Hari ini Kinar menjadi pendengar yang baik. Tidak bisa dijabarkan secara penuh menjadi pendengar namun Kinar bisa menemukan ide untuk konflik barunya yang akan masuk ke dalam novelnya. Lumayan membantu, sih, dan Kinar harus berterima kasih kepada Teguh yang mau membuka pandangan perihal pernikahan.“Cukup membantu, Bu?” tanya Teguh saat melihat Kinar dengan wajahnya yang penuh binar terus menyunggingkan senyum di bibirnya. “Saya senang melihatnya. Jadi tidak sabar ingin membaca buku baru Ibu lagi.”“Penulisnya sudah ada di hadapan kamu bahkan menjadi istri dari atasan kamu. Yakin masih ingin membacanya? Setidaknya kamu harus muak karena selalu melihat saya. Bukan malah berniat ingin memeluk novel sampah ini.”Kinar menunjuk-nunjuk bab barunya yang ada di laptop membuat Teguh mendelik sebal. Pria itu berdecak tanpa rasa canggung dan Kinar mendengkus diakhiri dengan senyuman.“Tidak ada karya sampah kecuali mereka yang melakukan plagiat. Apa Ibu tahu jika novel-novel Ibu paling laris da
“Mau makan apa? Mau aku pesankan sesuatu?”Anan Pradipta baru selesai dari meetingnya. Di siang hari yang lumayan terik namun sesekali cuaca juga labil bak remaja yang terlambat dijemput pacarnya. Pria itu sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya entah apa sementara Kinar dengan nyaman menarikan jari-jarinya di atas keyboard laptopnya.“Soto. Aku mau soto,” jawab Kinar lama sampai Anan mengangkat kepalanya dari ponselnya. “Aku mau soto,” katanya sekali lagi.“Aku pesankan.” Kembali Anan memfokuskan matanya di layar ponsel namun urung saat Kinar berseru dengan kencang.“Tidak mau!” Kinar nyengir. “Soto paling enak makan ditempat. Jangan pesan apa pun! Kita makan di luar saja.”“Oke.” Anan tidak bisa melawan kehendak sang istri. Bukankah itu hal yang wajar? Apa namanya, ngidam, ya? Ah, iya, benar ngidam. Ternyata Kinar mulai memasuki fase mengidam dan Anan harus berusaha keras serta sigap untuk bisa menuruti apa saja yang menjadi kemauan sang istri. “Ini ngidam yang pertama, ‘kan? Kamu in
Ini pertama kalinya Anan melihat Kinar kalap dalam makan. Tidak biasanya istrinya itu bak raksasa kelaparan. Dua mangkuk soto tandas dalam waktu sekejap. Bukan soal nominal uang yang harus Anan keluarkan namun intinya ini cukup mencengangkan. Jika perkara nominal, Anan sanggup kok membeli warung soto yang ada di pojok jalan menuju pasar baru. Warungnya sederhana dan selalu ramai terutama di waktu pagi hari.“Coba ceritakan tentang Teguh,” pinta Kinar setelah membuat Anan bengong cukup lama. Istrinya itu baru saja memotong-motong tempe mendoan dan di masukkan ke dalam kuah sotonya lalu menyeruputnya dengan suara khas yang syahdu. “Aku melihatnya kalian amatlah dekat dan kamu seperti menaruh kepercayaan secara penuh kepada Teguh.”Anan berdeham dan meneguk teh hangatnya. Kinar masih menatapinya dengan saksama membuat Anan canggung dengan gerak-gerik mata yang gelisah. Bukan karena menyembunyikan sesuatu dari Kinar namun tebakan yang Kinar layangkan benar adanya. Anan tidak tahu jika ras
Zahra Amira merasa tidak tenang. Belum ada balasan dari email yang dikirimkannya untuk Anan. Pikiran Zahra bercabang dengan banyak kemungkinan-kemungkinan yang muncul.“Apa mungkin karena bukan urusan pekerjaan, email itu tidak mendapat respons?” Zahra bertanya-tanya dengan dirinya sendiri. Berjalan mondar-mandir bak setrikaan, Zahra gigiti kuku-kuku jari tangannya. Sesekali menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskan dengan berat. “Tapi aku sudah menuliskan jika itu menyangkut urusan pekerjaan. Kenapa tidak ada balasan sama sekali, ya? Apa seperti ini rasanya mengagumi suami orang? Aduh, kenapa aku nekat sekali, ya?”Zahra mengutuki tindakannya yang ceroboh dan berniat menarik email yang telah dikirimkan untuk Anan. Namun baru saja mendudukkan bokongnya di atas kursi kebesarannya, kedua mata Zahra berbinar dengan penuh cahaya. Ada email baru di kotak masuknya dan itu dari Anan.“Oh tentu saja boleh. Kamu bisa melampirkan fail dokumen di sini untuk saya pelajari.”Tidak terbilang s
Hujan selalu datang tanpa bisa di duga-duga. Kenapa? Mendung saja belum bisa menentukan akan hadirnya hujan. Terkadang cuaca terik pun bisa mendadak hujan. Maka dari itu, ada beberapa orang yang menyukai hujan namun tidak sedikit yang mengumpatinya. Dikatai tidak bersyukur, mereka adalah pemain handal yang mempunyai jawaban.“Cucianku belum kering.”“Jalanan menjadi basah. Di mana-mana banjir.”“Aku kesusahan saat akan berangkat kerja.”“Hujan datangnya tidak tepat waktu. Menyebalkan!”Gerutuan, omelan dan umpatan semacam itu sudah biasa terjadi. Sedangkan kita tidak bisa mencegahnya untuk turun membasahi bumi. Itu, ‘kan takdir Tuhan. Anugerah dari langit. Kita protes pun tidak akan mengembalikan keadaan seperti semula atau hujan akan berhenti detik itu juga. Jadi lebih baik jangan menjadi konyol dengan kuasa Tuhan.Namun lain halnya dengan Kinar. Punya kenangan buruk dengan hujan, Kinar secara perlahan mencoba berdamai dengan masa lalunya. Pernah kehilangan kedua orang tuanya di bawa
Setelah obrolan subuh buta itu, baik Anan maupun Kinar tetap bersikap biasa saja seolah tidak ada yang terjadi. Lagi pula, dalam sebuah hubungan bersikap saling terbukan bukanlah hal yang aneh. Kinar Dewi meski terlihat keras kepala, nyatanya ada sisi lembut di dalam hatinya yang memendam perasaan sakit akibat kejadian masa lalu di hidupnya. Sama halnya dengan Anan yang menutup rapat-rapat jati dirinya dan hanya mengatakan semuanya kepada Kinar.“Kenapa harus berpakaian santai seperti ini?” tanya Anan yang tidak mengerti kenapa Kinar menyuruhnya mengenakan pakaian olahraganya. Ini bukan gaya Anan sama sekali ketika hendak pergi ke kantor. “Aku juga harus ke kantor. Tidak mungkin menyempatkan diri untuk berganti pakaian dulu.”“Ini masih terlalu pagi untuk kamu membuang-buang tenaga. Kenapa harus mengenakan pakaian ini?” Kinar menepuki bagian pundak Anan dengan pelan dan tersenyum manis. “Bukankah kamu hanya perlu mengenakannya saja? Diam!” perintah Kinar tegas. “Ini pagi hari yang men
Anan Pradipta menyusuri jalanan sepanjang kota Bandung menuju kantornya. Kedua tangannya memegang kendali mobil dengan mata yang terus melirik-lirik ke arah istrinya. Jelas sudah wajah Kinar penuh binar alih-alih perasaan bersalah. Dan Anan baru menyadari jika kejutan itu adalah bagian dari rencananya. Kenapa Anan tidak peka sama sekali, ya? Anan terus merutuki dirinya sendiri. Merasa bodoh dan memang begitu adanya dirinya.“Kamu punya rencana sesederhana ini tapi tidak memberitahuku. Kamu kenapa begitu sering membuat aku terkena serangan jantung, sih!?” omel Anan yang di balas dengan kekehan oleh Kinar. “Sekarang kamu tertawa penuh kemenangan!” dengkus Anan memalingkan wajahnya ke depan. Menatapi kanan dan kiri jalanan yang mulai padat merayap.“Salah kamu kenapa tidak memperhatikan dengan saksama apa yang aku kenakan. Harusnya kamu sadar ketika aku memilih menunggu kamu di tempat parkir. Jelas-jelas ada kemungkinan jika aku akan menjadi penguntitmu. Tapi ngomong-ngomong, aku keren,
“Saya rasa mereka cocok,” kata Teguh melaporkan hasil intaiannya kepada Anan. Keakraban yang Kinar dan Zumarnis bangun terlihat begitu jelas. Keduanya berjalan dan saling bergandengan bak dua saudara yang telah lama tidak bertemu di sebuah pusat perbelanjaan. “Ibu Zumarnis juga mengantarkan Ibu Kinar ke dokter kandungan pilihannya. Dokter Ari Suseno menjadi pilihannya. Jika saya tidak salah ingat, dia salah satu teman kuliah Bapak semasa di kampus dulu.”Anan menggulir potret di mana Mama dan istrinya berjalan bersisian dan begitu akrab. Paper bag yang Kinar bawa dan sebagian berada di tangan Zumarnis menandakan jika keduanya baru saja shopping. Hasrat wanita jika sudah bersama tidak bisa ditangguhkan lagi. Mereka akan melakukan banyak hal yang menurutnya seru sampai kedua kakinya lelah melangkah.“Ah, dia.” Anan memandangi dengan saksama dokter kandungan yang Kinar dan Zumarnis kunjungi. “Saya kenal dia,” ucap Anan dengan senyum tipis yang Teguh angguki. “Kabarnya dia kabur dari ruma
“Aduh lupa!”Teriakan Ara membuat Kinar yang sedang santai menikmati minuman dinginnya terpaksa harus menoleh. Ara si pemilik suara kecil agak cempreng dengan rambut berwarna merah gelap membuat Kinar geleng-geleng kepala. Bukan sekali, dua kali Ara menjadi heboh sendiri. Namun terlalu sering sehingga Kinar hafal betul dengan wanita yang lebih muda dua tahun di bawahnya itu.“Nggak kamu catat dulu?” tanya Kinar kalem.“Kamu kalem banget, sih, Nar?” Ara terkekeh dengan kepala bergoyang mirip bolo-bolo. “Padahal aku ini nggak ada kalemnya sama sekali tapi kamu sabar banget menghadapi aku yang super random ini.”“Aku juga random kok.” Kinar membela dirinya sendiri.Kinar sungkan saat ada orang lain yang menilai dirinya hanya dari covernya saja. Kinar selalu mendapat penilaian positif dan itu sedikit membuatnya sungkan. Yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya. Kinar juga punya momen-momen tertentu untuk meledak. Kinar juga bisa marah pada hal-hal kecil yang membuat orang sekitarnya te
Prinsip hidup yang selama ini Anan pegang cukup sederhana. Dengan tidak mencampuri urusan orang lain, arti dari ketenangan yang sebenarnya sudah Anan dapatkan. Tapi namanya manusia memang suka lupa diri dan semena-mena.Di saat Anan bersikeras tidak mau mendengar apa pun masalah dan keluh kesah orang lain, justru Tuhan mempertemukan dengan manusia-manusia yang sifatnya meribetkan. Dan Anan harus menjadi pendengar yang baik sedangkan itu tidak pernah tersemat sedikit pun di dalam dirinya.“Kita terlalu keras, ya?” tanya Kinar sembari merapikan dasi dileher Anan. “Aku terdengar kejam.”“Itu demi kebaikan mereka. Lagi pula mereka datang kepada kita sudah bentuk kesalahan fatal. Kita hanyalah saudara jauh dan yang seharusnya mereka datangi adalah keluarganya.” Anan tetap tidak mau salah dan pendapatnya adalah yang paling benar.Kinar mengembuskan napasnya. Tangan kanannya mengusap jas Anan seolah ada debu yang menempel di sana.“Kalau itu terjadi pada anakmu ….” Kinar tak kuasa melanjutka
Tentang hidup ….Kinar Dewi tidak mengharapkan apa-apa selain baik-baik saja. Maksud dari baik-baik saja di sini bukan sekadar adem ayem dengan segudang uang dan fasilitas yang telah terpenuhi. Namun jauh dari masalah walaupun itu mustahil. Namun setidaknya meminimalisir problem selalu Kinar usahakan.Seperti pagi ini contohnya. Tidak tahu dari mana datangnya. Kinar tidak mau menebak atau menyalahkan salah satu pihak. Bagi Kinar, masalah itu tercipta karena ada pihak-pihak tertentu yang terlibat. Mau dibalas penuh emosi bak kebakaran jenggot, masalah itu telah tercipta. Dan konyol kalau misalnya masalah itu muncul sendiri.“Jadi siapa yang mulai duluan?” tanya Kinar tegas dan jelas.Semua mata yang ada di ruang tamu rumahnya menatap Kinar dengan tatapan mata yang berbeda-beda. Anan yang santai sambil menarik napasnya dalam-dalam. Kinar tahu, semalaman Anan lembur karena ini awal bulan dan baru bisa memejamkan matanya subuh tadi. Sekarang pukul tujuh pagi yang artinya tidur Anan amatla
“Emang orangnya kayak gitu?” tanya Anan sambil mendorong troli belanja. Kinar mengajak Anan berbelanja sayur, buah dan kebutuhan lainnya. Mumpung sekalian dekat dengan supermarket.Anan mendengar ucapan terakhir Rika yang menurutnya amatlah nyelekit. Sedangkan Kinar memberi respons yang santai dan biasa saja. Seakan-akan memang istrinya itu sudah biasa mendengar kalimat tersebut.“Mungkin,” jawab Kinar sekenanya sambil memasukkan buah-buahan ke dalam troli. “Aku ketemu dan kenal Rika di komunitas menulis beberapa tahun yang lalu. Dan kita nggak dekat-dekat banget buat bertukar nasib hidup.”“Kamu nggak kesinggung? Minimal kamu keluarin ekspresi marahlah biar dia sungkan dan jera.”“Buat apa?” Kinar membalikkan tubuhnya ke belakang di mana Anan berdiri. “Kalau aku marah, aku nggak ada bedanya sama dia dan aku punya level yang sama kayak dia sedangkan aku paling anti buat lakuin itu.”“Kenapa?” Anan penasaran dan terus mengejar jawaban dari Kinar. “Sesekali marah nggak akan bikin kamu r
“Sebenarnya titik kehidupan masing-masing orang itu berbeda.” Kinar mengatakan sesuai pengalaman yang pernah dialaminya. “Aku berada di posisi ini karena aku pernah merasakan titik terendah dalam hidupku yang mana aku ingin mati. Tapi aku sadar, semengenaskan apa pun kehidupanku waktu itu, selalu ada takdir milik orang lain yang paling mengerikan. Dan untuk itu aku hanya bisa mensyukuri jalanku.”Rika hanya mengangguk. Rekan sesama penulis Kinar itu sedang mencurahkan isi hati dan pikirannya. Yang jika Kinar menilai itu adalah sebuah ujian yang tiap-tiap orang selalu merasakannya. Kinar enggan berkomentar panjang lebar. Toh masa-masa sulit yang pernah Kinar lalui telah lewat. Sekarang yang tersisa hanyalah secuil nasihat dan kenangan yang memang patut untuk dikenang.“Orang-orang kalau ngomong selalu enak.” Rika seruput es tehnya. “Tau kok soalnya cuma tinggal ngomong doang. Enak ya jadi kamu, seneng ya jadi kamu, nggak perlu effort berlebih hidup kamu udah kejamin. Andai mereka tau g
“Kali ini tentang apa?”Kinar menyeruput cokelat dinginnya dengan santai dan hidupnya memang sesantai itu sekarang. Setelah menjadi Nyonya Pradipta, kegiatan Kinar selain menulis adalah berkumpul bersama para kalangan atas. Yang jika Kinar jabarkan bagaimana rasanya … itu membosankan. Jujur saja, Kinar lebih suka hidupnya yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak banyak kegiatan selain menulis, rebahan, menonton sendirian di bioskop dan makan nasi padang. Bonusnya jalan-jalan sore di alun-alun dan belie s krim.Dalam benak Kinar terbersit kerinduan masa lalunya yang sangat sulit untuk dirinya ulang kembali. Bukannya tidak mau kembali ke masa itu. Kinar hanya harus bertindak penuh kehati-hatian. Karena siapa, sih, yang nggak kenal sama keluarga Pradipta?Media yang tersembunyi di dalam pelosok saja tahu mereka. Maka dari itu Kinar harus menyamar terlebih dulu jika ingin menikmati masa lalunya. Agar orang-orang tidak tahu identitasnya terlebih wajahnya yang sudah tersorot oleh penjuru
“Segala sesuatu di dunia ini ada harganya. Tidak ada nilai yang tidak bisa diubah menjadi uang. Orang yang berani mengatakan cinta adalah hal tidak ternilai itu seperti pencuri yang mencuri barang gratis. Jika kamu tidak bisa membeli kebahagiaan dengan uang, itu karena kamu tidak punya cukup uang.”Kinar Dewi hanya memandangi Ivana dengan sungguh-sungguh. Wanita elegan itu menyeruput kopi panasnya yang masih mengeluarkan asap dengan santai. Sore hari di Bandung dan kemacetan yang terjadi di mana-mana. Semilir angin dan gulungan awan hitam bisa Kinar lihat dari kaca jendela. Tempat duduknya memiliki spot tertuju ke mana saja dan pojokan adalah favorit Kinar sejak dulu.“Uang lagi dan cinta bukan sesuatu yang harus kita khawatirkan. Aku membeli Banyu bukan dengan hatiku meski ada kontrak di atas hitam putih tapi uangku lebih berkuasa. Itulah kenapa kita perlu menjadi kaya agar bisa membeli apa pun yang kita mau. Ini terdengar egois karena tidak semua orang terlahir dengan privilege. Ya
Pada akhirnya ....Di dunia ini, ada tiga jenis manusia, yaitu, ada yang seperti makanan, selalu dibutuhkan orang lain, ada yang seperti obat, diperlukan oleh orang lain saat sakit, dan ada yang seperti penyakit, selalu dibenci oleh orang lain.Kinar membaca tulisannya sendiri dengan saksama lalu memberi penjelasan hanya dalam benaknya saja. Kinar malas untuk menjabarkan dengan mengetikkan di layar laptopnya. Selain terlalu panjang dan berbelit-belit, Kinar sedang melawan moodnya yang berantakan.Hari ini Kinar sedang mati kebosanan. Jalan satu-satunya adalah hengkang dari rumah dan berakhir di ruangan Anan. Ternyata pilihan untuk ke kantor Anan juga bukan sesuatu yang tepat. Suaminya itu sedang sibuk dan Kinar tidak punya objek untuk melampiaskan marahnya. Ugh, rasanya dongkol luar biasa.“Mau es krim, Bu?” tawar Kamila yang masuk setelah mengetuk pintu. Senyum wanita yang usianya sepantaran dengan Anan itu terukir. “Akan saya belikan.” Kamila sudah akan membawa kedua kakinya menuju
“Jika sudah tidak bisa berjuang, baiknya jangan memberi harapan kosong.” Itu hanya sepenggal saran yang bisa Anan berikan kepada Teguh. “Dia juga manusia sama seperti kamu. Pastinya saat ada harapan yang telah dia lambungkan lalu tidak bisa digapainya, rasa sakit menyerangnya. Jadi putuskan saja ingin mengambil langkah yang bagaimana. Maju atau mundur, berhenti atau bertahan.”Teguh diam. Duduk dengan wajah penuh kebingungan dan sorot mata yang lelah. Teguh belum mendapatkan keputusan hendak membawa hubungan bersama Rani ke mana. Jika tujuannya adalah pelaminan, itu sudah dari awal Teguh angankan kala hubungan ini terbentuk. Namun restu yang tak kunjung datang membuat Teguh serba galau. Harus bagaimana?“Kamu ini pria. Sejatinya kamu akan memperjuangkan apa yang menurut kamu tepat dan nyaman di hatimu. Tidak lembek seperti kerupuk terguyur air,” cibir Anan. Meski kalimatnya tidak sadis, seharusnya itu mampu menembus harga diri Teguh untuk bisa bangkit dari keterpurukannya. “Jika di aw