mohon maaf atas ketidaknyamanan nya, bab akan segera direvisi setelah kondisi membaik.
Mau tak mau Rio tertawa kecil. “Tidak salah kan kalau aku cemburu sama istri aku sendiri? Apalagi kamu masih muda, baru punya anak satu ....” Tiba-tiba saja Slavia ikut tertawa. “Justru itu, Ardan mana mau sama istri orang yang punya anak satu?” “Semua hal itu bisa terjadi, Vi. Makanya banyakin nonton berita, Jangan cuma nonton akun-akun gosip yang menyebarkan fitnah tentang kita, apalagi kamu.” “Iya juga ya, seharusnya aku fokus ke hal-hal lain. Masalahnya bisnis aku jadi terdampak sangat besar gara-gara segelintir orang yang nggak bertanggung jawab, kadang aku lelah ... Aku malu, Mas. Semua orang rata-rata menyalahkan posisiku, tanpa mereka tahu gimana awalnya sampai aku bisa terjebak dalam pernikahan kakakku. Sekalipun dia bukanlah kakak kandungku ....” Rio mendekati Slavia kemudian memeluknya erat. “Maaf, gara-gara mempertahankan pernikahan kita ... jadi bikin kamu jadi tersiksa seperti ini. Aku bersumpah, niat aku itu baik. Aku hanya berusaha menyelesaikan apa yang sudah Sh
“Aku kira dia sudah kasih tahu kamu segala hal termasuk tentang siapa saja teman-temannya, Mas.” “Dari dulu kami belum sempat ngobrol soal itu, selama ini dia juga sibuk di rumah mengurus Nico. Ke depannya, kamu tidak perlu bingung kalau Via berada di suatu tempat dengan teman-temannya lagi.” “Teman-teman dari mana sih, Mas? Orang aku lihatnya Via itu duduk berduaan saja sama si cowok, bukankah kelihatan dari foto yang aku kirim dulu itu?” Rio memijat-mijat pelipisnya di dalam ruangan tempat di belakang resto, sudah sejak tadi dia ngobrol dengan istri pertama untuk membicarakan bermacam-macam hal. Termasuk salah satunya tentang foto yang sempat dikirim oleh Shara ke ponselnya. “Via bilang kalau masih ada satu teman lagi, perempuan. Dan dia sedang ada di toilet atau di mana, saat kebetulan ada yang ambil foto mereka. Memangnya kamu dapat foto itu dari mana sih?” Shara tidak segera menjawab. “Oh itu, kebetulan ada teman aku yang suka nongkrong di kafe-kafe ... Dia kontak aku dan b
Bagaimana kalau nanti Slavia mengadu kepada Rio dan malah membuat masalah mereka semakin memanas? Tidak, Shara tidak bisa membiarkan semua itu terjadi. Benar kata ibunya bahwa dia harus menjalani pernikahan ini sehati-hati mungkin. Mendapatkan hati Rio sepenuhnya, itu adalah tujuan utama. “Ibu pulang dulu,” pamit Rini setelah dua minggu lamanya dia menginap di rumah menantunya. “Biar Rio tahu kamu butuh perhatian karena sendirian di rumah ini.” “Aku nggak pernah usir Ibu, lho ....” “Ibu paham, kasihan ayah kamu juga harus bolak-balik karena ibu nggak ada di rumah ... Pokoknya kamu harus jaga tindakan, kalau bingung jangan ragu untuk menghubungi ibu.” Shara menganggukkan kepala. “Aku akan menikmati posisi sebagai istri pertama, sampai tiba waktunya bagi Mas Rio memiliki satu istri saja.” Rini mengacungkan jempolnya, setelah itu berlalu ke depan rumah untuk menunggu jemputan suaminya. “Ibu mau ke mana?” sapa Rio yang baru saja tiba di rumah. “Ibu mau pulang, ibu titip Shara. Jag
Ternyata Shara memperbarui status miliknya dan itu tampak di mata Slavia, yang biasanya tidak pernah tertarik untuk mengintip status pembaruan dari siapapun kecuali milik admin yang bekerja kepadanya. Namun, entah kenapa kali ini jari Slavia terasa gatal untuk menyentuh status yang diperbarui oleh kakaknya. Dan detik itu juga Slavia langsung merasa menyesal. Di dalam status itu, terdapat pembaruan yang memperlihatkan sepasang tangan yang sedang saling menggenggam dengan erat. Ya, hanya dua pasang tangan saja, tetapi itu cukup membuat hati Slavia terasa nyeri seakan tertusuk duri. Dia sangat mengenali tangan itu, arloji milik Rio yang melingkar manis dengan tangan Shara yang menggenggamnya erat. “Ya ampun!” lirih Slavia pelan, cepat-cepat dia angkat jarinya untuk segera menutup aplikasi pesan instan itu dengan keyakinan bahwa Raras atau Ardan akan meneleponnya jika ada sesuatu yang mendesak. Biarpun Slavia setuju untuk meneruskan pernikahannya dengan Rio tanpa mempertimbangkan se
“Jangan mau disuruh ganti rugi tanpa menyertakan bukti nota pembelian! Atau kalau dia beli online, diharuskan ada bukti video unboxing! Tolak saja, bilang ini sudah ketentuan dari bosnya! Oke, kabari aku secepatnya ya?” Raras mengembuskan napas panjang lalu memandang Slavia dan Ardan bergantian. “Ada apa?” tanya Ardan buru-buru. “Ada yang kompalin ke gudang, katanya sih dia beli satu setel baju muslim, nah bagian hijabnya sobek.” “Terus gimana?” Giliran Slavia yang bertanya. “Pembeli itu nggak bisa menunjukkan nota dan juga video unboxing jika dia beli online.” “Aneh, apa nggak sebaiknya kalian pulang saja ke gudang?” “Admin kita bisa dipercaya kok, Vi. Aku selalu tekankan sama dia untuk bertindak jujur, termasuk mengatasi hal-hal kayak begini.” Slavia menarik napas. “Ada-ada saja yang mau menjatuhkan usaha orang ....” “Sabar ya, Vi. Setelah ini aku sama Raras akan segera pulang kalau urusan sudah selesai, oke?” “Aku malah jadi nggak tenang, Dan.” Raras segera mengimbau kedu
“Terserahlah, Ras.” Ardan geleng-geleng kepala, lalu menghubungi kontak Slavia. “Sudah ngantuk, ya? Kok nguap?” Rio menatap putra semata wayangnya yang mulai terdiam, ketika itulah ponsel milik Slavia yang tergeletak di atas meja tiba-tiba berdering nyaring. Fokus Rio lantas teralihkan kepada benda pipih itu. Awalnya dia ragu, tapi akhirnya terbit rasa penasaran di hatinya untuk melihat siapa penelepon yang menghubungi Slavia. “Ardan?” Mata Rio menyipit ketika membaca sebuah nama yang tertera di layar ponsel milik istri keduanya. “Mas, ini kopinya!” Tepat saat itu, Slavia muncul dengan membawa secangkir kopi di tangannya. “Itu ponsel aku, Mas?” Rio mengangguk. “Ardan yang telepon, ada urusan apa dia?” Slavia tidak tampak gugup, reaksi yang sangat bertolak belakang dengan yang diharapkan Rio. “Pasti masalah bisnis kami,” katanya tenang sembari meletakkan secangkir kopi di atas meja. “Aku angkat dulu teleponnya.” Mau tidak mau, Rio memberikan ponselnya kepada Slavia. “Halo, Dan
Slavia menoleh dan memandang Rio yang sudah berpakaian rapi dengan rambut lebat yang dia sisir rapi sesuai permintaan khusus istrinya. “Kita kan bisa berangkat sama-sama,” ucap Slavia sambil menyisiri rambutnya. “Apalagi Nico sudah anteng ikut neneknya.” “Gunadi yang akan mengantar kamu ke lokasi,” sahut Rio tenang. “Aku masih ada sesuatu yang belum aku siapkan untuk malam ini.” “Biasanya juga teman kamu yang urus semuanya,” komentar Slavia. “Jadi kamu tidak perlu repot-repot.” “Demi kamu, itu bukan masalah.” Rio menggeleng sambil bersiap pergi. “Aku duluan.” “Hati-hati,” ucap Slavia saat memandang punggung Rio yang berjalan menjauh. Entah kenapa malam itu dia merasa ada perasaan yang aneh menggelayut di hatinya, seakan Rio pamit pergi untuk jangka waktu yang lama. “Aku sayang kamu,” lirih Slavia, tapi tentu saja Rio tidak mendengarnya. Selesai bersolek, Slavia segera mengambil tasnya dan turun karena kabarnya Gunadi akan tiba di halaman rumah tak lama lagi. Sambil menunggu, Sla
Slavia mendekat ke mobil ambulan yang di dalamnya sudah terdapat satu korban yang terbaring tak berdaya. “Apa benar ini suami Ibu?” tanya salah satu petugas medis saat Slavia datang mendekat. Dengan hati berdebar, Slavia melongokkan wajahnya untuk melihat lebih dekat korban kecelakaan itu. Hatinya semakin tertekan saat mendapati bahwa sesosok tubuh yang sedang terbaring di depannya ini memang benar Rio. “Iya ...” ucap Slavia dengan suara bergetar hebat. “Dia suami saya.” Sebenarnya tanpa melihat dari dekat pun, Slavia sudah tahu bahwa itu adalah Rio dari pakaian yang dia kenakan. “Mas Gun, tolong kamu hubungi ayah dan ibu mertua.” Slavia menyuruh saat dia turun dari mobil ambulan dan bicara dengan Gunadi yang berdiri menunggunya. “Baik, kamu tenang saja.” Slavia berdiri menunggu dengan tegang sementara Gunadi menghubungi orang tua Rio. Saat mobil ambulan akan meluncur ke rumah sakit terdekat, Slavia memutuskan untuk ikut mendampingi suaminya. “Mas Gun, tolong nanti susul aku ke
Slavia lantas menaruh foto terakhir dan sukses membuat Shara terperanjat. “Kenapa kamu menaruh foto Mas Rio di situ?” “Memangnya salah kalau foto ayah kandung ditaruh dekat dengan anak-anak kandungnya?” Shara melotot. “Anak-anak kandung ...? Anak Mas Rio dengan kamu cuma Nico!” “Coba perhatikan lagi, yang ini mamanya Luna. Bibir dan hidungnya sangat mirip sama Mas Rio.” Dengan napas yang menderu cepat, Shara mengamati foto Rio dan Lunara bergantian. Semakin dilihat, semakin kemiripan itu menjelma nyata. “Nggak ... ini nggak mungkin! Mas Rio punya anak lagi ... selain Nico?” Slavia mengangguk tenang. “Kamu bohong, Vi. Kapan kamu hamil lagi? Itu pasti anak dari laki-laki lain kan? Anak dari suami baru kamu!” “Aku belum pernah menikah lagi sampai sekarang,” kata Slavia jujur. “Seharusnya kamu berpikir, gimana ceritanya aku tinggal berjauhan sama Mas Rio, tapi masih bisa hamil anaknya?” Shara menatap Slavia dengan penuh dendam. “Aku nggak percaya ini ....” “Tanya saja sama Mas
Sebuah mobil asing ternyata sudah menunggu ketika Ardan tiba di rumah Slavia. “Itu mobilnya Pak Rio, Dan!” “Mau aku antar sampai rumah?” “Nggak usah, aku akan hadapi Pak Rio sendiri.” “Apa kamu yakin, Vi? Kalau dia menyakiti kamu gimana?” “Aku sudah mempekerjakan asisten rumah tangga, Dan. Setidaknya aku nggak benar-benar sendirian di rumah,” jawab Slavia. “Kamu pulang saja, kamu juga harus istirahat karena ada air in kamu sama Raras sibuk banget bantu aku.” Mau tak mau Ardan mengangguk. “Kalau ada apa-apa, kamu harus cepat hubungi aku atau Raras.” “Pasti, aku turun ya?” Dengan berat hati, kartun terpaksa mengganggu dan membiarkan Slavia turun dari mobilnya. “Lama sekali, sengaja?” sambut Rio datar ketika akhirnya Slavia muncul di hadapannya. “Aku kan harus jaga-jaga, takutnya kamu coba-coba menyerangku karena aku sudah melaporkan istri kamu ke polisi.” “Bisa kita bicara baik-baik?” “Oke, masuk saja ke rumahku.” Tanpa menunggu jawaban Rio, Slavia segera meninggal pergi mem
“Kenapa, Bik?” “Ada polisi di depan, Pak ....” “Polisi? Mereka cari siapa?” Rio terbelalak kaget. “Cari ibu, Pak ... Saya nggak berani bilang Bu Shara, makanya saya langsung bilang Bapak saja.” Rio mengusap wajahnya dengan kalut. Ada masalah apa lagi ini? “Selamat malam, Pak!” “Selamat malam, ada perlu apa ya Pak?” tanya Rio sopan. “Kami datang ke sini sambil membawa perintah surat penangkapan untuk Bu Shara,” jawab salah seorang petugas yang datang. “Memangnya istri saya kenapa, Pak?” “Istri Bapak ditangkap atas laporan pengayaan terhadap Bu Slavia.” Rio terperanjat kaget, terlebih ketika petugas polisi menyebut nama mantan istri keduanya. “Mas, ini kita mau ke mana?” tanya Shara ketika Rio menjemputnya di kamar. “Ada yang mau bertemu sama kamu ....” “Siapa?” Rio tidak menjawab. Bukannya dia seorang suami yang tega, justru dia sangat ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya. “Polisi? Kok mereka ada di sini sih, Mas?” Shara langsung menghentikan langkahnya s
Shara manggut-manggut, dia sangat yakin jika Slavia tidak akan seberani itu untuk melapor. Atau dia akan membuat namanya kembali viral, dan berimbas ke bisnis online yang digelutinya. “Gimana keadaan kamu, Vi?” “Ya beginilah, Ras ... Luna gimana?” “Ardan yang jemput Luna, kamu tenang saja.” Slavia menarik napas panjang. “Kamu harus dirawat ingat di sini ya?” tanya Raras. “Sebenarnya aku mau pulang, tapi tapi kepalaku pusing banget dan sama dokter diminta untuk observasi di klinik dulu sementara ....” “Atau kamu pindah ke rumah sakit saja?” “Nggak usah lah Ras, aku kan dianiaya bukan sakit kronis.” Raras menghela napas. “Tapi menurutku perbuatan mereka itu sudah sangat keterlaluan, mereka nggak Cuma mempermalukan kamu, Vi. Mereka juga menganiaya kamu, entah apa yang akan terjadi seandainya aku sama Ardan nggak datang ....” “Oh ya, kalian berdua kok bisa tahu posisiku sama apa yang aku alami?” tanya Slavia penuh rasa syukur. “Bukannya kamu yang nelepon pakai aplikasi pesan?”
Jantung Slavia berpacu dengan cepat ketika para wanita itu merundungnya baik verbal maupun fisik, dari mulai menjambak rambut, menampar wajah, dan menarik telinganya beramai-ramai. “Hentikan ini, aku nggak sepenuhnya salah!” teriak Slavia sambil menutupi wajahnya. “Banyak omong, aku viralkan kamu ya!” “Dasar pelakor hina!” Slavia berusaha melawan, tapi tentu saja dia kalah jumlah. Orang-orang mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, bahkan ada yang berusaha untuk menghentikan penganiayaan itu. “Stop, Ibu-Ibu! Ini ada apa?” “Tolong jangan main hakim sendiri!” “Anda ini kan sesama perempuan, kenapa menyakiti perempuan?” Teman-teman Shara menghentikan sejenak aksi bar-bar mereka. “Dia ini pelakor!” “Betul, dia adalah orang ketiga dalam rumah tangga teman kami!” “Haahh? Jadi dia itu pelakor?” Slavia menurunkan tangannya dan berteriak. “Bohong, itu semua fitnah!” “Wah, berani juga pelakor ini!” “Iya nih, dasar nggak punya malu!” “Aku memang bukan pelakor, istri perta
Mana bisa begitu,” tolak Shara. “Nico itu anak Mas Rio, dan aku adalah istrinya.” “Aku nggak peduli, aku ini ibu kandung Nico.” “Nggak bisa, Vi. Sesuai perjanjian, Nico harus kamu serahkan kepada Shara dan Rio untuk dirawat.” Rini menengahi. “Ibu lupa kalau perjanjian itu sudah enggak berlaku lagi?” tanya Slavia mengingatkan. “Mas Rio dan ibunya sendiri yang datang untuk bujuk aku supaya melanjutkan pernikahan itu, sedangkan uang ganti rugi yang sudah Kak Shara bayarkan juga diganti sama Mas Rio.” “Jadi kamu mau uang?” sentak Shara. “Tolong deh, bisa nggak jangan pakai teriak-teriak?” Slavia mengingatkan. “Di sini itu tempat umum, bukan tempat buat marah-marah ....” Rini mengusap tangan Shara. “Tenang.” Slavia menarik napas. “Sejak awal aku sudah bilang sama mas Rio Kalau aku cuma mau mengurus masalah hak asuh Nico, aku nggak peduli lagi sama kalian berdua. Asal aku nggak diusik, aku juga nggak akan mengusik kamu ataupun Mas Rio.” “Kamu nggak usah bohong, Vi. Buktinya kamu int
Aku mungkin menyesalkan ide kamu, tapi ... aku tidak menyesali kehadiran Nico sedikit pun.” “Kamu bikin aku sakit hati, Mas. Kamu tega ....” “Kamu sendiri tega memaksaku menduakan pernikahan kita, sampai kamu mencoba bunuh diri dan membuatku tersudut bersama Via. Ingat?” Shara mati kutu. Semua yang Rio ucapkan terasa seperti beberapa anak panah yang meluncur bersamaan dan menancap tepat di ulu hatinya. “Justru itu aku minta kamu untuk memperbaiki pernikahan kita, Mas. Aku nggak mau ada Via lagi di tengah-tengah kita, cukup Nico saja yang akan jadi pelengkap kebahagiaan ... Belum lagi anak kita nanti seandainya aku diberi kepercayaan untuk hamil anak kamu.” Rio memijat keningnya, rasa pusing kini seringkali mampir sejak dia bertemu kembali dengan Slavia dan juga bocah perempuan itu. “Mas, apa ucapan aku ada yang salah? Kok kamu diam saja?” tanya Shara khawatir. “Aku terlalu pusing dengan semua ini ....” “Oke, kita sebaiknya jangan membicarakan soal Via atau perjanjian masa lalu
“Istri satu-satunya ya, sungguh membanggakan. Akan jauh lebih membanggakan lagi kalau kamu bisa kasih keturunan sama suami kamu,” sindir Slavia tepat sasaran. “Kamu ....” “Atau jangan-jangan kamu juga sudah berhasil punya anak? Kalau begitu, kembalikan Nico sama aku. Bukankah kamu bisa merawat anak kandung kamu sendiri?” tanya Slavia pura-pura. “Mulut kamu itu ya, Vi. Pengin aku robek-robek rasanya!” Slavia tersenyum kecil. “Kamu masih nggak berubah juga ya, suka emosian.” “Diam kamu, aku sudah kasih kamu peringatan. Jangan sampai aku bikin mental kamu hancur untuk yang kedua kalinya.” Mendengar ancaman itu, Slavia seketika berdiri dan membuat Shara terperanjat kaget saat melihat sorot matanya yang tajam membunuh. “Coba saja, kamu pikir aku masih sama seperti Via yang dulu?” “Apa maksud kamu?” “Pikir saja sendiri, kamu masih bisa mikir kan?” “Jangan kurang ajar kamu!” Shara ikut berdiri dan bersiap melayangkan tamparan ke wajah Slavia, tapi tangan itu tidak pernah mendarat d
“Daripada Nico tahu dari orang lain, nanti dia malah bingung. Kasihan,” ucap Rio sembari memejamkan mata. “Kita tetap harus kasih tahu dia, Ra.” “Aku mohon pertimbangkan lagi keputusan kamu, Mas. Bukankah Via punya niat jelek untuk merampas Nico dari tangan kamu?” “Aku akan membujuknya supaya tidak melakukan hal itu.” “Membujuk gimana?” Shara menyipitkan mata. “Jangan bilang kalau kamu diam-diam menemui Via di belakang aku, ya?” “Ngapain aku harus diam-diam? Aku tidak harus minta izin kamu buat bicara sama Via kan?” tukas Rio, tampak tidak senang. “Bukan begitu juga maksud aku, Mas ....” “Aku bisa lihat kalau Via dendam sekali sama kita, seolah kita sudah melakukan kesalahan besar di masa lalu.” Rio menambahkan, membuat wajah Shara memucat. “Aku tidak habis pikir sama Via, dia benar-benar sudah berubah.” Shara menelan ludah, dia merasa harus segera berbuat sesuatu. “Terus apa rencana kamu?” “Seperti yang aku bilang tadi, aku akan minta Via untuk tidak meributkan soal hak asuh