“Terserahlah, Ras.” Ardan geleng-geleng kepala, lalu menghubungi kontak Slavia. “Sudah ngantuk, ya? Kok nguap?” Rio menatap putra semata wayangnya yang mulai terdiam, ketika itulah ponsel milik Slavia yang tergeletak di atas meja tiba-tiba berdering nyaring. Fokus Rio lantas teralihkan kepada benda pipih itu. Awalnya dia ragu, tapi akhirnya terbit rasa penasaran di hatinya untuk melihat siapa penelepon yang menghubungi Slavia. “Ardan?” Mata Rio menyipit ketika membaca sebuah nama yang tertera di layar ponsel milik istri keduanya. “Mas, ini kopinya!” Tepat saat itu, Slavia muncul dengan membawa secangkir kopi di tangannya. “Itu ponsel aku, Mas?” Rio mengangguk. “Ardan yang telepon, ada urusan apa dia?” Slavia tidak tampak gugup, reaksi yang sangat bertolak belakang dengan yang diharapkan Rio. “Pasti masalah bisnis kami,” katanya tenang sembari meletakkan secangkir kopi di atas meja. “Aku angkat dulu teleponnya.” Mau tidak mau, Rio memberikan ponselnya kepada Slavia. “Halo, Dan
Slavia menoleh dan memandang Rio yang sudah berpakaian rapi dengan rambut lebat yang dia sisir rapi sesuai permintaan khusus istrinya. “Kita kan bisa berangkat sama-sama,” ucap Slavia sambil menyisiri rambutnya. “Apalagi Nico sudah anteng ikut neneknya.” “Gunadi yang akan mengantar kamu ke lokasi,” sahut Rio tenang. “Aku masih ada sesuatu yang belum aku siapkan untuk malam ini.” “Biasanya juga teman kamu yang urus semuanya,” komentar Slavia. “Jadi kamu tidak perlu repot-repot.” “Demi kamu, itu bukan masalah.” Rio menggeleng sambil bersiap pergi. “Aku duluan.” “Hati-hati,” ucap Slavia saat memandang punggung Rio yang berjalan menjauh. Entah kenapa malam itu dia merasa ada perasaan yang aneh menggelayut di hatinya, seakan Rio pamit pergi untuk jangka waktu yang lama. “Aku sayang kamu,” lirih Slavia, tapi tentu saja Rio tidak mendengarnya. Selesai bersolek, Slavia segera mengambil tasnya dan turun karena kabarnya Gunadi akan tiba di halaman rumah tak lama lagi. Sambil menunggu, Sla
Slavia mendekat ke mobil ambulan yang di dalamnya sudah terdapat satu korban yang terbaring tak berdaya. “Apa benar ini suami Ibu?” tanya salah satu petugas medis saat Slavia datang mendekat. Dengan hati berdebar, Slavia melongokkan wajahnya untuk melihat lebih dekat korban kecelakaan itu. Hatinya semakin tertekan saat mendapati bahwa sesosok tubuh yang sedang terbaring di depannya ini memang benar Rio. “Iya ...” ucap Slavia dengan suara bergetar hebat. “Dia suami saya.” Sebenarnya tanpa melihat dari dekat pun, Slavia sudah tahu bahwa itu adalah Rio dari pakaian yang dia kenakan. “Mas Gun, tolong kamu hubungi ayah dan ibu mertua.” Slavia menyuruh saat dia turun dari mobil ambulan dan bicara dengan Gunadi yang berdiri menunggunya. “Baik, kamu tenang saja.” Slavia berdiri menunggu dengan tegang sementara Gunadi menghubungi orang tua Rio. Saat mobil ambulan akan meluncur ke rumah sakit terdekat, Slavia memutuskan untuk ikut mendampingi suaminya. “Mas Gun, tolong nanti susul aku ke
“Ibu tahu, tapi kamu juga butuh istirahat.” Ibu mertua memeluk Slavia erat. “Rio sudah ditunggu sama Shara dan orang tuanya, besok saja kamu gantian sama mereka.” “Ibu kamu benar, Vi.” Ayah mertua menimpali dari tempat duduk depan. “Malam ini kamu harus istirahat di rumah, besok kita sama-sama ke rumah sakit untuk menengok Rio.” Slavia mengusap wajahnya sendiri dengan telapak tangannya. “Apa aku diusir pulang, Yah?” tanya Slavia curiga. “Tidak ada yang mengusir kamu,” jawab ayah Rio. “Kamu pingsan tadi, akhirnya semua sepakat untuk membawa kamu pulang ke rumah kami.” Slavia terdiam, meski demikian dia tidak yakin dengan jawaban ayah mertuanya. Semalaman itu Slavia sulit untuk memejamkan matanya, bayangan terakhir Rio saat membisikkan kata sayang itu berkali-kali melintas di pikirannya. ‘Aku sayang kamu.’ Kalimat itu terus terngiang di telinganya sampai Slavia terlelap tanpa sadar karena kelelahan. Esok paginya Slavia buru-buru mengirim pesan kepada Raras begitu dia bangun tidu
Dia menarik napas sesaat sebelum melangkah masuk untuk menengok Rio.Mengenakan baju khusus dan penutup kepala, Slavia melangkah masuk dengan hati-hati. Dilihatnya Rio terbaring diam seorang diri tanpa menunjukkan tanda-tanda bahwa dia menyadari kedatangan istrinya.Slavia mengambil tangan Rio dan menaruhnya di atas telapak tangannya sendiri, dipandanginya wajah pria rupawan yang telah resmi menikahinya dua tahun yang lalu.“Aku akan setia menunggu kamu sampai kamu bangun,” ucap Slavia sambil menempelkan tangan Rio ke pipinya. “Aku janji, setelah kamu sadar nanti ... saya akan menjalankan peran sebagai istri kedua yang baik, aku nggak akan peduli sama berita-berita negatif di luaran sana ... termasuk mereka yang menyudutkan saya ... saya janji.”Rio tidak merespons apa pun yang Slavia katakan kepadanya, meskipun demikian Slavia sudah bisa bernapas lega karena kakak madu mengizinkannya bertemu dengan sang suami.“Aku sayang kamu, Mas ...” ucap Slavia lagi sambil menyeka air mata yang me
“Mas Rio, tunggu!” seru Slavia seraya berlari mengejar. “Saya ini istrinya, tolong jangan halangi saya!” Pintu tertutup, sementara tiga orang bertampang preman langsung berdiri siaga menghadang langkah Shara. Kesal dan frustrasi, dia memutuskan lewat jalan lain untuk menghalangi kepergian Rio di halaman. Sementara itu Gunadi masih sibuk mencari-cari keberadaan Shara dan tidak sadar bahwa Slavia sudah meninggalkan tempat. “Selama Mas Rio nggak menceraikan aku, jangan harap aku bisa disingkirkan.” Slavia bergumam sambil menyeret kakinya dengan sekuat tenaga, tidak dipikirkannya rasa lelah yang kini mendera fisiknya. Slavia berhenti sebentar dengan terengah-engah. Kalau saja bukan demi Rio, dia tidak akan sanggup lagi berjalan menyusulnya. Setibanya di halaman, Slavia menyaksikan Rio sudah dimasukkan ke dalam ambulan yang sedari tadi menunggu. “Mas Rio!” panggil Slavia ketika pintu ambulan menutup sepenuhnya. “Jangan pergi!” Slavia seolah merasakan pukulan keras di perutnya saat di
"Kamu hamil, Vi?" seru Raras ketika dia tiba ke rumah orang tua Rio dan Slavia menunjukkan hasil tesnya. "Selamat ya? Kamu bisa menggunakan alasan ini untuk membatalkan perceraian kamu sama Pak Rio."Slavia tersenyum kecut mendengar usul sahabatnya."Ras, Mas Rio setuju untuk cerai sama aku." Dia menjelaskan. "Aku dengar sendiri di telepon, dia bilang ... kita bercerai.""Ya ampun!" Raras terkejut. "Tapi dia belum tahu soal ini kan?"Slavia menggelengkan kepalanya."Nah, cepat kamu kasih tahu Pak Rio sekarang!" desak Raras. "Dia pasti akan membatalkan perceraian kalian.""Nggak perlu," tolak Slavia muram. "Kalau dia memang cinta sama aku, dia nggak akan memerlukan alasan apa pun untuk kembali sama aku.""Tapi Vi, kamu nggak bermaksud ... menyembunyikan kehamilan kamu ini kan?" tanya Raras ragu. Slavia mengangkat bahunya."Kamu benar, mungkin aku akan menyembunyikan kehamilan aku." Dia membenarkan. "Jadi tolong jangan bilang siapa-siapa kalau aku hamil ya, Ras?"Raras tersenyum tidak
Untunglah benturan yang terjadi tidak terlalu keras.“Maaf!” kata Slavia dan orang itu bersamaan.Slavia mendongak dan terkejut saat melihat wajahnya.“Ardan?”“Via?” ucap Ardan tidak kalah terkejut.Slavia menghindari tatapannya dan segera berlalu pergi untuk menyembunyikan perut buncitnya. Andra merasa ada yang janggal dengan fisik Slavia, sehingga dia memutuskan untuk mengejarnya.“Vi, tunggu!” Ardan meraih lengan Slavia dan membuat langkahnya terhenti. “Kamu ...?”Slavia bisa merasakan saat mata Ardan menyisirnya dari bagian perut ke bawah dengan saksama.“Kenapa kamu sendirian?” tanya Ardan saat dia dan Slavia duduk di depan ruko sambil melihat pembangunan pusat perbelanjaan yang ada di seberang jalan. “Suami kamu mana?”“Begitulah,” jawab Slavia jujur.“Apa ada masalah, kamu nggak mungkin tinggal di sini sendirian kan.” Ardan mempertanyakan. “Kok Raras nggak cerita apa-apa sama aku ....”Slavia menarik napas.“Karena aku nggak mau mantan suami dan keluarganya tahu
Slavia lantas menaruh foto terakhir dan sukses membuat Shara terperanjat. “Kenapa kamu menaruh foto Mas Rio di situ?” “Memangnya salah kalau foto ayah kandung ditaruh dekat dengan anak-anak kandungnya?” Shara melotot. “Anak-anak kandung ...? Anak Mas Rio dengan kamu cuma Nico!” “Coba perhatikan lagi, yang ini mamanya Luna. Bibir dan hidungnya sangat mirip sama Mas Rio.” Dengan napas yang menderu cepat, Shara mengamati foto Rio dan Lunara bergantian. Semakin dilihat, semakin kemiripan itu menjelma nyata. “Nggak ... ini nggak mungkin! Mas Rio punya anak lagi ... selain Nico?” Slavia mengangguk tenang. “Kamu bohong, Vi. Kapan kamu hamil lagi? Itu pasti anak dari laki-laki lain kan? Anak dari suami baru kamu!” “Aku belum pernah menikah lagi sampai sekarang,” kata Slavia jujur. “Seharusnya kamu berpikir, gimana ceritanya aku tinggal berjauhan sama Mas Rio, tapi masih bisa hamil anaknya?” Shara menatap Slavia dengan penuh dendam. “Aku nggak percaya ini ....” “Tanya saja sama Mas
Sebuah mobil asing ternyata sudah menunggu ketika Ardan tiba di rumah Slavia. “Itu mobilnya Pak Rio, Dan!” “Mau aku antar sampai rumah?” “Nggak usah, aku akan hadapi Pak Rio sendiri.” “Apa kamu yakin, Vi? Kalau dia menyakiti kamu gimana?” “Aku sudah mempekerjakan asisten rumah tangga, Dan. Setidaknya aku nggak benar-benar sendirian di rumah,” jawab Slavia. “Kamu pulang saja, kamu juga harus istirahat karena ada air in kamu sama Raras sibuk banget bantu aku.” Mau tak mau Ardan mengangguk. “Kalau ada apa-apa, kamu harus cepat hubungi aku atau Raras.” “Pasti, aku turun ya?” Dengan berat hati, kartun terpaksa mengganggu dan membiarkan Slavia turun dari mobilnya. “Lama sekali, sengaja?” sambut Rio datar ketika akhirnya Slavia muncul di hadapannya. “Aku kan harus jaga-jaga, takutnya kamu coba-coba menyerangku karena aku sudah melaporkan istri kamu ke polisi.” “Bisa kita bicara baik-baik?” “Oke, masuk saja ke rumahku.” Tanpa menunggu jawaban Rio, Slavia segera meninggal pergi mem
“Kenapa, Bik?” “Ada polisi di depan, Pak ....” “Polisi? Mereka cari siapa?” Rio terbelalak kaget. “Cari ibu, Pak ... Saya nggak berani bilang Bu Shara, makanya saya langsung bilang Bapak saja.” Rio mengusap wajahnya dengan kalut. Ada masalah apa lagi ini? “Selamat malam, Pak!” “Selamat malam, ada perlu apa ya Pak?” tanya Rio sopan. “Kami datang ke sini sambil membawa perintah surat penangkapan untuk Bu Shara,” jawab salah seorang petugas yang datang. “Memangnya istri saya kenapa, Pak?” “Istri Bapak ditangkap atas laporan pengayaan terhadap Bu Slavia.” Rio terperanjat kaget, terlebih ketika petugas polisi menyebut nama mantan istri keduanya. “Mas, ini kita mau ke mana?” tanya Shara ketika Rio menjemputnya di kamar. “Ada yang mau bertemu sama kamu ....” “Siapa?” Rio tidak menjawab. Bukannya dia seorang suami yang tega, justru dia sangat ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya. “Polisi? Kok mereka ada di sini sih, Mas?” Shara langsung menghentikan langkahnya s
Shara manggut-manggut, dia sangat yakin jika Slavia tidak akan seberani itu untuk melapor. Atau dia akan membuat namanya kembali viral, dan berimbas ke bisnis online yang digelutinya. “Gimana keadaan kamu, Vi?” “Ya beginilah, Ras ... Luna gimana?” “Ardan yang jemput Luna, kamu tenang saja.” Slavia menarik napas panjang. “Kamu harus dirawat ingat di sini ya?” tanya Raras. “Sebenarnya aku mau pulang, tapi tapi kepalaku pusing banget dan sama dokter diminta untuk observasi di klinik dulu sementara ....” “Atau kamu pindah ke rumah sakit saja?” “Nggak usah lah Ras, aku kan dianiaya bukan sakit kronis.” Raras menghela napas. “Tapi menurutku perbuatan mereka itu sudah sangat keterlaluan, mereka nggak Cuma mempermalukan kamu, Vi. Mereka juga menganiaya kamu, entah apa yang akan terjadi seandainya aku sama Ardan nggak datang ....” “Oh ya, kalian berdua kok bisa tahu posisiku sama apa yang aku alami?” tanya Slavia penuh rasa syukur. “Bukannya kamu yang nelepon pakai aplikasi pesan?”
Jantung Slavia berpacu dengan cepat ketika para wanita itu merundungnya baik verbal maupun fisik, dari mulai menjambak rambut, menampar wajah, dan menarik telinganya beramai-ramai. “Hentikan ini, aku nggak sepenuhnya salah!” teriak Slavia sambil menutupi wajahnya. “Banyak omong, aku viralkan kamu ya!” “Dasar pelakor hina!” Slavia berusaha melawan, tapi tentu saja dia kalah jumlah. Orang-orang mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, bahkan ada yang berusaha untuk menghentikan penganiayaan itu. “Stop, Ibu-Ibu! Ini ada apa?” “Tolong jangan main hakim sendiri!” “Anda ini kan sesama perempuan, kenapa menyakiti perempuan?” Teman-teman Shara menghentikan sejenak aksi bar-bar mereka. “Dia ini pelakor!” “Betul, dia adalah orang ketiga dalam rumah tangga teman kami!” “Haahh? Jadi dia itu pelakor?” Slavia menurunkan tangannya dan berteriak. “Bohong, itu semua fitnah!” “Wah, berani juga pelakor ini!” “Iya nih, dasar nggak punya malu!” “Aku memang bukan pelakor, istri perta
Mana bisa begitu,” tolak Shara. “Nico itu anak Mas Rio, dan aku adalah istrinya.” “Aku nggak peduli, aku ini ibu kandung Nico.” “Nggak bisa, Vi. Sesuai perjanjian, Nico harus kamu serahkan kepada Shara dan Rio untuk dirawat.” Rini menengahi. “Ibu lupa kalau perjanjian itu sudah enggak berlaku lagi?” tanya Slavia mengingatkan. “Mas Rio dan ibunya sendiri yang datang untuk bujuk aku supaya melanjutkan pernikahan itu, sedangkan uang ganti rugi yang sudah Kak Shara bayarkan juga diganti sama Mas Rio.” “Jadi kamu mau uang?” sentak Shara. “Tolong deh, bisa nggak jangan pakai teriak-teriak?” Slavia mengingatkan. “Di sini itu tempat umum, bukan tempat buat marah-marah ....” Rini mengusap tangan Shara. “Tenang.” Slavia menarik napas. “Sejak awal aku sudah bilang sama mas Rio Kalau aku cuma mau mengurus masalah hak asuh Nico, aku nggak peduli lagi sama kalian berdua. Asal aku nggak diusik, aku juga nggak akan mengusik kamu ataupun Mas Rio.” “Kamu nggak usah bohong, Vi. Buktinya kamu int
Aku mungkin menyesalkan ide kamu, tapi ... aku tidak menyesali kehadiran Nico sedikit pun.” “Kamu bikin aku sakit hati, Mas. Kamu tega ....” “Kamu sendiri tega memaksaku menduakan pernikahan kita, sampai kamu mencoba bunuh diri dan membuatku tersudut bersama Via. Ingat?” Shara mati kutu. Semua yang Rio ucapkan terasa seperti beberapa anak panah yang meluncur bersamaan dan menancap tepat di ulu hatinya. “Justru itu aku minta kamu untuk memperbaiki pernikahan kita, Mas. Aku nggak mau ada Via lagi di tengah-tengah kita, cukup Nico saja yang akan jadi pelengkap kebahagiaan ... Belum lagi anak kita nanti seandainya aku diberi kepercayaan untuk hamil anak kamu.” Rio memijat keningnya, rasa pusing kini seringkali mampir sejak dia bertemu kembali dengan Slavia dan juga bocah perempuan itu. “Mas, apa ucapan aku ada yang salah? Kok kamu diam saja?” tanya Shara khawatir. “Aku terlalu pusing dengan semua ini ....” “Oke, kita sebaiknya jangan membicarakan soal Via atau perjanjian masa lalu
“Istri satu-satunya ya, sungguh membanggakan. Akan jauh lebih membanggakan lagi kalau kamu bisa kasih keturunan sama suami kamu,” sindir Slavia tepat sasaran. “Kamu ....” “Atau jangan-jangan kamu juga sudah berhasil punya anak? Kalau begitu, kembalikan Nico sama aku. Bukankah kamu bisa merawat anak kandung kamu sendiri?” tanya Slavia pura-pura. “Mulut kamu itu ya, Vi. Pengin aku robek-robek rasanya!” Slavia tersenyum kecil. “Kamu masih nggak berubah juga ya, suka emosian.” “Diam kamu, aku sudah kasih kamu peringatan. Jangan sampai aku bikin mental kamu hancur untuk yang kedua kalinya.” Mendengar ancaman itu, Slavia seketika berdiri dan membuat Shara terperanjat kaget saat melihat sorot matanya yang tajam membunuh. “Coba saja, kamu pikir aku masih sama seperti Via yang dulu?” “Apa maksud kamu?” “Pikir saja sendiri, kamu masih bisa mikir kan?” “Jangan kurang ajar kamu!” Shara ikut berdiri dan bersiap melayangkan tamparan ke wajah Slavia, tapi tangan itu tidak pernah mendarat d
“Daripada Nico tahu dari orang lain, nanti dia malah bingung. Kasihan,” ucap Rio sembari memejamkan mata. “Kita tetap harus kasih tahu dia, Ra.” “Aku mohon pertimbangkan lagi keputusan kamu, Mas. Bukankah Via punya niat jelek untuk merampas Nico dari tangan kamu?” “Aku akan membujuknya supaya tidak melakukan hal itu.” “Membujuk gimana?” Shara menyipitkan mata. “Jangan bilang kalau kamu diam-diam menemui Via di belakang aku, ya?” “Ngapain aku harus diam-diam? Aku tidak harus minta izin kamu buat bicara sama Via kan?” tukas Rio, tampak tidak senang. “Bukan begitu juga maksud aku, Mas ....” “Aku bisa lihat kalau Via dendam sekali sama kita, seolah kita sudah melakukan kesalahan besar di masa lalu.” Rio menambahkan, membuat wajah Shara memucat. “Aku tidak habis pikir sama Via, dia benar-benar sudah berubah.” Shara menelan ludah, dia merasa harus segera berbuat sesuatu. “Terus apa rencana kamu?” “Seperti yang aku bilang tadi, aku akan minta Via untuk tidak meributkan soal hak asuh