Lunara sudah masuk ke dalam taksi dan Slavia masih berbincang sebentar dengan Ardan yang berdiri menunggu mereka. “Bukan hak aku buat memberi tahu anak itu segalanya,” komentar Ardan. “Justru aku yang salut sama kamu, karena kamu bisa mendidik Luna tanpa perlu mengenalkan kebencian terhadap ayah yang meninggalkannya.” Slavia menganggukkan kepalanya. “Aku Cuma mau Luna jadi anak baik,” ujar Slavia. “Saat aku nggak bisa menghadirkan sosok ayah untuknya, maka aku juga nggak mau menghadirkan sedikitpun kebencian di hati Luna.” Ardan tersenyum mendengarnya. “Pulanglah, kamu kelihatan capek.” Dia berkata sambil membuka pintu taksinya agar Slavia segera masuk. Begitu taksi yang membawa Lunara dan Slavia berlalu, Ardan berbalik untuk kembali ke dalam kantor yang dirintis olehnya bersama Raras dan Slavia. “Kamu perhatian sekali ya, sama Via dan anaknya?” komentar Raras yang sudah berdiri di depan pintu ruangannya saat Ardan lewat. “Aku lihat semua perlakuan kamu dari ruanganku tadi.” Ar
Rio berjalan pelan menuju kantor bimbel tempat putranya akan mengikuti tambahan pelajaran. “Bimbingan akan dimulai minggu depan, Pak. Jadi silakan antar jemput Nico sesuai jadwal,” kata pengurus bimbel sambil menyerahkan satu lembar kertas kepada Rio. “Para pengajar di sini akan berusaha untuk membuat Niko dan murid lainnya betah untuk belajar.” “Baiklah, saya akan antar anak saya ke sini minggu depan,” timpal Rio seraya mengangguk singkat, setelah itu dia mengajak Nico untuk pergi meninggalkan bimbel. Ponsel Rio tak hentinya berdering sampai Rio masuk ke mobilnya. “Halo?” “Yo, ada masalah besar.” Gunadi langsung melapor begitu Rio menjawab panggilannya. “Masalah apa?” tanya Rio sambil memutar kemudi mobilnya. “Aku sudah berusaha cari-cari Via ke manapun,” jawab Gunadi dengan nada lesu. “Tapi karena sangat minimnya informasi yang kamu kasih ke aku, jelas aja keberadaan Via nggak akan bisa terlacak.” Rio berusaha tetap menyetir dengan fokus sementara pikirannya memproses informa
Slavia memegang keningnya. “Kamu pasti bohong kan, Ras? Masa Ardan bilang begitu sama kamu?” “Nggak secara langsung sih,” elak Raras. “Nah, terus? Jangan sok tahu deh kamu, Ras. Bikin aku malu saja, nanti dikira aku janda gatal lagi ....” “Siapa yang berani bilang kamu kayak begini, aku sumpal mulutnya pakai kain pel!” Raras berkata menggebu-gebu. “Enak saja, nggak semua janda begitu, Vi. Tergantung orangnya, kamu kan alim.” Slavia menahan tawa mendengar ucapan Raras. “Kalau aku baik, nggak mungkin aku diceraikan begitu saja sama Pak Rio.” Raras mendadak memukul keningnya, seolah mengingat sesuatu hal. “Soal Luna, apa kamu nggak mau kasih tahu Pak Rio?” “Ah, itu ....” Slavia tertegun mendengar pertanyaan Raras. “Membesarkan seorang anak sendirian itu nggak mudah lho, Vi. Setidaknya kalau kamu cerita, Pak Rio wajib untuk ikut bertanggung jawab soal nafkah Luna.” Slavia menghela napas panjang. “Entahlah, Ras. Untuk saat ini aku nggak yakin, rasa sakit hatiku masih terlalu dala
“Ma, aku lapar.” Nico mengeluh kepada Shara ketika dia baru saja pulang sekolah. “Minta sama Bik Tata sana kayak biasa.” “Tapi aku mau Mama yang siapkan makanku.” Shara yang sedang sibuk berbalas pesan dengan salah satu temannya, hanya menggelengkan kepala. “Ma?” “Apa sih, sana minta sama Bik Tata!” “Tapi, Ma ....” “Nico, mama ini lagi sibuk. Kamu juga sudah bukan anak TK lagi,” sentak Shara dengan ekspresi tidak suka di wajahnya, hingga Nico akhirnya memilih untuk menyerah dan tidak lagi memaksa. Bik Tata dengan penuh senyuman menyambut kedatangan Nico di dapur. “Pasti capek, bibik siapkan makan dan minumnya ya?” Nico mengangguk saja, wajahnya yang rupawan tertutup mendung tebal karena sikap Shara yang kurang menyenangkan hatinya. “Papa kapan pulang, Bik?” tanya Nico. “Mungkin sebentar lagi, Nico kangen papa ya?” “Iya ....” “Ya sudah, makan dulu sambil nunggu papa ya? Papa kan lagi cari uang untuk Nico juga.” “Iya, Bik.” Bik Tata tersenyum ketika menyaksikan Nico yang
“Nic, ayo siap-siap!” suruh Shara dengan suara keras. “Iya, Ma.” “Nanti di sana jangan nakal lho ya, nurut apa kata guru les kamu.” Shara memberikan wejangan ketika dia dan Nico sudah berada di dalam taksi yang melaju. “Iya,” angguk Nico singkat. “Aku boleh pinjam ponselnya, Ma?” “Apa?” “Pinjam ponsel, boleh?” Shara langsung menggeleng tegas. “Nggak boleh, kamu masih kecil!” “Tapi aku mau main ....” “Ini kan ponsel punya mama, kamu nggak boleh pinjam. Anak kecil itu tugasnya belajar, ngerti?” Nico tidak bicara lagi sampai taksi yang mereka tumpangi menepi di depan gedung les yang minggu kemarin didatangi Rio. “Sudah ya, mama tinggal ....” “Antar aku ke kelas dong, Ma?” pinta Nico dengan wajah berharap. “Mama sibuk, habis ini mama juga harus pergi.” “Sebentar saja kok, Ma. Kalau aku sudah masuk kelas, nanti Mama bosku pergi.” “Nggak ada, Mama bisa telat ini. Lagian kamu kan sudah besar, malu kalau harus diantar mama.” “Tapi ....” “Sudah, sudah. Cepat sana masuk, jangan b
Slavia menjeda ucapannya sejenak. Untuk datang ke rumah pun, aku nggak kuat mental saat itu.” Raras mengangguk paham. “Kamu selidiki saja Nico yang kamu maksud itu diam-diam, apalagi dia les di tempat yang sama dengan Luna kan?” “Iya, aku akan coba menyelidiki dia. Kalau benar bocah itu adalah Nico anak kandungku, aku akan menjalankan rencana.” “Rencana apa, Vi?” “Tentu saja untuk mengambil hak aku yang selama ini mereka rampas,” ucap Slavia penuh dendam. “Kalau begitu sebaiknya kamu pakai jasa pengacara, itupun setelah yakin bocah itu betul-betul anak kandung kamu.” Raras menyarankan. “Aku punya kenalan kalau kamu mau, Vi.” “Suatu saat aku pasti butuh, Ras.” Keduanya terdiam lagi dalam pikiran masing-masing, hingga tiba saatnya bagi Slavia untuk pergi menjemput Lunara di tempat les. “Tadi aku dapat banyak teman, Bu!” celoteh Lunara ketika dia bertemu Slavia yang menunggu sejak beberapa saat yang lalu. “Syukurlah, teman-teman kamu baik semua kan?” “Baik kok, tadi kami main d
“Ini sudah terlalu sore untuk bertamu, Sayang. Bahkan sudah mau malam, teman kamu tadi harus segera istirahat biar badannya nggak capek.” Slavia menjelaskan dengan sabar, hatinya teriris-iris mendengar bagaimana kasarnya Shara bicara kepada Nico. “Jadi dia benar-benar Nico anak kamu?” Slavia mengangguk ketika Raras yang sejak tadi menyimak ceritanya, bertanya dengan kaget. “Yang namanya firasat seorang ibu itu memang nggak pernah salah, Ras. Sejak awal aku lihat dia, aku sangat yakin kalau dia adalah anak kandungku. Wajahnya memang berubah lebih sedikit, tapi tetap saja aku masih mengenalnya.” Raras menarik napas. “Terus apa rencana kamu selanjutnya? Kamu mau langsung kasih tahu Pak Rio tentang adiknya Nico?” “Enggak lah, itu terlalu buru-buru menurutku. Setidaknya aku harus membuat sedikit kejutan buat mantan suami dan istrinya, aku nggak mau tiba-tiba muncul di depan mereka dan terkesan aku butuh bantuan Pak Rio untuk membesarkan Luna.” Raras mengangguk paham, sejak dulu dia ta
Rio mengacak rambutnya, teringat kembali dengan pengalaman menyakitkan itu. “Harus ke mana lagi aku mencari Via, Bu?” “Sudah terlambat, Rio. Kenapa kamu baru berniat untuk mencari Via sekarang? Seharusnya kamu cari istri kamu sejak awal ....” “Via bukan lagi istri aku, Bu.” Rio menggeleng. “Dia memilih cerai di saat aku sedang berada di antara hidup dan mati.” Ibu menarik napas. “Sepertinya ayah kamu benar, perpisahan kamu ini janggal sekali. Ibu juga nggak yakin kalau Via setega itu sama kamu, bahkan sampai hati untuk memblokir nomor kita semua. Nggak pedulikah dia sama anak kalian? Kasihan Nico, apa dia pernah menanyakan soal ibunya?” Rio menggeleng. “Yang Nico tahu, Shara adalah ibunya.” “Apa Via punya kerabat lain di luar kota?” “Setahu aku nggak ada, Bu. Sejak aku tahu kalau Via cuma anak angkat yang dibesarkan mertuaku, Shara bilang kalau mereka bertemu Via di pinggir jalan saat dia masih kecil.” Ibu Rio mengerjabkan matanya. “Tragis sekali kalau benar begitu, ibu harap s