“Tapi dia suamiku, Ma!” bentak Marissa pada ibu sambung Deniz yang sedari kemarin menghalangi untuk bertemu.“Mama tidak tahu bagaimana perasaanku? Terlepas restu atau tidaknya dari kalian—dia. Lelaki di dalam sana adalah, suamiku.” Tunjuk Marissa pada dirinya sendiri setelah ia menunjuk ke dalam ruangan ICU. Ia berusaha melunakkan suaranya setelah dirasa sedikit terpancing emosi.Nichole Aprodhite, wanita berusia 50 tahun itu langsung bungkam. Ia menatap tajam pada Marissa yang sedang memperjuangkan haknya. “Biarkan dia masuk,” suara berwibawa itu muncul dari arah berlawanan. Marissa berputar dan mendapati ayah mertuanya sudah di belakang tubuh dengan menggunakan kursi roda. Tuan Ghazy nampak belum pulih benar kondisinya, namun saat ia mendengar putra pertamanya terlibat dalam masalah. Mau tak mau pria itu harus segera bertindak sebelum semuanya terlambat.“Tapi Sayang, ….” Nichole merajuk, ia bersikukuh tidak mengizinkan Marissa untuk bertemu dengan Deniz—sekalipun.“Biarkan saja,
“Nona, aduh! Apa yang Nona lakukan barusan? Dia, perempuan itu. Aduh, ….” Mark menggerutu sepanjang perjalanan menuju ke dalam kamar di mana Deniz saat ini dirawat. “Kenapa? Apa kamu takut?” ujar Marissa dengan enteng, ia berjalan seperti biasanya tanpa rasa bersalah. “B-Bukan begitu, Nona. Tapi nona Catherine terluka,” jawab Mark yang sepertinya mencemaskan perempuan tak tahu malu itu. “Bisa-bisanya dia menemani suami orang. Sedangkan istrinya ini masih—sehat dan benar-benar masih hidup.” Kira-kira seperti itulah kekesalan Marissa pada sosok perempuan bernama Catherine tersebut. “Kamu mengkhawatirkan pelakor itu, Mark?” selidik Marissa yang mulai tidak nyaman dengan sikap sang pengawal. Marissa menghentikan langkahnya, ia menatap Mark dengan tampang tak suka. Bahkan kini kedua alisnya saling bertautan dengan lirikan yang cukup sinis. “T-Tidak, Nona. M-Maafkan saya,” ujar Mark dengan menundukkan kepala. “Sialan kau! Kau tidak bisa berbohong padaku, Mark. Buktinya—ini!” Marissa m
Roll Royce berjenis Phantom itu berhenti tepat di depannya. Marissa mengernyitkan dahinya sejenak, perlahan rasa penasaran itu pupus ketika seseorang turun dari dalam mobil mewah tersebut.“Bagus. Aku tidak perlu capek-capek mencarinya,” gumam Marissa dengan bibir dimanyunkan.“Hai, Marissa! Kita bertemu kembali, apakah ini adalah kebetulan yang sudah direncanakan oleh Tuhan pada kita?” dengan angkuhnya Kevin memulai sapaan itu saat melihat seseorang yang dikenalnya.“Jangan menyeret nama Tuhan di sini, Kevin! Kau tidak pantas untuk itu, meski hanya sekedar menyebut.” Sahut Marissa dengan culas.“Oh, begitukah menurutmu? Sorry deh,” Kevin memanyunkan bibirnya.“Marissa, ayo cepat pergi! Kenapa pula dia ada di sini?” Joshua datang menghampiri saat melihat kemunculan Kevin di tengah-tengah mereka.“Apa kau sedang mengantarkan, Joanna?” sapanya hanya untuk sekedar berbasa-basi. Ekspresi Joshua berubah semakin tidak mengenakkan, ia tidak ingin ada perseteruan di saat hati Marissa sedang k
PLAK!Tamparan keras itu mendarat tepat di pipi, Kevin. Marissa merasa dijadikan boneka permainan oleh mantan kekasihnya itu. Sehingga niat semula pergi meninggalkannya pun diurungkan dan berakhir dengan sebuah tamparan.Kevin yang terkejut dengan aksi brutal dari Marissa pun mengepalkan sebelah tangannya. Ia mencoba untuk tidak membalas apa yang sudah dilakukan oleh perempuan itu, meski ia merasa harga dirinya sedikit terinjak. Lama kelamaan perempuan itu seperti tengah melonjak dengan sifat pongahnya.“Lelucon apalagi yang kau rencanakan? Aku tidak tertarik sedikitpun,” ujar Marissa dengan mengacungan jari telunjuknya di depan hidung mancung, Kevin.“Dengarkan! Aku tidak main-main, Marissa. Dia adikku dan kau baru saja menghajarnya,” gertak Kevin yang masih memegang pipi kirinya.“Persetan denganmu atau dengannya. Adikmu itu, dia yang telah memulainya. Catherine, telah menggoda suamiku.” Kali ini jari telunjuk Marissa beralih pada dada, Kevin.“Kamu harus membayar semua ini, dia kes
“Gila! Apa yang sudah kamu pikirkan, Marissa? Mengajaknya kerja sama yang pada akhirnya akan merugikan dirimu?” Joshua menampakkan taringnya saat mereka sudah duduk di dalam mobil. Joshua yang merasa tak tenang pun berusaha mengajak Marissa berbicara saat mobil berhenti di sebuah tikungan lampu merah. Joshua melihat perempuan itu bungkam, hingga menguras kesabarannya yang sia-sia saja mengorbankan waktu demi membela Marissa.Perempuan itu menghela napas dengan perlahan, tapi tidak sekalipun ia membalas tatapan Joshua. Entah apa yang sedang dipikirkannya, seolah ia kini dalam sebuah tekanan yang cukup berat. Marissa memalingkan wajahnya keluar jendela mobil, ia menyilangkan kedua tangan di dada. Dan Joshua merasa terabaikan dengan sikapnya.“Jika bukan Kevin pelakunya, lantas siapa?” belum ada tanggapan dari Marissa, tapi sebisa mungkin Joshua mengajaknya berkomunikasi dengan baik.“Apa kamu punya musuh selain, Kevin?” tanya Joshua dengan sangat hati-hati.Baru saja Marissa menoleh, t
Krak!Ada bunyi ranting yang jatuh, atau lebih tepatnya terinjak oleh sesuatu. Di gelapnya malam, tidak akan ada satupun yang menyadari kejadian alam tersebut. Semuanya terjadi secara alami tanpa dibuat-buat, bagai hembusan semilir angin yang membawa sihir bagi sebagian anak manusia.Seperti halnya, Marissa. Ia yang telah meminum obat sebelum memutuskan untuk bergelung dalam selimut, ia tidak pernah memikirkan sesuatu yang janggal di luar sana. Apalagi tempat yang kini menampungnya tidak banyak diketahui banyak orang. Perempuan itu terlihat sangat lelah, bahkan untuk berpikir saja ia tidak mampu.“Tetaplah diam di situ pria manis. Jangan berisik!” suara seseorang memecah keheningan malam yang sempat berisik beberapa saat lalu. Di tangan kanannya berputar sebuah cutter pada sela-sela jari. Benda itu berkilat saat tertimpa cahaya di remangnya malam.Joshua, sudah duduk di bawah ranjang dengan posisi tengkurap. Sementara kaki dan tangannya telah terikat dengan tali panjang. Mulut pria be
“Menarik,” gumam Joanna dengan seringai di sudut bibirnya. Tatapan nyalang dari cat eyes miliknya membuat suhu ruang semakin dingin.Malam semakin merambat naik, dari balik jendela terlihat kerlip bintang bertaburan di atas mega. Lampu tidur di sisi ranjang itu, menyisakan pendar di sebagian ruang tidur. Terkesan hangat dan sangat nyaman, sehingga Marissa tidak bergeming sedikitpun dari atas kasur.Joanna berhenti tepat di tepi ranjang berukuran double tersebut. Ia mengamati tubuh kakaknya yang kini terlelap dalam dunia mimpi. Bahkan perempuan yang dulu sering membacakan dongeng sebelum tidur untuknya itu, tidak menyadari kedatangan dirinya. Kali ini bukan untuk bermanja di pelukannya, tapi menuntut sebuah pembalasan.“Apa yang harus aku lakukan untukmu? Membuatmu bungkam seperti apa yang aku lakukan pada temanmu? Oh, tidak, tidak, tidak …..” kepalanya menggeleng kecil, ia tidak setuju dengan apa yang baru saja diucapkannya sendiri. Semula ia hanya ingin memberi pelajaran agar Mariss
“Engh, ….”Suara erangan itu berasal dari, Marissa. Ia berusaha untuk membuka kelopak matanya yang terasa berat. Usaha itu berhasil, tapi pandangannya mendadak tidak bisa sejernih biasanya.‘Apa ini?’ (tanya Marissa dalam hati).Marissa berusaha menajamkan pandangan. Tapi tetap saja ia tidak melihat atau mengetahui sekarang dirinya ada di mana. Saat pandangannya mulai membaik, ia melihat ruangan yang kini ditempatinya tampak sedikit kumuh. “Shit! Siapa yang berani berbuat ini kepadaku?” ia mencoba untuk melepaskan diri ketika menyadari jika saat ini kedua tangan dan kakinya terikat pada ujung ranjang berbahan besi tersebut.Posisinya yang telentang hanya bisa memandang langit-langit. Marissa menstabilkan napasnya yang mulai bergemuruh karena perasaan kesal. “J-Joanna, ya ….” Perempuan itu pun ingat tentang sekelebat bayangan di ujung malam, di saat dirinya terakhir tertidur dengan nyenyak lalu ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa bernapas. “Dia berusaha membunuhku?” Marissa tidak
Kenapa tangan Marissa begitu gemetar saat ia menerima setumpuk berkas yang diberikan oleh Sam — bodyguard mantan suaminya. “Kau bercanda, Sam?” Marissa mengangkat wajahnya setelah ia mematung sekian detik. “Tidak. Mana ada bercanda dalam kasus yang saya tangani Nona,” jawabnya sambil menopangkan kedua tangannya di ujung meja. Sam menatap Marissa dengan tajam, ia tahu jika perempuan itu belum siap dengan gebrakan baru yang dirancang olehnya bersama Deniz. “Aku tidak bisa menerimanya,” sahut Marissa dengan cepat. Ia meletakkan kembali beberapa map yang baru saja dibacanya dengan kasar. Kali ini sasaran kemarahannya ditujukan pada meja kerja Deniz yang dinilainya sebagai meja terkutuk. “…. Nona sudah di sini tidak bisa mundur lagi,” ujar Sam tidak memindahkan pandangannya. “Lho, kok maksa sih? Aku bisa menolak ‘kan? Lagian, imbalan sebesar ini pasti kerjasama yang ditawarkan oleh tuanmu juga nggak main-main resikonya, iya ‘kan?” Marissa membalas tatapan Sam dengan memicingkan kedu
Kenyataannya sampai sore menyapa, Marissa tidak meninggalkan tempat duduknya. Ia masih di posisi yang sama saat pria itu dibaringkan pada tempat tidur berukuran large. “Huft ….” Marissa menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Ia memainkan jemarinya yang terasa semakin dingin di suhu ruang normal. Marissa berusaha untuk bersikap tenang, meski bola matanya tidak lepas memindai jarum infus dan alat perekam detak jantung sedari tadi. Satu jam yang lalu ….“Dia akan baik-baik saja, percayalah ….” ucap dokter Sunny sambil menepuk pelan bahunya. Dokter keluarga tersebut seakan ingin membesarkan hati Marissa yang saat ini tak ubahnya sedang terjun payung tak tentu arah. “Sejak saat itu, kesehatan tuan muda Deniz semakin memburuk.”Marissa menunduk dalam-dalam, ia menghela napas agar perasaan yang membuat dadanya begitu sesak hilang sudah.“Apa tidak ada alternatif lain agar suami oh maaf, agar tuan Deniz bisa pulih kembali?” Yang ada dadanya semakin sesak dengan realita yang a
“Silahkan masuk, Nona.” Sam membuka pintu sebuah ruangan, ia mempersilahkan Marissa masuk ke dalamnya. Perempuan berpostur semampai tersebut terlihat begitu tegang. Selama dalam perjalanan ia menerka-nerka seperti bermain dalam sebuah teka-teki. Kira-kira apa yang telah membuat dua orang kepercayaan keluarga Ghazy tersebut datang menemuinya kembali setelah sekian lama menghilang. Marissa masuk ke dalam ruangan dengan pandangan lurus ke depan. Tidak ada senyuman di bibirnya, hanya suara hak sepatunya yang menggema di sepanjang lorong. Tepat di menit ke lima, ia berhenti di depan seseorang yang tengah duduk di kursi sofa yang cukup mewah. Sepertinya pria di hadapannya ingin sekali menyapa, ‘Hai, apa kabar?’Tapi situasi tidak mendukungnya menjadi pejantan tangguh seperti dulu, bahkan nyalinya berubah menciut setelah melihat kondisi Marissa jauh lebih baik setelah bercerai dengannya. Satu kata yang pantas ditujukan pada sosok Deniz saat ini, menyedihkan! “Kamu tidak bertanya keadaan
Pagi buta Marissa bergegas, ia menyiapkan semua bahan baking untuk diolah menjadi roti gandum yang lezat. Ia sudah berdiri di depan sebuah meja panjang stainless yang berada di dapur belakang, “Mario, apa kamu sudah cek semua bahan?” tanya Marissa yang sudah mengenakan apron berwarna gelap.Pria muda dengan kisaran usia 19 tahun itu menoleh, ia memegang satu buah paprika berwarna merah. “Saya rasa sudah Madam,” “Bagus,” Marissa mengangguk kecil. Tampak terlihat di wajahnya begitu sumringah, ketika mendapati usaha yang telah ditekuninya kembali berjalan lancar sejak satu tahun yang lalu.Marissa pun kembali melanjutkan aktivitasnya untuk menakar semua adonan sesuai tekstur yang diinginkan. “Jam 7 tepat kita akan membuka toko, apa kalian bisa melakukannya dengan baik?” “Ya, Madam,” jawab Kay, gadis berusia 17 tahun yang sedang magang di tempat Marissa. Lebih tepatnya, Marissa mempekerjakan Kay secara paruh waktu untuk membantu membayar tunggakan biaya sekolahnya.“Aku bisa mengandalka
“Kalau aku sudah tidak dibutuhkan di sini, aku akan pergi.” Marissa beranjak dari tempat duduknya, ia menggenggam tas yang semula diletakkan di atas meja. “TUNGGU!” cegah Deniz dengan suara yang lantang.Marissa menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh tanpa melihat ke arah Deniz. Ia meremas tas yang semula digenggamnya dengan erat, sampai di mana Deniz telah mengarahkan kursi roda yang didudukinya ke hadapan Marissa. “Ikut denganku,” kata Deniz tanpa menengok ke belakang, ia menjalankan kursi roda miliknya secara otomatis. Wajah pria itu terlihat pucat, keadaannya tak jauh berbeda dengan Marissa. Ia lebih terguncang dari yang terlihat, hanya saja Deniz terlalu pandai menyimpan rasa sakit hatinya. “Memangnya ada apa?” gumam Marissa dengan sendirinya. Tapi tidak ada jawaban dari Deniz, pria itu terus saja menjalankan kursi roda miliknya menyusuri lorong rumah sakit.Marissa diam sejenak, ia mematung sambil melihat kepergian Deniz yang bersikap dingin dari awal pertemuan mereka. Lal
“Tidakkk ….!” Teriakan itu terdengar sangat pilu. Marissa bersimpuh di bawah lantai dengan posisi memeluk dirinya sendiri setelah ia histeris beberapa saat.“Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain.” Sambung dokter Andrew yang telah mengerahkan tenaganya untuk mempertahankan nyawa Elizabeth selama 5 tahun ini.Marissa mengira, jika suster memanggilnya karena operasi pencangkokan yang dijalani oleh putri dan mantan suaminya telah selesai. Tanpa disangka, dokter Andrew membawa berita yang membuat semangat yang tersisa pada dirinya telah luluh lantak saat itu juga.“M-Marissa,” suara Ruth terdengar bergetar.Ia meraih tubuh Marissa dengan segera, tapi rasa kecewa yang telah menyelimuti hatinya membuat Ruth terpaksa ikut bersimpuh di sampingnya. Sementara itu, dokter Andrew pergi meninggalkan mereka tanpa permisi. Dokter paruh baya tersebut membiarkan Ruth dan Marissa meraung di dalam ruangan kerjanya. Ia merasa bersalah karena upaya yang dilakukannya sejauh ini berakhir dengan
“Menjauhlah dariku!” bentak Marissa saat ia mengangkat kaki kanannya.“Aduh!” Deniz memekik, kedua tangannya memegang bagian pangkal paha. Rupanya tendangan Marissa tepat mengenai sasaran dan membuat pria itu menjauh.“Jaga sikapmu, Deniz. Keluar dari ruangan ini dan biarkan aku mengenakan bajuku,” usir Marissa dengan tegas.“Tapi kemarin kamu,” “Apa? Kemarin ya kemarin, kalau sekarang— tidak!” mata Marissa melotot saat menjawab pertanyaan dari mantan suaminya tersebut.“Kenapa jual mahal begitu?” gerutu Deniz sambil mendesis menahan rasa sakit.“Cukup, Deniz! Kemarin adalah kesalahan, jangan harap kamu mendapatkannya kembali.” Ujar Marissa dengan tampang marah.“Sudah berapa pria yang kamu layani?” akhirnya pria itu bisa berdiri dengan tegap, ia menatap Marissa dengan wajah cukup sengit.Plak!Tamparan keras dari Marissa melayang tepat di pipi kiri Deniz. Wajah pria yang tidak siap dengan tindakan Marissa tersebut sedikit bergeser ke arah kanan. “Kau sudah tahu jika aku melakukan i
“Kalian memang berjodoh,” cibir Ruth setelah melihat Marissa datang bersama Deniz. “Si*alan kamu,” umpat Marissa dengan lirikan pedas. Ruth tersenyum tipis, ia berdiri di sisi tembok sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kenyataannya seperti itu, jangan marah. Kalian memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” sambung Ruth yang masih saja menggoda Marissa.“Hanya kebetulan bertemu, jangan berekspektasi terlalu tinggi.” Marissa mengelak.“Masih saja kamu berbohong, Marissa.” Ruth menggeleng pelan.“Tentang apa? Jangan mengada-ada,” Marissa menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi, perjalanan sepanjang hari ini membuat dirinya benar-benar letih.“Kamu masih mencintainya bukan?” Ruth sedikit memajukan wajahnya sambil mengedipkan sebelah mata.Pluk,Marissa melempar kotak tisu yang ada di atas meja, untung saja Ruth bisa menghindar. Perempuan berambut cepak tersebut tertawa puas karena berhasil menggoda sahabatnya.“Joshua meninggal,” tampak jelas jika Marissa begitu
“T-Tes DNA? A-Apa maksudnya ini?” “Lebih tepatnya, yang ada di hadapanmu saat ini adalah— hasil tes DNA.” Bruk, Dokumen yang ada dalam genggaman Marissa pun terjatuh begitu saja. Mendadak kakinya tidak bisa berdiri dengan sempurna, sehingga Marissa sedikit limbung dan hampir saja terjatuh. ***Marissa tidak berani mengangkat wajahnya, ia memilih untuk menghindari kontak mata dengan Deniz yang saat ini ingin menelannya hidup-hidup. “Gadis kecil yang ada di rumah sakit itu adalah putriku bukan?” jari telunjuk Deniz diarahkan dengan asal ke belakang dengan mimik muka yang serius. “Kenapa kamu menyembunyikannya dariku, Marissa?” lanjut Deniz yang mau tidak mau harus menginterogasi Marissa tentang keberadaan Eliza di tengah-tengah mereka. “A-Aku,” lidahnya benar-benar kaku, Marissa bingung hendak memulai jawaban dari mana. “5 tahun Marissa, dan kamu …. Argh ….!” Deniz sedikit menjauh dari Marissa yang mematung, ia mengacak rambutnya dengan kasar untuk melampiaskan perasaan kesalnya