Aruna tak sadarkan diri, ia dibawa oleh Bintara sendiri ke klinik Hotelnya.
Bintara membaringkan tubuh Aruna, dokter jaga segera memeriksa tekanan darah Aruna. “Kenapa Asisten saya, Dok?” “Tekanan darahnya rendah, dia harus banyak istirahat.” “Gak ada hal lain Dok?” “Untuk memeriksa lebih lanjut anda sebaiknya keluar dulu Tuan, mungkin akhir-akhir ini dia stress dan kelelahan bisa jadi pemicunya. Anda tampak sangat memperhatikan karyawan anda, ya.” Bintara tersenyum tipis, kata-kata dokter seolah mengatakan bahwa reaksinya berlebihan untuk seorang Presdir kepada bawahannya. Bintara pun keluar ruang periksa, dan kembali ke ruangannya. Lalu dokter pun melakukan serangkaian tes pada Aruna termasuk memeriksa urinnya. Beberapa saat kemudian, dokter tersebut mengangkat pandangan dari hasil tesnya, wajahnya sedikit serius. "Aruna, saya punya berita yang harus saya sampaikan pada Anda. Anda sedang hamil." Aruna merasakan dunianya runtuh. Dia terdiam, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pikirannya dipenuhi dengan kekacauan dan pertanyaan. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana dia akan menjelaskan ini pada keluarga dan pada Presdir? Dokter melanjutkan, memberikan informasi tentang perawatan yang dibutuhkan selama kehamilan, tetapi kata-kata itu hanya terdengar samar bagi Aruna. Stres dan kecemasan telah mengambil alih pikirannya, membuatnya hampir tidak bisa berpikir dengan jernih. Hari itu hanya setengah hari Aruna bekerja, ia di ijinkan pulang oleh Bintara. Namun Aruna tak dapat mengatakan apa pun tentang kehamilannya saat ini, ia butuh waktu untuk sendiri Setelah kembali pulang, Aruna merenung dalam keheningan kamar rumahnya. Masalah yang dia hadapi sekarang terasa lebih besar dan lebih berat dari sebelumnya. Aruna merasakan tekanan yang tak tertahankan di dadanya. Dia berbaring di atas tempat tidur dengan air mata yang mengalir deras, menangkap betapa rumitnya situasi yang dia hadapi. Dalam keheningan malam, Aruna merasakan beban yang begitu berat, dan dia tahu bahwa tantangan yang dihadapinya hanya akan semakin berat dari waktu ke waktu. ** Esoknya Aruna kembali masuk kerja dengan sebuah keputusan yang akan ia ambil saat ini, ia telah memikirkannya semalaman. Saat Aruna memasuki ruang kerja Presdir Bintara, napasnya terasa sesak. Dia mencoba menahan detak jantung yang semakin cepat. Ruangan yang biasanya penuh dengan kesibukan dan aktivitas kini terasa hening, menciptakan suasana tegang yang tak tertahankan. Bintara, seorang pria berwibawa dengan aura kepemimpinan yang khas, mendongak dari meja kerjanya saat melihat Aruna memasuki ruangan dengan ekspresi yang serius. “Aruna, ada lagi yang harus saya tandatangani?” tanya Bintara dengan nada yang lembut, tetapi ada ketegangan yang terselip di matanya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Aruna menyerahkan surat pengunduran dirinya pada Bintara. “Pak Bintara, saya minta maaf, tetapi saya harus mengundurkan diri dari pekerjaan ini,” ucapnya dengan suara yang penuh rasa bersalah. Bintara terkejut. “Apa yang terjadi, Aruna? Kenapa keputusan ini begitu mendadak?” Aruna menatap lurus ke mata Bintara, mencoba menyembunyikan gelombang emosi yang bergulir di dalam dirinya. “Saya merasa bahwa ini adalah langkah yang terbaik bagi saya. Saya harus menyelesaikan beberapa hal di kehidupan pribadi saya.” Bintara menatap Aruna dengan penuh pertanyaan di matanya. “Apakah ada masalah yang aku tidak tahu, Aruna?” Aruna menggeleng lemah. “Tidak, Pak Bintara. Semuanya baik-baik aja. Saya cuma perlu waktu untuk diri saya sendiri.” Bintara merasa ada sesuatu yang disembunyikan Aruna. Dia merasakan adanya ketidakpastian dan keraguan dalam kata-kata Aruna. Namun, dia memilih untuk tidak menekan lebih jauh pada saat ini. Setelah pertemuan singkat tersebut, Aruna meninggalkan ruangan Bintara dengan hati yang berat. Dia merasa dilema tak ada titik terang dalam langkah apa pun yang ia ambil. Di sisi lain, Bintara merasa terkejut dan bingung dengan keputusan tiba-tiba Aruna. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Aruna darinya, tetapi dia tidak bisa memaksakan Aruna untuk membuka diri jika Aruna sendiri tidak siap. Setelah Aruna meninggalkan kantor Presdir, ia kembali ke mejanya berniat membereskan sisa-sisa pekerjaan sebelum ia resign. Ia menyortir dan menumpuk dokumen yang harus segera di serahkan kepada Bintara. Cukup memakan waktu lama baginya hingga ia merasa sudah lelah dan terdiam menatap dokumen-dokumen itu. Tapi perhatiannya tertuju pada dokumen lain di dalam tasnya, sebuah hasil tes yang menyatakan bahwa dirinya hamil ini berulang kali Aruna lihat. Antara percaya dan tidak ia mengelus perutnya sambil memandangi hasil tes itu. “Aruna!” Panggilan itu sontak membuat Aruna terkejut dan segera membalik hasil tes itu dan menumpuknya bersama dokumen lain. “Sori, kamu kaget, ya? Aku lebih kaget lagi denger dari Pak Bin, kalau kamu mau resign!” Sebastian tampak kecewa dengan keputusan Aruna yang tiba-tiba. Pasalnya dialah yang merekomendasikan Aruna untuk di terima di sini. “Maaf, aku ada hal mendesak yang harus aku urus.” Jawab Aruna tak bergairah. Ia pun segera membawa tumpukan dokumen itu dan beranjak dari mejanya menjauhi pertanyaan Sebastian yang mungkin akan bertubi-tubi menghujaninya. Ia masuk ruangan Bintara lagi, memberikan segala laporan yang ia kerjakan dalam waktu dekat ini. ** Beberapa minggu setelah Aruna mengundurkan diri dari hotel, Bintara masih merasa bingung dan terganggu oleh keputusan mendadak yang diambil asistennya itu. Kehidupan sehari-hari di kantor terasa kurang bersemangat tanpa kehadiran Aruna, baik sebagai asisten yang handal maupun sosok yang selalu menyemangatinya. Seperti saat ini Bintara tak bergairah memeriksa laporan terakhir yang Aruna berikan sebelum dirinya resign. Ketika ia membaca salah satu berkas yang tampak berbeda, ia mengerutkan dahinya, ia baca dengan teliti, sepersekian detik kemudian netranya membulat membaca berkas itu. Berkas hasil tes kehamilan Aruna yang terselip di antara dokumen-dokumen lainnya. Perasaan kaget, tak percaya juga syok tercampur jadi satu. “Aruna hami?” gumamnya. Dia segera memutuskan untuk mengonfrontasi Aruna, membutuhkan kejelasan atas apa yang terjadi. Dia menelpon Aruna untuk bertemu dengannya secara pribadi di sebuah restoran dalam ruang VIP yang tertutup. Ketika ia akhirnya bertemu dengan Aruna, ekspresi wajah Bintara sudah mengungkapkan bahwa ada sesuatu hal serius yang ingin dia bicarakan. “Aruna, aku menemukan ini di antara dokumen-dokumen yang kamu kasih waktu itu,” ucap Bintara sambil menunjukkan hasil tes kehamilan itu pada Aruna. Aruna terkejut dan tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. “Pak Bintara, saya... saya gak bermaksud untuk sembunyikan ini dari Bapak, Saya udah membuat keputusan untuk pergi dan...” Bintara mengangkat tangannya untuk menghentikan Aruna. “Aku tahu kamu udah mengundurkan diri, tapi ini masalah yang serius, Aruna. Kenapa kamu gak kasih tahu aku sebelumnya?” Aruna menatap Bintara dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Saya gak tahu bagaimana cara mengatakannya, Pak. Saya gak mau menimbulkan masalah lebih besar lagi di hidup Bapak, makanya saya pergi aja.” Bintara diam sejenak, mencerna semua informasi yang baru saja dia terima. Setelah beberapa saat, dia mengambil keputusan yang tak terduga. “Aruna, aku... Aku tahu ini gak akan mudah, tapi aku gak mau menutupi fakta bahwa aku ngerasa bertanggung jawab atas kehamilan kamu. Kita harus menyelesaikan ini bersama-sama,” ujar Bintara dengan suara yang mantap. Aruna menatap Bintara terkejut berusaha mencerna kata-kata Bintara. “Apa yang Bapak maksud, Pak?” Bintara mengambil nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Aku mau kita menikah, Aruna. Aku mau tanggung jawab.” Aruna terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Bintara akan mengambil langkah sebesar ini. Air mata mulai mengalir di pipinya, tetapi kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena campuran rasa lega dan haru yang meluap dalam dirinya. “Pak Bintara, saya... saya gak tahu apa yang harus saya katakan,” ucap Aruna dengan suara yang gemetar. Bintara mengambil tangan Aruna dengan lembut. “Kalau kamu mau aku perjuangin, aku akan maju hadapi semua yang menghalangi.” Ya, Bintara tahu langkahnya pasti akan banyak yang menghalangi, terlebih jika istrinya, Serena tahu Segalanya.Tak ada jalan lain selain menyetujui pernikahan ini, Bintara segera mengurus persiapan pernikahannya walau harus di laksanakan secara diam-diam. “Kenapa harus diam-diam, Nak? Kamu itu anak gadis berharga buat Ayah! Dia gak hargain kamu?” Walau sang Ayah sangat marah, namun Aruna tetap memintanya untuk jadi wali di pernikahannya, dan mengungkapkan keadaan sebenarnya pada keluarganya. “Maafin Aruna, Yah! Aruna gak bisa jadi anak yang baik buat Ayah Ibu!” Sambil menangis Aruna benar-benar menyesali semuanya, tapi ia juga tak bisa menceritakan kejadian sebenarnya pada orang tua. Nasi sudah menjadi bubur, keluarga Aruna terpaksa menerima semua persiapan pernikahan yang dilakukan dengan cepat dan rahasia. Mereka memilih sebuah vila pribadi di luar kota, jauh dari pandangan dan perhatian publik. Undangan hanya diberikan kepada beberapa orang terdekat dari pihak Aruna saja yang dapat dipercaya untuk merahasiakan pernikahan ini, Sementara dari pihak Bintara hanya di hadiri orang-orang kepe
Sebuah jepretan beberapa foto Aruna di kirim secara real time ke ponsel Serena. Saat ini Aruna tengah berada di sebuah rumah sakit, mengantri gilirannya untuk di periksa kandungan. “Wanita ini hamil?” Tanpa memberitahu siapa pun, Serena pergi dengan menyetir mobilnya sendiri, bahkan melarang supirnya untuk untuk ikut dan mengantarnya. ** Aruna duduk dengan gelisah di ruang tunggu klinik kandungan, mengelus perutnya yang semakin membesar. Keputusan untuk tetap menjalani kehamilan ini dan menikah dengan Bintara telah memberikan harapan baru dalam hidupnya. Namun, di balik harapan itu, ada juga ketakutan dan kecemasan yang terus menghantuinya. Ia tidak tahu bagaimana masa depannya akan terbentuk, terutama dengan situasi yang begitu rumit di awal pernikahannya. Saat Aruna tenggelam dalam pikirannya, seorang wanita anggun dengan rambut panjang berwarna coklat dan berpakaian rapi masuk ke ruang tunggu dan duduk di sebelahnya. Wanita itu tersenyum ramah. “Permisi ya, kamu juga lagi nung
Aruna duduk di depan teras rumahnya pada siang hari yang cerah, sinar matahari menari di atas daun-daun yang bergerak pelan. Di tangannya yang lembut, benang-benang warna pastel menjalin simpul demi simpul, membentuk pola indah yang kelak akan menjadi topi mungil untuk calon bayinya. Setiap tusukan jarum rajut yang ia lakukan penuh dengan cinta dan harapan, seakan ia merajut masa depan yang penuh kehangatan bagi anak yang sedang ia nantikan.Desiran angin membawa aroma bunga dari taman, menambah kedamaian di sekitarnya. Burung-burung berkicau riang, seolah memberikan irama yang harmonis pada setiap gerakan tangannya. Di tengah ketenangan itu, Aruna merenung tentang kehidupan baru yang akan segera hadir, membawa kebahagiaan yang tak terhingga. Setiap helai benang yang tersulam mengandung impian dan doa, melingkupi bayinya dengan kasih sayang yang tak terhingga.Teras rumah yang sederhana itu menjadi saksi bisu dari momen-momen berharga, di mana seorang ibu merajut cinta dan harapan ke
Pagi itu, dengan tangan yang masih gemetaran, Aruna memutuskan untuk menghubungi Bintara. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri sambil menunggu suara suaminya di ujung telepon. Ketika akhirnya Bintara mengangkat, Aruna mendengar nada suaranya yang hangat, namun kini bercampur dengan kekhawatiran. "Aruna, ada apa? Kamu kedengaran cemas," tanya Bintara, suaranya penuh perhatian. Aruna menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Bin, aku baru aja menerima pesan anonim yang mengganggu. Aku akan mengirimkan fotonya kepadamu sekarang." Dengan tangan yang masih gemetar, Aruna mengirimkan foto potongan rekaman CCTV itu kepada Bintara. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Bintara melihat pesan itu. Keheningan yang menyusul semakin menambah kecemasan di hati Aruna. "Aku gak ngerti," kata Bintara akhirnya, suaranya terdengar bingung. "Ini foto kita, tapi apa maksud dari pesan ini?" "Aku juga gak tahu," jawab Aruna, suaranya hampir pecah. "Tapi ini membuatku
Ketika malam tiba, Aruna bersiap untuk tidur. Ia mengenakan piyama lembut dan menata bantal-bantal di tempat tidur dengan hati-hati. Suasana kamar terasa tenang, hanya terdengar suara lembut angin malam yang berhembus melalui jendela yang sedikit terbuka. Aruna merasakan kelelahan setelah hari yang panjang, namun hatinya masih dipenuhi kecemasan dan harapan yang samar-samar.Bintara berdiri di pintu kamar, menatap Aruna yang tampak rapuh namun kuat. Dia merasa segan untuk mendekat, seolah ada tembok tak kasat mata yang menghalanginya. Ia hanya bisa berdiri di sana, diam di ambang pintu, hatinya dipenuhi perasaan bersalah dan kebingungan.Aruna mendongak dan melihat suaminya yang tampak ragu. Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap Bintara dengan tatapan lembut namun penuh harap. "Bin, apa kamu mau tidur di kamar tamu lagi malam ini?"Bintara menelan ludah, matanya berkedip-kedip gelisah. "Aku cuma gak mau mengganggumu, Aruna. Aku pikir kamu butuh isti
Pagi harinya, sinar matahari pagi yang hangat menelusup melalui celah-celah tirai, menciptakan cahaya lembut yang menyinari kamar. Aruna dan Bintara terbaring di atas ranjang, tubuh mereka hanya ditutupi oleh selimut yang melingkar erat. Udara pagi yang segar menyapu kulit mereka, memberikan rasa nyaman yang baru pertama kali mereka rasakan bersama sejak pernikahan diam-diam itu. Mereka baru saja melakukan hubungan suami-istri untuk pertama kalinya, sebuah momen yang penuh dengan kecanggungan namun juga keintiman yang mendalam. Nafas mereka masih terengah, tetapi ada keheningan yang berbeda kali ini, sebuah keheningan yang sarat dengan kepuasan dan kelegaan. Di bawah selimut, tubuh mereka saling merapat, merasakan kehangatan satu sama lain. Aruna memandangi wajah Bintara yang masih terpejam, melihat kelembutan yang jarang ia temukan sebelumnya. Rambutnya yang acak-acakan dan garis wajahnya yang tampak tenang membuat Bintara terlihat lebih manusiawi, lebih dekat.
Saat Bintara berpakaian setelah mandi, ia mengenakan kemeja putih yang rapi, mengancingkannya dengan teliti sebelum meraih jasnya yang tergantung di lemari. Ia mengenakan jas itu, memperbaiki kerahnya di depan cermin. Aruna, yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, mengamati gerak-geriknya dengan penuh perhatian."Aku harus pergi sekarang," kata Bintara, suaranya terdengar agak tergesa. "Ada urusan hotel yang perlu diurus."Aruna berhenti sejenak, menatap suaminya. "Urusan hotel?" tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa curiga yang perlahan muncul. "gak bisa ditunda, ya?"Bintara menggelengkan kepala dengan sedikit senyum yang dipaksakan. "Sayangnya gak bisa, ini mendesak. Aku akan segera kembali, jangan khawatir."Sementara Bintara bersiap, Aruna berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan bekal untuk suaminya. Ia memasukkan beberapa makanan favorit Bintara ke dalam kotak makan, memastikan semuanya tertata dengan rapi. "Jangan lupa makan meskip
Jinu berdiri di sudut ruangan, berusaha menjaga ketenangan meski dadanya bergemuruh. Setiap kali Bintara menatapnya, tatapan itu terasa seperti pisau yang mengiris kulitnya. Namun, Jinu tahu bahwa ia harus tetap tenang dan terkendali. Ia sudah mempersiapkan alibi, tetapi menghadapi Bintara yang begitu waspada tetap membuat keringat dingin mengalir di punggungnya Sebastian, yang sejak awal membaca ketegangan yang semakin memuncak antara Bintara dan Jinu, merasa suasana semakin panas. Ia berdiri sedikit di belakang, matanya cermat mengamati setiap gerak-gerik. Di telinganya, ear piece HT bergetar lembut, menandakan ada pesan mendesak yang harus disampaikan. Suaranya dari resepsionis terdengar jernih dan tegas, meski menyimpan ketegangan yang jelas. "Pak Bintara," panggil Sebastian dengan nada hati-hati, mencoba memecah fokus Bintara dari konfrontasinya dengan Jinu. "Ada kabar penting dari resepsionis." Bintara menoleh, wajahnya masih memancarkan amarah yang tertahan. "Apa itu, Seba