“Aku akan bawa Shara ke periksa, Bu.” “Ini pasti gara-gara dia tidak kuat dimadu, kamu jahat!” Rio tidak membantah. “Sudah, Bu ... jangan marah-marah ... sama Mas Rio ...” ucap Shara pelan tidak bertenaga. Rini melengos. Sejak Rio memutuskan untuk melanjutkan pernikahannya dengan Slavia, dia jadi begitu sangat benci kepada menantunya itu. “Lihat akibat perbuatan kamu itu!” sinis Rini lagi. Rio terkejut saat menyadari kalau keadaan Shara sampai sebegini parahnya. “Aku akan antar kamu ke rumah sakit saja!” seru Rio khawatir sambil meletakkan ponselnya di atas meja. “Nggak usah, Mas ...” tolak Shara pelan sambil mengudap bibirnya dengan punggung tangan. “Aku minum obat saja ... pasti sembuh ...” “Bagaimana kamu mau minum obat kalau menelan sesuatu saja tidak bisa?” sergah Rio sambil meraih beberapa helai tisu untuk membersihkan bibir Shara. “Kamu harus secepatnya dibawa ke rumah sakit, setidaknya di sana kamu akan mendapatkan penanganan terbaik.” Shara membiarkan saja Rio member
“Apa mataku bengkak sekali, bu?” tanya Shara perlahan. “Kepalaku rasanya berat, dan mataku seperti ada yang mengganjal.” Rini duduk lagi dan memandang putrinya. “Apa gara-gara Rio lagi?” tanya Rini ingin tahu. “Ibu sempat bertemu sama dia saat gantian jaga di sini.” Shara menggelengkan kepala. “Mas Rio nggak ngapa-ngapain kok, Bu ...” jawab Shara jujur. “Aku sendiri ... yang masih sedih ... karena pernikahan kami.” Rini menarik napas panjang. “Ibu pikir karena Rio lagi,” komentarnya. “Ra, apa nggak sebaiknya kamu pulang ikut ibu ke rumah? Di sana kamu sendirian, tidak ada yang menemani kamu.” “Di sana jauh lebih nyaman daripada rumah, Bu.” Shara menggelengkan kepala. “Via masih tinggal serumah sama mertua, kan? Aku justru bisa sama Mas Rio sepenuhnya.” Rini mengusap bahu Shara. “Ibu juga bisa menjaga kamu,” komentarnya. Shara tersenyum lemah, Rini ikut tersenyum melihatnya. “Kalau Rio sampai melepaskan kamu, maka ibu akan maju menghadapinya.” Dia berjanji. Saat itu seorang
“Kak Shara! Sudah sehat, Kak?” sapa Slavia yang kebetulan sedang menemani Nico bermain di ruang tamu. “Iya ....” “Pertanyaan kamu ini aneh sekali, Vi. Kalau kakak kamu belum sehat, mana mungkin dia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit?” sahut Rini tidak ramah. Namun, Slavia tetap menanggapinya dengan tersenyum sementara Rio justru yang merasa sedikit tersinggung dengan kata-kata yang dilontarkan ibu mertuanya. “Aku senang mamanya Nico sudah sehat,” ucap Slavia dengan tulus, tapi tidak terlalu mendapatkan respons yang bagus dari kakaknya. “Eh, ada Shara! Bu Besan juga!” Ibu Rio muncul dan menyambut kedatangan mereka berdua. “Mari ke dapur, kita minum teh sama-sama!” Shara tersenyum, sementara Rini langsung menggandeng lengannya untuk mengikuti ibu Rio yang sudah lebih dulu berjalan ke arah dapur. “Anak papa lagi apa?” sapa Rio sambil mengangkat tubuh mungil Nico dan menggendongnya. “Paaaa ...” celoteh Nico menggerak-gerakkan kakinya. “Paaa ....” “Nico mau turun itu, Mas!
“Cuma dengan cara mengalah, aku bisa ... sedikit membalas apa yang ... sudah Kak Shara berikan selama ini ... buat aku dan hidupku ...” Slavia terisak pelan. Rio tertegun. “Dia sudah tulus bantu aku ... supaya tumbuh dengan pendidikan yang cukup tinggi ... tapi dia terpaksa ... dia terpaksa berbagi ... karena keadaan yang membuat kami ... begini ....” Hati Rio mencelos rasanya saat melihat Slavia yang terlihat tersiksa, sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan seumur hidupnya. “Aku bisa mengerti perasaan kamu,” kata Rio pelan. “Tapi kamu juga harus tahu kalau aku selalu berada dalam posisi yang sangat sulit.” Slavia buru-buru menghapus air matanya. “Mungkin semua ini tidak perlu terjadi, Mas ....” “Apa maksud kamu?” “Yang aku inginkan saat itu sebenarnya adalah ... cukup diberi akses untuk bertemu Nico secara bebas,” ucap Slavia dengan suara bergetar. “Sama sekali nggak ada niat di hati aku untuk ... menjadi orang ketiga untuk seterusnya.” Rio menghela napas, tatapannya terarah
Rio yang baru saja berpakaian, terperanjat ketika pintu kamar mandinya digedor-gedor. “Ada apa, Bu?” “Itu, Shara nggak mau minum obat!” lapor Rini tergesa-gesa. “Iya Bu, sebentar!” Rini memasang wajah cemas ketika Rio membuka pintu kamar mandi. “Coba kamu yang bujuk, ya? Saya sudah berusaha, tapi istri kamu itu yang memang sudah nggak mau minum obat ....” Rio mengangguk. “Akan aku coba, Bu.” Rini tersenyum lega dan segera meninggalkan kamar, sementara Shara mengangkat sebelah alis ke arah ibunya. “Ra, kamu harus minum obat.” “Sudah kok, Mas.” “Sudah dari mana? Ibu sampai panik begitu, kamu sendiri harus minum obat teratur biar cepat sembuh.” Shara bingung, jelas-jelas tadi ibunya sendiri yang menyiapkan obat. “Memangnya ibu bilang apa ... sama kamu, Mas?” tanya Shara lirih dengan ekspresi lemas. “Kamu tidak mau minum obat, aku yang siapkan ya?” “Tapi, Mas ....” “Kenapa?” “Aku sudah minum ...” ucap Shara, dia gemas sekali dengan keisengan Rini yang mengatakan kepada Rio
Slavia menarik napas lega. “Soal pelanggan yang kabur gara-gara berita miring itu ... gimana, Dan? Apa bisa dibujuk lagi?” “Aku nggak bisa menjanjikan apa pun, Vi. Fokus kita adalah memasarkan produk jualan kamu dengan gencar, nanti juga dengan sendirinya konsumen akan menilai bahwa mutu sebuah produk yang dijual nggak ada hubungannya dengan masalah pribadi pemilik toko.” “Oke, aku paham. Tolong kamu hubungi Raras ya, aku agak kerepotan karena anakku habis demam ....” “Vi?” “Kenapa, Dan?” “Kamu ... betul-betul sudah punya suami dan anak, ya?” Slavia tertegun. “Maaf, aku cuma tidak mau termakan sama berita di luaran sana.” “Oh, nggak apa-apa kok. Tapi ... nggak semuanya salah sih, Dan. Aku memang sudah menikah dan punya anak ....” “Tapi kenapa harus jadi istri kedua, Vi?” “Karena itu adalah paksaan dari istri pertama, Dan. Jadi bukan keinginan aku untuk jadi yang kedua, jadi ... agak nggak adil kalau aku terus dihujat karena mereka nggak tahu cerita yang sebenarnya.” Ardan m
“Ibu betul, ya sudah. Biarkan saja Mas Rio istirahat sampai kondisinya betul-betul pulih, jangan sampai dia dengar percakapan kita dan jadi salah paham....” “Baiklah, kalau begitu Ibu turun dulu ke dapur.” Shara mengangguk dan meletakkan obat-obatan juga vitamin yang tadi diberikan Rini kepadanya. “Aku harus siapkan untuk Mas Rio dulu, jadi bisa langsung minum setelah bangun tidur nanti.” Shara menatap pria yang terbaring di dekatnya itu, rasa memiliki sedang berkobar hebat di dadanya. Kira-kira satu setengah tahun yang lalu, Rio adalah suaminya. Hanya suaminya, sebelum Slavia hadir di tengah-tengah mereka. Dan ironisnya, dialah yang menghadirkan istri kedua untuk suaminya itu. “Saat itu aku terlalu bodoh, Mas ... Bisa-bisanya aku punya ide gila untuk memaksa kamu buat menikah lagi, sama adikku sendiri ... Aku memang sudah memperalat kalian berdua supaya mau menikah demi memenuhi ambisi besar aku, egois kah jika sekarang aku menginginkan kamu kembali seutuhnya? Rio tetap berge
“Aku mau banget membantu, Bu. Tapi sayangnya kondisi aku juga sedang nggak memungkinkan ....” “Jangan dulu, kamu harus fokus untuk sembuh.” Shara mengangguk saja mendengar ucapan ibu mertuanya. “Aku pulang dulu,” pamit Rio kepada Shara, yang disambut dengan anggukan kepala. “Kapan-kapan ke sini lagi, Rio. Tempat kamu kan memang di sini sama Shara,” ujar Rini. “Iya, Bu. Aku akan tetap menggilir jadwal seperti biasa, aku pergi dulu.” Rini mengangguk dan ibu Rio ikut berlalu pergi bersama putranya. Setibanya di rumah, Rio langsung mendatangi kamar untuk bertemu dengan Nico yang sudah kembali sehat. Disapanya Slavia yang baru saja memberikan susu kepada putra mereka. “Vi, maaf ....” “Tumben pulang, Mas?” Slavia merespons dengan senyuman. Jujur, Rio justru merasa aneh dengan respons Slavia yang tidak tampak marah atau kecewa karena sudah meninggalkannya selama berhari-hari. “Paaahhh! Paaa ...” Ocehan Nico seketika mengalihkan perhatian mereka berdua. “Anak papa!” Rio langsung m