Share

Bab 3

Aruna tak sadarkan diri, ia dibawa oleh Bintara sendiri ke klinik Hotelnya.  

Bintara membaringkan tubuh Aruna, dokter jaga segera memeriksa tekanan darah Aruna.

“Kenapa Asisten saya, Dok?”

“Tekanan darahnya rendah, dia harus banyak istirahat.”

“Gak ada hal lain Dok?”

“Untuk memeriksa lebih lanjut anda sebaiknya keluar dulu Tuan, mungkin akhir-akhir ini dia stress dan kelelahan bisa jadi pemicunya. Anda tampak sangat memperhatikan karyawan anda, ya.”

Bintara tersenyum tipis, kata-kata dokter seolah mengatakan bahwa reaksinya berlebihan untuk seorang Presdir kepada bawahannya. Bintara pun keluar ruang periksa, dan kembali ke ruangannya.

Lalu dokter pun melakukan serangkaian tes pada Aruna termasuk memeriksa urinnya. Beberapa saat kemudian, dokter tersebut mengangkat pandangan dari hasil tesnya, wajahnya sedikit serius. "Aruna, saya punya berita yang harus saya sampaikan pada Anda. Anda sedang hamil."

Aruna merasakan dunianya runtuh. Dia terdiam, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pikirannya dipenuhi dengan kekacauan dan pertanyaan. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana dia akan menjelaskan ini pada keluarga dan pada Presdir?

Dokter melanjutkan, memberikan informasi tentang perawatan yang dibutuhkan selama kehamilan, tetapi kata-kata itu hanya terdengar samar bagi Aruna. Stres dan kecemasan telah mengambil alih pikirannya, membuatnya hampir tidak bisa berpikir dengan jernih.

Hari itu hanya setengah hari Aruna bekerja, ia di ijinkan pulang oleh Bintara. Namun Aruna tak dapat mengatakan apa pun tentang kehamilannya saat ini, ia butuh waktu untuk sendiri 

Setelah kembali pulang, Aruna merenung dalam keheningan kamar rumahnya. Masalah yang dia hadapi  sekarang terasa lebih besar dan lebih berat dari sebelumnya.

Aruna merasakan tekanan yang tak tertahankan di dadanya. Dia berbaring di atas tempat tidur dengan air mata yang mengalir deras, menangkap betapa rumitnya situasi yang dia hadapi. Dalam keheningan malam, Aruna merasakan beban yang begitu berat, dan dia tahu bahwa tantangan yang dihadapinya hanya akan semakin berat dari waktu ke waktu.

**

Esoknya Aruna kembali masuk kerja dengan sebuah keputusan yang akan ia ambil saat ini, ia telah memikirkannya semalaman.

Saat Aruna memasuki ruang kerja Presdir Bintara, napasnya terasa sesak. Dia mencoba menahan detak jantung yang semakin cepat. Ruangan yang biasanya penuh dengan kesibukan dan aktivitas kini terasa hening, menciptakan suasana tegang yang tak tertahankan.

Bintara, seorang pria berwibawa dengan aura kepemimpinan yang khas, mendongak dari meja kerjanya saat melihat Aruna memasuki ruangan dengan ekspresi yang serius. “Aruna, ada lagi yang harus saya tandatangani?” tanya Bintara dengan nada yang lembut, tetapi ada ketegangan yang terselip di matanya.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Aruna menyerahkan surat pengunduran dirinya pada Bintara. “Pak Bintara, saya minta maaf, tetapi saya harus mengundurkan diri dari pekerjaan ini,” ucapnya dengan suara yang penuh rasa bersalah.

Bintara terkejut. “Apa yang terjadi, Aruna? Kenapa keputusan ini begitu mendadak?”

Aruna menatap lurus ke mata Bintara, mencoba menyembunyikan gelombang emosi yang bergulir di dalam dirinya. “Saya merasa bahwa ini adalah langkah yang terbaik bagi saya. Saya harus menyelesaikan beberapa hal di kehidupan pribadi saya.”

Bintara menatap Aruna dengan penuh pertanyaan di matanya. “Apakah ada masalah yang aku tidak tahu, Aruna?”

Aruna menggeleng lemah. “Tidak, Pak Bintara. Semuanya baik-baik aja. Saya cuma perlu waktu untuk diri saya sendiri.”

Bintara merasa ada sesuatu yang disembunyikan Aruna. Dia merasakan adanya ketidakpastian dan keraguan dalam kata-kata Aruna. Namun, dia memilih untuk tidak menekan lebih jauh pada saat ini.

Setelah pertemuan singkat tersebut, Aruna meninggalkan ruangan Bintara dengan hati yang berat. Dia merasa dilema tak ada titik terang dalam langkah apa pun yang ia ambil.

Di sisi lain, Bintara merasa terkejut dan bingung dengan keputusan tiba-tiba Aruna. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Aruna darinya, tetapi dia tidak bisa memaksakan Aruna untuk membuka diri jika Aruna sendiri tidak siap.

Setelah Aruna meninggalkan kantor Presdir, ia kembali ke mejanya berniat membereskan sisa-sisa pekerjaan sebelum ia resign.  Ia menyortir dan  menumpuk dokumen yang harus segera di serahkan kepada Bintara.

Cukup memakan waktu lama baginya hingga ia merasa sudah lelah dan terdiam menatap dokumen-dokumen itu. Tapi perhatiannya tertuju pada dokumen lain di dalam tasnya, sebuah hasil tes yang menyatakan bahwa dirinya hamil ini berulang kali Aruna lihat. Antara percaya dan tidak ia mengelus perutnya sambil memandangi hasil tes itu.

“Aruna!”

Panggilan itu sontak membuat Aruna terkejut dan segera membalik hasil tes itu dan menumpuknya bersama dokumen lain.

“Sori, kamu kaget, ya? Aku lebih kaget lagi denger dari Pak Bin, kalau kamu mau resign!” Sebastian tampak kecewa dengan keputusan Aruna yang tiba-tiba. Pasalnya dialah yang merekomendasikan Aruna untuk di terima di sini.

“Maaf, aku ada hal mendesak yang harus aku urus.” Jawab Aruna tak bergairah. Ia pun segera membawa tumpukan dokumen itu dan beranjak dari mejanya menjauhi pertanyaan Sebastian yang mungkin akan bertubi-tubi menghujaninya.

Ia masuk ruangan Bintara lagi, memberikan segala laporan yang ia kerjakan dalam waktu dekat ini.

**

Beberapa minggu setelah Aruna mengundurkan diri dari hotel, Bintara masih merasa bingung dan terganggu oleh keputusan mendadak yang diambil asistennya itu. Kehidupan sehari-hari di kantor terasa kurang bersemangat tanpa kehadiran Aruna, baik sebagai asisten yang handal maupun sosok yang selalu menyemangatinya.

Seperti saat ini Bintara tak bergairah memeriksa laporan terakhir yang Aruna berikan sebelum dirinya resign. Ketika ia membaca salah satu berkas yang tampak berbeda, ia mengerutkan dahinya, ia baca dengan teliti, sepersekian detik kemudian netranya membulat membaca berkas itu.

Berkas hasil tes kehamilan Aruna yang terselip di antara dokumen-dokumen lainnya. Perasaan kaget, tak percaya juga syok tercampur jadi satu.

“Aruna hami?” gumamnya.

Dia segera memutuskan untuk mengonfrontasi Aruna, membutuhkan kejelasan atas apa yang terjadi. Dia menelpon Aruna untuk bertemu dengannya secara pribadi di sebuah restoran dalam ruang VIP yang tertutup.

Ketika ia akhirnya bertemu dengan Aruna, ekspresi wajah Bintara sudah mengungkapkan bahwa ada sesuatu hal serius yang ingin dia bicarakan.

“Aruna, aku menemukan ini di antara dokumen-dokumen yang kamu kasih waktu itu,” ucap Bintara sambil menunjukkan hasil tes kehamilan itu pada Aruna.

Aruna terkejut dan tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. “Pak Bintara, saya... saya gak bermaksud untuk sembunyikan ini dari Bapak, Saya udah membuat keputusan untuk pergi dan...”

Bintara mengangkat tangannya untuk menghentikan Aruna. “Aku tahu kamu udah mengundurkan diri, tapi ini masalah yang serius, Aruna. Kenapa kamu gak kasih tahu aku sebelumnya?”

Aruna menatap Bintara dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Saya gak tahu bagaimana cara mengatakannya, Pak. Saya gak mau menimbulkan masalah lebih besar lagi di hidup Bapak, makanya saya pergi aja.”

Bintara diam sejenak, mencerna semua informasi yang baru saja dia terima. Setelah beberapa saat, dia mengambil keputusan yang tak terduga.

“Aruna, aku... Aku tahu ini gak akan mudah, tapi aku gak mau menutupi fakta bahwa aku ngerasa bertanggung jawab atas kehamilan kamu. Kita harus menyelesaikan ini bersama-sama,” ujar Bintara dengan suara yang mantap.

Aruna menatap Bintara terkejut berusaha mencerna kata-kata Bintara. “Apa yang Bapak maksud, Pak?”

Bintara mengambil nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Aku mau kita menikah, Aruna. Aku mau tanggung jawab.”

Aruna terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Bintara akan mengambil langkah sebesar ini. Air mata mulai mengalir di pipinya, tetapi kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena campuran rasa lega dan haru yang meluap dalam dirinya.

“Pak Bintara, saya... saya gak tahu apa yang harus saya katakan,” ucap Aruna dengan suara yang gemetar.

Bintara mengambil tangan Aruna dengan lembut. “Kalau kamu mau aku perjuangin, aku akan maju hadapi semua yang menghalangi.”

Ya, Bintara tahu langkahnya pasti akan banyak yang menghalangi, terlebih jika istrinya, Serena tahu Segalanya.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Dikdik Zaenal
wah nikah LG Bintara...
goodnovel comment avatar
Vya Kim
kasian baby nya ya ...
goodnovel comment avatar
Vya Kim
...... bengek
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status