"Bapak mabuk semalam, dan nahan saya gak boleh pulang, gak ada yang terjadi 'kok pak. Tenang aja. Saya juga gak akan umbar-umbar tentang kita malam tadi, anggap aja gak pernah terjadi apa pun."
Bintara menatap tak percaya pada asistennya itu, tapi ia tak mau ambil pusing dan sepakat bahwa ini adalah rahasia mereka berdua. Bintara tidak menjawab perkataan Aruna. Kemudian, dengan hati yang getir, wanita itu meninggalkan apartemen Bintara. Bintara kembali ke rutinitasnya, termasuk menghadiri rapat-rapat bisnis yang penting. Namun pikirannya terus terganggu pada ingatannya semalam. Bintara ingat semalam bahwa ia telah sepakat untuk bertemu dengan salah satu kolega bisnisnya di bar. Mereka duduk bersama, membahas berbagai topik terkait bisnis, sambil menikmati minuman yang disajikan. Namun, apa yang tidak diketahui Bintara adalah bahwa minuman yang dikonsumsi telah dicampur dengan obat afrodisiak oleh koleganya yang licik. Kolega tersebut merupakan salah satu pesaing bisnisnya sekaligus kakak iparnya di dunia perhotelan juga, Lee Dong Min, seorang keturunan Korea-Indonesia sebagai Presdir Hotel Group Astroha, yang memiliki niat jahat, berusaha menjebak Bintara agar terpengaruh obat dan melakukan hal-hal yang tidak senonoh dengan asisten yang ia bawa. Namun, rencana jahat itu tidak berjalan sesuai yang diharapkan karena Bintara segera merasakan efek dari obat yang dicampurkan ke dalam minuman tersebut. Bintara mulai merasa tidak nyaman dan menyadari bahwa dia telah dijebak. Tanpa menunggu lebih lama, dia segera meninggalkan tempat pertemuan tersebut, mengetahui bahwa dia sedang dalam pengaruh obat perangsang. Sampai ia bertemu dengan Aruna yang menjemputnya, tak lupa ia juga memaki Sebastian yang tiba-tiba pergi darinya. Tapi setelah itu ingatannya kabur, ia tidak ingat apa yang telah dilakukannya semalam dan paginya menemukan Aruna di kamarnya. Kini saat sedang berada di tengah-tengah rapat, Bintara terus melamun, teringat kata-kata Aruna yang menghiburnya di apartemen. Kata-kata Aruna itu terus berputar di pikiran Bintara, membuatnya merenungkan kejadian semalam dengan lebih mendalam. Meskipun dia tidak sepenuhnya sadar akan tindakannya karena pengaruh obat, namun ada rasa penyesalan juga kekesalan yang mulai menyelubunginya. Ucapan Aruna yang terkesan menggampangkan apa yang terjadi di antara mereka justru membuat Bintara tidak nyaman. Jujur saja, Bintara merasa harga dirinya sebagai laki-laki di sepelekan. Bagaimana bisa Aruna terkesan acuh padanya, padahal hampir semua wanita di kantornya begitu mengejar perhatiannya. "Permisi, Pak ... Pak Bintara!" Panggilan yang lumayan nyaring itu membuyarkan lamunan Bintara. Dia mengangkat kepalanya menatap puluhan orang berjajar di meja bundar dalam ruang rapat bersamanya. "Apa ada masalah, Pak?" tanya seorang Manager Operasional Hotel ber-name tag Jinu yang duduk dekat Bintara, ia khawatir laporan occupancy Hotel bulan ini tak membuat atasannya itu puas. “Apa perlu kami adakan event baru agar menarik minat para tamu Hotel?” tanya Jinu lagi. Sadar dirinya tengah melamun, Bintara segera merespon, “Ya, boleh. Apa pun itu supaya Hotel kita menarik hati tamu-tamu di luar sana, buat yang unik dan jarang ditemui di Hotel manapun.” Rapat berlanjut, namun pikiran Bintara terus melayang ke pertemuan yang tidak diinginkan semalam. Dia merasa bersalah atas apa yang mungkin terjadi, meskipun sebagian besar memori tentang kejadian itu masih samar bagi pikirannya yang masih terpengaruh. Di tengah rapat yang serius, Bintara mencoba menjaga fokusnya, tetapi pikirannya terus kembali ke pertanyaan dan kekhawatiran tentang apa yang sebenarnya terjadi semalam. Apakah ada sesuatu yang tidak dia ingat atau lakukan? Setelah rapat selesai, Bintara menyadari bahwa dia harus berbicara dengan Aruna lagi. Dia bergegas pergi dari ruang Meeting dan segera menuju ruangannya berharap bisa bertemu Aruna yang bekerja di meja depan kantornya. ** Saat ia kembali dari ruang rapat, ia tak melihat Aruna di meja depan ruangannya, akhirnya Bintara duduk sendirian di ruang kerjanya, memikirkan terus tentang kejadian yang masih samar antara dirinya dan Aruna semalam. Pikirannya terus melayang, mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi, namun kebingungannya semakin dalam karena memori yang terputus-putus. Yang ia ingat terakhir kali, Aruna yang menjemputnya dan mengantarnya ke apartemen, mungkinkah sesuatu hal yang buruk terjadi? 'Kalau gak terjadi apa-apa, kenapa aku gak berbusana?' pikirnya. Lamunannya terganggu tiba-tiba saat Sebastian, asisten pribadinya, memasuki ruangan dengan langkah yang mantap. Sebastian membawa jadwal Bintara dan melaporkan agenda-acara yang harus dihadiri oleh Bintara hari ini. "Bin, lagi ngapain kamu ngelamun terus? Ini jadwal numpuk, sore ini rapat di Ballroom 1 untuk seluruh pemegang saham Hotel kita," ujar Sebastian tampak santai menggunakan bahasa yang akrab layaknya teman, pasalnya mereka berdua memang sahabat. Jika sedang berdua mereka tak akan bersikap formal. Bintara mengangguk, mencoba meraih kembali fokusnya dari lamunan yang terputus-putus. "Tidak masalah, aku akan hadir.” Namun, sebelum Sebastian bisa meninggalkan ruangan, dia memberikan tambahan informasi yang sedikit membuat Bintara terkejut. "Oh ya, Bin, aku juga menerima panggilan dari pelayan rumahmu. Istrimu, ada jadwal ke Dokter kandungan lagi untuk kontrol rahimnya, dan kamu diminta harus nemenin dia siang ini juga, aku udah kosongin jadwal untuk itu, tapi inget sore ini jam 5 ada rapat di Ballroom, oke?" Bintara hanya menghela nafas berat sambil mengangguk pada Sebastian, memberi isyarat bahwa ia akan datang mengantar istrinya itu dan menyanggupi segala jadwal yang telah di atur. Sudah sering ia mengantar istrinya bolak balik ke dokter kandungan untuk upaya memiliki keturunan. Bintara telah patah semangat ketika akhirnya istrinya hamil namun keguguran. Dan dokter sudah mendiagnosa bahwa istrinya tak akan bisa hamil karena kelainan bentuk rahim yang tak normal atau dikenal dengan nama Septate uterus. Pagi itu Aruna menghembuskan nafas seolah membuang rasa gugupnya setelah ia menyelesaikan laporan kesimpulan dari rapat pemegang saham kemarin sore. Tak seperti biasanya, langkah yang dulu begitu mantap membawa berkas ke ruangan Presdirnya kini menjadi langkah yang berat. Ia berdiri cukup lama di depan ruangan Bintara, tapi ia tahu harus bersikap profesional. Ia ketuk pintu ruangan Bintara tiga kali. “Masuk!” Suara Bintara terdengar biasa saja dengan intonasi ringan namun nyaring, tapi itu membuat hati Aruna berdegup kencang. Ia masuk menghadap Bintara sambil membawa berkasnya sambil menunduk , lalu seperti biasa ia meminta tanda tangan sang Presdir. Bintara tak lantas menandatanganinya dengan cepat seperti biasa, ia menatap Aruna yang mematung dan menunduk di hadapannya. “Aruna, silahkan duduk dulu.” Bintara pun bangkit dari kursinya mengunci pintu ruangannya sementara Aruna menurut untuk duduk. Aruna menoleh pada suara pintu yang di kunci, “Ke-kenapa di kunci pak?” Aruna terlihat tak nyaman. “Tenang, saya cuma mau bicara sama kamu. Ini soal malam itu. Kamu yakin kita gak berbuat apa-apa?” Bintara menatap Aruna, kembali ia duduk di hadapan Aruna. Lama Aruna tak menjawab, ia meremas sendiri jari jemarinya dengan raut wajah gelisah, tapi ia memaksakan untuk tersenyum. “Gak ada apa-apa, Pak! Bapak jangan khawatir. Kalau gak ada lagi yang mau bapak tanyakan, saya permisi!” Aruna pun berdiri dari duduknya dan tergesa membuka kunci pintu lalu ke luar ruangan Bintara. Bintara menghela nafas kesal menatap kepergian Aruna, ia paham gelagat Aruna mencurigakan untuk keadaan “tidak terjadi apa-apa”. Pikirannya sekarang dipenuhi oleh gadis itu, gadis yang ia rekrut baru 6 bulan lalu sebagai sekretarisnya. Gadis yang penuh semangat, dan bertekad akan menaikkan derajat keluarganya dari pekerjaan yang ia dapat di sini. Bintara teringat saat pertama kalinya Aruna melakukan interview bersama dirinya. Ia sudah kagum pada sosok Aruna yang berbeda dari gadis kebanyakan. Gadis sederhana yang punya tekad kuat. Wajahnya akan terlihat semakin cantik jika ia tersenyum. ** Satu bulan telah berlalu, selama itu pula Aruna berusaha bersikap profesional di hadapan Bintara. Aruna jadi lebih diam, dan selalu menghindar dari Bintara bila tak ada urusan pekerjaan. Tapi semakin Aruna menjaga jaraknya, justru perhatian Bintara kini terfokus pada Aruna. Ingatan kejadian sebulan lalu perlahan datang seperti potongan puzzle di kepalanya. Seluruh karyawan hotel tampak sibuk membersihkan dan bebenah area yang menjadi tanggung jawabnya, sebab tepat pada bulan ini, setiap 6 bulan sekali akan ada orang QA (Quality Assurance) yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa produk atau layanan yang diberikan oleh perusahaan tersebut memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Tak terkecuali Bintara yang ikut sibuk mengontrol jalannya standarisasi Hotel agar tetap mempertahankan bintang 5-nya. Ia sibuk berkeliling hotel di dampingi Aruna di sisinya yang mencatat poin-poin yang menjadi perhatian Bintara. Sampailah pada dapur utama Hotel ini, makanan yang di sajikan harus sesuai dengan standar bintang 5, para koki menghidangkan seluruh menu untuk test food. Hal ini membuat Aruna sedikit rilex, sebab sedari tadi berkeliling dengan Bintara ia merasa cepat lelah. “Aruna? Kamu baik-baik saja?” tanya Bintara menatap sekretarisnya itu dan menghentikan makannya. Aruna mengangguk pelan sambil tersenyum, “Ya saya baik-baik saja, Pak.” Bintara membuang nafas sambil menatap sekretarisnya itu, meski wajah Aruna sempurna dihiasi make up, itu tak cukup untuk menutupi wajah pucatnya. “Kamu bisa bilang sama saya kalau kondisi kamu lagi gak baik, gak apa-apa. Saya ngerti. Kamu bisa istirahat,” ujar Bintara lagi. “Iya Pak, makasih. Saya kayaknya permisi sekarang aja ya, Pak,” jawab Aruna, kemudian ia berdiri dari duduknya dan sedikit membungkuk pada Bintara. Namun tiba-tiba saja lututnya terasa lemas, rasa lemas itu menjalar ke kepalanya yang kini terasa kosong, pandangan matanya tiba-tiba saja gelap, bersamaan dengan itu keringat dingin muncul di pundak dan pelipis Aruna, dan ia tak sanggup lagi berdiri menopang tubuhnya. Samar-samar ia mendengar teriakan Bintara saat dirinya telah terkulai di lantai, ia ingin melihat wajah Bintara, namun pandangan matanya semakin gelap.Aruna tak sadarkan diri, ia dibawa oleh Bintara sendiri ke klinik Hotelnya. Bintara membaringkan tubuh Aruna, dokter jaga segera memeriksa tekanan darah Aruna. “Kenapa Asisten saya, Dok?” “Tekanan darahnya rendah, dia harus banyak istirahat.” “Gak ada hal lain Dok?” “Untuk memeriksa lebih lanjut anda sebaiknya keluar dulu Tuan, mungkin akhir-akhir ini dia stress dan kelelahan bisa jadi pemicunya. Anda tampak sangat memperhatikan karyawan anda, ya.” Bintara tersenyum tipis, kata-kata dokter seolah mengatakan bahwa reaksinya berlebihan untuk seorang Presdir kepada bawahannya. Bintara pun keluar ruang periksa, dan kembali ke ruangannya. Lalu dokter pun melakukan serangkaian tes pada Aruna termasuk memeriksa urinnya. Beberapa saat kemudian, dokter tersebut mengangkat pandangan dari hasil tesnya, wajahnya sedikit serius. "Aruna, saya punya berita yang harus saya sampaikan pada Anda. Anda sedang hamil." Aruna merasakan dunianya runtuh. Dia terdiam, hampir tidak percaya dengan apa y
Tak ada jalan lain selain menyetujui pernikahan ini, Bintara segera mengurus persiapan pernikahannya walau harus di laksanakan secara diam-diam. “Kenapa harus diam-diam, Nak? Kamu itu anak gadis berharga buat Ayah! Dia gak hargain kamu?” Walau sang Ayah sangat marah, namun Aruna tetap memintanya untuk jadi wali di pernikahannya, dan mengungkapkan keadaan sebenarnya pada keluarganya. “Maafin Aruna, Yah! Aruna gak bisa jadi anak yang baik buat Ayah Ibu!” Sambil menangis Aruna benar-benar menyesali semuanya, tapi ia juga tak bisa menceritakan kejadian sebenarnya pada orang tua. Nasi sudah menjadi bubur, keluarga Aruna terpaksa menerima semua persiapan pernikahan yang dilakukan dengan cepat dan rahasia. Mereka memilih sebuah vila pribadi di luar kota, jauh dari pandangan dan perhatian publik. Undangan hanya diberikan kepada beberapa orang terdekat dari pihak Aruna saja yang dapat dipercaya untuk merahasiakan pernikahan ini, Sementara dari pihak Bintara hanya di hadiri orang-orang kepe
Sebuah jepretan beberapa foto Aruna di kirim secara real time ke ponsel Serena. Saat ini Aruna tengah berada di sebuah rumah sakit, mengantri gilirannya untuk di periksa kandungan. “Wanita ini hamil?” Tanpa memberitahu siapa pun, Serena pergi dengan menyetir mobilnya sendiri, bahkan melarang supirnya untuk untuk ikut dan mengantarnya. ** Aruna duduk dengan gelisah di ruang tunggu klinik kandungan, mengelus perutnya yang semakin membesar. Keputusan untuk tetap menjalani kehamilan ini dan menikah dengan Bintara telah memberikan harapan baru dalam hidupnya. Namun, di balik harapan itu, ada juga ketakutan dan kecemasan yang terus menghantuinya. Ia tidak tahu bagaimana masa depannya akan terbentuk, terutama dengan situasi yang begitu rumit di awal pernikahannya. Saat Aruna tenggelam dalam pikirannya, seorang wanita anggun dengan rambut panjang berwarna coklat dan berpakaian rapi masuk ke ruang tunggu dan duduk di sebelahnya. Wanita itu tersenyum ramah. “Permisi ya, kamu juga lagi nung
Aruna duduk di depan teras rumahnya pada siang hari yang cerah, sinar matahari menari di atas daun-daun yang bergerak pelan. Di tangannya yang lembut, benang-benang warna pastel menjalin simpul demi simpul, membentuk pola indah yang kelak akan menjadi topi mungil untuk calon bayinya. Setiap tusukan jarum rajut yang ia lakukan penuh dengan cinta dan harapan, seakan ia merajut masa depan yang penuh kehangatan bagi anak yang sedang ia nantikan.Desiran angin membawa aroma bunga dari taman, menambah kedamaian di sekitarnya. Burung-burung berkicau riang, seolah memberikan irama yang harmonis pada setiap gerakan tangannya. Di tengah ketenangan itu, Aruna merenung tentang kehidupan baru yang akan segera hadir, membawa kebahagiaan yang tak terhingga. Setiap helai benang yang tersulam mengandung impian dan doa, melingkupi bayinya dengan kasih sayang yang tak terhingga.Teras rumah yang sederhana itu menjadi saksi bisu dari momen-momen berharga, di mana seorang ibu merajut cinta dan harapan ke
Pagi itu, dengan tangan yang masih gemetaran, Aruna memutuskan untuk menghubungi Bintara. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri sambil menunggu suara suaminya di ujung telepon. Ketika akhirnya Bintara mengangkat, Aruna mendengar nada suaranya yang hangat, namun kini bercampur dengan kekhawatiran. "Aruna, ada apa? Kamu kedengaran cemas," tanya Bintara, suaranya penuh perhatian. Aruna menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Bin, aku baru aja menerima pesan anonim yang mengganggu. Aku akan mengirimkan fotonya kepadamu sekarang." Dengan tangan yang masih gemetar, Aruna mengirimkan foto potongan rekaman CCTV itu kepada Bintara. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Bintara melihat pesan itu. Keheningan yang menyusul semakin menambah kecemasan di hati Aruna. "Aku gak ngerti," kata Bintara akhirnya, suaranya terdengar bingung. "Ini foto kita, tapi apa maksud dari pesan ini?" "Aku juga gak tahu," jawab Aruna, suaranya hampir pecah. "Tapi ini membuatku
Ketika malam tiba, Aruna bersiap untuk tidur. Ia mengenakan piyama lembut dan menata bantal-bantal di tempat tidur dengan hati-hati. Suasana kamar terasa tenang, hanya terdengar suara lembut angin malam yang berhembus melalui jendela yang sedikit terbuka. Aruna merasakan kelelahan setelah hari yang panjang, namun hatinya masih dipenuhi kecemasan dan harapan yang samar-samar.Bintara berdiri di pintu kamar, menatap Aruna yang tampak rapuh namun kuat. Dia merasa segan untuk mendekat, seolah ada tembok tak kasat mata yang menghalanginya. Ia hanya bisa berdiri di sana, diam di ambang pintu, hatinya dipenuhi perasaan bersalah dan kebingungan.Aruna mendongak dan melihat suaminya yang tampak ragu. Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap Bintara dengan tatapan lembut namun penuh harap. "Bin, apa kamu mau tidur di kamar tamu lagi malam ini?"Bintara menelan ludah, matanya berkedip-kedip gelisah. "Aku cuma gak mau mengganggumu, Aruna. Aku pikir kamu butuh isti
Pagi harinya, sinar matahari pagi yang hangat menelusup melalui celah-celah tirai, menciptakan cahaya lembut yang menyinari kamar. Aruna dan Bintara terbaring di atas ranjang, tubuh mereka hanya ditutupi oleh selimut yang melingkar erat. Udara pagi yang segar menyapu kulit mereka, memberikan rasa nyaman yang baru pertama kali mereka rasakan bersama sejak pernikahan diam-diam itu. Mereka baru saja melakukan hubungan suami-istri untuk pertama kalinya, sebuah momen yang penuh dengan kecanggungan namun juga keintiman yang mendalam. Nafas mereka masih terengah, tetapi ada keheningan yang berbeda kali ini, sebuah keheningan yang sarat dengan kepuasan dan kelegaan. Di bawah selimut, tubuh mereka saling merapat, merasakan kehangatan satu sama lain. Aruna memandangi wajah Bintara yang masih terpejam, melihat kelembutan yang jarang ia temukan sebelumnya. Rambutnya yang acak-acakan dan garis wajahnya yang tampak tenang membuat Bintara terlihat lebih manusiawi, lebih dekat.
Saat Bintara berpakaian setelah mandi, ia mengenakan kemeja putih yang rapi, mengancingkannya dengan teliti sebelum meraih jasnya yang tergantung di lemari. Ia mengenakan jas itu, memperbaiki kerahnya di depan cermin. Aruna, yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, mengamati gerak-geriknya dengan penuh perhatian."Aku harus pergi sekarang," kata Bintara, suaranya terdengar agak tergesa. "Ada urusan hotel yang perlu diurus."Aruna berhenti sejenak, menatap suaminya. "Urusan hotel?" tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa curiga yang perlahan muncul. "gak bisa ditunda, ya?"Bintara menggelengkan kepala dengan sedikit senyum yang dipaksakan. "Sayangnya gak bisa, ini mendesak. Aku akan segera kembali, jangan khawatir."Sementara Bintara bersiap, Aruna berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan bekal untuk suaminya. Ia memasukkan beberapa makanan favorit Bintara ke dalam kotak makan, memastikan semuanya tertata dengan rapi. "Jangan lupa makan meskip