“Dari mana kamu tahu jika aku sudah tidak tinggal di penthouse?” Marissa membawa secangkir kopi untuk rekan kerjanya, Joshua.“Deniz yang memberitahumu?” ia meletakkan cangkir keramik berwarna hitam glossy di depan pria berambut keriting tersebut.Joshua memanyunkan bibirnya, lalu mengedikkan bahu. Pria muda berpostur 175 centimeter dan berperawakan kurus itu lebih fokus menyeruput kopinya daripada menjawab pertanyaan dari, Marissa.“Kamu itu, di sini mau numpang sarapan apa mau ngasih info sih?” Marissa mendengus kasar, lalu ia mengalihkan pandangan ke arah kolam renang. “Memangnya apa yang ingin kamu ketahui, Marissa? Lihatlah si tampan itu, dia sudah memperlakukanmu dengan baik.” Ujar Joshua meletakkan cangkirnya kembali di atas meja.“Ck ….!” mulut Marissa berdecak, ia memutar bola matanya dengan malas.“Mereka akan menikah,” Joshua pun membuka suara. “Mantan tunanganmu itu, sudah menghamili adikmu.” Joshua kembali melanjutkan kalimatnya, ia menoleh dan memanyunkan bibirnya den
“Jangan meracuni otak, Joshua! Dia teman baikku,” Marissa menyilangkan kedua tangannya, ia menatap Deniz yang mengekor di belakang tubuhnya sejak kepergian Joshua. “Siapa? Aku? Ngapain ….?” elak Deniz yang menyangkal ucapan istrinya. Deniz melihat gadis itu lebih manis dari biasanya, skinny jeans dipadu dengan atasan lengan pendek sangat pas di tubuh Marissa yang ramping. “Dia anak baru kemarin, Sayang. Aku mengenalmu lebih lama darinya,” goda Deniz yang kini duduk di tepi ranjang berukuran king. Desain kamar tidur yang bertemakan Amerika klasik itu terlihat sangat nyaman, apalagi Deniz menyediakan satu set meja kerja untuk Marissa. Siapa tahu, gadis itu merindukan perusahaan konstruksinya. Marissa bisa menumpahkan jiwa working holicnya di sana sewaktu-waktu. “Ish, sayang ….? Mana ada sayang di sini?” ia mendecih, lalu melengos ke arah lain. “Ngomong-ngomong, bagaimana kondisi ayahmu? Sudah lama kamu tidak menjenguknya setelah ….” Marissa menghentikan ucapannya, ia melihat perubaha
Derit pintu berbunyi tanda bergeser, seorang pria muda masuk ke dalam ruangan bersuhu dingin."Kamu," kata-katanya tidak dilanjutkan, tapi wanita yang melingkarkan kain rajut di bahunya itu langsung beranjak dari tempat duduk.Deniz tidak menjawab, ia tetap melanjutkan langkahnya memasuki ruang ICU. Meski ia sangat tahu, jika Nichole tidak pernah menerima kehadirannya. Diam-diam pria muda itu pun mengkhawatirkan kondisi ayahnya. Perdebatan terakhir yang terjadi di antara mereka, membuat tuan Ghazy mendapatkan serangan jantung mendadak dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Hingga saat ini, kondisi tuan Ghazy masih belum sadarkan diri."Apa kamu puas? Apa kamu puas telah menyakiti ayahmu sendiri? Dasar, pembunuh!" cecar Nichole yang menumpahkan kekesalannya saat melihat Deniz datang menjenguk suaminya. Nichole memperlihatkan kebencian pada putra tiri dari pernikahan suaminya yang pertama."Tahan, Sam!" ujar Deniz sambil merentangkan tangan kirinya untuk menghadang pengawal pribadinya b
BRAK!Marissa terkejut saat mendengar suara keras seperti barang terjatuh atau memang sengaja dibenturkan. Ia menoleh ke sekeliling, ia melihat suaminya datang dengan wajah ditekuk.“Kenapa? Ada apa? Kenapa kamu datang langsung marah-marah?” Marissa beranjak dari tempat duduk, ia meletakkan sebuah majalah fashion yang baru saja dibacanya.“Deniz, aku sedang bertanya padamu.” Marissa mengerutkan dahinya. Ia berdiri memandang Deniz yang berjalan melewatinya begitu saja.“Sial. Ada apa lagi sih? Kenapa tidak ada ketenangan sedikitpun di keluarga ini?” Marissa bermonolog dengan dirinya sendiri.“Huft, masa aku harus mengejar dan menenangkannya? Memangnya aku ini perempuan apaan?” ia merasa gamang, digaruknya kepala bagian belakang yang tidak gatal.Bibirnya memberengut, “Aduh, aku bingung ….” Marissa meremas jari-jari tangannya. Ia mondar mandir di depan kursi sofa yang panjang setengah melengkung. Sesekali ia menengok ke arah kamar, pintu itu masih tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda
“Nona muda. Anda sedang apa di situ?” suara bariton itu membuat Marissa berjingkat. Ia pun menoleh ke asal suara. “Mark? Kamu mengagetkan saja,” Marissa mengelus dadanya. Ia menghembuskan napas dengan perlahan saat mengetahui salah satu pengawal Deniz tengah menyapa dirinya. “Mark, bisakah kamu membantuku? Dia, emh, tuan muda ….” Marissa menggerakkan tangannya dan diarahkan pada tubuh Deniz yang sudah tertelungkup di atas meja. “Dia mabuk, Mark.” Ujar Marissa dengan cemas, ia meremas tangannya yang terasa semakin dingin. “Oh, begitukah?” Mark melongok ke arah dalam ruangan. Ia mendapati tuan mudanya sudah dalam keadaan mabuk berat. “Aku tidak tahu kalau dia suka minum,” Ujar Marissa saat Mark berhasil memapah tubuh, Deniz. Pria muda itu melingkarkan sebelah tangan Deniz ke belakang lehernya untuk mempermudah Mark membawa tubuh tuannya ke dalam kamar. “Tidak, Nona. Selama saya mengenal tuan muda, baru kali ini saya melihatnya seperti ini.” Marissa mengerutkan dahinya, ia memanda
Marissa memaksa untuk membuka kelopak matanya yang masih terasa berat. “Engh, aduh ….” Erangan kecil itu keluar dari mulut, Marissa. Kepalanya berdenyut, hingga ia harus memejamkan mata kembali agar rasa sakitnya sedikit berkurang. Ia mulai mengumpulkan kesadarannya satu per satu, Marissa langsung bangkin dari tidurnya dan duduk tepat di tengah ranjang. “Apa yang sebenarnya sudah terjadi?” ia menatap sekeliling dengan pandangan kosong. Wajahnya yang bingung terlihat lucu saat melihat kondisi ranjang yang seperti baru terkena gempa.“Oh, shit!” ia membekap mulutnya sendiri dengan kedua tangan ketika menjumpai noda di atas sprei berwarna putih tulang.“Apakah semalam dia dan aku, ….” Marissa bermonolog dengan dirinya sendiri saat bercak darah yang sudah mengering itu terpampang nyata di depan matanya.“Aaaa __ tidak mungkin, tidak mungkin.” Kepalanya menggeleng dengan cepat. Ia tidak bisa membayangkan jika semua tebakannya adalah --- benar.Perlahan ia menoleh bayangan dirinya pada pa
Pria itu terusir dari kamarnya sendiri. Ia kini berjalan ke arah kantornya setelah melewati lobi dan masuk ke dalam lift untuk naik ke lantai atas. Kali ini Mark menemaninya, setelah kemarin malam ia dikawal dengan Sam. “Mana dokumen itu?” todong Deniz setelah ia sampai di depan meja kerjanya.“Permisi, Pak. Boleh saya masuk?” seorang perempuan muda berusia 25 tahun membuka pintu setelah ia mengetuk beberapa kali.“Silahkan,” jawab Deniz yang masih berdiri di samping meja kerjanya. Ia memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana sambil menatap Ryn sekretarisnya berjalan mendekat.“Ini semua berkas yang Anda minta, Pak.” Ryn meletakkan tumpukan dokumen yang diperlukan oleh atasannya di atas meja.“Apa ini, Ryn?” Deniz meraih sebuah benda berukuran sepanjang tiga sentimeter yang turut diserahkan Ryn pada tumpukan dokumen.“Flashdisk itu untuk Anda pelajari lebih lanjut, Pak. Jika hanya mengandalkan dokumen ini saja, saya rasa Anda akan sedikit kesulitan untuk mengurus kasus ini.”
“Dasar gadis hina! Tak tahu diri, beraninya kamu menampakkan batang hidungmu di depanku.” Tangan Nichole, ibu sambung Deniz dipegangi oleh Mark saat hendak melayangkan pukulan ke arah Marissa. “Karena kamu, keluargaku jadi berantakan. Apa alasanmu datang ke sini hah?! Apa belum puas kamu membuat suami dan anakku menderita?” belum puas Nichole meluapkan amarahnya. Ia pun mengacungkan jari telunjuknya dengan ekspresi sengit. Sementara itu, Marissa hanya bisa berdiri terpaku di depan pintu masuk kamar pasien. Di dalam sana, tubuh Deniz terbaring dengan luka tembak serius tepat mengenai dadanya. Bodohnya Marissa, ia tidak bisa melihat atau menemani sang suami dalam kondisi kritis. “Cukup, Nyonya Besar! Jangan sampai membuat keributan lebih dari ini,” Mark pun melepaskan cekalan tangannya saat Nichole sedikit lebih tenang. Wanita paruh baya itu memendam emosi dengan sangat. Nampak dadanya naik turun seirama dengan pergolakan hatinya. Belum usai masalah pelik yang dihadapi dengan suaminy
Kenapa tangan Marissa begitu gemetar saat ia menerima setumpuk berkas yang diberikan oleh Sam — bodyguard mantan suaminya. “Kau bercanda, Sam?” Marissa mengangkat wajahnya setelah ia mematung sekian detik. “Tidak. Mana ada bercanda dalam kasus yang saya tangani Nona,” jawabnya sambil menopangkan kedua tangannya di ujung meja. Sam menatap Marissa dengan tajam, ia tahu jika perempuan itu belum siap dengan gebrakan baru yang dirancang olehnya bersama Deniz. “Aku tidak bisa menerimanya,” sahut Marissa dengan cepat. Ia meletakkan kembali beberapa map yang baru saja dibacanya dengan kasar. Kali ini sasaran kemarahannya ditujukan pada meja kerja Deniz yang dinilainya sebagai meja terkutuk. “…. Nona sudah di sini tidak bisa mundur lagi,” ujar Sam tidak memindahkan pandangannya. “Lho, kok maksa sih? Aku bisa menolak ‘kan? Lagian, imbalan sebesar ini pasti kerjasama yang ditawarkan oleh tuanmu juga nggak main-main resikonya, iya ‘kan?” Marissa membalas tatapan Sam dengan memicingkan kedu
Kenyataannya sampai sore menyapa, Marissa tidak meninggalkan tempat duduknya. Ia masih di posisi yang sama saat pria itu dibaringkan pada tempat tidur berukuran large. “Huft ….” Marissa menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Ia memainkan jemarinya yang terasa semakin dingin di suhu ruang normal. Marissa berusaha untuk bersikap tenang, meski bola matanya tidak lepas memindai jarum infus dan alat perekam detak jantung sedari tadi. Satu jam yang lalu ….“Dia akan baik-baik saja, percayalah ….” ucap dokter Sunny sambil menepuk pelan bahunya. Dokter keluarga tersebut seakan ingin membesarkan hati Marissa yang saat ini tak ubahnya sedang terjun payung tak tentu arah. “Sejak saat itu, kesehatan tuan muda Deniz semakin memburuk.”Marissa menunduk dalam-dalam, ia menghela napas agar perasaan yang membuat dadanya begitu sesak hilang sudah.“Apa tidak ada alternatif lain agar suami oh maaf, agar tuan Deniz bisa pulih kembali?” Yang ada dadanya semakin sesak dengan realita yang a
“Silahkan masuk, Nona.” Sam membuka pintu sebuah ruangan, ia mempersilahkan Marissa masuk ke dalamnya. Perempuan berpostur semampai tersebut terlihat begitu tegang. Selama dalam perjalanan ia menerka-nerka seperti bermain dalam sebuah teka-teki. Kira-kira apa yang telah membuat dua orang kepercayaan keluarga Ghazy tersebut datang menemuinya kembali setelah sekian lama menghilang. Marissa masuk ke dalam ruangan dengan pandangan lurus ke depan. Tidak ada senyuman di bibirnya, hanya suara hak sepatunya yang menggema di sepanjang lorong. Tepat di menit ke lima, ia berhenti di depan seseorang yang tengah duduk di kursi sofa yang cukup mewah. Sepertinya pria di hadapannya ingin sekali menyapa, ‘Hai, apa kabar?’Tapi situasi tidak mendukungnya menjadi pejantan tangguh seperti dulu, bahkan nyalinya berubah menciut setelah melihat kondisi Marissa jauh lebih baik setelah bercerai dengannya. Satu kata yang pantas ditujukan pada sosok Deniz saat ini, menyedihkan! “Kamu tidak bertanya keadaan
Pagi buta Marissa bergegas, ia menyiapkan semua bahan baking untuk diolah menjadi roti gandum yang lezat. Ia sudah berdiri di depan sebuah meja panjang stainless yang berada di dapur belakang, “Mario, apa kamu sudah cek semua bahan?” tanya Marissa yang sudah mengenakan apron berwarna gelap.Pria muda dengan kisaran usia 19 tahun itu menoleh, ia memegang satu buah paprika berwarna merah. “Saya rasa sudah Madam,” “Bagus,” Marissa mengangguk kecil. Tampak terlihat di wajahnya begitu sumringah, ketika mendapati usaha yang telah ditekuninya kembali berjalan lancar sejak satu tahun yang lalu.Marissa pun kembali melanjutkan aktivitasnya untuk menakar semua adonan sesuai tekstur yang diinginkan. “Jam 7 tepat kita akan membuka toko, apa kalian bisa melakukannya dengan baik?” “Ya, Madam,” jawab Kay, gadis berusia 17 tahun yang sedang magang di tempat Marissa. Lebih tepatnya, Marissa mempekerjakan Kay secara paruh waktu untuk membantu membayar tunggakan biaya sekolahnya.“Aku bisa mengandalka
“Kalau aku sudah tidak dibutuhkan di sini, aku akan pergi.” Marissa beranjak dari tempat duduknya, ia menggenggam tas yang semula diletakkan di atas meja. “TUNGGU!” cegah Deniz dengan suara yang lantang.Marissa menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh tanpa melihat ke arah Deniz. Ia meremas tas yang semula digenggamnya dengan erat, sampai di mana Deniz telah mengarahkan kursi roda yang didudukinya ke hadapan Marissa. “Ikut denganku,” kata Deniz tanpa menengok ke belakang, ia menjalankan kursi roda miliknya secara otomatis. Wajah pria itu terlihat pucat, keadaannya tak jauh berbeda dengan Marissa. Ia lebih terguncang dari yang terlihat, hanya saja Deniz terlalu pandai menyimpan rasa sakit hatinya. “Memangnya ada apa?” gumam Marissa dengan sendirinya. Tapi tidak ada jawaban dari Deniz, pria itu terus saja menjalankan kursi roda miliknya menyusuri lorong rumah sakit.Marissa diam sejenak, ia mematung sambil melihat kepergian Deniz yang bersikap dingin dari awal pertemuan mereka. Lal
“Tidakkk ….!” Teriakan itu terdengar sangat pilu. Marissa bersimpuh di bawah lantai dengan posisi memeluk dirinya sendiri setelah ia histeris beberapa saat.“Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain.” Sambung dokter Andrew yang telah mengerahkan tenaganya untuk mempertahankan nyawa Elizabeth selama 5 tahun ini.Marissa mengira, jika suster memanggilnya karena operasi pencangkokan yang dijalani oleh putri dan mantan suaminya telah selesai. Tanpa disangka, dokter Andrew membawa berita yang membuat semangat yang tersisa pada dirinya telah luluh lantak saat itu juga.“M-Marissa,” suara Ruth terdengar bergetar.Ia meraih tubuh Marissa dengan segera, tapi rasa kecewa yang telah menyelimuti hatinya membuat Ruth terpaksa ikut bersimpuh di sampingnya. Sementara itu, dokter Andrew pergi meninggalkan mereka tanpa permisi. Dokter paruh baya tersebut membiarkan Ruth dan Marissa meraung di dalam ruangan kerjanya. Ia merasa bersalah karena upaya yang dilakukannya sejauh ini berakhir dengan
“Menjauhlah dariku!” bentak Marissa saat ia mengangkat kaki kanannya.“Aduh!” Deniz memekik, kedua tangannya memegang bagian pangkal paha. Rupanya tendangan Marissa tepat mengenai sasaran dan membuat pria itu menjauh.“Jaga sikapmu, Deniz. Keluar dari ruangan ini dan biarkan aku mengenakan bajuku,” usir Marissa dengan tegas.“Tapi kemarin kamu,” “Apa? Kemarin ya kemarin, kalau sekarang— tidak!” mata Marissa melotot saat menjawab pertanyaan dari mantan suaminya tersebut.“Kenapa jual mahal begitu?” gerutu Deniz sambil mendesis menahan rasa sakit.“Cukup, Deniz! Kemarin adalah kesalahan, jangan harap kamu mendapatkannya kembali.” Ujar Marissa dengan tampang marah.“Sudah berapa pria yang kamu layani?” akhirnya pria itu bisa berdiri dengan tegap, ia menatap Marissa dengan wajah cukup sengit.Plak!Tamparan keras dari Marissa melayang tepat di pipi kiri Deniz. Wajah pria yang tidak siap dengan tindakan Marissa tersebut sedikit bergeser ke arah kanan. “Kau sudah tahu jika aku melakukan i
“Kalian memang berjodoh,” cibir Ruth setelah melihat Marissa datang bersama Deniz. “Si*alan kamu,” umpat Marissa dengan lirikan pedas. Ruth tersenyum tipis, ia berdiri di sisi tembok sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kenyataannya seperti itu, jangan marah. Kalian memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” sambung Ruth yang masih saja menggoda Marissa.“Hanya kebetulan bertemu, jangan berekspektasi terlalu tinggi.” Marissa mengelak.“Masih saja kamu berbohong, Marissa.” Ruth menggeleng pelan.“Tentang apa? Jangan mengada-ada,” Marissa menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi, perjalanan sepanjang hari ini membuat dirinya benar-benar letih.“Kamu masih mencintainya bukan?” Ruth sedikit memajukan wajahnya sambil mengedipkan sebelah mata.Pluk,Marissa melempar kotak tisu yang ada di atas meja, untung saja Ruth bisa menghindar. Perempuan berambut cepak tersebut tertawa puas karena berhasil menggoda sahabatnya.“Joshua meninggal,” tampak jelas jika Marissa begitu
“T-Tes DNA? A-Apa maksudnya ini?” “Lebih tepatnya, yang ada di hadapanmu saat ini adalah— hasil tes DNA.” Bruk, Dokumen yang ada dalam genggaman Marissa pun terjatuh begitu saja. Mendadak kakinya tidak bisa berdiri dengan sempurna, sehingga Marissa sedikit limbung dan hampir saja terjatuh. ***Marissa tidak berani mengangkat wajahnya, ia memilih untuk menghindari kontak mata dengan Deniz yang saat ini ingin menelannya hidup-hidup. “Gadis kecil yang ada di rumah sakit itu adalah putriku bukan?” jari telunjuk Deniz diarahkan dengan asal ke belakang dengan mimik muka yang serius. “Kenapa kamu menyembunyikannya dariku, Marissa?” lanjut Deniz yang mau tidak mau harus menginterogasi Marissa tentang keberadaan Eliza di tengah-tengah mereka. “A-Aku,” lidahnya benar-benar kaku, Marissa bingung hendak memulai jawaban dari mana. “5 tahun Marissa, dan kamu …. Argh ….!” Deniz sedikit menjauh dari Marissa yang mematung, ia mengacak rambutnya dengan kasar untuk melampiaskan perasaan kesalnya