“Nic, ayo siap-siap!” suruh Shara dengan suara keras. “Iya, Ma.” “Nanti di sana jangan nakal lho ya, nurut apa kata guru les kamu.” Shara memberikan wejangan ketika dia dan Nico sudah berada di dalam taksi yang melaju. “Iya,” angguk Nico singkat. “Aku boleh pinjam ponselnya, Ma?” “Apa?” “Pinjam ponsel, boleh?” Shara langsung menggeleng tegas. “Nggak boleh, kamu masih kecil!” “Tapi aku mau main ....” “Ini kan ponsel punya mama, kamu nggak boleh pinjam. Anak kecil itu tugasnya belajar, ngerti?” Nico tidak bicara lagi sampai taksi yang mereka tumpangi menepi di depan gedung les yang minggu kemarin didatangi Rio. “Sudah ya, mama tinggal ....” “Antar aku ke kelas dong, Ma?” pinta Nico dengan wajah berharap. “Mama sibuk, habis ini mama juga harus pergi.” “Sebentar saja kok, Ma. Kalau aku sudah masuk kelas, nanti Mama bosku pergi.” “Nggak ada, Mama bisa telat ini. Lagian kamu kan sudah besar, malu kalau harus diantar mama.” “Tapi ....” “Sudah, sudah. Cepat sana masuk, jangan b
Slavia menjeda ucapannya sejenak. Untuk datang ke rumah pun, aku nggak kuat mental saat itu.” Raras mengangguk paham. “Kamu selidiki saja Nico yang kamu maksud itu diam-diam, apalagi dia les di tempat yang sama dengan Luna kan?” “Iya, aku akan coba menyelidiki dia. Kalau benar bocah itu adalah Nico anak kandungku, aku akan menjalankan rencana.” “Rencana apa, Vi?” “Tentu saja untuk mengambil hak aku yang selama ini mereka rampas,” ucap Slavia penuh dendam. “Kalau begitu sebaiknya kamu pakai jasa pengacara, itupun setelah yakin bocah itu betul-betul anak kandung kamu.” Raras menyarankan. “Aku punya kenalan kalau kamu mau, Vi.” “Suatu saat aku pasti butuh, Ras.” Keduanya terdiam lagi dalam pikiran masing-masing, hingga tiba saatnya bagi Slavia untuk pergi menjemput Lunara di tempat les. “Tadi aku dapat banyak teman, Bu!” celoteh Lunara ketika dia bertemu Slavia yang menunggu sejak beberapa saat yang lalu. “Syukurlah, teman-teman kamu baik semua kan?” “Baik kok, tadi kami main d
“Ini sudah terlalu sore untuk bertamu, Sayang. Bahkan sudah mau malam, teman kamu tadi harus segera istirahat biar badannya nggak capek.” Slavia menjelaskan dengan sabar, hatinya teriris-iris mendengar bagaimana kasarnya Shara bicara kepada Nico. “Jadi dia benar-benar Nico anak kamu?” Slavia mengangguk ketika Raras yang sejak tadi menyimak ceritanya, bertanya dengan kaget. “Yang namanya firasat seorang ibu itu memang nggak pernah salah, Ras. Sejak awal aku lihat dia, aku sangat yakin kalau dia adalah anak kandungku. Wajahnya memang berubah lebih sedikit, tapi tetap saja aku masih mengenalnya.” Raras menarik napas. “Terus apa rencana kamu selanjutnya? Kamu mau langsung kasih tahu Pak Rio tentang adiknya Nico?” “Enggak lah, itu terlalu buru-buru menurutku. Setidaknya aku harus membuat sedikit kejutan buat mantan suami dan istrinya, aku nggak mau tiba-tiba muncul di depan mereka dan terkesan aku butuh bantuan Pak Rio untuk membesarkan Luna.” Raras mengangguk paham, sejak dulu dia ta
Rio mengacak rambutnya, teringat kembali dengan pengalaman menyakitkan itu. “Harus ke mana lagi aku mencari Via, Bu?” “Sudah terlambat, Rio. Kenapa kamu baru berniat untuk mencari Via sekarang? Seharusnya kamu cari istri kamu sejak awal ....” “Via bukan lagi istri aku, Bu.” Rio menggeleng. “Dia memilih cerai di saat aku sedang berada di antara hidup dan mati.” Ibu menarik napas. “Sepertinya ayah kamu benar, perpisahan kamu ini janggal sekali. Ibu juga nggak yakin kalau Via setega itu sama kamu, bahkan sampai hati untuk memblokir nomor kita semua. Nggak pedulikah dia sama anak kalian? Kasihan Nico, apa dia pernah menanyakan soal ibunya?” Rio menggeleng. “Yang Nico tahu, Shara adalah ibunya.” “Apa Via punya kerabat lain di luar kota?” “Setahu aku nggak ada, Bu. Sejak aku tahu kalau Via cuma anak angkat yang dibesarkan mertuaku, Shara bilang kalau mereka bertemu Via di pinggir jalan saat dia masih kecil.” Ibu Rio mengerjabkan matanya. “Tragis sekali kalau benar begitu, ibu harap s
Di saat yang bersamaan, Rio sedang dalam perjalanan dengan mobilnya untuk menjemput Nico “Hore! Ayo Kak, kita jajan sama-sama!” Di tempat les, Nico terlihat pasrah saja saat Lunara menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam toko. Sementara mereka sedang asyik memilih-milih jajanan, Slavia mengambil ponsel untuk mendokumentasikan kebersamaan anak-anak kandungnya. “Tante, boleh es krim?” “Boleh, ambil saja apa yang kamu suka.” Senyum Nico merekah, membuat pertahanan diri Slavia nyaris jebol dan ingin merengkuh anak itu dalam dekapan hangatnya. “Aku juga mau es krim dua!” celetuk Lunara ikut-ikutan. “Jangan berlebihan, nggak baik.” Nico menasehati. “Es krim memang enak, tapi makan satu cukup. Besok bisa beli lagi ....” “Terus aku jajan apa lagi?” “Roti lebih sehat, keripik kentang juga enak.” Lunara manggut-manggut dan mengambil produk-produk yang disebut Nico. Sungguh, Slavia sangat terharu dengan kebersamaan mereka saat ini. Di luar, Rio baru saja selesai memarkirkan mobilny
“Tapi bukan tentang hubungan yang lebih pribadi, kamu tahu maksudku kan? Aku masih sibuk dengan dendam masa lalu di hidupku.” Raras mengangkat bahu. “Aku hanya lihat kalau Ardan itu tulus sayang sama anak kamu.” “Nggak apa-apa, kan kita semua bersahabat.” Raras tidak berkata apa pun lagi karena urusan asmara Slavia bukanlah wewenangnya, meski kadang dia merasa kasihan kepada Ardan yang seakan masih berharap terjadi keajaiban di antara mereka. “Apa Nico masih bergaul sama tante-tante itu, Mas?” Di rumah, Shara bertanya dengan nada menyelidik kepada Rio yang baru saja selesai mandi. “Tolong ganti pertanyaan itu.” “Memangnya pertanyaan aku ada yang salah?” Rio menatap istrinya dengan sangat serius. “Nico itu masih anak-anak, tapi cara kamu bertanya sudah seperti membicarakan anak remaja yang terjebak pergaulan bebas bersama tante-tante yang tidak jelas.” Shara tersenyum sedikit sinis. “Habisnya anak itu kelihatan akrab banget sama orang nggak dikenal, ngomong-ngomong kamu sudah
Seorang wanita melangkah anggun ke dalam resto sembari menenteng tas tangannya dengan elegan. “Mas, lihat apa sih?” tegur Shara yang tanpa sengaja menatap kebisuan Rio. “Ada yang kamu kenal di tempat ini?” Rio terperanjat dan buru-buru menggeleng. “Tidak ada kok.” Shara masih menatap Rio dengan curiga, tapi tidak melanjutkan omelannya. Dia jauh lebih penasaran dengan cita rasa yang diusung oleh restoran baru ini dibandingkan mengusik ketenangan Rio. Setelah menunggu agak lama, seorang pelayan muncul mengabarkan pesanan Shara. “Asyik, udang!” “Pelan-pelan makannya, Nic.” “Iya, Pa.” Perhatian Rio teralihkan sepenuhnya oleh tingkah Nico yang sedang menyantap udangnya dengan penuh semangat. “Enak nggak, Nic?” bisik Shara ingin tahu setelah pelayan tadi pergi. “Enak, Mama mau coba?” Shara mengangguk dan sefera mencomot sepotong udang goreng tepung yang dipesan khusus untuk Nico. “Lumayan, kamu nggak mau coba juga, Mas?” “Jangan, ini punya aku! Papa biar pesan sendiri, Ma!” “Pa
“Aku akan benar-benar muncul di hadapan kamu.” Slavia mengepalkan tangan, dia teringat dengan Nico yang sejak awal bertemu sama sekali tidak menolak kehadirannya. Mungkin itulah yang dinamakan ikatan batin antara seorang ibu dengan anaknya, dan Slavia sangat bahagia. “Luna!” Nico memanggil salah satu murid yang baru saja keluar dari ruang kelas yang ada di bimbel. “Sudah selesai belajarnya?” Lunara mengangguk. “Biasanya sih ibu sudah menjemput,” kata bocah perempuan itu. “Ibu datangnya sama ayah kamu, ya?” tanya Nico ingin tahu sambil mengajak Lunara duduk depan untuk menunggu jemputan. “Enggak, ayahku nggak serumah.” Lunara menggeleng. “Aku selalu dijemput ibuku.” “Nico!” Rio muncul sambil berjalan mendekat. “Ayo pulang.” Nico menoleh ke arah Lunara yang belum dijemput ibunya. “Kok kamu belum dijemput?” “Macet,” jawab Lunara polos. “Yah, aku mau temani Luna dulu ya? Kasihan dia belum dijemput tante ....” Rio mengamati keberadaan Lunara dengan lebih jelas. “Dia teman satu
Slavia lantas menaruh foto terakhir dan sukses membuat Shara terperanjat. “Kenapa kamu menaruh foto Mas Rio di situ?” “Memangnya salah kalau foto ayah kandung ditaruh dekat dengan anak-anak kandungnya?” Shara melotot. “Anak-anak kandung ...? Anak Mas Rio dengan kamu cuma Nico!” “Coba perhatikan lagi, yang ini mamanya Luna. Bibir dan hidungnya sangat mirip sama Mas Rio.” Dengan napas yang menderu cepat, Shara mengamati foto Rio dan Lunara bergantian. Semakin dilihat, semakin kemiripan itu menjelma nyata. “Nggak ... ini nggak mungkin! Mas Rio punya anak lagi ... selain Nico?” Slavia mengangguk tenang. “Kamu bohong, Vi. Kapan kamu hamil lagi? Itu pasti anak dari laki-laki lain kan? Anak dari suami baru kamu!” “Aku belum pernah menikah lagi sampai sekarang,” kata Slavia jujur. “Seharusnya kamu berpikir, gimana ceritanya aku tinggal berjauhan sama Mas Rio, tapi masih bisa hamil anaknya?” Shara menatap Slavia dengan penuh dendam. “Aku nggak percaya ini ....” “Tanya saja sama Mas
Sebuah mobil asing ternyata sudah menunggu ketika Ardan tiba di rumah Slavia. “Itu mobilnya Pak Rio, Dan!” “Mau aku antar sampai rumah?” “Nggak usah, aku akan hadapi Pak Rio sendiri.” “Apa kamu yakin, Vi? Kalau dia menyakiti kamu gimana?” “Aku sudah mempekerjakan asisten rumah tangga, Dan. Setidaknya aku nggak benar-benar sendirian di rumah,” jawab Slavia. “Kamu pulang saja, kamu juga harus istirahat karena ada air in kamu sama Raras sibuk banget bantu aku.” Mau tak mau Ardan mengangguk. “Kalau ada apa-apa, kamu harus cepat hubungi aku atau Raras.” “Pasti, aku turun ya?” Dengan berat hati, kartun terpaksa mengganggu dan membiarkan Slavia turun dari mobilnya. “Lama sekali, sengaja?” sambut Rio datar ketika akhirnya Slavia muncul di hadapannya. “Aku kan harus jaga-jaga, takutnya kamu coba-coba menyerangku karena aku sudah melaporkan istri kamu ke polisi.” “Bisa kita bicara baik-baik?” “Oke, masuk saja ke rumahku.” Tanpa menunggu jawaban Rio, Slavia segera meninggal pergi mem
“Kenapa, Bik?” “Ada polisi di depan, Pak ....” “Polisi? Mereka cari siapa?” Rio terbelalak kaget. “Cari ibu, Pak ... Saya nggak berani bilang Bu Shara, makanya saya langsung bilang Bapak saja.” Rio mengusap wajahnya dengan kalut. Ada masalah apa lagi ini? “Selamat malam, Pak!” “Selamat malam, ada perlu apa ya Pak?” tanya Rio sopan. “Kami datang ke sini sambil membawa perintah surat penangkapan untuk Bu Shara,” jawab salah seorang petugas yang datang. “Memangnya istri saya kenapa, Pak?” “Istri Bapak ditangkap atas laporan pengayaan terhadap Bu Slavia.” Rio terperanjat kaget, terlebih ketika petugas polisi menyebut nama mantan istri keduanya. “Mas, ini kita mau ke mana?” tanya Shara ketika Rio menjemputnya di kamar. “Ada yang mau bertemu sama kamu ....” “Siapa?” Rio tidak menjawab. Bukannya dia seorang suami yang tega, justru dia sangat ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya. “Polisi? Kok mereka ada di sini sih, Mas?” Shara langsung menghentikan langkahnya s
Shara manggut-manggut, dia sangat yakin jika Slavia tidak akan seberani itu untuk melapor. Atau dia akan membuat namanya kembali viral, dan berimbas ke bisnis online yang digelutinya. “Gimana keadaan kamu, Vi?” “Ya beginilah, Ras ... Luna gimana?” “Ardan yang jemput Luna, kamu tenang saja.” Slavia menarik napas panjang. “Kamu harus dirawat ingat di sini ya?” tanya Raras. “Sebenarnya aku mau pulang, tapi tapi kepalaku pusing banget dan sama dokter diminta untuk observasi di klinik dulu sementara ....” “Atau kamu pindah ke rumah sakit saja?” “Nggak usah lah Ras, aku kan dianiaya bukan sakit kronis.” Raras menghela napas. “Tapi menurutku perbuatan mereka itu sudah sangat keterlaluan, mereka nggak Cuma mempermalukan kamu, Vi. Mereka juga menganiaya kamu, entah apa yang akan terjadi seandainya aku sama Ardan nggak datang ....” “Oh ya, kalian berdua kok bisa tahu posisiku sama apa yang aku alami?” tanya Slavia penuh rasa syukur. “Bukannya kamu yang nelepon pakai aplikasi pesan?”
Jantung Slavia berpacu dengan cepat ketika para wanita itu merundungnya baik verbal maupun fisik, dari mulai menjambak rambut, menampar wajah, dan menarik telinganya beramai-ramai. “Hentikan ini, aku nggak sepenuhnya salah!” teriak Slavia sambil menutupi wajahnya. “Banyak omong, aku viralkan kamu ya!” “Dasar pelakor hina!” Slavia berusaha melawan, tapi tentu saja dia kalah jumlah. Orang-orang mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, bahkan ada yang berusaha untuk menghentikan penganiayaan itu. “Stop, Ibu-Ibu! Ini ada apa?” “Tolong jangan main hakim sendiri!” “Anda ini kan sesama perempuan, kenapa menyakiti perempuan?” Teman-teman Shara menghentikan sejenak aksi bar-bar mereka. “Dia ini pelakor!” “Betul, dia adalah orang ketiga dalam rumah tangga teman kami!” “Haahh? Jadi dia itu pelakor?” Slavia menurunkan tangannya dan berteriak. “Bohong, itu semua fitnah!” “Wah, berani juga pelakor ini!” “Iya nih, dasar nggak punya malu!” “Aku memang bukan pelakor, istri perta
Mana bisa begitu,” tolak Shara. “Nico itu anak Mas Rio, dan aku adalah istrinya.” “Aku nggak peduli, aku ini ibu kandung Nico.” “Nggak bisa, Vi. Sesuai perjanjian, Nico harus kamu serahkan kepada Shara dan Rio untuk dirawat.” Rini menengahi. “Ibu lupa kalau perjanjian itu sudah enggak berlaku lagi?” tanya Slavia mengingatkan. “Mas Rio dan ibunya sendiri yang datang untuk bujuk aku supaya melanjutkan pernikahan itu, sedangkan uang ganti rugi yang sudah Kak Shara bayarkan juga diganti sama Mas Rio.” “Jadi kamu mau uang?” sentak Shara. “Tolong deh, bisa nggak jangan pakai teriak-teriak?” Slavia mengingatkan. “Di sini itu tempat umum, bukan tempat buat marah-marah ....” Rini mengusap tangan Shara. “Tenang.” Slavia menarik napas. “Sejak awal aku sudah bilang sama mas Rio Kalau aku cuma mau mengurus masalah hak asuh Nico, aku nggak peduli lagi sama kalian berdua. Asal aku nggak diusik, aku juga nggak akan mengusik kamu ataupun Mas Rio.” “Kamu nggak usah bohong, Vi. Buktinya kamu int
Aku mungkin menyesalkan ide kamu, tapi ... aku tidak menyesali kehadiran Nico sedikit pun.” “Kamu bikin aku sakit hati, Mas. Kamu tega ....” “Kamu sendiri tega memaksaku menduakan pernikahan kita, sampai kamu mencoba bunuh diri dan membuatku tersudut bersama Via. Ingat?” Shara mati kutu. Semua yang Rio ucapkan terasa seperti beberapa anak panah yang meluncur bersamaan dan menancap tepat di ulu hatinya. “Justru itu aku minta kamu untuk memperbaiki pernikahan kita, Mas. Aku nggak mau ada Via lagi di tengah-tengah kita, cukup Nico saja yang akan jadi pelengkap kebahagiaan ... Belum lagi anak kita nanti seandainya aku diberi kepercayaan untuk hamil anak kamu.” Rio memijat keningnya, rasa pusing kini seringkali mampir sejak dia bertemu kembali dengan Slavia dan juga bocah perempuan itu. “Mas, apa ucapan aku ada yang salah? Kok kamu diam saja?” tanya Shara khawatir. “Aku terlalu pusing dengan semua ini ....” “Oke, kita sebaiknya jangan membicarakan soal Via atau perjanjian masa lalu
“Istri satu-satunya ya, sungguh membanggakan. Akan jauh lebih membanggakan lagi kalau kamu bisa kasih keturunan sama suami kamu,” sindir Slavia tepat sasaran. “Kamu ....” “Atau jangan-jangan kamu juga sudah berhasil punya anak? Kalau begitu, kembalikan Nico sama aku. Bukankah kamu bisa merawat anak kandung kamu sendiri?” tanya Slavia pura-pura. “Mulut kamu itu ya, Vi. Pengin aku robek-robek rasanya!” Slavia tersenyum kecil. “Kamu masih nggak berubah juga ya, suka emosian.” “Diam kamu, aku sudah kasih kamu peringatan. Jangan sampai aku bikin mental kamu hancur untuk yang kedua kalinya.” Mendengar ancaman itu, Slavia seketika berdiri dan membuat Shara terperanjat kaget saat melihat sorot matanya yang tajam membunuh. “Coba saja, kamu pikir aku masih sama seperti Via yang dulu?” “Apa maksud kamu?” “Pikir saja sendiri, kamu masih bisa mikir kan?” “Jangan kurang ajar kamu!” Shara ikut berdiri dan bersiap melayangkan tamparan ke wajah Slavia, tapi tangan itu tidak pernah mendarat d
“Daripada Nico tahu dari orang lain, nanti dia malah bingung. Kasihan,” ucap Rio sembari memejamkan mata. “Kita tetap harus kasih tahu dia, Ra.” “Aku mohon pertimbangkan lagi keputusan kamu, Mas. Bukankah Via punya niat jelek untuk merampas Nico dari tangan kamu?” “Aku akan membujuknya supaya tidak melakukan hal itu.” “Membujuk gimana?” Shara menyipitkan mata. “Jangan bilang kalau kamu diam-diam menemui Via di belakang aku, ya?” “Ngapain aku harus diam-diam? Aku tidak harus minta izin kamu buat bicara sama Via kan?” tukas Rio, tampak tidak senang. “Bukan begitu juga maksud aku, Mas ....” “Aku bisa lihat kalau Via dendam sekali sama kita, seolah kita sudah melakukan kesalahan besar di masa lalu.” Rio menambahkan, membuat wajah Shara memucat. “Aku tidak habis pikir sama Via, dia benar-benar sudah berubah.” Shara menelan ludah, dia merasa harus segera berbuat sesuatu. “Terus apa rencana kamu?” “Seperti yang aku bilang tadi, aku akan minta Via untuk tidak meributkan soal hak asuh