“Ya sudah, ibu bikin minum dulu.” Slavia menarik napas lega setelah ibu mertuanya berlalu pergi dari hadapan mereka. “Setidaknya ibu kamu menerima kedatangan aku, Mas.” “Tentu saja, ibu mendukung keputusan aku untuk meneruskan pernikahan sama kamu. Tanpa ibuku, mungkin talak itu betul-betul aku ucapkan terhadap kamu.” “Oh ya? Kok bisa, Mas?” Pandangan Rio menerawang jauh, dia teringat bagaimana detik-detik ketika dia hampir saja menceraikan Slavia sesuai perjanjian yang telah mereka sepakati. “Kamu ingat saat aku mau mengabulkan permintaan cerai kamu?” tanya Rio lambat-lambat. “Tentu saja ingat.” “Saat aku hampir mengucap talak, tiba-tiba ibu datang dan memberi tahu sebuah rahasia kalau kamu bukanlah adik kandung Shara.” Rio meneruskan ucapannya. “Serius, Mas? Kok ibu mertua bisa tahu?” “Aku tidak paham soal itu, karena ibu fokus mencegahku supaya tidak buru-buru mentalak kamu. Mungkin ibu juga merasa kasihan karena Nico harus terpisah sama kamu, sedangkan kamu adalah ibu ka
“Halo, Vi?” “Dan, maaf aku mendadak telepon. Bisa aku minta tolong?” Ardan yang selama ini menyimpan kekaguman tersembunyi terhadap Slavia, tentu saja sangat senang ketika dirinya dikontak tiba-tiba. *** Keesokan harinya di rumah Rio .... Shara menggeliat sebentar saat menyadari bahwa malam sudah berganti dengan pagi hari yang dingin. “Maaf Mas ...” lirih Shara sambil menyibakkan selimutnya perlahan. “Aku terlambat bangun tadi ...” “Tidak apa-apa, Ra.” Rio menganggukkan kepalanya. “Aku sudah ambil pakaianku di lemari.” Shara mengernyitkan keningnya sambil berjalan sempoyongan. “Memangnya kamu sudah mandi?” tanya Shara tidak yakin. “Kamu tidak lihat penampilan aku?” tanya Rio balik sambil mengenakan pakaian lengkap. Mau tak mau Shara tersenyum saat mendengar ucapan yang dilontarkan suaminya. Dia harus bersusah payah menyeret kakinya menuju dapur untuk menyiapkan sarapan Rio. Pagi itu Shara merasakan kepalanya yang begitu berat, sehingga dia harus bersusah payah untuk menyend
“Aku akan bawa Shara ke periksa, Bu.” “Ini pasti gara-gara dia tidak kuat dimadu, kamu jahat!” Rio tidak membantah. “Sudah, Bu ... jangan marah-marah ... sama Mas Rio ...” ucap Shara pelan tidak bertenaga. Rini melengos. Sejak Rio memutuskan untuk melanjutkan pernikahannya dengan Slavia, dia jadi begitu sangat benci kepada menantunya itu. “Lihat akibat perbuatan kamu itu!” sinis Rini lagi. Rio terkejut saat menyadari kalau keadaan Shara sampai sebegini parahnya. “Aku akan antar kamu ke rumah sakit saja!” seru Rio khawatir sambil meletakkan ponselnya di atas meja. “Nggak usah, Mas ...” tolak Shara pelan sambil mengudap bibirnya dengan punggung tangan. “Aku minum obat saja ... pasti sembuh ...” “Bagaimana kamu mau minum obat kalau menelan sesuatu saja tidak bisa?” sergah Rio sambil meraih beberapa helai tisu untuk membersihkan bibir Shara. “Kamu harus secepatnya dibawa ke rumah sakit, setidaknya di sana kamu akan mendapatkan penanganan terbaik.” Shara membiarkan saja Rio member
“Apa mataku bengkak sekali, bu?” tanya Shara perlahan. “Kepalaku rasanya berat, dan mataku seperti ada yang mengganjal.” Rini duduk lagi dan memandang putrinya. “Apa gara-gara Rio lagi?” tanya Rini ingin tahu. “Ibu sempat bertemu sama dia saat gantian jaga di sini.” Shara menggelengkan kepala. “Mas Rio nggak ngapa-ngapain kok, Bu ...” jawab Shara jujur. “Aku sendiri ... yang masih sedih ... karena pernikahan kami.” Rini menarik napas panjang. “Ibu pikir karena Rio lagi,” komentarnya. “Ra, apa nggak sebaiknya kamu pulang ikut ibu ke rumah? Di sana kamu sendirian, tidak ada yang menemani kamu.” “Di sana jauh lebih nyaman daripada rumah, Bu.” Shara menggelengkan kepala. “Via masih tinggal serumah sama mertua, kan? Aku justru bisa sama Mas Rio sepenuhnya.” Rini mengusap bahu Shara. “Ibu juga bisa menjaga kamu,” komentarnya. Shara tersenyum lemah, Rini ikut tersenyum melihatnya. “Kalau Rio sampai melepaskan kamu, maka ibu akan maju menghadapinya.” Dia berjanji. Saat itu seorang
“Kak Shara! Sudah sehat, Kak?” sapa Slavia yang kebetulan sedang menemani Nico bermain di ruang tamu. “Iya ....” “Pertanyaan kamu ini aneh sekali, Vi. Kalau kakak kamu belum sehat, mana mungkin dia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit?” sahut Rini tidak ramah. Namun, Slavia tetap menanggapinya dengan tersenyum sementara Rio justru yang merasa sedikit tersinggung dengan kata-kata yang dilontarkan ibu mertuanya. “Aku senang mamanya Nico sudah sehat,” ucap Slavia dengan tulus, tapi tidak terlalu mendapatkan respons yang bagus dari kakaknya. “Eh, ada Shara! Bu Besan juga!” Ibu Rio muncul dan menyambut kedatangan mereka berdua. “Mari ke dapur, kita minum teh sama-sama!” Shara tersenyum, sementara Rini langsung menggandeng lengannya untuk mengikuti ibu Rio yang sudah lebih dulu berjalan ke arah dapur. “Anak papa lagi apa?” sapa Rio sambil mengangkat tubuh mungil Nico dan menggendongnya. “Paaaa ...” celoteh Nico menggerak-gerakkan kakinya. “Paaa ....” “Nico mau turun itu, Mas!
“Cuma dengan cara mengalah, aku bisa ... sedikit membalas apa yang ... sudah Kak Shara berikan selama ini ... buat aku dan hidupku ...” Slavia terisak pelan. Rio tertegun. “Dia sudah tulus bantu aku ... supaya tumbuh dengan pendidikan yang cukup tinggi ... tapi dia terpaksa ... dia terpaksa berbagi ... karena keadaan yang membuat kami ... begini ....” Hati Rio mencelos rasanya saat melihat Slavia yang terlihat tersiksa, sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan seumur hidupnya. “Aku bisa mengerti perasaan kamu,” kata Rio pelan. “Tapi kamu juga harus tahu kalau aku selalu berada dalam posisi yang sangat sulit.” Slavia buru-buru menghapus air matanya. “Mungkin semua ini tidak perlu terjadi, Mas ....” “Apa maksud kamu?” “Yang aku inginkan saat itu sebenarnya adalah ... cukup diberi akses untuk bertemu Nico secara bebas,” ucap Slavia dengan suara bergetar. “Sama sekali nggak ada niat di hati aku untuk ... menjadi orang ketiga untuk seterusnya.” Rio menghela napas, tatapannya terarah
Rio yang baru saja berpakaian, terperanjat ketika pintu kamar mandinya digedor-gedor. “Ada apa, Bu?” “Itu, Shara nggak mau minum obat!” lapor Rini tergesa-gesa. “Iya Bu, sebentar!” Rini memasang wajah cemas ketika Rio membuka pintu kamar mandi. “Coba kamu yang bujuk, ya? Saya sudah berusaha, tapi istri kamu itu yang memang sudah nggak mau minum obat ....” Rio mengangguk. “Akan aku coba, Bu.” Rini tersenyum lega dan segera meninggalkan kamar, sementara Shara mengangkat sebelah alis ke arah ibunya. “Ra, kamu harus minum obat.” “Sudah kok, Mas.” “Sudah dari mana? Ibu sampai panik begitu, kamu sendiri harus minum obat teratur biar cepat sembuh.” Shara bingung, jelas-jelas tadi ibunya sendiri yang menyiapkan obat. “Memangnya ibu bilang apa ... sama kamu, Mas?” tanya Shara lirih dengan ekspresi lemas. “Kamu tidak mau minum obat, aku yang siapkan ya?” “Tapi, Mas ....” “Kenapa?” “Aku sudah minum ...” ucap Shara, dia gemas sekali dengan keisengan Rini yang mengatakan kepada Rio
Slavia menarik napas lega. “Soal pelanggan yang kabur gara-gara berita miring itu ... gimana, Dan? Apa bisa dibujuk lagi?” “Aku nggak bisa menjanjikan apa pun, Vi. Fokus kita adalah memasarkan produk jualan kamu dengan gencar, nanti juga dengan sendirinya konsumen akan menilai bahwa mutu sebuah produk yang dijual nggak ada hubungannya dengan masalah pribadi pemilik toko.” “Oke, aku paham. Tolong kamu hubungi Raras ya, aku agak kerepotan karena anakku habis demam ....” “Vi?” “Kenapa, Dan?” “Kamu ... betul-betul sudah punya suami dan anak, ya?” Slavia tertegun. “Maaf, aku cuma tidak mau termakan sama berita di luaran sana.” “Oh, nggak apa-apa kok. Tapi ... nggak semuanya salah sih, Dan. Aku memang sudah menikah dan punya anak ....” “Tapi kenapa harus jadi istri kedua, Vi?” “Karena itu adalah paksaan dari istri pertama, Dan. Jadi bukan keinginan aku untuk jadi yang kedua, jadi ... agak nggak adil kalau aku terus dihujat karena mereka nggak tahu cerita yang sebenarnya.” Ardan m
Slavia lantas menaruh foto terakhir dan sukses membuat Shara terperanjat. “Kenapa kamu menaruh foto Mas Rio di situ?” “Memangnya salah kalau foto ayah kandung ditaruh dekat dengan anak-anak kandungnya?” Shara melotot. “Anak-anak kandung ...? Anak Mas Rio dengan kamu cuma Nico!” “Coba perhatikan lagi, yang ini mamanya Luna. Bibir dan hidungnya sangat mirip sama Mas Rio.” Dengan napas yang menderu cepat, Shara mengamati foto Rio dan Lunara bergantian. Semakin dilihat, semakin kemiripan itu menjelma nyata. “Nggak ... ini nggak mungkin! Mas Rio punya anak lagi ... selain Nico?” Slavia mengangguk tenang. “Kamu bohong, Vi. Kapan kamu hamil lagi? Itu pasti anak dari laki-laki lain kan? Anak dari suami baru kamu!” “Aku belum pernah menikah lagi sampai sekarang,” kata Slavia jujur. “Seharusnya kamu berpikir, gimana ceritanya aku tinggal berjauhan sama Mas Rio, tapi masih bisa hamil anaknya?” Shara menatap Slavia dengan penuh dendam. “Aku nggak percaya ini ....” “Tanya saja sama Mas
Sebuah mobil asing ternyata sudah menunggu ketika Ardan tiba di rumah Slavia. “Itu mobilnya Pak Rio, Dan!” “Mau aku antar sampai rumah?” “Nggak usah, aku akan hadapi Pak Rio sendiri.” “Apa kamu yakin, Vi? Kalau dia menyakiti kamu gimana?” “Aku sudah mempekerjakan asisten rumah tangga, Dan. Setidaknya aku nggak benar-benar sendirian di rumah,” jawab Slavia. “Kamu pulang saja, kamu juga harus istirahat karena ada air in kamu sama Raras sibuk banget bantu aku.” Mau tak mau Ardan mengangguk. “Kalau ada apa-apa, kamu harus cepat hubungi aku atau Raras.” “Pasti, aku turun ya?” Dengan berat hati, kartun terpaksa mengganggu dan membiarkan Slavia turun dari mobilnya. “Lama sekali, sengaja?” sambut Rio datar ketika akhirnya Slavia muncul di hadapannya. “Aku kan harus jaga-jaga, takutnya kamu coba-coba menyerangku karena aku sudah melaporkan istri kamu ke polisi.” “Bisa kita bicara baik-baik?” “Oke, masuk saja ke rumahku.” Tanpa menunggu jawaban Rio, Slavia segera meninggal pergi mem
“Kenapa, Bik?” “Ada polisi di depan, Pak ....” “Polisi? Mereka cari siapa?” Rio terbelalak kaget. “Cari ibu, Pak ... Saya nggak berani bilang Bu Shara, makanya saya langsung bilang Bapak saja.” Rio mengusap wajahnya dengan kalut. Ada masalah apa lagi ini? “Selamat malam, Pak!” “Selamat malam, ada perlu apa ya Pak?” tanya Rio sopan. “Kami datang ke sini sambil membawa perintah surat penangkapan untuk Bu Shara,” jawab salah seorang petugas yang datang. “Memangnya istri saya kenapa, Pak?” “Istri Bapak ditangkap atas laporan pengayaan terhadap Bu Slavia.” Rio terperanjat kaget, terlebih ketika petugas polisi menyebut nama mantan istri keduanya. “Mas, ini kita mau ke mana?” tanya Shara ketika Rio menjemputnya di kamar. “Ada yang mau bertemu sama kamu ....” “Siapa?” Rio tidak menjawab. Bukannya dia seorang suami yang tega, justru dia sangat ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya. “Polisi? Kok mereka ada di sini sih, Mas?” Shara langsung menghentikan langkahnya s
Shara manggut-manggut, dia sangat yakin jika Slavia tidak akan seberani itu untuk melapor. Atau dia akan membuat namanya kembali viral, dan berimbas ke bisnis online yang digelutinya. “Gimana keadaan kamu, Vi?” “Ya beginilah, Ras ... Luna gimana?” “Ardan yang jemput Luna, kamu tenang saja.” Slavia menarik napas panjang. “Kamu harus dirawat ingat di sini ya?” tanya Raras. “Sebenarnya aku mau pulang, tapi tapi kepalaku pusing banget dan sama dokter diminta untuk observasi di klinik dulu sementara ....” “Atau kamu pindah ke rumah sakit saja?” “Nggak usah lah Ras, aku kan dianiaya bukan sakit kronis.” Raras menghela napas. “Tapi menurutku perbuatan mereka itu sudah sangat keterlaluan, mereka nggak Cuma mempermalukan kamu, Vi. Mereka juga menganiaya kamu, entah apa yang akan terjadi seandainya aku sama Ardan nggak datang ....” “Oh ya, kalian berdua kok bisa tahu posisiku sama apa yang aku alami?” tanya Slavia penuh rasa syukur. “Bukannya kamu yang nelepon pakai aplikasi pesan?”
Jantung Slavia berpacu dengan cepat ketika para wanita itu merundungnya baik verbal maupun fisik, dari mulai menjambak rambut, menampar wajah, dan menarik telinganya beramai-ramai. “Hentikan ini, aku nggak sepenuhnya salah!” teriak Slavia sambil menutupi wajahnya. “Banyak omong, aku viralkan kamu ya!” “Dasar pelakor hina!” Slavia berusaha melawan, tapi tentu saja dia kalah jumlah. Orang-orang mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, bahkan ada yang berusaha untuk menghentikan penganiayaan itu. “Stop, Ibu-Ibu! Ini ada apa?” “Tolong jangan main hakim sendiri!” “Anda ini kan sesama perempuan, kenapa menyakiti perempuan?” Teman-teman Shara menghentikan sejenak aksi bar-bar mereka. “Dia ini pelakor!” “Betul, dia adalah orang ketiga dalam rumah tangga teman kami!” “Haahh? Jadi dia itu pelakor?” Slavia menurunkan tangannya dan berteriak. “Bohong, itu semua fitnah!” “Wah, berani juga pelakor ini!” “Iya nih, dasar nggak punya malu!” “Aku memang bukan pelakor, istri perta
Mana bisa begitu,” tolak Shara. “Nico itu anak Mas Rio, dan aku adalah istrinya.” “Aku nggak peduli, aku ini ibu kandung Nico.” “Nggak bisa, Vi. Sesuai perjanjian, Nico harus kamu serahkan kepada Shara dan Rio untuk dirawat.” Rini menengahi. “Ibu lupa kalau perjanjian itu sudah enggak berlaku lagi?” tanya Slavia mengingatkan. “Mas Rio dan ibunya sendiri yang datang untuk bujuk aku supaya melanjutkan pernikahan itu, sedangkan uang ganti rugi yang sudah Kak Shara bayarkan juga diganti sama Mas Rio.” “Jadi kamu mau uang?” sentak Shara. “Tolong deh, bisa nggak jangan pakai teriak-teriak?” Slavia mengingatkan. “Di sini itu tempat umum, bukan tempat buat marah-marah ....” Rini mengusap tangan Shara. “Tenang.” Slavia menarik napas. “Sejak awal aku sudah bilang sama mas Rio Kalau aku cuma mau mengurus masalah hak asuh Nico, aku nggak peduli lagi sama kalian berdua. Asal aku nggak diusik, aku juga nggak akan mengusik kamu ataupun Mas Rio.” “Kamu nggak usah bohong, Vi. Buktinya kamu int
Aku mungkin menyesalkan ide kamu, tapi ... aku tidak menyesali kehadiran Nico sedikit pun.” “Kamu bikin aku sakit hati, Mas. Kamu tega ....” “Kamu sendiri tega memaksaku menduakan pernikahan kita, sampai kamu mencoba bunuh diri dan membuatku tersudut bersama Via. Ingat?” Shara mati kutu. Semua yang Rio ucapkan terasa seperti beberapa anak panah yang meluncur bersamaan dan menancap tepat di ulu hatinya. “Justru itu aku minta kamu untuk memperbaiki pernikahan kita, Mas. Aku nggak mau ada Via lagi di tengah-tengah kita, cukup Nico saja yang akan jadi pelengkap kebahagiaan ... Belum lagi anak kita nanti seandainya aku diberi kepercayaan untuk hamil anak kamu.” Rio memijat keningnya, rasa pusing kini seringkali mampir sejak dia bertemu kembali dengan Slavia dan juga bocah perempuan itu. “Mas, apa ucapan aku ada yang salah? Kok kamu diam saja?” tanya Shara khawatir. “Aku terlalu pusing dengan semua ini ....” “Oke, kita sebaiknya jangan membicarakan soal Via atau perjanjian masa lalu
“Istri satu-satunya ya, sungguh membanggakan. Akan jauh lebih membanggakan lagi kalau kamu bisa kasih keturunan sama suami kamu,” sindir Slavia tepat sasaran. “Kamu ....” “Atau jangan-jangan kamu juga sudah berhasil punya anak? Kalau begitu, kembalikan Nico sama aku. Bukankah kamu bisa merawat anak kandung kamu sendiri?” tanya Slavia pura-pura. “Mulut kamu itu ya, Vi. Pengin aku robek-robek rasanya!” Slavia tersenyum kecil. “Kamu masih nggak berubah juga ya, suka emosian.” “Diam kamu, aku sudah kasih kamu peringatan. Jangan sampai aku bikin mental kamu hancur untuk yang kedua kalinya.” Mendengar ancaman itu, Slavia seketika berdiri dan membuat Shara terperanjat kaget saat melihat sorot matanya yang tajam membunuh. “Coba saja, kamu pikir aku masih sama seperti Via yang dulu?” “Apa maksud kamu?” “Pikir saja sendiri, kamu masih bisa mikir kan?” “Jangan kurang ajar kamu!” Shara ikut berdiri dan bersiap melayangkan tamparan ke wajah Slavia, tapi tangan itu tidak pernah mendarat d
“Daripada Nico tahu dari orang lain, nanti dia malah bingung. Kasihan,” ucap Rio sembari memejamkan mata. “Kita tetap harus kasih tahu dia, Ra.” “Aku mohon pertimbangkan lagi keputusan kamu, Mas. Bukankah Via punya niat jelek untuk merampas Nico dari tangan kamu?” “Aku akan membujuknya supaya tidak melakukan hal itu.” “Membujuk gimana?” Shara menyipitkan mata. “Jangan bilang kalau kamu diam-diam menemui Via di belakang aku, ya?” “Ngapain aku harus diam-diam? Aku tidak harus minta izin kamu buat bicara sama Via kan?” tukas Rio, tampak tidak senang. “Bukan begitu juga maksud aku, Mas ....” “Aku bisa lihat kalau Via dendam sekali sama kita, seolah kita sudah melakukan kesalahan besar di masa lalu.” Rio menambahkan, membuat wajah Shara memucat. “Aku tidak habis pikir sama Via, dia benar-benar sudah berubah.” Shara menelan ludah, dia merasa harus segera berbuat sesuatu. “Terus apa rencana kamu?” “Seperti yang aku bilang tadi, aku akan minta Via untuk tidak meributkan soal hak asuh