“Coba, sini Mama lihat dasinya,” ucap Mayang sambil mengambil dasi yang Chalista pegang dengan dahi mengkerut bingung.Chalista langsung menegang seketika, dia menelan ludahnya susah payah. Bagaimana ini? Dia sangat takut mamanya mengenali dasi siapa itu karena biasanya Rafael memang sangat sering menggunakan dasi berwarna biru dongker seperti ini.“Loh….kok kayak udah kepakek si Cha dasinya?” Pertanyaan Mayang sukses membuat Chalista gugup setengah mati. Keringat dingin membahasi dahinya padahal ada pendingin ruangan di sana.“Ehm…i-ya Ma soalnya itu—Argh! Chalista bisa gila, apa yang harus dia katakan sekarang?“Kenapa? Kok kamu tegang gitu sih Mama nanya ini kan katanya dasi baru,” ujar Mayang sambil menatap putri angkatnya itu. Mayang sangat kenal gadis ini sejak lama dan dia paham gerak gerik putrinya ini dan dia rasa pasti ada yang tak beres dengannya.“Itu eman
“Maaf, Nyonya tapi kamar yang anda pesan hanya 2 kamar dengan tipe VVIP.” Ucapan pelayan hotel di lobi villa itu sontak membuat Mayang syok.“APA?! Loh kok bisa? Perasaan mama udah pesen 3 kamar loh,” keluh Mayang dengan wajahnya yang sudah panik.“Coba kamu cek dulu yang benar, sayang,” ujar Abimanyu tetap tenang tatkala istrinya sudah kelimpungan karena panik.“Monika sayang, kemarin kan mama booking vilanya sama kamu kan kita udah mesen tiga kamar kan?” tanya Mayang memastikan pada menantunya itu.Monika yang terlihat menempel dengan Rafael itu langsung mengangguk cepat. “Iya, Ma kemarin aku lihat apa mungkin mama salah pencet kemarin pas booking di aplikasinya,” jawab Monika dengan wajah yang juga panik.Tapi, dari sudut matanya dia melihat sinis ke arah Chalista yang berdiri tak jauh dari mereka. ‘Rasain lo tidur di jalanan aja, jangan ganggu liburan keluarga lo cuma anak
“Wah! Kebetulan sekali bertemu Tuan Muda Xander di sini, apa yang kau lakukan di sini Abian?” Diluar dugaan Chalista, ternyata papanya mengenal Abian. Ya, itu tidak mengherankan mengingat betapa terkenalnya keluarga mereka. Keluarga Alexander masuk ke deretan keluarga konglomerat bersanding dengan keluarga Adijaya dan keluarga Wardana (keluaga Monika)Namun, ketiga keluarga itu bergerak di bisnis yang berbeda-beda, jadi tidak sepenuhnya bersaing tapi masih ada hubungan kerjasama.Abian terlihat tersenyum saat melihat Abimanyu di sana, segera dia membalas uluran tangan pria itu dengan sopan. “Aku memang menginap di Bali untuk beberapa hari, ada beberapa masalah di bandara dekat sini jadi papa menyuruhku menanganinya,” jelas Abian sambil tersenyum manis, namun sedetik mungkin dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah Chalista membuat gadis itu seketika mematung.“Chalista, kita bertemu lagi apa ini juga sebuah kebetulan?” ta
Malam pun tiba, seluruh keluarga Adijaya kini sudah berkumpul di tengah-tengah api unggun sambil melihat bintang. Chalista sejujurnya enggan untuk ikut bergabung di sana karena kini keluarganya malah mengajak Abian untuk bergabung dan itu membuat Chalista tak nyaman.Sejujurnya ada alasan kuat mengapa Chalista putus dengan Abian, selain fakta bahwa dia merasa tak pantas dengan keluarga elit pria itu. Hal itu karena Abian berselingkuh di belakangnya dan itu adalah hal yang tak bisa ditoleransi oleh Chalista, apalagi sepanjang mereka berpacaran dulu Abian selalu memintanya untuk melakukan hubungan intim dengannya seperti seorang hiper sex, dan dengan kurang ajarnya Abian mengatakan dia selingkuh dengan wanita lain karena Chalsita tak memberikannya jatah batin.Chalista langsung menampar pria itu dengan segenap emosi yang dia miliki dan ia langsung memutuskannya sepihak, tak disangka kini Abian malah mengejar-ngejar Chalista lagi membuatnya merasa ketakutan.&ldquo
“Loh, Cha ternyata kamu habis mandi ya?” tanya Mayang langsung saat Chalista dan Rafael berjalan mendekat ke arah kerumunan dimana keluarga sedang berkumpul.“Iya, Ma biar lebih seger,” jawab Chalista sambil tersenyum. Dia sebisa mungkin menghindari tatapan Abian ke arahnya secara terang-terangan itu.“Kok lama sih, sayang?” tanya Monika kepada suaminya membuat wajah Chalista langsung pucat pasi. Dalam hatinya dia merutuki Rafael yang hendak melakukannya di sana, belum ngapa-ngapain saja sudah dibilang lama tidak kebayang kalau mereka benar-benar melakukannya bisa menjadi masalah besar.Abimanyu yang mendengar itu langsung menatap tajam ke arah Chalista, namun gadis itu langsung menundukkan kepalanya. Dalam hatinya dia merasa sangat kesal dengan papanya itu karena dia teringat ucapan Abimanyu beberapa hari lalu saat Chalista mengatakan kalau Monika telah bersikap curang tapi pria itu seakan-akan menutup mata dan telinganya dan
“Ma! Ini gak seperti yang mama pikir Chalista bisa jelas—“Iya, Tante maaf merahasiakan fakta ini aku memang pacar Chalista,” ucap Abian langsung menyela ucapan Chalista. Gadis itu langsung melotot tajam dan menatap Abian yang berbohong itu.Apa sebenarnya tujuan pria ini?Mayang langsung tersenyum penuh arti ke arah putri kesayangannya itu. “Chalista! Sejak kapan kamu mulai merahasiakan hal seperti ini dari mama hm? Memangnya apa yang salah dengan berpacaran, apalagi kau memacari Tuan Muda dari keluarga Alexander papa tidak mungkin marah saat mengetahui ini dia pasti sangat senang,” ujar Mayang sambil menepuk pundak Chalista dengan sedikit kesal.Awalnya Mayang pikir ada masalah diantara keduanya ternyata mereka adalah pasangan kekasih.“Ma itu tidak benar,” ucap Chalista kebingungan, dia tak tau harus bagaiaman lagi mengatasi situasi ini. Tentu saja Chalista ingin membantah ucapan Abian namun sejak
“Sayang, semoga lancar, ya,” ucap Mayang sambil senyam-senyum sendiri saat meninggalkan villa menantunya itu. Senyuman merekah Mayang membuat Monika semakin yakin akan rencananya malam ini.“Ma, pokoknya tunggu aja Rafael junior bakal launching bentar lagi,” jawab Monika dengan senyum percaya dirinya.Mayang langsung mengangguk dan berjalan cepat menuju ke villanya yang memang lumayan berjarak jauh karena villa VVIP dibatasi oleh taman kecil dan jalan setapak yang ditumbuhi bunga-bunga liar.Monika langsung menutup pintunya dan membuatnya setengah tertutup karena Rafael masih belum kembali. Dia mengatakan ada panggilan penting jadi suaminya itu sedang mecari sinyal untuk bisa berbicara dengan leluasa.“Lihat saja, Rafael sayang aku akan menaklukkanmu malam ini, kau tidak akan pernah bisa menahan pesonaku,” ucap Monika dengan percaya diri. Dia sudah menata tempat tidurnya dengan rapi dan membersihkan tubuhnya, memakai pa
Chalista melirik jam kecil di pergelangan tangannya. Ah, bagaimana ini sudah hampir 5 menit dia terjebak di kamar ini bersama Abian.“Kau ingin aku yang melepas pakaianmu itu dengan paksa atau kau akan melepaskan sendiri di depanku, tinggal pilih!” ucap Abian dengan angkuh. Pria itu kini sudah duduk di kasur besar yang ada di villa itu dengan ikat pinggang yang sudah dilepas.Chalista menelan ludahnya susah payah. Sisi gelap Abian yang selama ini tidak dia ketahui kini muncul. Ya, Chalista memang punya firasat buruk dengan pria ini oleh karena itulah dia memutuskannya secara sepihak dan ternyata dugaannya benar, Abian hanya mengejar tubuhnya saja.Dengan gerakan cepat Chalista langsung bergegas menuju ke arah pintu berharap dia bisa kabur namun sialnya itu sudah dikunci oleh Abian. Mendadak Chalista ketakutan karena mendengar suara langkah kaki pria itu dari belakang berjalan mendekat ke arahnya.“Chalista kau sungguh tidak punya pilihan lain selain tidur denganku malam ini,” ujar Abi
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista melangkah perlahan menuju area kedatangan bandara, mengikuti arahan tim manajemennya yang sibuk mengatur segala sesuatunya. Hatinya berdegup kencang saat ia melirik ke arah kerumunan orang di depan.Pandangannya langsung terhenti pada seorang pria yang berdiri dengan tegap, mengenakan jas hitam elegan yang sangat cocok dengan postur tubuh tingginya. Rafael.“Tidak mungkin,” bisiknya dalam hati. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rafael, pria yang dulu sangat dikenalnya, kini terlihat jauh lebih tampan dan gagah. Wajahnya begitu tegas dengan rahang yang semakin tajam. Mata cokelatnya tetap setajam dulu, hanya saja sekarang ada kilatan dingin di sana."Nona Marone? Wah, sebuah keberuntungan sekali bisa bertemu anda di sini.” Ucapan pria yang berdiri di belakang Rafael itu membuyarkan tatapan antara Chalista dan Rafael.Chalista tersenyum, namun belum sempat dia menjawab, asisten pribadinya, Lucy menariknya dan berbisik. “Nona….ya ampun kau mengenal Tuan Rafael? Tidak