi kenapa? Bukannya dulu mereka hidup rukun dan baik-baik saja?""Itu pasti karena... .""Ehem!"Suara dehama
"Aaaaasaaa!" jerit Zea sekeras mungkin. Memperlihatkan wajah syok saat bertemu penampakkan yang tak biasa itu.Tanpa Zea sadari, suara jeritan Zea yang melengking kencang itu menggema hingga ke setiap sudut sekolah. Membuat seisi penghuni sekolah ikut panik dan penasaran dengan apa terjadi.Beberapa murid yang berada dekat dengan ruang perpustakaan bahkan tanpa ragu berlari masuk ke ruangan itu. Meninggalkan pelajaran yang masih berlangsung tentunya.Tak berselang lama, sosok yang ada tepat di hadapan Zea itu mendadak tertawa terkekeh. Zea yang sebelumnya sudah siap berlari untuk kabur, malah menjadi ragu dengan suara tawa sosok yang dia kira hantu itu."Kau han-tu kan?" tanya Zea polos. Memperhatikan detail ujung kaki, hingga kepala pria di depannya itu. Membaca papan name tag milik si pria yang kelihatan asli. "Alan.""Hahaha mana ada hantu yang doyan salak. Dasar gadis bodoh," ucap pria itu sambil tertawa terpingkal-pingkal. Menertawai Zea yang langsung menelan ludah seketika.Akib
Wajah Zea sudah sangat memerah. Ingin rasanya ia menjerit sekencang mungkin, tapi semua itu terasa sia-sia. Lumatan ganas pria di depannya benar-benar membuatnya tak bisa menghindar. Bahkan untuk sekedar menghindar pun, rasanya itu seperti mustahil.Hanya air mata yang akhirnya mampu menyelamatkannya. Mengalir membasahi pipinya yang bersentuhan langsung dengan wajah seorang Leon.Pria yang masih bertindak brutal itu perlahan membuka matanya. Merasakan tetesan air yang mendadak melenyapkan nafsunya. Memundurkan wajahnya perlahan sembari melepaskan cengkraman tangannya yang sebelumnya mengekang kuat tangan Zea.Leon tidak tahu kenapa dia bisa senekat itu. Seolah menjilat ludahnya sendiri yang selama ini selalu menyebut Zea sebagai seorang gadis rendahan yang tak akan mungkin ia sentuh, bahkan seujung kukunya sekalipun."Maafkan aku, aku...." ujar Leon tak mampu melanjutkan ucapannya sendiri. Menatap Zea yang memilih membuang muka sambil menangis sedih.Sebagai seorang wanita Zea meras
Alis Zea mengerut kencang. Menatap pantulan wajahnya yang sedang kesal di depan cermin toilet. Bisa-bisanya dia mengakui sebagai calon istri si brengsek Leon. Mengingat wajahnya saja rasanya Zea mual."Arghh! Jika bukan karena Ayahnya, aku juga tidak sudi berada disini bertemu dengannya. Dia pikir dia bisa merendahkan orang lain dengan uangnya. Dasar manusia angkuh!" Gerutu Zea acuh. Tak mempedulikan orang-orang lalu lalang di sekitarnya yang mungkin menganggapnya aneh.Tangan Zea cepat memutar kepala kran. Membasuh wajahnya dengan air yang langsung mendinginkan amarahnya. Paling tidak air itu bisa membuat mulutnya berhenti mengomel barang sejenak.Tanpa Zea sadari seorang wanita yang sejak tadi mengamati tingkahnya, perlahan berdiri di sebelah Zea. Menyodorkan sapu tangan berwarna merah muda ke hadapan Zea."Pakailah ini untuk mengeringkan wajahmu yang basah," ujar wanita itu dengan suara lembut. Tersenyum ramah pada Zea yang sedikit ragu untuk menerima pemberiannya.Mata Zea seperti
Mata Leon jelas terbelalak mendengar permintaan putranya yang menurutnya tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dirinya mencari ibu baru untuk Louis, sedangkan hatinya masih terpaku pada mantan istrinya.Louis yang biasanya selalu bersikap mandiri, bahkan tak segan merengek di depan ayahnya sendiri. Menarik-narik tangan Leon, agar mau mewujudkan keinginannya untuk memiliki ibu baru."Ayolah Ayah, aku ingin Ibu baru. Kenapa Ayah tidak mau mewujudkan keinginanku!" Renggek Louis layaknya anak kecil yang tengah menginginkan mainan baru.Tentu saja Leon bingung untuk memenuhi keinginan anaknya itu. Wajahnya bahkan mulai terlihat panik seketika. Pusing bagaimana harus menjelaskan pada Louis tentang sulitnya mencari ibu baru untuknya.Jangankan mencari istri, untuk dekat dengan Leon sebagai seorang kekasih saja pria itu kesulitan setengah mati. Apalagi harus mencari istri di waktu yang sesingkat ini.' Mustahil.' Ucap Leon dalam hati. Menatap lekat putranya sambil menghela nafas panjang."Louis
Tak ada jawaban pasti dari mulut Tuan Wilson. Sekali lagi pria tua itu, seperti memberi teka-teki baru pada Zea.Entah berapa banyak rahasia yang ada di keluarga itu. Terutama tentang hidup Leon yang mau tidak mau akan Zea tahu cepat atau lambat seiring berjalannya waktu.Kondisi Tuan Wilson yang kian memucat, tidak memungkinkan untuk berbicara lebih banyak pada Zea. Beruntung mobil medis yang beberapa saat lalu dihubungi oleh salah satu pelayan Tuan Wilson sigap datang ke rumah itu. Dua orang perawat pria yang datang pun, cekatan melakukan pertolongan pertama pada Tuan Wilson. Zea dan para pelayan yang sama sekali tidak mengerti tentang pekerjaan medis hanya bisa pasrah melihat kondisi Tuan Wilson yang memprihatinkan.Ada rasa kesal yang mendadak memenuhi kepala Zea, saat melihat kondisi Tuan Wilson. Terutama saat perawat mulai memakaikan selang infus dan juga alat bantu pernafasan pada pria tua yang seperti tidak berdaya itu.Di usia Tuan Wilson yang sekarang sudah memasuki masa pe
"Aku cacat. Tidak akan ada wanita manapun yang mau menerima orang sepertiku."Ucapan Leon itu seperti tamparan keras untuk Zea. Dia tidak pernah tahu jika pria yang super angkuh seperti Leon, bisa memiliki ketidak percayaan diri. Merendahkan diri karena memiliki kekurangan yang bahkan selama ini tidak Zea singgung sedikit pun.Wajah Leon bahkan terlihat sangat kesal menatap Zea. Memperlihatkan satu matanya yang memerah marah dan satu lagi putih pucat dengan garis jahitan di tengah bola matanya yang menciut.Entah apa yang pernah terjadi pada mata itu. Zea yakin ada insiden yang membuat mata Leon menjadi seperti itu."Kenapa hanya diam? Kau jijik bukan melihat kondisi mataku yang seperti ini? Jika sudah tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, lebih baik kau pergi dari sini sekarang juga." Usir Leon cepat. Mengakhiri kemarahannya yang meledak tanpa sebab itu.Leon sama sekali tidak peduli pandangan Zea tentang dirinya. Dia hanya ingin segera mengakhiri drama yang menurutnya hanya akan me
Mata Leon menatap jauh ke halaman depan rumahnya. Memperhatikan detail gerak tubuh ayahnya yang sesekali menyeka wajah dengan sapu tangannya. Ada. Kesedihan yang tergambar jelas lewat penglihatannya yang sudah mulai kabur itu. Leon tahu jika Tuan Wilson sedang membicarakan hidupnya. Membuka luka lama yang sudah tertutup rapat, mau tidak mau kini harus diungkap lagi.Beberapa kali Leon juga menatap Zea. Gadis aneh pilihan ayahnya yang menurutnya sama sekali tidak layak untuk menjadi pendamping hidupnya. Selain karena usia mereka yang terpaut cukup jauh selisihnya, Leon merasa Zea bukanlah ibu yang pantas untuk putranya. Tangan lembut menyentuh jemari Leon. Louis yang sebelumnya sedang bermain di atas kasur mendadak berdiri di sebelah Ayahnya. Ikut menatap ke luar jendela kamar yang terbuka lebar."Ayah, apakah setelah ini wanita itu akan menjadi ibuku?"Leon menoleh lembut ke putranya. Sadar jika putranya sudah mulai bisa membaca situasi meski tanpa dijelaskan dengan detail."Apa Aya
Leon tertawa riang sambil menggendong Louis masuk ke dalam rumah. Raut wajahnya yang sebelumnya masam nampak berseri setelah bertemu dengan putranya itu.Begitu juga dengan Louis. Bocah berusia lima tahun itu bahkan tidak berhenti tertawa. Merangkul lengan Leon cukup erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Ayah, aku sangat merindukanmu," ucap Louis lirih. Menautkan dagunya ke pundak ayahnya. Menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.Leon semakin erat memeluk putranya. Dia sendiri tidak menyangka bisa kembali bertemu dengan Louis lagi."Ayah juga sangat merindukanmu. Ayah bahkan hampir gila kemarin," ucap Leon lembut. Tak henti menciumi putranya itu. Mengobati kerinduannya yang sudah sebulan lebih dipaksa berpisah dengan putranya itu.***Sementara itu, Zea masih terlihat syok dengan pengakuan Tuan Wilson tentang status Leon yang ternyata tidak jelas."Maafkan Aku, Zea. Louis dan Leon tidak bersalah. Akulah yang seharusnya dipersalahkan atas semua yang terjadi di hidup mereka," tu
Wajah Leon benar-benar berada lekat di depan mata Zea. Menatapnya dengan tatapan garang, seperti singa lapar sedang mengintimidasi mangsanya yang tidak berdaya.Namun, bukan hanya paras Leon yang menjadikan mulut Zea bungkam. Meski sempat terpesona melihat kulit mulus tanpa cela itu. Zea tidak bisa mengalihkan pandangannya dari benda yang membungkus salah satu mata Leon. Mengusik rasa penasarannya tentang apa yang terjadi dengan mata itu."Aku tidak akan segan menebas lehermu, jika kau mengkhianatiku. Camkan itu!" Dengus Leon kasar. Membuyarkan pikiran Zea yang mungkin akan mengolok-olok kekurangan fisiknya. Sama seperti wanita-wanita lain yang selama ini ia temui.Kata-kata mengerikan itu sepertinya juga menjadi awal Zea mengenal sosok asli Leon sebenarnya. Pria angkuh dan sombong, yang bahkan tidak memiliki nurani sedikitpun. Bagi Zea saat ini, Leon tidak jauh berbeda dengan Tuan Wilson. Keduanya sama-sama mencari keuntungan di musibah yang sedang dia hadapi. Yang jadi permasalah