“Itu kamu tahu! Kenapa susah sekali bagi kamu untuk menceraikan Via?” Rio memilih untuk tidak menjawab.Suasana di kediaman Rio berubah menjadi tidak enak sejak kedatangan ibu Shara yang memutuskan untuk menginap selama beberapa hari. “Mas, apa nggak sebaiknya aku numpang di rumah ibu kamu? Kira-kira boleh nggak ya?” Slavia mengutarakan keinginannya karena dia sudah sangat merasa tidak nyaman dengan segala macam cibiran yang terlontar dari mulut wanita yang sudah berjasa membesarkannya itu. “Benar juga, kenapa aku tidak kepikiran sama sekali!” celetuk Rio sembari menelepon ibunya. “Tunggu sebentar ya, Vi?” Slavia mengangguk, bersyukur karena Rio mau mendengarkan segala keluh kesahnya tanpa menganggapnya labil. Bukan dia tidak menghargai kedatangan ibu Shara, hanya saja cibiran pedas yang terlontar dari bibirnya sering kali melukai hati seperti duri tajam yang menusuk. “Ibuku setuju kamu tinggal di rumah, Vi.” Rio mengabarkan beberapa saat kemudian. “Nico gimana, Mas? Boleh ngga
“Ya sudah, ibu bikin minum dulu.” Slavia menarik napas lega setelah ibu mertuanya berlalu pergi dari hadapan mereka. “Setidaknya ibu kamu menerima kedatangan aku, Mas.” “Tentu saja, ibu mendukung keputusan aku untuk meneruskan pernikahan sama kamu. Tanpa ibuku, mungkin talak itu betul-betul aku ucapkan terhadap kamu.” “Oh ya? Kok bisa, Mas?” Pandangan Rio menerawang jauh, dia teringat bagaimana detik-detik ketika dia hampir saja menceraikan Slavia sesuai perjanjian yang telah mereka sepakati. “Kamu ingat saat aku mau mengabulkan permintaan cerai kamu?” tanya Rio lambat-lambat. “Tentu saja ingat.” “Saat aku hampir mengucap talak, tiba-tiba ibu datang dan memberi tahu sebuah rahasia kalau kamu bukanlah adik kandung Shara.” Rio meneruskan ucapannya. “Serius, Mas? Kok ibu mertua bisa tahu?” “Aku tidak paham soal itu, karena ibu fokus mencegahku supaya tidak buru-buru mentalak kamu. Mungkin ibu juga merasa kasihan karena Nico harus terpisah sama kamu, sedangkan kamu adalah ibu ka
“Halo, Vi?” “Dan, maaf aku mendadak telepon. Bisa aku minta tolong?” Ardan yang selama ini menyimpan kekaguman tersembunyi terhadap Slavia, tentu saja sangat senang ketika dirinya dikontak tiba-tiba. *** Keesokan harinya di rumah Rio .... Shara menggeliat sebentar saat menyadari bahwa malam sudah berganti dengan pagi hari yang dingin. “Maaf Mas ...” lirih Shara sambil menyibakkan selimutnya perlahan. “Aku terlambat bangun tadi ...” “Tidak apa-apa, Ra.” Rio menganggukkan kepalanya. “Aku sudah ambil pakaianku di lemari.” Shara mengernyitkan keningnya sambil berjalan sempoyongan. “Memangnya kamu sudah mandi?” tanya Shara tidak yakin. “Kamu tidak lihat penampilan aku?” tanya Rio balik sambil mengenakan pakaian lengkap. Mau tak mau Shara tersenyum saat mendengar ucapan yang dilontarkan suaminya. Dia harus bersusah payah menyeret kakinya menuju dapur untuk menyiapkan sarapan Rio. Pagi itu Shara merasakan kepalanya yang begitu berat, sehingga dia harus bersusah payah untuk menyend
“Aku akan bawa Shara ke periksa, Bu.” “Ini pasti gara-gara dia tidak kuat dimadu, kamu jahat!” Rio tidak membantah. “Sudah, Bu ... jangan marah-marah ... sama Mas Rio ...” ucap Shara pelan tidak bertenaga. Rini melengos. Sejak Rio memutuskan untuk melanjutkan pernikahannya dengan Slavia, dia jadi begitu sangat benci kepada menantunya itu. “Lihat akibat perbuatan kamu itu!” sinis Rini lagi. Rio terkejut saat menyadari kalau keadaan Shara sampai sebegini parahnya. “Aku akan antar kamu ke rumah sakit saja!” seru Rio khawatir sambil meletakkan ponselnya di atas meja. “Nggak usah, Mas ...” tolak Shara pelan sambil mengudap bibirnya dengan punggung tangan. “Aku minum obat saja ... pasti sembuh ...” “Bagaimana kamu mau minum obat kalau menelan sesuatu saja tidak bisa?” sergah Rio sambil meraih beberapa helai tisu untuk membersihkan bibir Shara. “Kamu harus secepatnya dibawa ke rumah sakit, setidaknya di sana kamu akan mendapatkan penanganan terbaik.” Shara membiarkan saja Rio member
“Apa mataku bengkak sekali, bu?” tanya Shara perlahan. “Kepalaku rasanya berat, dan mataku seperti ada yang mengganjal.” Rini duduk lagi dan memandang putrinya. “Apa gara-gara Rio lagi?” tanya Rini ingin tahu. “Ibu sempat bertemu sama dia saat gantian jaga di sini.” Shara menggelengkan kepala. “Mas Rio nggak ngapa-ngapain kok, Bu ...” jawab Shara jujur. “Aku sendiri ... yang masih sedih ... karena pernikahan kami.” Rini menarik napas panjang. “Ibu pikir karena Rio lagi,” komentarnya. “Ra, apa nggak sebaiknya kamu pulang ikut ibu ke rumah? Di sana kamu sendirian, tidak ada yang menemani kamu.” “Di sana jauh lebih nyaman daripada rumah, Bu.” Shara menggelengkan kepala. “Via masih tinggal serumah sama mertua, kan? Aku justru bisa sama Mas Rio sepenuhnya.” Rini mengusap bahu Shara. “Ibu juga bisa menjaga kamu,” komentarnya. Shara tersenyum lemah, Rini ikut tersenyum melihatnya. “Kalau Rio sampai melepaskan kamu, maka ibu akan maju menghadapinya.” Dia berjanji. Saat itu seorang
“Kak Shara! Sudah sehat, Kak?” sapa Slavia yang kebetulan sedang menemani Nico bermain di ruang tamu. “Iya ....” “Pertanyaan kamu ini aneh sekali, Vi. Kalau kakak kamu belum sehat, mana mungkin dia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit?” sahut Rini tidak ramah. Namun, Slavia tetap menanggapinya dengan tersenyum sementara Rio justru yang merasa sedikit tersinggung dengan kata-kata yang dilontarkan ibu mertuanya. “Aku senang mamanya Nico sudah sehat,” ucap Slavia dengan tulus, tapi tidak terlalu mendapatkan respons yang bagus dari kakaknya. “Eh, ada Shara! Bu Besan juga!” Ibu Rio muncul dan menyambut kedatangan mereka berdua. “Mari ke dapur, kita minum teh sama-sama!” Shara tersenyum, sementara Rini langsung menggandeng lengannya untuk mengikuti ibu Rio yang sudah lebih dulu berjalan ke arah dapur. “Anak papa lagi apa?” sapa Rio sambil mengangkat tubuh mungil Nico dan menggendongnya. “Paaaa ...” celoteh Nico menggerak-gerakkan kakinya. “Paaa ....” “Nico mau turun itu, Mas!
“Cuma dengan cara mengalah, aku bisa ... sedikit membalas apa yang ... sudah Kak Shara berikan selama ini ... buat aku dan hidupku ...” Slavia terisak pelan. Rio tertegun. “Dia sudah tulus bantu aku ... supaya tumbuh dengan pendidikan yang cukup tinggi ... tapi dia terpaksa ... dia terpaksa berbagi ... karena keadaan yang membuat kami ... begini ....” Hati Rio mencelos rasanya saat melihat Slavia yang terlihat tersiksa, sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan seumur hidupnya. “Aku bisa mengerti perasaan kamu,” kata Rio pelan. “Tapi kamu juga harus tahu kalau aku selalu berada dalam posisi yang sangat sulit.” Slavia buru-buru menghapus air matanya. “Mungkin semua ini tidak perlu terjadi, Mas ....” “Apa maksud kamu?” “Yang aku inginkan saat itu sebenarnya adalah ... cukup diberi akses untuk bertemu Nico secara bebas,” ucap Slavia dengan suara bergetar. “Sama sekali nggak ada niat di hati aku untuk ... menjadi orang ketiga untuk seterusnya.” Rio menghela napas, tatapannya terarah
Rio yang baru saja berpakaian, terperanjat ketika pintu kamar mandinya digedor-gedor. “Ada apa, Bu?” “Itu, Shara nggak mau minum obat!” lapor Rini tergesa-gesa. “Iya Bu, sebentar!” Rini memasang wajah cemas ketika Rio membuka pintu kamar mandi. “Coba kamu yang bujuk, ya? Saya sudah berusaha, tapi istri kamu itu yang memang sudah nggak mau minum obat ....” Rio mengangguk. “Akan aku coba, Bu.” Rini tersenyum lega dan segera meninggalkan kamar, sementara Shara mengangkat sebelah alis ke arah ibunya. “Ra, kamu harus minum obat.” “Sudah kok, Mas.” “Sudah dari mana? Ibu sampai panik begitu, kamu sendiri harus minum obat teratur biar cepat sembuh.” Shara bingung, jelas-jelas tadi ibunya sendiri yang menyiapkan obat. “Memangnya ibu bilang apa ... sama kamu, Mas?” tanya Shara lirih dengan ekspresi lemas. “Kamu tidak mau minum obat, aku yang siapkan ya?” “Tapi, Mas ....” “Kenapa?” “Aku sudah minum ...” ucap Shara, dia gemas sekali dengan keisengan Rini yang mengatakan kepada Rio