Rafael langsung dengan sigap melihat ke arah kemejanya, dan wajahnya terlihat terkejut tapi setelahnya dia dengan tenang mengancingkan jas biru dongkernya hingga kancingnya tadi tidak terlihat hilang.
“Kamu ini malu maluin aja, kok bisa sampek hilang gitu kancingnya kamu habis ngaapin sih?” tanya Mayang sambil menatap kesal ke arah putranya itu, membuat Chalista yang berdiri di sana menjadi tegang.
Entah apa yang akan Rafael katakan tapi saat ini CHalista benar benar tidak bisa membantunya karena posisinya hanya sebagai seorang adik yang tidak terlalu dekat dengan kakaknya, bahkan tingkah keduanya pun sering menyita perhatian MAyang karena seeblumnya Rafael memang tak pernha mengakui CHalista sebagai adiknya sendiri, apalagi sekarang saat hubungan mereka sudah berubah menjadi sepasah kekasih.
“Nyangkut di hendel pintu,” jawab Rafael seadanya tapi wajahnya yang memang datar tak terlihat mencurigakan sama sekali, tapi alasannya kurang masuk
Rafael langsung melenggang pergi dari kamarnya dan Monika dengan wajah yang sangat menyeramkan. Urat urat lehernya bahkan terlihat saking kerasnya dia menahan emosinya.Pria itu berjalan cepat bukan untuk menuju ke lantai bawah tempat pesta ulang tahun pernikahan mama dan papanya diadakan. Dia menarik kasar dasinya yang serasa mencekik lehernya itu dan malah berjalan menuju ke ruang kerjanya yang ada di lantai 3.Brak!Rafael menendang pintunya dengan kakinya hingga membuat pintu itu hampir rusak. Tatapannya setajam serigala yang siap memakan mangsanya.Bugh!Bugh!Rafael memukul mejanya dengan tangannya secara bertubi tubi hingga mengeluarkan darah segar yang mengalir karena sobekan kulit tangannya. Tapi itu tak membuat pria itu berhenti. Rafael terus melakukannya hingga emosinya mereda dan tangannya terluka cukup parah.Rafael mengacak rambutnya frustasi. Sudah lama sekali dia menahan semua ini dan dia belum berbicara dengan papanya selama ini karena itu hanya membuat keinginannya un
Chalista mematung, dia belum bisa memproses apa yang terjadi saat ini. Suara pekikan terkejut semua orang memenuhi ruangan termasuk suara mama.Ia hanya ingat sedang menatap terkejut ke arah Monika yang memakai dress yang sama dengannya lalu kemudian ada pelayan yang sedang membawa kue tinggi menjulang dengan stroller. Kue itu milik mama dan papanya dan terukir dengan sangat indah.Namun, Chalista belum bisa memproses semuanya saat tiba-tiba kue itu sudah jatuh menimpan tubuhnya. Ya, benar benar sangat memalukan. Saking besar dan bertingkatnya kue itu seluruh tubuh CHalista ari dada hingga ke bawah dress merah indahnya sudha ternodai.Chalista masih terdiam saat dia mendengar mamanya meneriaki pelayan untuk membawakan tisu atau sebgaainya untuk membantu membersihkan tubuh putrinya namun saking kotornya rasanya tisu tak akann cukup.CHalista merasa sangat malu saat semua orang menatapnya dengan tatapan terkejut sekaligus kasian, namun saat pandangannya mengarah ke arah Monika dia mendad
Chalista sontak mendoorng kasar tubuh Rafael yang tadi sedang menjilati dadanya dengan ekspresi yang syok. Dia mematung saat melihat kakak sepupunya, Morgan datang tiba-tiba dari arah pesta tadi.Seluruh tubuh Chalista rasanya bergetar hebat saat dia melihat wajah Morgan. Dia yakin Morgan melihat apa yang terjadi tadi. Bagaimana ini? Apa ini adalah akhir hidup Chalsita?“K-kak Morgan…” lirih Chalista dengan bibir bergetarnya, tangannya meremas dressnya yang sudha kotor itu. Semuanya hari ini sangat kacau, benar benar kacau. Tak ada yang berjalan sesuai dengan rencana.Sementara itu Morgan hanya menatap keduanya dengan tatapan tenang, tak terlihat terkejut sama sekali dan itu semakin membuat Chalista merutuki dirinya mati matian daalam hatinya. Dia cemas membayangkan apa tadi Morgan mendengar semua yang dia ucapkan dengan Rafael atau dia melihat apa yang Rafael lakukan tadi.Argh!“K-kak Morga…ini tidak seeperti yang kakak lihat…Raf…hm maksudku Kak RAfa hanya membantuku membersihkan d
Chalista langsung berdiri dengan cepat saat dia menerima pesan kedua dari Morgan, dia berpikir apa kakaknya ini memberikannya kesempatan kedua untuk menjelaskanya? “Hmm atau dia akan memaksaku untuk jujur?” tanyanya pada dirinya sendiri. Segala jenis kemungkinan terbesit di pikiran Chalista saat ini tapi berusaha dia tepis jauh jauh karena apapun itu tak akan mengubah fakta bahwa Morgan sudah melihatnya, karena si Tuan Muda, Rafael Nathan Adijaya.“Argh aku harus cepat,” ucapnya pada dirinya sendiri sambil berlari menuju ke arah lemari pakaiannya yang kosong melompong. Chalista langsung memukul jidatnya.“Ya ampun aku lupa bajuku udah di apartement semua,” desahnya saat menyadari dia meminjam baju tidur ini dari mamanya tadi karena dia tau Chalista tak membawa sehelaipun pakaian.“Aduh sekarang gimana caranya keluar?” tanya Chalista pada dirinya sendiri, tidak mungkin dia memakai baju tidur satin yang cukup terbuka ini kan?Tapi jika dilihat lihat memang tidak seperti baju dinas, wala
Setelah kejadian mengejutkan tadi dan seluruh fakta yang ia ketahui Chalista langsung berjalan cepat menuju ke kamarnya. Seluruh pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada Morgan dia abaikan karena takut ketahuan oleh Monika.Termasuk, semua pertanyaanya pada Rafael dia simpan untuk saat ini karena dia tak bisa menemui pria itu sembarangan saat mereka sedng ada di rumah mama dan papanya itu sangat beresiko.Perlahan kaki jenjang wanita itu berjalan menapaki tangga spiral yang akan membawanya menuju ke lantai dua. Penerangan di jalan menuju ke kamarnya hanya temaram, lampu malam dengan warna kuning keemasan karena memang pelayan akan mematikan lampu utama menjelang jam tidur.Chalista langsung mendorong pintu kamarnya saat dia sudah sampai di depan pintu berwarna putih itu dan dia masuk dengan mengunci pintunya rapat rapat.Namun, saat ia masuk lampunya mati. Bukan mati lampu tapi hanya lampu kamarnya yang mati. Ini aneh karena semua lampu lain di rumah menyala tapi kenapa hanya ruangan ka
“Sayang…aku sangat merindukanmu..ah bagaimana bisa kau senikmat ini hm?” desah Rafael saat dia mulai memompa pusakanya ke liang kenimatan Chalista, membuat gadis itu merep melek menahan kenikmatan tiada tara yang Rafael berikan.Hal ini mengingatkannya pada malam itu, malam pertamanya tiba di rumah dan malam kecelekaaan itu terjadi saat Rafael menidurinya untuk pertama kalinya dan ia sangat syok waktu itu sampai tak bisa berkata kata lagi apalagi dia masih perawan dan Rafael sendiri melihat bercak darah yang ada pada sprey di kamarnya.Mendadak ia terpikir sesuatu. “Ahhmmm Raf…tunggu.” Ia menyela saat Rafael ingin memainkan kedua payudaranya yang naik turun karena dipompa pria itu dari bawah. Hal ini membuat Rafael kesal, dia paling tak suka diganggu saat sedang berhubungan seperti ini.Pria itu langsung mendekatkan wajahnya agar hidungnya beradu dengan hidung wanita itu, dan kedua mata mereka bertatapan. Dengan nakalanya Rafael menjilat bibir ranum wanita itu hingga ke dagu dna lehern
Rafael mematikan saklar lampu yang ada di kamar Chalista saat ia bergegas keluar dengan baju yang asal dipakai saja dengan kancing yang masih terbuka beberapa di bagian atasnya.Keringat panas masih menetes dari dahi pria itu karena bekas percintaan panasnya yang hampir membuat kesadarannya hilang. Bayangan Chalista yang ada di atasnya, membuatnya kembali mengeras.Dia menoleh perlahan pada punggung mulus wanita itu yang sedang menyelimuti dirinya dengan selimut tebal. Semburat senyum terbit di wajah tampan Rafael yang akan pergi keluar meninggalkan wanita pujaanya dengan rasa terpaksa karena dia tidak bisa mengambil resiko untuk tidur di kamar wanita lain yang ada tepat di sebelah kamar istrinya.Ya, segila apapun Rafael saat ini mencintai Chalista, tapi dia masih berusaha berpikir normal.Semuanya masih ada di bawah kendalinya, selama semua rencanya yang sudah ia susun berjalan dengan lancar, dengan bantuan Morgan tentunya dan ia tak akan pernah melepaskan wanita ini. Tidak saat dia
Ibu dan anak itu kini saling tatap menatap dalam suasana hening. Mata mereka sama sama mengisyaratkan keinginan yang berbeda tapi harus ada yang mengalah diantara mereka.Mayang, berucap dengan nada lebih serius dari biasanya. “Pergi ke kamar istrimu sekarang juga Rafael!” Suaranya bergema kembali di ruangan itu.Mendengarnya, Rafael mengepalkan tangannya erat erat hingga memperlihatkan buku jarinya. Perasaanya sangat campur aduk saat ini dan dari semua orang yang ada di rumah ini harus mamanya yang memergokinya keluar dari kamar Chalista.Dari semua waktu yang ada, kenapa timingnya harus bertepatan saat ia barusaja keluar dari kamar Chalista?Selama bertahun tahun ia cukup mendengar bawahannya mengeluh tentang banyak hal tentang dirinya dan mereka selalu mengatakan kata andalannya yautu “Hari sial tidak ada di kalnder” dan Rafael selalu bekerja dengan mengabaikan semua itu hingga akhirnya dia sendirilah yang sekarang mengalaminya. Memang hari sial tak ada yang tau, dan Rafael percaya