Aruna duduk di depan teras rumahnya pada siang hari yang cerah, sinar matahari menari di atas daun-daun yang bergerak pelan. Di tangannya yang lembut, benang-benang warna pastel menjalin simpul demi simpul, membentuk pola indah yang kelak akan menjadi topi mungil untuk calon bayinya. Setiap tusukan jarum rajut yang ia lakukan penuh dengan cinta dan harapan, seakan ia merajut masa depan yang penuh kehangatan bagi anak yang sedang ia nantikan.
Desiran angin membawa aroma bunga dari taman, menambah kedamaian di sekitarnya. Burung-burung berkicau riang, seolah memberikan irama yang harmonis pada setiap gerakan tangannya. Di tengah ketenangan itu, Aruna merenung tentang kehidupan baru yang akan segera hadir, membawa kebahagiaan yang tak terhingga. Setiap helai benang yang tersulam mengandung impian dan doa, melingkupi bayinya dengan kasih sayang yang tak terhingga. Teras rumah yang sederhana itu menjadi saksi bisu dari momen-momen berharga, di mana seorang ibu merajut cinta dan harapan ke dalam setiap simpul benang. Di bawah langit biru yang membentang luas, Aruna merasa dilingkupi oleh kebahagiaan yang hangat, seolah alam semesta turut merestui harapannya untuk masa depan yang cerah. Kemudian, dering telepon memecah keheningan siang yang tenang. Aruna menghela napas sejenak sebelum mengangkatnya, mengetahui bahwa panggilan itu berasal dari Bintara, suaminya yang terpisah jarak oleh pekerjaan. Suara Bintara terdengar hangat dan penuh perhatian, “Gimana kabarmu dan calon bayi kita?” “Baik, kamu gimana?” tanya Aruna kembali. “Aku juga baik, cuma lagi banyak kerjaan aja. Aku mau ngabarin belum bisa pulang ke sana. Maafin aku ya, Aruna?” Raut wajah Aruna seketika berubah, bayangan kesedihan tampak jelas di matanya yang teduh. Meski hatinya terasa berat, ia mencoba menyembunyikan perasaannya dengan baik. Dengan suara yang tetap lembut dan penuh kasih, Aruna berkata kepada Bintara bahwa ia mengerti dan berharap suaminya menjaga diri di tempat yang jauh. Kata-katanya mengalir dengan ketulusan, meskipun di dalam hatinya, ia merasakan kekosongan yang mendalam karena rindu. Setelah telepon berakhir, Aruna menatap jarum rajut di tangannya. Ia berusaha mengalihkan pikirannya kembali ke pekerjaan yang sedang dilakukannya, merajut topi kecil untuk bayinya. Walau hatinya penuh kegelisahan, ia berusaha memahami situasi Bintara. Ia tahu bahwa cinta mereka akan tetap kuat meskipun jarak memisahkan. Aruna meneguhkan hati, merajut dengan penuh harapan, sambil memeluk erat doa-doa yang ia kirimkan untuk keselamatan suaminya, hingga saat mereka bisa bersatu kembali. Saat Aruna melamun, tenggelam dalam pikirannya yang melayang-layang antara kerinduan dan harapan, terdengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat Serena, tetangganya, datang dengan senyum lebar, membawa sebuah bingkisan berisi buah-buahan segar. Serena adalah sahabat baiknya, selalu hadir dengan perhatian yang tulus di saat-saat Aruna merasa sendiri. "Aruna, aku bawakan beberapa buah segar untukmu," sapa Serena dengan suara ceria, mencoba mengusir bayangan murung di wajah Aruna. "Kupikir ini bisa menambah energimu." Aruna tersenyum hangat meskipun masih terasa samar oleh kesedihan yang menyelimuti hatinya. "Terima kasih, Serena. Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik." Serena duduk di sebelah Aruna, meletakkan bingkisan buah di atas meja kecil di teras. Matahari masih bersinar lembut, memberikan nuansa hangat yang nyaman. "Apa yang sedang kamu rajut? Oh, ini pasti untuk bayimu, bukan?" tanya Serena sambil mengamati karya rajutan di tangan Aruna. "Iya," jawab Aruna pelan, kembali menatap benang-benang yang tersulam dengan rapi. "Ini akan menjadi topi kecil untuknya. Aku berharap dia bisa merasakan kehangatan dari setiap benang yang kurajut." Serena mengangguk, merasakan betapa besar cinta dan harapan yang ditanamkan Aruna dalam setiap jahitannya. "Bintara pasti akan sangat bangga padamu, Aruna. Kamu adalah ibu yang luar biasa." Aruna hanya tersenyum tipis, mencoba menguatkan diri di depan sahabatnya. Namun, jauh di dalam hatinya, ia berjuang melawan kekhawatiran dan kesepian. Kehadiran Serena menjadi penghibur, meski bayang-bayang rindu masih membayangi hatinya. Mereka berdua duduk dalam keheningan yang nyaman, ditemani oleh suara alam dan percakapan ringan yang sesekali mengalir. Aruna merasa sedikit lebih tenang, berkat perhatian Serena dan harapan yang terus ia rajut di antara benang-benang pastel itu. Aruna mengajak Serena masuk ke dalam rumah, mengucapkan terima kasih sekali lagi atas buah-buahan segar yang dibawanya. Serena mengikuti Aruna ke dalam, matanya menjelajahi setiap sudut rumah besar itu dengan campuran perasaan yang tersembunyi rapi di balik senyumnya yang hangat. Mereka melangkah ke ruang tamu yang luas, di mana foto-foto keluarga terpajang indah di dinding. Serena berhenti sejenak di depan sebuah foto besar yang menggambarkan momen bahagia pernikahan Aruna dan Bintara. Senyum ceria dan tatapan penuh cinta pasangan itu terlihat jelas di dalam bingkai emas. "Foto ini sangat indah," kata Serena, suaranya terdengar tulus. Namun, di dalam hatinya, kebencian dan rasa sakit yang mendalam bergejolak. Aruna tersenyum lembut, mengenang hari yang penuh kebahagiaan itu. "Iya, itu adalah hari yang sangat istimewa bagi kami," jawabnya dengan nada yang penuh kenangan manis. Ia tidak menyadari apa yang sebenarnya tersembunyi di balik tatapan Serena yang tampak penuh kekaguman. Serena menahan diri untuk tidak menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Ia berusaha keras untuk tetap berlagak baik dan ramah di depan Aruna, meski hatinya dipenuhi oleh rasa benci. Rasa cemburu dan kepahitan menggerogoti hatinya setiap kali ia melihat kebahagiaan Aruna yang tampak begitu sempurna. "Rumahmu sangat indah, Aruna. Kamu benar-benar beruntung," Serena melanjutkan dengan nada yang terdengar tulus. Dalam benaknya, ia menyimpan rencana-rencana licik untuk menghancurkan kebahagiaan yang selama ini hanya bisa ia saksikan dari jauh. Aruna, yang tidak mengetahui apa pun tentang rahasia kelam ini, menganggap kehadiran Serena sebagai berkah. Mereka duduk di ruang tamu, berbincang tentang hal-hal ringan sambil menikmati buah-buahan segar yang dibawa Serena. Namun, di balik percakapan yang tampak akrab dan hangat, terdapat dinamika emosional yang rumit dan penuh intrik, siap meledak kapan saja. Malamnya, di dalam rumahnya yang terasa sunyi, Serena duduk di depan meja kerja dengan cahaya lampu yang redup. Wajahnya yang tadinya ramah kini menampakkan ekspresi dingin dan penuh perhitungan. Dengan jari-jarinya yang cekatan, ia membuka laptop dan mengakses rekaman CCTV yang selama ini ia simpan dengan rapi, menunggu saat yang tepat untuk menggunakannya. Serena menemukan potongan rekaman yang ia cari—gambar Aruna membantu Bintara yang sedang mabuk masuk ke dalam apartemen. Senyum sinis menghiasi wajahnya saat ia meng-capture momen itu dan menyimpannya sebagai sebuah gambar. Dalam benaknya, Serena tahu bahwa gambar ini bisa memicu kecemasan yang mendalam pada Aruna, terutama karena situasi di foto itu bisa disalahartikan dengan mudah. Dengan teliti, Serena mengetik pesan di ponselnya pada seseorang, memerintahkan untuk mencetak foto tersebut agar tak mudah di lacak, lalu memerintahkan orang itu menulis pesan yang di ketik secara anonim. Serena menekan tombol 'kirim' dengan perasaan puas. Ia tahu bahwa pesan ini akan menghantam Aruna seperti petir di siang bolong, menaburkan benih keraguan dan ketakutan di dalam pikirannya. Setelah itu, ia menutup laptop dan bersandar di kursinya, menatap gelapnya malam dari jendela. Serena merasakan kepuasan dingin dalam dirinya, meyakini bahwa satu langkah kecil ini akan membuat Aruna merasakan ketidaknyamanan yang ia rasakan selama ini. Di tempat lain, di rumahnya yang tenang, Aruna sudah terlelap dalam tidur, tanpa menyadari ancaman yang tengah mendekat. Esok hari, dunia yang ia kenal mungkin akan terguncang oleh keraguan dan kecemasan, sementara Serena terus merajut jaringannya yang penuh dengan intrik dan dendam. Pagi harinya, saat sinar matahari mulai menembus jendela, Aruna terbangun dengan perasaan tenang. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Aruna mendengar bunyi pintu depan yang diketuk pelan. Ia berjalan menuju pintu dengan langkah berat dan membuka pintu, hanya untuk menemukan sebuah amplop tergeletak di depan pintu rumahnya. Dengan perasaan bingung, ia mengambil amplop itu dan membukanya. Di dalamnya ada sebuah foto dirinya ketika merangkul Bintara masuk apartemen, lalu terdapat secarik kertas yang dengan ketikan yang rapi namun dingin: [Apakah kamu yakin Bintara setia? Bagaimana jika dia memiliki rahasia yang tidak pernah kamu bayangkan?] Aruna merasakan ketakutan yang mendalam menjalar di seluruh tubuhnya. Sambil menutup mulutnya sendiri, ia menatap surat itu, ditambah dengan foto masa lalu yang ia tutup rapat menambah beban pikirannya yang sudah berat. Siapa yang bermain dengan hidupnya seperti ini? Dan apa sebenarnya tujuan mereka? Pikirnya.Pagi itu, dengan tangan yang masih gemetaran, Aruna memutuskan untuk menghubungi Bintara. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri sambil menunggu suara suaminya di ujung telepon. Ketika akhirnya Bintara mengangkat, Aruna mendengar nada suaranya yang hangat, namun kini bercampur dengan kekhawatiran. "Aruna, ada apa? Kamu kedengaran cemas," tanya Bintara, suaranya penuh perhatian. Aruna menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Bin, aku baru aja menerima pesan anonim yang mengganggu. Aku akan mengirimkan fotonya kepadamu sekarang." Dengan tangan yang masih gemetar, Aruna mengirimkan foto potongan rekaman CCTV itu kepada Bintara. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Bintara melihat pesan itu. Keheningan yang menyusul semakin menambah kecemasan di hati Aruna. "Aku gak ngerti," kata Bintara akhirnya, suaranya terdengar bingung. "Ini foto kita, tapi apa maksud dari pesan ini?" "Aku juga gak tahu," jawab Aruna, suaranya hampir pecah. "Tapi ini membuatku
Ketika malam tiba, Aruna bersiap untuk tidur. Ia mengenakan piyama lembut dan menata bantal-bantal di tempat tidur dengan hati-hati. Suasana kamar terasa tenang, hanya terdengar suara lembut angin malam yang berhembus melalui jendela yang sedikit terbuka. Aruna merasakan kelelahan setelah hari yang panjang, namun hatinya masih dipenuhi kecemasan dan harapan yang samar-samar.Bintara berdiri di pintu kamar, menatap Aruna yang tampak rapuh namun kuat. Dia merasa segan untuk mendekat, seolah ada tembok tak kasat mata yang menghalanginya. Ia hanya bisa berdiri di sana, diam di ambang pintu, hatinya dipenuhi perasaan bersalah dan kebingungan.Aruna mendongak dan melihat suaminya yang tampak ragu. Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap Bintara dengan tatapan lembut namun penuh harap. "Bin, apa kamu mau tidur di kamar tamu lagi malam ini?"Bintara menelan ludah, matanya berkedip-kedip gelisah. "Aku cuma gak mau mengganggumu, Aruna. Aku pikir kamu butuh isti
Pagi harinya, sinar matahari pagi yang hangat menelusup melalui celah-celah tirai, menciptakan cahaya lembut yang menyinari kamar. Aruna dan Bintara terbaring di atas ranjang, tubuh mereka hanya ditutupi oleh selimut yang melingkar erat. Udara pagi yang segar menyapu kulit mereka, memberikan rasa nyaman yang baru pertama kali mereka rasakan bersama sejak pernikahan diam-diam itu. Mereka baru saja melakukan hubungan suami-istri untuk pertama kalinya, sebuah momen yang penuh dengan kecanggungan namun juga keintiman yang mendalam. Nafas mereka masih terengah, tetapi ada keheningan yang berbeda kali ini, sebuah keheningan yang sarat dengan kepuasan dan kelegaan. Di bawah selimut, tubuh mereka saling merapat, merasakan kehangatan satu sama lain. Aruna memandangi wajah Bintara yang masih terpejam, melihat kelembutan yang jarang ia temukan sebelumnya. Rambutnya yang acak-acakan dan garis wajahnya yang tampak tenang membuat Bintara terlihat lebih manusiawi, lebih dekat.
Saat Bintara berpakaian setelah mandi, ia mengenakan kemeja putih yang rapi, mengancingkannya dengan teliti sebelum meraih jasnya yang tergantung di lemari. Ia mengenakan jas itu, memperbaiki kerahnya di depan cermin. Aruna, yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, mengamati gerak-geriknya dengan penuh perhatian."Aku harus pergi sekarang," kata Bintara, suaranya terdengar agak tergesa. "Ada urusan hotel yang perlu diurus."Aruna berhenti sejenak, menatap suaminya. "Urusan hotel?" tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa curiga yang perlahan muncul. "gak bisa ditunda, ya?"Bintara menggelengkan kepala dengan sedikit senyum yang dipaksakan. "Sayangnya gak bisa, ini mendesak. Aku akan segera kembali, jangan khawatir."Sementara Bintara bersiap, Aruna berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan bekal untuk suaminya. Ia memasukkan beberapa makanan favorit Bintara ke dalam kotak makan, memastikan semuanya tertata dengan rapi. "Jangan lupa makan meskip
Jinu berdiri di sudut ruangan, berusaha menjaga ketenangan meski dadanya bergemuruh. Setiap kali Bintara menatapnya, tatapan itu terasa seperti pisau yang mengiris kulitnya. Namun, Jinu tahu bahwa ia harus tetap tenang dan terkendali. Ia sudah mempersiapkan alibi, tetapi menghadapi Bintara yang begitu waspada tetap membuat keringat dingin mengalir di punggungnya Sebastian, yang sejak awal membaca ketegangan yang semakin memuncak antara Bintara dan Jinu, merasa suasana semakin panas. Ia berdiri sedikit di belakang, matanya cermat mengamati setiap gerak-gerik. Di telinganya, ear piece HT bergetar lembut, menandakan ada pesan mendesak yang harus disampaikan. Suaranya dari resepsionis terdengar jernih dan tegas, meski menyimpan ketegangan yang jelas. "Pak Bintara," panggil Sebastian dengan nada hati-hati, mencoba memecah fokus Bintara dari konfrontasinya dengan Jinu. "Ada kabar penting dari resepsionis." Bintara menoleh, wajahnya masih memancarkan amarah yang tertahan. "Apa itu, Seba
Serena duduk di sudut ruangan kerja di penthouse-nya yang diterangi cahaya lampu temaram, pandangannya tertuju ke jendela yang memperlihatkan gemerlap kota malam. Di tangannya, ponsel bergetar lembut, menandakan pesan masuk. Ia membaca pesan dari seseorang dengan alis sedikit terangkat, merasakan campuran rasa frustrasi dan ketidakpuasan mengalir dalam dirinya."Rencana kita gagal," bunyi pesan singkat itu, namun penuh dengan makna yang dalam dan menyesakkan.Serena mengepalkan tangannya sejenak, merasakan amarah yang mulai mengalir deras di nadinya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dengan jemari yang lentik namun tegas, ia mulai mengetik balasan di layar ponselnya. "Jangan khawatir. Aruna akan mendapat pelajaran yang pantas. Teror ini baru permulaan."Ia menekan tombol kirim, merasa sedikit lega setelah mengungkapkan niatnya. Tatapannya kembali ke jendela, matanya yang tajam memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. Serena tahu bahwa permainan ini jauh dari sel
Jinu tak sempat menjawab, bibirnya baru saja membuka saat ketukan pintu memecah keheningan. Pintu ruang kantor Jinu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sebastian yang masuk dengan wajah tegang. Mata Bintara beralih seketika, menatap Sebastian yang bergerak cepat mendekatinya. Sebastian mendekat, lalu berbisik pelan di telinga Bintara, namun suaranya cukup menggetarkan hati, "Pak, Aruna sedang di rumah sakit." Mata Bintara melebar seketika, detak jantungnya serasa berhenti sejenak mendengar kabar itu. Pikiran tentang percakapan dengan Jinu seketika terlupakan, digantikan oleh bayangan Aruna yang mungkin sedang membutuhkan dirinya. Kegelisahan mengalir deras dalam nadinya, membuatnya berdiri dengan cepat, hampir tanpa sadar. "Jinu, kita akan bicara lagi nanti," katanya dengan nada tegas, namun pikirannya sudah terbang jauh ke rumah sakit di mana Aruna berada. Sebastian berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegak namun tenang,
Serena dengan telaten membantu Aruna bangkit dari ranjang rumah sakit. Tatapan matanya penuh perhatian, namun dalam hatinya terselip niat yang tak pernah terungkap. "Pelan-pelan, Aruna," ucapnya lembut, mengarahkan Aruna menuju kursi roda.Aruna tersenyum tipis, masih lemah namun berusaha menunjukkan rasa terima kasihnya. "Terima kasih, Serena. Kamu baik banget."Mereka meninggalkan rumah sakit dengan perlahan, langkah-langkah mereka menggema di koridor yang sepi. Serena mendorong kursi roda dmseperti perawat handal, namun di balik senyumnya yang tenang, ada perasaan puas yang merayap. Dia tahu bahwa setiap momen ini memperkuat posisinya di mata Aruna, menjadikannya figur yang dipercaya dan diandalkan.Di luar, angin petang berhembus lembut, membawa aroma dedaunan basah setelah hujan. Serena membuka pintu mobil dan membantu Aruna masuk dengan hati-hati. Mereka berdua masuk ke dalam kendaraan yang nyaman, meninggalkan bayangan rumah sakit di belakang mereka.Perjalanan pulang terasa he