“Kamu benci karena kamu cinta. Kamu menangis karena kamu benci. Sederhananya adalah, katakan saja kamu tidak ingin ada pengakhiran alih-alih dilabeli ditelantarkan. Aku benar, ‘kan, kamu takut ditelantarkan? Kamu takut untuk mengakui memiliki perasaan dan memilih marah-marah tidak jelas seperti ini,” kata Kinar.Tidak peduli jika pendapat yang Kinar utarakan akan menyakiti perasaan lawan bicaranya. Kinar hanya tidak terbiasa untuk memendam pendapatnya. Jika menurutnya memang begitu, maka akan Kinar sampaikan sesuai yang ada di dalam kepalanya. Jika memang tidak benar, Kinar memilih diam atau paling banter mengedikkan bahunya acuh. Lagi pula berkata jujur demi kebaikan seseorang bukan suatu hal yang sulit. Menyakitkan pada awalnya namun ada hasil yang cukup memuaskan untuk dipetik kemudian hari.“Kamu dan mulut kamu, tidak bisakah jangan terlalu jujur? Kinar, kamu selalu sepolos ini atau memang sengaja ingin menyakiti hatiku? Kenapa kamu begitu gamblang menyampaikan isi hatimu?” tanya
Kinar memakan lolinya. Sembari menunggu Anan yang akan datang menjemput. Sedangkan Rena telah menghilang dari hadapannya sejak beberapa menit yang lalu. Wanita itu dalam suasana hati yang buruk sehingga bergegas hengkang begitu Kinar telah usai mencaci makinya. Tidak secara sepenuhnya namun baik Kinar maupun Rena saling melempar hinaan yang berakhir dengan tawa masing-masing. Setelah adegan itu, hubungan keduanya tidak merenggang atau harus menjadi hambar. Jalinan pertemanan keduanya telah lama terbentuk sehingga membuatnya saling memahami satu sama lain.“Aduh, kenapa permen ini terasa sangat manis?!” Kinar mengeluarkan dari mulutnya. Menatapnya sebentar lalu kembali memasukkannya. “Hanya permen yang bisa membuat kewarasanku terjaga. Meski aku harus merintih setelah ini.”Kinar embuskan napasnya. Menatap sekeliling kafe yang semakin ramai seiring tenggelamnya mentari. Beberapa pekerja yang usai merampungkan pekerjaannya mulai berdatangan dengan rombongannya. Tawa yang tersungging di
“Maka jangan menikah,” kata Anan yang keluar dari dalam lalu duduk di samping Kinar. Senyumnya terukir dengan sangat manis namun siapa yang sangka perkataannya cukup nyelekit untuk di dengar? “Menikah bukan soal mewahnya tempat, gedung, sajian makanan atau apa pun yang faktanya cukup mencekik kamu. Biaya, seadanya saja. Mahar yang perlu kamu siapkan cukup yang tidak memberatkan kamu tapi juga tidak merendahkan pihak mempelai wanita. Jadi, jika kendala biaya masih menjadi topiknya, maka lebih baik urungkan saja dulu.”Kinar tidak bisa berbuat banyak mendengar nasihat yang Anan berikan. Meski melihat ekspresi di wajah saudara jauhnya menahan amarah, seluruh keuangan di sini tetap Anan yang memberikan. Sedangkan Kinar hanya bertugas mengaturnya. Membuat list dari apa-apa saja yang diperlukan dalam satu bulan dan membatasi semua pengeluaran seminim mungkin. Jadi tidak semena-mena Kinar bisa membantu keluhan saudaranya yang hendak menikah.“Saya hanya meminta tolong. Kinar, kamu bisa, ‘kan
Di pagi hari itu, setelah kekacauan yang menyerang rumah Anan dan Kinar secara dadakan. Terik matahari dari timur tetap bersinar seperti biasanya. Tidak ada alasan bagi matahari pagi untuk tidak melakukan tugasnya kecuali jika cuaca hujan datang tiba-tiba. Matahari juga sama seperti manusia pada umumnya yang menjalankan tugasnya dan memang selalu seperti itu.Reno bermain dengan Brandon. Kucing orange kesayangannya itu tidak pernah jauh-jauh dari Reno. Menempel bak perangko dan selalu mengikuti ke mana pun langkah Reno. Bocah berambut kribo itupun merasa senang saja saat diikuti. Dan saat Reno sedang mandi, Brandon dengan setianya menunggui di depan pintu kamar mandi.Jika melihat pemandangan seperti itu, rasanya menyenangkan, ‘kan? Anan secara tidak langsung terhibur. Bibirnya akan tertarik ke kanan dan ke kiri bak orang paling bahagia sedunia. Atau mungkin memang hidup selalu sederhana begitu. Hanya Anan saja yang terlalu tegang menghadapi cara kerjanya.“Kamu tidak menangis?” tanya
Siapapun kamu, sekalipun dunia tidak mengenalmu namun saat kamu menikahi seseorang yang mempunyai kuasa, percaya atau tidak, hidupmu akan berubah 360 derajat. Secara sepenuhnya, kamu memiliki kekuasaan yang tidak diberikan secara langsung. Yang jika kamu menggilai sebuah kehormatan, maka akan kamu pergunakan dengan semena-mena pemberian itu. Dunia dan cara kerjanya memang unik dan tidak bisa ditebak begitu saja. Kamu yang bukan apa-apa akan menjadi orang penting saat menikahi orang yang sangat penting. Seakan-akan dunia akan memandangmu.Kinar Dewi hanyalah seorang penulis novelis dengan genre romansa yang mengangkat tema paling banter di negeri ini yakni pernikahan. Di mana beberapa remaja dan orang dewasa percaya jika menikah itu adalah ide yang buruk. Menikah, mungkin bagian dari ibadah karena hal itu telah tertulis dalam setiap kitab yang ada di berbagai agama. Namun juga ada yang mengumpati soal pernikahan itu sendiri.“Buang-buang duwit.”Ada yang mengatakan begitu. Bagi pemuja
Hari ini Kinar menjadi pendengar yang baik. Tidak bisa dijabarkan secara penuh menjadi pendengar namun Kinar bisa menemukan ide untuk konflik barunya yang akan masuk ke dalam novelnya. Lumayan membantu, sih, dan Kinar harus berterima kasih kepada Teguh yang mau membuka pandangan perihal pernikahan.“Cukup membantu, Bu?” tanya Teguh saat melihat Kinar dengan wajahnya yang penuh binar terus menyunggingkan senyum di bibirnya. “Saya senang melihatnya. Jadi tidak sabar ingin membaca buku baru Ibu lagi.”“Penulisnya sudah ada di hadapan kamu bahkan menjadi istri dari atasan kamu. Yakin masih ingin membacanya? Setidaknya kamu harus muak karena selalu melihat saya. Bukan malah berniat ingin memeluk novel sampah ini.”Kinar menunjuk-nunjuk bab barunya yang ada di laptop membuat Teguh mendelik sebal. Pria itu berdecak tanpa rasa canggung dan Kinar mendengkus diakhiri dengan senyuman.“Tidak ada karya sampah kecuali mereka yang melakukan plagiat. Apa Ibu tahu jika novel-novel Ibu paling laris da
“Mau makan apa? Mau aku pesankan sesuatu?”Anan Pradipta baru selesai dari meetingnya. Di siang hari yang lumayan terik namun sesekali cuaca juga labil bak remaja yang terlambat dijemput pacarnya. Pria itu sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya entah apa sementara Kinar dengan nyaman menarikan jari-jarinya di atas keyboard laptopnya.“Soto. Aku mau soto,” jawab Kinar lama sampai Anan mengangkat kepalanya dari ponselnya. “Aku mau soto,” katanya sekali lagi.“Aku pesankan.” Kembali Anan memfokuskan matanya di layar ponsel namun urung saat Kinar berseru dengan kencang.“Tidak mau!” Kinar nyengir. “Soto paling enak makan ditempat. Jangan pesan apa pun! Kita makan di luar saja.”“Oke.” Anan tidak bisa melawan kehendak sang istri. Bukankah itu hal yang wajar? Apa namanya, ngidam, ya? Ah, iya, benar ngidam. Ternyata Kinar mulai memasuki fase mengidam dan Anan harus berusaha keras serta sigap untuk bisa menuruti apa saja yang menjadi kemauan sang istri. “Ini ngidam yang pertama, ‘kan? Kamu in
Ini pertama kalinya Anan melihat Kinar kalap dalam makan. Tidak biasanya istrinya itu bak raksasa kelaparan. Dua mangkuk soto tandas dalam waktu sekejap. Bukan soal nominal uang yang harus Anan keluarkan namun intinya ini cukup mencengangkan. Jika perkara nominal, Anan sanggup kok membeli warung soto yang ada di pojok jalan menuju pasar baru. Warungnya sederhana dan selalu ramai terutama di waktu pagi hari.“Coba ceritakan tentang Teguh,” pinta Kinar setelah membuat Anan bengong cukup lama. Istrinya itu baru saja memotong-motong tempe mendoan dan di masukkan ke dalam kuah sotonya lalu menyeruputnya dengan suara khas yang syahdu. “Aku melihatnya kalian amatlah dekat dan kamu seperti menaruh kepercayaan secara penuh kepada Teguh.”Anan berdeham dan meneguk teh hangatnya. Kinar masih menatapinya dengan saksama membuat Anan canggung dengan gerak-gerik mata yang gelisah. Bukan karena menyembunyikan sesuatu dari Kinar namun tebakan yang Kinar layangkan benar adanya. Anan tidak tahu jika ras