Saat Bintara berpakaian setelah mandi, ia mengenakan kemeja putih yang rapi, mengancingkannya dengan teliti sebelum meraih jasnya yang tergantung di lemari. Ia mengenakan jas itu, memperbaiki kerahnya di depan cermin. Aruna, yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, mengamati gerak-geriknya dengan penuh perhatian.
"Aku harus pergi sekarang," kata Bintara, suaranya terdengar agak tergesa. "Ada urusan hotel yang perlu diurus."Aruna berhenti sejenak, menatap suaminya. "Urusan hotel?" tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa curiga yang perlahan muncul. "gak bisa ditunda, ya?"Bintara menggelengkan kepala dengan sedikit senyum yang dipaksakan. "Sayangnya gak bisa, ini mendesak. Aku akan segera kembali, jangan khawatir."Sementara Bintara bersiap, Aruna berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan bekal untuk suaminya. Ia memasukkan beberapa makanan favorit Bintara ke dalam kotak makan, memastikan semuanya tertata dengan rapi. "Jangan lupa makan meskipJinu berdiri di sudut ruangan, berusaha menjaga ketenangan meski dadanya bergemuruh. Setiap kali Bintara menatapnya, tatapan itu terasa seperti pisau yang mengiris kulitnya. Namun, Jinu tahu bahwa ia harus tetap tenang dan terkendali. Ia sudah mempersiapkan alibi, tetapi menghadapi Bintara yang begitu waspada tetap membuat keringat dingin mengalir di punggungnya Sebastian, yang sejak awal membaca ketegangan yang semakin memuncak antara Bintara dan Jinu, merasa suasana semakin panas. Ia berdiri sedikit di belakang, matanya cermat mengamati setiap gerak-gerik. Di telinganya, ear piece HT bergetar lembut, menandakan ada pesan mendesak yang harus disampaikan. Suaranya dari resepsionis terdengar jernih dan tegas, meski menyimpan ketegangan yang jelas. "Pak Bintara," panggil Sebastian dengan nada hati-hati, mencoba memecah fokus Bintara dari konfrontasinya dengan Jinu. "Ada kabar penting dari resepsionis." Bintara menoleh, wajahnya masih memancarkan amarah yang tertahan. "Apa itu, Seba
Serena duduk di sudut ruangan kerja di penthouse-nya yang diterangi cahaya lampu temaram, pandangannya tertuju ke jendela yang memperlihatkan gemerlap kota malam. Di tangannya, ponsel bergetar lembut, menandakan pesan masuk. Ia membaca pesan dari seseorang dengan alis sedikit terangkat, merasakan campuran rasa frustrasi dan ketidakpuasan mengalir dalam dirinya."Rencana kita gagal," bunyi pesan singkat itu, namun penuh dengan makna yang dalam dan menyesakkan.Serena mengepalkan tangannya sejenak, merasakan amarah yang mulai mengalir deras di nadinya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dengan jemari yang lentik namun tegas, ia mulai mengetik balasan di layar ponselnya. "Jangan khawatir. Aruna akan mendapat pelajaran yang pantas. Teror ini baru permulaan."Ia menekan tombol kirim, merasa sedikit lega setelah mengungkapkan niatnya. Tatapannya kembali ke jendela, matanya yang tajam memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. Serena tahu bahwa permainan ini jauh dari sel
Jinu tak sempat menjawab, bibirnya baru saja membuka saat ketukan pintu memecah keheningan. Pintu ruang kantor Jinu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sebastian yang masuk dengan wajah tegang. Mata Bintara beralih seketika, menatap Sebastian yang bergerak cepat mendekatinya. Sebastian mendekat, lalu berbisik pelan di telinga Bintara, namun suaranya cukup menggetarkan hati, "Pak, Aruna sedang di rumah sakit." Mata Bintara melebar seketika, detak jantungnya serasa berhenti sejenak mendengar kabar itu. Pikiran tentang percakapan dengan Jinu seketika terlupakan, digantikan oleh bayangan Aruna yang mungkin sedang membutuhkan dirinya. Kegelisahan mengalir deras dalam nadinya, membuatnya berdiri dengan cepat, hampir tanpa sadar. "Jinu, kita akan bicara lagi nanti," katanya dengan nada tegas, namun pikirannya sudah terbang jauh ke rumah sakit di mana Aruna berada. Sebastian berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegak namun tenang,
Serena dengan telaten membantu Aruna bangkit dari ranjang rumah sakit. Tatapan matanya penuh perhatian, namun dalam hatinya terselip niat yang tak pernah terungkap. "Pelan-pelan, Aruna," ucapnya lembut, mengarahkan Aruna menuju kursi roda.Aruna tersenyum tipis, masih lemah namun berusaha menunjukkan rasa terima kasihnya. "Terima kasih, Serena. Kamu baik banget."Mereka meninggalkan rumah sakit dengan perlahan, langkah-langkah mereka menggema di koridor yang sepi. Serena mendorong kursi roda dmseperti perawat handal, namun di balik senyumnya yang tenang, ada perasaan puas yang merayap. Dia tahu bahwa setiap momen ini memperkuat posisinya di mata Aruna, menjadikannya figur yang dipercaya dan diandalkan.Di luar, angin petang berhembus lembut, membawa aroma dedaunan basah setelah hujan. Serena membuka pintu mobil dan membantu Aruna masuk dengan hati-hati. Mereka berdua masuk ke dalam kendaraan yang nyaman, meninggalkan bayangan rumah sakit di belakang mereka.Perjalanan pulang terasa he
Malam harinya, Bintara pulang ke rumah Aruna dengan perasaan lelah yang menggelayut di pundaknya. Langkah kakinya terdengar berat di lantai marmer saat ia memasuki rumah. Di ambang pintu, ia disambut oleh Aruna yang berdiri dengan senyum hambar. Matanya menatap suaminya dengan tatapan yang sulit diartikan, penuh dengan kekhawatiran yang disembunyikan di balik wajah yang tenang.Bintara menghampiri Aruna, merasakan jarak yang tak terlihat namun begitu nyata di antara mereka. "Malam, Sayang," sapanya pelan, mencoba mencari celah untuk menghangatkan suasana."Malam," jawab Aruna singkat, suaranya hampir tak terdengar. Ia berusaha mempertahankan senyumnya, tapi ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan dari pandangan Bintara.Bintara merasakan dinginnya sikap Aruna seperti kabut tipis yang melingkupi mereka. Ia mengulurkan tangan, menyentuh lengan Aruna dengan lembut. "Ada apa? Kamu kelihatan... beda," tanyanya dengan nada khawatir.Aruna menundukkan kepalanya sejenak, lalu mengangkatnya ke
Bintara menarik napas panjang, merasakan beban berat di dadanya. Ia tahu bahwa saat ini adalah momen yang menentukan. Dengan suara yang bergetar, akhirnya ia mengakuinya."Aruna, aku... aku memang sudah menikah sebelumnya," ucapnya, matanya tak lepas dari tatapan Aruna yang kini semakin penuh dengan kekecewaan dan rasa sakit. "Pernikahan itu dilakukan secara diam-diam, dan aku gak pernah bermaksud untuk menyakitimu dengan menyembunyikannya."Aruna terdiam, air matanya mengalir lebih deras. Perasaannya berkecamuk, antara marah, sedih, dan bingung. "Kenapa? Kenapa kamu gak pernah memberitahuku? Siapa dia?" tanyanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.Bintara menggeleng pelan, mencoba meredakan ketegangan. "Aku gak bisa bilang, Aruna. Tapi percayalah, aku gak pernah bermaksud menyakitimu. Aku cuma ingin melindungi semua orang yang terlibat."Aruna menatapnya dengan mata yang penuh dengan rasa tidak percaya. "Gimana kamu bisa berpikir bahwa menyem
Di sky bar hotel yang mewah, Serena duduk dengan anggun di salah satu meja terbaik, diiringi oleh suara soprano yang mengalun lembut dari pengeras suara. Lantunan musik klasik menambah suasana elegan malam itu, mengiringi cahaya lilin yang berkedip-kedip di sekeliling mereka. Di tangannya, segelas wine merah berkilau di bawah cahaya redup, cerminan dari rencana yang telah ia jalankan dengan sempurna.Serena mengangkat gelasnya sedikit, merasakan dinginnya kaca di jemarinya sebelum menyesap anggur yang harum. Setiap tegukan wine itu adalah perayaan kecil bagi kemenangan pribadinya. Di hadapannya, Lee Dong Min duduk dengan tenang, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, mungkin penuh dengan rasa ingin tahu dan kekaguman akan ketenangan Serena.“Sepertinya rencana kita berhasil dengan baik,” kata Serena dengan senyum tipis yang menghiasi bibirnya, matanya bersinar dengan kepercayaan diri yang penuh. “Aruna pasti terluka parah setelah berita itu keluar.”Lee Dong Min menatapnya, k
Aruna duduk di ujung tempat tidur, tatapannya kosong menembus jendela yang menghadap ke taman. Matahari pagi menembus tirai tipis, memberikan cahaya lembut yang menghangatkan kamar, namun tidak bisa mengusir dingin yang bersarang di hatinya. Tangannya yang gemetar memegang ponsel, pesan terakhir dari Bintara masih terbuka, namun tak ada niat untuk membalasnya. Perasaannya campur aduk, antara luka dan harapan yang perlahan pudar. Dengan suara yang serak karena menahan tangis, Aruna menghubungi Bintara. Detak jantungnya terasa begitu keras di dadanya, seolah-olah memprotes keputusan yang akan ia sampaikan. Ketika panggilan tersambung, suaranya bergetar, namun ia berusaha untuk tegar. "Bintara, aku minta... untuk beberapa waktu ini, jangan datang menemuiku," kata Aruna pelan, namun tegas. "Meski bulan-bulan ini adalah prediksi lahirnya bayi kita, aku butuh waktu. Aku butuh... ruang." Di ujung sana, Bintara terdiam sejenak, merasakan setiap kata