"Kamu hamil, Vi?" seru Raras ketika dia tiba ke rumah orang tua Rio dan Slavia menunjukkan hasil tesnya. "Selamat ya? Kamu bisa menggunakan alasan ini untuk membatalkan perceraian kamu sama Pak Rio."Slavia tersenyum kecut mendengar usul sahabatnya."Ras, Mas Rio setuju untuk cerai sama aku." Dia menjelaskan. "Aku dengar sendiri di telepon, dia bilang ... kita bercerai.""Ya ampun!" Raras terkejut. "Tapi dia belum tahu soal ini kan?"Slavia menggelengkan kepalanya."Nah, cepat kamu kasih tahu Pak Rio sekarang!" desak Raras. "Dia pasti akan membatalkan perceraian kalian.""Nggak perlu," tolak Slavia muram. "Kalau dia memang cinta sama aku, dia nggak akan memerlukan alasan apa pun untuk kembali sama aku.""Tapi Vi, kamu nggak bermaksud ... menyembunyikan kehamilan kamu ini kan?" tanya Raras ragu. Slavia mengangkat bahunya."Kamu benar, mungkin aku akan menyembunyikan kehamilan aku." Dia membenarkan. "Jadi tolong jangan bilang siapa-siapa kalau aku hamil ya, Ras?"Raras tersenyum tidak
Untunglah benturan yang terjadi tidak terlalu keras.“Maaf!” kata Slavia dan orang itu bersamaan.Slavia mendongak dan terkejut saat melihat wajahnya.“Ardan?”“Via?” ucap Ardan tidak kalah terkejut.Slavia menghindari tatapannya dan segera berlalu pergi untuk menyembunyikan perut buncitnya. Andra merasa ada yang janggal dengan fisik Slavia, sehingga dia memutuskan untuk mengejarnya.“Vi, tunggu!” Ardan meraih lengan Slavia dan membuat langkahnya terhenti. “Kamu ...?”Slavia bisa merasakan saat mata Ardan menyisirnya dari bagian perut ke bawah dengan saksama.“Kenapa kamu sendirian?” tanya Ardan saat dia dan Slavia duduk di depan ruko sambil melihat pembangunan pusat perbelanjaan yang ada di seberang jalan. “Suami kamu mana?”“Begitulah,” jawab Slavia jujur.“Apa ada masalah, kamu nggak mungkin tinggal di sini sendirian kan.” Ardan mempertanyakan. “Kok Raras nggak cerita apa-apa sama aku ....”Slavia menarik napas.“Karena aku nggak mau mantan suami dan keluarganya tahu
Dengan penuh rasa terima kasih, Slavia menyambut kehadiran ibu itu dan taksi yang mereka tumpangi segera meluncur ke klinik. Ada suster sedang bertugas saat Slavia tiba di klinik, kebetulan beberapa bulan terakhir ini dia yang memeriksa kondisi kehamilannya. “Apa yang Ibu rasakan? Sudah mulas-mulas?” tanya suster begitu slavia dibaringkan di brankart. “Sakit,” jawab Slavia dengan wajah pucat. “Saya sudah keluar cairan merah, Sus.” Suster hapal betul jika dalam pemeriksaan kehamilannya yang terakhir, kondisi Slavia sangat siap untuk melahirkan normal. “Ibu sendirian?” tanya suster. “Suami ibu mana?” Slavia baru akan menjawab ketika dia merasakan seperti dentuman keras di perutnya. Rasa sakit merayap dari panggul ke bagian bawah. “Sakit, Sus ...” rintih Slavia dengan wajah bersimbah peluh. “Tenang ya Bu, tahan sebentar!” kata suster cepat-cepat. “Ibu akan segera dibawa ke kamar tindakan buat ...” Slavia tidak lagi mendengar apa saja yang suster ucapkan. Pikirannya teralihkan sep
“Ras, gimana?” tanya Ardan dengan wajah cemas. “Via akan segera dioperasi untuk melahirkan bayinya,” jawab Raras. “Kamu pulang saja dulu sama ibu ini, Ras. Operasinya mungkin akan berlangsung lama, dan kamu juga perlu istirahat.” Raras mengangguk setuju. “Aku pulang sama tetanggaku dulu, sekalian mandi.” Dia mengambil tasnya. “Aku titip Via ya, Dan. Kabari aku kalau ada apa-apa.” Ardan mengangguk. Raras bergegas pergi sambil mengajak tetangganya pulang ke rumah. Sepeninggal Raras, Ardan berjalan mondar-mandir di depan ruangan Slavia. Tidak ada yang dia pedulikan saat ini selain keselamatan Slavia dan bayinya. Di tempat lain, Rio sedang berada di tengah-tengah keluarga Shara yang berkumpul di ruang makan. Tidak ketinggalan si kecil Nico yang kini tumbuh semakin besar dan tampak sehat. “Mas, makanannya kok Cuma dilihat saja?” tegur Shara ketika menyaksikan Rio yang duduk terpaku di kursinya dan tidak segera menyantap makanan yang tersedia. “Iya,” sahut Rio pendek, dia sedikit t
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Raras menggendong bayi Slavia yang tertidur pulas dengan sangat hati-hati sementara Ardan yang mengantar mereka menggunakan mobilnya. Beberapa tahun kemudian .... Slavia yang sadar betul akan kesibukannya, berusaha melakukan apa saja untuk menunjang pendidikan putri semata wayangnya yang bernama Lunara. Dia tidak ingin menelantarkan putrinya selama dia bekerja, karena itu Slavia memasukkannya ke sekolah penuh waktu. Ardan kadang-kadang membantu dengan menjemput Lunara di sekolah jika Slavia belum bisa meninggalkan pekerjaannya. “Dan, sori akhir-akhir ini aku harus merepotkan kamu.” Slavia buru-buru menyambutnya saat Ardan menurunkan lunara dari mobil. “Aku harus mengikuti beberapa seminar penting ...” “Aku ngerti kok, Vi.” Ardan menganggukkan kepalanya seraya mengusap puncak kepala Lunara. “Aku sangat berterima kasih,” kata Slavia sungguh-sungguh dengan wajah lelah. “Lun, ayo bilang apa sama Om Ardan?” “Makasih Om,” ucap Lunara sambil mendonga
Lunara sudah masuk ke dalam taksi dan Slavia masih berbincang sebentar dengan Ardan yang berdiri menunggu mereka. “Bukan hak aku buat memberi tahu anak itu segalanya,” komentar Ardan. “Justru aku yang salut sama kamu, karena kamu bisa mendidik Luna tanpa perlu mengenalkan kebencian terhadap ayah yang meninggalkannya.” Slavia menganggukkan kepalanya. “Aku Cuma mau Luna jadi anak baik,” ujar Slavia. “Saat aku nggak bisa menghadirkan sosok ayah untuknya, maka aku juga nggak mau menghadirkan sedikitpun kebencian di hati Luna.” Ardan tersenyum mendengarnya. “Pulanglah, kamu kelihatan capek.” Dia berkata sambil membuka pintu taksinya agar Slavia segera masuk. Begitu taksi yang membawa Lunara dan Slavia berlalu, Ardan berbalik untuk kembali ke dalam kantor yang dirintis olehnya bersama Raras dan Slavia. “Kamu perhatian sekali ya, sama Via dan anaknya?” komentar Raras yang sudah berdiri di depan pintu ruangannya saat Ardan lewat. “Aku lihat semua perlakuan kamu dari ruanganku tadi.” Ar
Rio berjalan pelan menuju kantor bimbel tempat putranya akan mengikuti tambahan pelajaran. “Bimbingan akan dimulai minggu depan, Pak. Jadi silakan antar jemput Nico sesuai jadwal,” kata pengurus bimbel sambil menyerahkan satu lembar kertas kepada Rio. “Para pengajar di sini akan berusaha untuk membuat Niko dan murid lainnya betah untuk belajar.” “Baiklah, saya akan antar anak saya ke sini minggu depan,” timpal Rio seraya mengangguk singkat, setelah itu dia mengajak Nico untuk pergi meninggalkan bimbel. Ponsel Rio tak hentinya berdering sampai Rio masuk ke mobilnya. “Halo?” “Yo, ada masalah besar.” Gunadi langsung melapor begitu Rio menjawab panggilannya. “Masalah apa?” tanya Rio sambil memutar kemudi mobilnya. “Aku sudah berusaha cari-cari Via ke manapun,” jawab Gunadi dengan nada lesu. “Tapi karena sangat minimnya informasi yang kamu kasih ke aku, jelas aja keberadaan Via nggak akan bisa terlacak.” Rio berusaha tetap menyetir dengan fokus sementara pikirannya memproses informa
Slavia memegang keningnya. “Kamu pasti bohong kan, Ras? Masa Ardan bilang begitu sama kamu?” “Nggak secara langsung sih,” elak Raras. “Nah, terus? Jangan sok tahu deh kamu, Ras. Bikin aku malu saja, nanti dikira aku janda gatal lagi ....” “Siapa yang berani bilang kamu kayak begini, aku sumpal mulutnya pakai kain pel!” Raras berkata menggebu-gebu. “Enak saja, nggak semua janda begitu, Vi. Tergantung orangnya, kamu kan alim.” Slavia menahan tawa mendengar ucapan Raras. “Kalau aku baik, nggak mungkin aku diceraikan begitu saja sama Pak Rio.” Raras mendadak memukul keningnya, seolah mengingat sesuatu hal. “Soal Luna, apa kamu nggak mau kasih tahu Pak Rio?” “Ah, itu ....” Slavia tertegun mendengar pertanyaan Raras. “Membesarkan seorang anak sendirian itu nggak mudah lho, Vi. Setidaknya kalau kamu cerita, Pak Rio wajib untuk ikut bertanggung jawab soal nafkah Luna.” Slavia menghela napas panjang. “Entahlah, Ras. Untuk saat ini aku nggak yakin, rasa sakit hatiku masih terlalu dala