Kinar itu pemarah. Begitu kiranya Anan Pradipta menyimpulkan karakter istrinya. Secara tidak gamblang karena Anan sadar harus menjaga nama baik Kinar. Walau bukan penulis kondang seperti penulis kebanyakan namun Kinar bisa dikatakan famous. Pengikutnya di media sosial sudah bisa dikategorikan membludak dan Anan harus mengacungi jempol untuk itu.“Kamu yakin tidak akan melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan kepada Reno? Bisa aku percaya ucapanmu itu!?” Kinar bertanya kepada Anan dengan sedikit hardikan. Mengintimidasi suaminya dan berharap akan membuat Anan sedikit terpengaruh. “Aku tidak bisa percaya secepat itu. Kamu selalu bertindak di luar nalar dan membuat aku terus was-was.”“Memangnya apa yang aku lakukan?” tanya Anan. Wajahnya berekspresi bingung yang Kinar lihat justru tidak demikian. Anan seperti menyembunyikan sesuatu yang tidak bisa Kinar tebak. “Kamu terlalu mencurigaiku. Kamu tahu itu tidak akan berhasil pada kelanggengan hubungan kita. Kamu dan aku harus memeg
Ini adalah kedua kalinya Anan dan Kinar makan bersama dengan Zahra. Untuk selera, Anan menukikkan alis sebelah kanannya dan bergumam jika pilihan Zahra tidaklah buruk. Seakan-akan wanita itu tahu caranya menyenangkan tamu.“Karena kamu tamu agung makanya dia memilih tempat mahal yang privasinya betul-betul di jaga,” ucap Kinar.“Kata siapa?” Anan menggelengkan kepalanya seraya menggandeng tangan Kinar. “Aku lebih suka nasi padang, lamongan pinggir jalan atau bahkan angkringan yang harganya murah meriah. Makan di tempat mahal seperti ini terlalu membuang-buang uang. Aku jelas menyayangkan itu.”“Juga tidak mungkin di siang bolong seterik ini Zahra mengajakmu makan di pinggir jalan. Warung tenda itu selalu buka di sore hari hingga dini hari. Jangan konyol!” hardik Kinar.“Sayang, kenapa kamu selalu menghinaku?” Anan meletakkan kedua tangannya di atas meja dan menatap Kinar intens. “Aku tidak seroyal itu dan lagi pula kamu tahu dari mana aku berasal.”“Oh, jadi sekarang kamu mulai tidak
Sore hari saat mentari orange masih menyinari bumi pasundan dan Kinar menyesap kopi panasnya beserta kue nastar kesukaannya, Reno datang menghampirinya. Memamerkan gigi-gigi kecilnya, Reno duduk di kursi kosong yang ada di samping Kinar.“Ada apa?” tanya Kinar. “Kelihatannya bahagia sekali.” Kinar hanya menebak karena merasa tidak biasa dengan senyuman yang Reno berikan.“Tante mau mengabulkan?” Reno memberikan ponselnya kepada Kinar. Dan sebuah foto sudah terpampang dengan jelas di galeri. “Aku mau kucing.”Kinar mengerutkan keningnya. Langsung paham ke mana arahnya tapi di antara semua hadiah yang sudah Anan dan Kinar tawarkan, kenapa kucing? Kinar hanya menghela napas dan tersenyum kecil. Lalu sekali lagi melihat hewan berbulu kesayangan sejuta umat manusia. Yang Reno tunjukkan kepada Kinar berwarna orange, yang menurut orang-orang adalah ras terkuat di bumi dengan kelakuan bar-barnya.“Kenapa kucing?” Kinar penasaran. “Anan menawarkan semua mainan mewah yang belum tentu dimiliki o
Ivana Wijaya tidak memiliki kesibukan yang berarti. Setelah bercerai dari Anan Pradipta dan menjadi seorang janda kaya raya, Ivana lebih sering menghabiskan waktunya di galeri seni miliknya. Sesekali melemaskan tangan kanannya untuk mengukir entah apa pun di atas kanvas. Awalnya Ivana hanya iseng guna mengisi waktu kosongnya. Namun secara perlahan dan pasti, bergulat dengan cat-cat berwarna itu membuat Ivana nyaman dan ingin terus melakukannya.Kali ini, di pagi hari yang mendung, Ivana coretkan gambar secara asal yang entah apa. Itu muncul secara tiba-tiba dari pikirannya dan Ivana menorehkannya begitu saja. Cat warna hitam lebih banyak menjadi dominan seolah-olah sedang Ivana sampaikan suasana hatinya saat ini.“Tentang apa itu?” tanya sebuah suara yang Ivana hentikan goresan tinta pada kanvasnya. “Tangan kamu mulai lemas, benar?”Ivana mendengkus. “Ngapain?” Ivana bertanya dengan ketus. Banyu Himawan datang dengan wajah semringah dan Ivana dalam kondisi hati yang tidak baik untuk m
Kinar sadar, jika sudah bersuami dan terlambat datang bulan artinya memang ada sesuatu yang lain yang terjadi. Antara siap dan tidak siap, ini sudah menjadi bagian dari keputusan yang Kinar ambil untuk menikah dengan Anan. Hendak menolak, rasanya juga tidak mungkin karena itu sudah terjadi. Ingin berlari, tapi ke mana? Anak ini kehadirannya sudah sangat ditunggu-tunggu oleh Anan. Meski bukan dari rahim wanita yang diinginkan oleh Anan sejak dulu, tapi Kinar adalah istri sahnya yang sejak awal dinikahi untuk memberikan pria konglomerat itu seorang keturunan.“Kenapa?” tanya Anan yang datang tanpa bersuara. Dari arah belakang tubuh Kinar, Anan melemparkan senyumnya yang terpantul oleh cermin di kamar mandi. “Ada yang kamu pikirkan?”Kinar tidak menutupi perihal kegundahan hatinya dan mengangguk dengan perlahan. “Kalau hamil bagaimana?”Pertanyaan yang seharusnya tidak Kinar ajukan malah mengundang tawa dari mulut Anan. Dan seolah tidak memusingkan hal tersebut, pria itupun tertawa denga
Sejak semalam setelah asumsi jika Kinar hamil tercetus, Anan menjadi rungsing sendiri. Pria itu mengeluh tidak bisa terlelap yang membuat Kinar kesal setengah mati. Rengekan demi rengekan Anan suarakan membuat Kinar muak dengan sendirinya. Apa pun alasan yang telah Kinar gunakan sebagai jawaban tidak menjadikan Anan tenang dan semakin ribut bak angin putting beliung.“Ayolah, Nar. Ini sudah subuh, loh,” kata Anan merayu Kinar untuk mengecek air kencingnya. “Katanya waktu yang paling tepat untuk mengecek keakuratan air kencing adalah pagi hari di saat kamu merasakan ingin pipis. Ayolah, Nar.” Sekali lagi masih terus merayu.Kinar berdecak sebal. Perilaku Anan mirip anak kecil yang sedang merengek meminta mainan kesukaannya. Rasa kantuk Kinar belum sepenuhnya terbayarkan karena Anan mengusiknya terus-menerus. Dan sungguh suaminya itu tidak merasa bersalah sama sekali dengan bertingkah seperti ini di pagi buta.“Langsung ke rumah sakit, ‘kan, bisa,” jawab Kinar santai seraya memeluk guli
Rumput juga bisa merasakan sakit. Bunga juga memiliki rasa sakitnya tersendiri. Lalu manusia juga sama seperti rumput dan bunga. Disadari maupun tidak, manusia bisa merasakan sakit yang datangnya tanpa bisa di duga-duga. Termasuk Zahra Amira yang lebih banyak diamnya setelah penatnya aktivitas hari ini.Sore hari di Bandung selalu punya kisah dengan pemandangan yang berbeda. Mentari sore tidak menampakkan diri untuk kembali ke paraduan. Langit mendung sudah menggelayuti sejak pagi dan tanda-tanda untuk menjatuhkan airnya tidak juga kunjung datang. Sehingga satu hari ini hanya suasana mendung seperti ini saja.Zahra duduk di kursi kebesarannya. Memandang gedung-gedung pencakar langit yang berada dekat dengan gedung miliknya. Kerlap-kerlip lampu mulai bermunculan dan cahayanya memantul satu sama lain. Suara klakson yang berasal dari bawah dengan kemacetan yang luar biasa adalah gambaran Bandung di setiap harinya. Tidak peduli pagi maupun sore hari, kendaraan akan terus padat merayap bak
“Kamu benci karena kamu cinta. Kamu menangis karena kamu benci. Sederhananya adalah, katakan saja kamu tidak ingin ada pengakhiran alih-alih dilabeli ditelantarkan. Aku benar, ‘kan, kamu takut ditelantarkan? Kamu takut untuk mengakui memiliki perasaan dan memilih marah-marah tidak jelas seperti ini,” kata Kinar.Tidak peduli jika pendapat yang Kinar utarakan akan menyakiti perasaan lawan bicaranya. Kinar hanya tidak terbiasa untuk memendam pendapatnya. Jika menurutnya memang begitu, maka akan Kinar sampaikan sesuai yang ada di dalam kepalanya. Jika memang tidak benar, Kinar memilih diam atau paling banter mengedikkan bahunya acuh. Lagi pula berkata jujur demi kebaikan seseorang bukan suatu hal yang sulit. Menyakitkan pada awalnya namun ada hasil yang cukup memuaskan untuk dipetik kemudian hari.“Kamu dan mulut kamu, tidak bisakah jangan terlalu jujur? Kinar, kamu selalu sepolos ini atau memang sengaja ingin menyakiti hatiku? Kenapa kamu begitu gamblang menyampaikan isi hatimu?” tanya
“Aduh lupa!”Teriakan Ara membuat Kinar yang sedang santai menikmati minuman dinginnya terpaksa harus menoleh. Ara si pemilik suara kecil agak cempreng dengan rambut berwarna merah gelap membuat Kinar geleng-geleng kepala. Bukan sekali, dua kali Ara menjadi heboh sendiri. Namun terlalu sering sehingga Kinar hafal betul dengan wanita yang lebih muda dua tahun di bawahnya itu.“Nggak kamu catat dulu?” tanya Kinar kalem.“Kamu kalem banget, sih, Nar?” Ara terkekeh dengan kepala bergoyang mirip bolo-bolo. “Padahal aku ini nggak ada kalemnya sama sekali tapi kamu sabar banget menghadapi aku yang super random ini.”“Aku juga random kok.” Kinar membela dirinya sendiri.Kinar sungkan saat ada orang lain yang menilai dirinya hanya dari covernya saja. Kinar selalu mendapat penilaian positif dan itu sedikit membuatnya sungkan. Yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya. Kinar juga punya momen-momen tertentu untuk meledak. Kinar juga bisa marah pada hal-hal kecil yang membuat orang sekitarnya te
Prinsip hidup yang selama ini Anan pegang cukup sederhana. Dengan tidak mencampuri urusan orang lain, arti dari ketenangan yang sebenarnya sudah Anan dapatkan. Tapi namanya manusia memang suka lupa diri dan semena-mena.Di saat Anan bersikeras tidak mau mendengar apa pun masalah dan keluh kesah orang lain, justru Tuhan mempertemukan dengan manusia-manusia yang sifatnya meribetkan. Dan Anan harus menjadi pendengar yang baik sedangkan itu tidak pernah tersemat sedikit pun di dalam dirinya.“Kita terlalu keras, ya?” tanya Kinar sembari merapikan dasi dileher Anan. “Aku terdengar kejam.”“Itu demi kebaikan mereka. Lagi pula mereka datang kepada kita sudah bentuk kesalahan fatal. Kita hanyalah saudara jauh dan yang seharusnya mereka datangi adalah keluarganya.” Anan tetap tidak mau salah dan pendapatnya adalah yang paling benar.Kinar mengembuskan napasnya. Tangan kanannya mengusap jas Anan seolah ada debu yang menempel di sana.“Kalau itu terjadi pada anakmu ….” Kinar tak kuasa melanjutka
Tentang hidup ….Kinar Dewi tidak mengharapkan apa-apa selain baik-baik saja. Maksud dari baik-baik saja di sini bukan sekadar adem ayem dengan segudang uang dan fasilitas yang telah terpenuhi. Namun jauh dari masalah walaupun itu mustahil. Namun setidaknya meminimalisir problem selalu Kinar usahakan.Seperti pagi ini contohnya. Tidak tahu dari mana datangnya. Kinar tidak mau menebak atau menyalahkan salah satu pihak. Bagi Kinar, masalah itu tercipta karena ada pihak-pihak tertentu yang terlibat. Mau dibalas penuh emosi bak kebakaran jenggot, masalah itu telah tercipta. Dan konyol kalau misalnya masalah itu muncul sendiri.“Jadi siapa yang mulai duluan?” tanya Kinar tegas dan jelas.Semua mata yang ada di ruang tamu rumahnya menatap Kinar dengan tatapan mata yang berbeda-beda. Anan yang santai sambil menarik napasnya dalam-dalam. Kinar tahu, semalaman Anan lembur karena ini awal bulan dan baru bisa memejamkan matanya subuh tadi. Sekarang pukul tujuh pagi yang artinya tidur Anan amatla
“Emang orangnya kayak gitu?” tanya Anan sambil mendorong troli belanja. Kinar mengajak Anan berbelanja sayur, buah dan kebutuhan lainnya. Mumpung sekalian dekat dengan supermarket.Anan mendengar ucapan terakhir Rika yang menurutnya amatlah nyelekit. Sedangkan Kinar memberi respons yang santai dan biasa saja. Seakan-akan memang istrinya itu sudah biasa mendengar kalimat tersebut.“Mungkin,” jawab Kinar sekenanya sambil memasukkan buah-buahan ke dalam troli. “Aku ketemu dan kenal Rika di komunitas menulis beberapa tahun yang lalu. Dan kita nggak dekat-dekat banget buat bertukar nasib hidup.”“Kamu nggak kesinggung? Minimal kamu keluarin ekspresi marahlah biar dia sungkan dan jera.”“Buat apa?” Kinar membalikkan tubuhnya ke belakang di mana Anan berdiri. “Kalau aku marah, aku nggak ada bedanya sama dia dan aku punya level yang sama kayak dia sedangkan aku paling anti buat lakuin itu.”“Kenapa?” Anan penasaran dan terus mengejar jawaban dari Kinar. “Sesekali marah nggak akan bikin kamu r
“Sebenarnya titik kehidupan masing-masing orang itu berbeda.” Kinar mengatakan sesuai pengalaman yang pernah dialaminya. “Aku berada di posisi ini karena aku pernah merasakan titik terendah dalam hidupku yang mana aku ingin mati. Tapi aku sadar, semengenaskan apa pun kehidupanku waktu itu, selalu ada takdir milik orang lain yang paling mengerikan. Dan untuk itu aku hanya bisa mensyukuri jalanku.”Rika hanya mengangguk. Rekan sesama penulis Kinar itu sedang mencurahkan isi hati dan pikirannya. Yang jika Kinar menilai itu adalah sebuah ujian yang tiap-tiap orang selalu merasakannya. Kinar enggan berkomentar panjang lebar. Toh masa-masa sulit yang pernah Kinar lalui telah lewat. Sekarang yang tersisa hanyalah secuil nasihat dan kenangan yang memang patut untuk dikenang.“Orang-orang kalau ngomong selalu enak.” Rika seruput es tehnya. “Tau kok soalnya cuma tinggal ngomong doang. Enak ya jadi kamu, seneng ya jadi kamu, nggak perlu effort berlebih hidup kamu udah kejamin. Andai mereka tau g
“Kali ini tentang apa?”Kinar menyeruput cokelat dinginnya dengan santai dan hidupnya memang sesantai itu sekarang. Setelah menjadi Nyonya Pradipta, kegiatan Kinar selain menulis adalah berkumpul bersama para kalangan atas. Yang jika Kinar jabarkan bagaimana rasanya … itu membosankan. Jujur saja, Kinar lebih suka hidupnya yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak banyak kegiatan selain menulis, rebahan, menonton sendirian di bioskop dan makan nasi padang. Bonusnya jalan-jalan sore di alun-alun dan belie s krim.Dalam benak Kinar terbersit kerinduan masa lalunya yang sangat sulit untuk dirinya ulang kembali. Bukannya tidak mau kembali ke masa itu. Kinar hanya harus bertindak penuh kehati-hatian. Karena siapa, sih, yang nggak kenal sama keluarga Pradipta?Media yang tersembunyi di dalam pelosok saja tahu mereka. Maka dari itu Kinar harus menyamar terlebih dulu jika ingin menikmati masa lalunya. Agar orang-orang tidak tahu identitasnya terlebih wajahnya yang sudah tersorot oleh penjuru
“Segala sesuatu di dunia ini ada harganya. Tidak ada nilai yang tidak bisa diubah menjadi uang. Orang yang berani mengatakan cinta adalah hal tidak ternilai itu seperti pencuri yang mencuri barang gratis. Jika kamu tidak bisa membeli kebahagiaan dengan uang, itu karena kamu tidak punya cukup uang.”Kinar Dewi hanya memandangi Ivana dengan sungguh-sungguh. Wanita elegan itu menyeruput kopi panasnya yang masih mengeluarkan asap dengan santai. Sore hari di Bandung dan kemacetan yang terjadi di mana-mana. Semilir angin dan gulungan awan hitam bisa Kinar lihat dari kaca jendela. Tempat duduknya memiliki spot tertuju ke mana saja dan pojokan adalah favorit Kinar sejak dulu.“Uang lagi dan cinta bukan sesuatu yang harus kita khawatirkan. Aku membeli Banyu bukan dengan hatiku meski ada kontrak di atas hitam putih tapi uangku lebih berkuasa. Itulah kenapa kita perlu menjadi kaya agar bisa membeli apa pun yang kita mau. Ini terdengar egois karena tidak semua orang terlahir dengan privilege. Ya
Pada akhirnya ....Di dunia ini, ada tiga jenis manusia, yaitu, ada yang seperti makanan, selalu dibutuhkan orang lain, ada yang seperti obat, diperlukan oleh orang lain saat sakit, dan ada yang seperti penyakit, selalu dibenci oleh orang lain.Kinar membaca tulisannya sendiri dengan saksama lalu memberi penjelasan hanya dalam benaknya saja. Kinar malas untuk menjabarkan dengan mengetikkan di layar laptopnya. Selain terlalu panjang dan berbelit-belit, Kinar sedang melawan moodnya yang berantakan.Hari ini Kinar sedang mati kebosanan. Jalan satu-satunya adalah hengkang dari rumah dan berakhir di ruangan Anan. Ternyata pilihan untuk ke kantor Anan juga bukan sesuatu yang tepat. Suaminya itu sedang sibuk dan Kinar tidak punya objek untuk melampiaskan marahnya. Ugh, rasanya dongkol luar biasa.“Mau es krim, Bu?” tawar Kamila yang masuk setelah mengetuk pintu. Senyum wanita yang usianya sepantaran dengan Anan itu terukir. “Akan saya belikan.” Kamila sudah akan membawa kedua kakinya menuju
“Jika sudah tidak bisa berjuang, baiknya jangan memberi harapan kosong.” Itu hanya sepenggal saran yang bisa Anan berikan kepada Teguh. “Dia juga manusia sama seperti kamu. Pastinya saat ada harapan yang telah dia lambungkan lalu tidak bisa digapainya, rasa sakit menyerangnya. Jadi putuskan saja ingin mengambil langkah yang bagaimana. Maju atau mundur, berhenti atau bertahan.”Teguh diam. Duduk dengan wajah penuh kebingungan dan sorot mata yang lelah. Teguh belum mendapatkan keputusan hendak membawa hubungan bersama Rani ke mana. Jika tujuannya adalah pelaminan, itu sudah dari awal Teguh angankan kala hubungan ini terbentuk. Namun restu yang tak kunjung datang membuat Teguh serba galau. Harus bagaimana?“Kamu ini pria. Sejatinya kamu akan memperjuangkan apa yang menurut kamu tepat dan nyaman di hatimu. Tidak lembek seperti kerupuk terguyur air,” cibir Anan. Meski kalimatnya tidak sadis, seharusnya itu mampu menembus harga diri Teguh untuk bisa bangkit dari keterpurukannya. “Jika di aw