Pria itu terusir dari kamarnya sendiri. Ia kini berjalan ke arah kantornya setelah melewati lobi dan masuk ke dalam lift untuk naik ke lantai atas. Kali ini Mark menemaninya, setelah kemarin malam ia dikawal dengan Sam. “Mana dokumen itu?” todong Deniz setelah ia sampai di depan meja kerjanya.“Permisi, Pak. Boleh saya masuk?” seorang perempuan muda berusia 25 tahun membuka pintu setelah ia mengetuk beberapa kali.“Silahkan,” jawab Deniz yang masih berdiri di samping meja kerjanya. Ia memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana sambil menatap Ryn sekretarisnya berjalan mendekat.“Ini semua berkas yang Anda minta, Pak.” Ryn meletakkan tumpukan dokumen yang diperlukan oleh atasannya di atas meja.“Apa ini, Ryn?” Deniz meraih sebuah benda berukuran sepanjang tiga sentimeter yang turut diserahkan Ryn pada tumpukan dokumen.“Flashdisk itu untuk Anda pelajari lebih lanjut, Pak. Jika hanya mengandalkan dokumen ini saja, saya rasa Anda akan sedikit kesulitan untuk mengurus kasus ini.”
“Dasar gadis hina! Tak tahu diri, beraninya kamu menampakkan batang hidungmu di depanku.” Tangan Nichole, ibu sambung Deniz dipegangi oleh Mark saat hendak melayangkan pukulan ke arah Marissa. “Karena kamu, keluargaku jadi berantakan. Apa alasanmu datang ke sini hah?! Apa belum puas kamu membuat suami dan anakku menderita?” belum puas Nichole meluapkan amarahnya. Ia pun mengacungkan jari telunjuknya dengan ekspresi sengit. Sementara itu, Marissa hanya bisa berdiri terpaku di depan pintu masuk kamar pasien. Di dalam sana, tubuh Deniz terbaring dengan luka tembak serius tepat mengenai dadanya. Bodohnya Marissa, ia tidak bisa melihat atau menemani sang suami dalam kondisi kritis. “Cukup, Nyonya Besar! Jangan sampai membuat keributan lebih dari ini,” Mark pun melepaskan cekalan tangannya saat Nichole sedikit lebih tenang. Wanita paruh baya itu memendam emosi dengan sangat. Nampak dadanya naik turun seirama dengan pergolakan hatinya. Belum usai masalah pelik yang dihadapi dengan suaminy
“Kamu,” Kevin sudah mencengkeram lengan, Marissa. Perempuan muda itu tidak gentar sedikitpun, ia berbalik menatap Kevin. Meski ia menahan rasa sakit saat tangan Kevin menyakiti kulit lengannya secara langsung.“Marissa!” teriak seseorang dari arah depan. Marissa langsung menoleh, ia sangat tahu siapa pemilik suara itu.Kevin mengurai cengkramannya, ia pun bersikap biasa saat ada orang lain datang ke arah mereka. Ia membetulkan letak jasnya agar terlihat rapi, Kevin berpura-pura mengalihkan pandangan ke tempat lain. “Ekhem,” Kevin berdehem untuk menutupi sikapnya yang terbilang sedikit kasar pada, Marissa.“Hai, Jo!” sapa Marissa saat Joshua sudah berada di dekatnya.“Sudah lama?” tanya Joshua sedikit terengah-engah. Sepertinya pria muda berpostur kurus itu habis berlari kecil menembus waktu.“Tidak juga. Bisa kita segera pergi?” Marissa langsung menodong Joshua untuk segera membawanya pergi dari hadapan, Kevin.“Oh, Pak Kevin.” Joshua berusaha bersikap sopan, ia menyapa Kevin dengan
BRAK!“Keluar!” suara gebrakan itu berasal dari arah samping mobil. Sekumpulan pria berbaju rapi sudah mendekat ke arah mobil yang telah dikendarai oleh, Joshua.“M-Marissa,” pria itu gemetar, ia menggenggam kemudi mobil dengan sangat erat. Tangannya tiba-tiba berkeringat dengan suhu ruang dingin.“Tenanglah!” ujar Marissa yang mengintai kondisi sekitar.“A-Apa yang harus kita lakukan?” Joshua panik, bola matanya bergerak tak tenang.“Tunggu di sini!” Marissa melepas sepatu berhak tinggi yang ia kenakan, lalu ia turun dari dalam mobil.“M-Marissa. Apa yang kamu lakukan, hah? Bahaya, Marissa.” Cegah Joshua dengan ekspresi bingung bercampur takut.Perempuan itu berdiri tegak di samping pintu mobil setelah keluar dengan membawa sebelah sepatunya. “Siapa kalian? Ada perlu apa menghentikan perjalanan kami?” Marissa menunjuk pria-pria itu dengan high heels yang ada di tangannya. Ia menatap sengit pada kawanan pria tersebut tanpa takut sedikitpun.“Kau, tidak perlu tahu siapa kami. Kami han
“Untuk sementara kita di sini dulu, Marissa.” Ujar Joshua yang telah menghentikan kendaraannya di sebuah rumah yang bertempat di pedalaman. Marissa memperhatikan sekeliling, ia menajamkan penglihatannya. “Di mana kita, Jo?” tanya Marissa tanpa menoleh.“Dulu aku sering berkemah di sekitar sini, dan gubuk itu adalah milik ayahku.” Joshua menunjuk ke arah rumah yang berdiri secara non permanen. Bangunan rumah itu didominasi oleh kayu balok dan dinding bata di sebagian sisinya. Terlihat begitu estetik dan teduh di mata, Marissa.“Ooo, ….” Marissa mengangguk tanda mengerti, lalu ia memanyunkan bibirnya sambil meremas pucuk berkas yang masih ada di tangan.“Sudah lama aku tidak datang ke sini. Maaf jika kondisinya sedikit kotor, ayo turun!” ajak Joshua saat membuka pintu mobil.Marissa termangu sebentar, lalu ia pun membuka pintu mobil meski saat ini dirinya diliputi perasaan bimbang. Kakinya yang tidak mengenakan sepatu sebelah, membuat Marissa harus berjinjit sedikit untuk menghindari d
“Pfttt, ….!” Semburan air keluar dari mulut Joshua saat Marissa bercerita tentang kekasih suaminya, Deniz. Ia mengambilkan selembar tisu pada temannya itu dengan wajah yang terpasang cemberut. “Untung saja aku tidak tersedak,” ujar Joshua sambil meletakkan gelas di atas meja makan.Marissa diam, tidak menyahut. Ia memilih untuk menghempaskan bobot tubuhnya pada sebuah kursi. Wajahnya lebih ditekuk dari biasanya. Buru-buru Joshua menghentikan lawakannya saat melihat perubahan gestur pada sahabatnya itu.“Memangnya, yang mengejar kita tadi ada hubungannya dengan Deniz?” tanya Joshua yang kini berdiri di depan kabinet dengan tangan menyilang di dada.“Tidak. Aku rasa tidak, Deniz tidak ada hubungannya dengan ini.” Ujar Marissa dengan memijat pangkal hidungnya.“Lantas? Perempuan yang ada di telepon milik Sam itu?” Joshua masih menerka-nerka.“Dia baru muncul, Josh. Deniz saja tidak pernah menceritakan soal hubungannya,” tutur Marissa dengan enggan.“Bisa saja Deniz menutupinya darimu _
“Tapi dia suamiku, Ma!” bentak Marissa pada ibu sambung Deniz yang sedari kemarin menghalangi untuk bertemu.“Mama tidak tahu bagaimana perasaanku? Terlepas restu atau tidaknya dari kalian—dia. Lelaki di dalam sana adalah, suamiku.” Tunjuk Marissa pada dirinya sendiri setelah ia menunjuk ke dalam ruangan ICU. Ia berusaha melunakkan suaranya setelah dirasa sedikit terpancing emosi.Nichole Aprodhite, wanita berusia 50 tahun itu langsung bungkam. Ia menatap tajam pada Marissa yang sedang memperjuangkan haknya. “Biarkan dia masuk,” suara berwibawa itu muncul dari arah berlawanan. Marissa berputar dan mendapati ayah mertuanya sudah di belakang tubuh dengan menggunakan kursi roda. Tuan Ghazy nampak belum pulih benar kondisinya, namun saat ia mendengar putra pertamanya terlibat dalam masalah. Mau tak mau pria itu harus segera bertindak sebelum semuanya terlambat.“Tapi Sayang, ….” Nichole merajuk, ia bersikukuh tidak mengizinkan Marissa untuk bertemu dengan Deniz—sekalipun.“Biarkan saja,
“Nona, aduh! Apa yang Nona lakukan barusan? Dia, perempuan itu. Aduh, ….” Mark menggerutu sepanjang perjalanan menuju ke dalam kamar di mana Deniz saat ini dirawat. “Kenapa? Apa kamu takut?” ujar Marissa dengan enteng, ia berjalan seperti biasanya tanpa rasa bersalah. “B-Bukan begitu, Nona. Tapi nona Catherine terluka,” jawab Mark yang sepertinya mencemaskan perempuan tak tahu malu itu. “Bisa-bisanya dia menemani suami orang. Sedangkan istrinya ini masih—sehat dan benar-benar masih hidup.” Kira-kira seperti itulah kekesalan Marissa pada sosok perempuan bernama Catherine tersebut. “Kamu mengkhawatirkan pelakor itu, Mark?” selidik Marissa yang mulai tidak nyaman dengan sikap sang pengawal. Marissa menghentikan langkahnya, ia menatap Mark dengan tampang tak suka. Bahkan kini kedua alisnya saling bertautan dengan lirikan yang cukup sinis. “T-Tidak, Nona. M-Maafkan saya,” ujar Mark dengan menundukkan kepala. “Sialan kau! Kau tidak bisa berbohong padaku, Mark. Buktinya—ini!” Marissa m