Rafael sampek ga inget istri kalau udah sama Chalista aduh!
“Euh…..” Chalista melenguh pelan dalam tidurnya saat cahaya matahari mulai menerangi kamarnya. Ah, pasti Chalista kesiangan lagi seperti biasanya.Wanita itu bergerak hendak meregangkan tubuhnya sebelum dia merasakan tangan berat memeluknya dari belakang hingga ia mengerjapkan matanya berkali-kali untuk mengumpulkan kesadarannya.Chalista langsung berbalik dan melihat wajah tenang Rafael yang masih tertidur sambil memeluknya dengan erat. Ia langsung melotot tajam. Dengan gerakan cepat Chalista menyambar hpnya yang ada di nakasnya.Jantungnya berdebar dengan sangat kencang. Saat ia melihat hpnya jam sudah menjunjukan pukul 7 lewat 30 menit pagi. Chalista langsung syok seketika. “RAFF RAF!!” pekiknya sambil menepuk punggung pria itu dengan kasar.Sial! Mereka berdua tidur kebablasan hingga Rafael tak bangun subuh tadi padahal dia sudah mengatakan membuat alarm untuk kembali ke kamarnya dengan Monika pagi-pagi buta agar tak ada yang melihat tapi Rafael masih tidur bersamanya hingga hampir
“Hahh….apa, Ma?” tanya Chalista dengan wajah melongo kebingungan, tapi Mayang malah menatapnya dengan tatapan menggoda karena mengira dia menyembunyikan Abian di dalam kamarnya.“Jangan bohong, deh sama mama, Cha mama itu tau kamu dari kecil semua gerak gerik kamu mama bakal tau,” ujar Mayang berusaha memberitahu Chalista kalau dia sangat kentara sekali tengah menyembunyikan sesuatu darinya. “Lagian, sejak kapan kamu jam segini masih tidur? Pura-pura ngantuk lagi,” sindir Mayang sudah tau semua akal bulus putrinya itu.“Bener, kan? Abian di dalem?” Kini Mayang berbicara dengan berbisik ke arah Chalista sambil sedikit mengintip dari celah pintu yang terbuka, membuat Chalista benar-benar frustasi dalam kondisi ini.Tak mungkin kan dia mengaku kalau dia tidur dengan Abian? Bisa kacau jika mamanya memberitahu papanya mereka sudah pernah tidur bersama. Ya, walaupun Chalista merupakan wanita dewasa tapi tetap saja
“Ahhh ini! Sendal….” Chalista ingin menghilang dari dunia ini detik ini juga karena ia tak tau harus menjawab apa. Sendal yang memang didapat dari villa itu tertinggal di sana, itu pasti milik Rafael karena milik Chalista masih diluar.Mayang menatap bingung ke arah Chalista yang mendadak menjadi gagap. “Hmm kenapa bingung? Ini sendal siapa? Kamar mandinya juga ditutup,” curiga Mayang, apalagi melihat putrinya yang terlihat tegang sepertinya memang benar dugaannya ada yang disembunyikan di kamar ini.“Ini sendal aku, siapa lagi, Ma?” ujar Chalista sambil tertawa hambar, berharap Mayang bisa cepat-cepat pergi dari sini karena Rafael ada di dalam kamar mandi tengah bersembunyi, jika Mayang membuka pintunya maka tamat sudah riyawat mereka kali ini.“Ahh masak Cha, kamu mau bodohin mama? Ini sendal ukuran berapa? Ukuran sepanjang kaki Rafael ini, Cha masak kamu bilang punya kamu,” sinis Mayang sambil menatap dengan tatapan curiga kali ini semakin curiga.“Iya, itu sendal aku emang kebesara
“Mama….mama tau apa?” tanya Chalista masih berusaha bertahan di tengah-tengah keadaan yang sangat genting itu. Dia sungguh sudah kehabisan tenaga untuk berpikir lagi. Rasanya apapun yang dia katakan tak akan terrdengar seperti kebenaran lagi karena dia sudah panik setengah mati.Bukannya menjawab, Mayang malah menyibak rambut Chalista yang tergerai panjang itu, hingga memperlihatkan leher jenjangnya. “Mama sudah lihat ini sejak tadi, tapi mama tetap diam mama mau kamu yang terbuka sendiri sama mama,” ucap Mayangg membuat Chalista mengernyit kebingungan.Dia langsung melihat ke arah cermin karena mamanya menunjuk arah leher dan bawah lehernya hingga dia syok sendiri karena melihat bekas ciuman Rafael yang masih berwarna merah keunguan itu terjiplak sempurna di lehernya.Argh! Rafael! Ini semua salah Rafael!“Hm? Kamu mau mengelak bagaimana lagi?” tanya Mayang saat melihat wajah syok Chalista.Sial! Kali ini Chalista benar-benar sudah tak punya pilihan lagi, mau mengelak bagaimanapun sud
Pagi ini, Chalista kembali ke rutinitas awalnya menjadi sekretaris Rafael dan menyembunyikan hubungan mereka dengan rapat-rapat.Chalista dan keluarganya kembali dari Bali dua hari yang lalu dan semuanya berjalan dengan lancar dari berangkat hingga pulang dan mamanya juga tak mencurigai Rafael setidaknya walaupun kini Abian yang tak tau apa apa menjadi kambing hitamnya.Dan hal terkonyol dari semua itu adalah saat Chalista menanyai Rafael dimana pria itu berada pagi itu, Rafael mengatakan ia awalnya memang bersembunyi di kamar mandi dan mendengar suara Mayang dari luar dengan panik Rafael langsung memanjat jendela yang ada di kamar mandi dan meloncat keluar dengan cepat lalu karena ia berpikir Mayang sedang menginterogasi Chalista ia langsung mengetok pintu dengan cepat dari arah luar.Chalista menggelengkan kepalanya jika mengingat kejadian itu lagi karena ia tak pernah merasa setegang itu sebelumnya bahkan wawancara paling mematikan sekalipun tak akan rasanya setegang itu.Namun ha
Chalista tak henti-hentinya tersenyum setelah acara itu selesai dari sepanjang perjalanan dari lorong ballroom acara itu hingga di lantai 2 tempat kerjanya berada, ia sudah seperti orang gila karena terus tersenyum.Jika dipikir pikir sekarang memang tak ada gunanya dia merasa terganggu dengan Monika sama sekali karena walau dia yang berstatus sebagai istri sahnya tapi tetap saja dirinyalah pemilik hati CEO tampan itu.Chalista tersenyum lagi membayangkan tatapan kesal Rafael saat Chalista sengaja menjaga jarak agar tidak terlalu kentara hingga ia menjadi lebih dekat dengan wakil CEO ketimbang Rafael dan pria itu tanpa berpikir langsung menarik pinggangnya dari belakang di depan istrinya sendiri yang hanya bisa duduk sambil melihat itu tanpa tau apa apa tentunya.“Yah..untuk apa aku harus sakit hati hanya karena wanita licik itu!” Chalista berucap untuk menghilankan rasa kesalnya tadi saat melihat keduanya masuk sambil bergandengan dengan decak pujian dari semua orang dan itu sempat me
“Aku? Maksudmu kita melakukannya?” tanya Rafael dengan wajah yang sangat tajam. Dia menatap wajah Monika yang mulai kebingungan karena Rafael terlihat bingung dengan perkataannya barusan.Monika mengerjapkan matanya berkali-kali, posisinya masih diatas pangkuan Rafael walau pria itu tak sudi menyentuh paha Monika. Dia sangat ingat malam itu di Bali, saat dia sudah mnunggu Rafael selama beberapa jam dan akhirnya Rafael masuk. Walaupun mereka sempat bertengkar tapi setelahnya Rafael luluh kembali dan akhirnya mulai menyentuhnya dengan buas.Ya, Monika sangat yakin dia telah berhasil menjebak Rafael, ia sangat yakin malam itu dia melakukannya dengan Rafael.“Kenapa sayang? Apa aku perlu mengingatkanmu bagaimana rasa tubuhku karena kau pura pura tak ingat, hm?” goda Monika sambil menggesekkan gunung kembarnya di dada bidang Rafael membuat dasi pria itu bergeser.Wajah Rafael terlihat menegang, rahangnya mengeras dengan tangan yang dikepalnya dengan sangat erat. Dia sungguh tak tau apa yang
“R-af….ihh bercanda kamu gak lucu tau gak!” kesal Monika mengira Rafael bercanda padahal raut wajah pria itu tidak ada bercandanya sama sekali. “Kenapa sih susah banget bagi kamu buat ngaku, segede itu ya ego kamu padahal aku istri kamu loh Raf,” ucap Monika lagi.Mendengar itu Rafael yang cukup pusing dengan apa yang sebenarnya terjadi memilih diam. Di kepalanya ada dua kemungkinan, pertama adalah tentu wanita ini selingkuh di belakangnya dan melakukannya dengan pria lain tanpa dia ketahui. Kedua adalah ada yang menyusup masuk ke kamar Monika saat dia sedang mabuk tanpa wanita ini ketahui.Rafael terpikir lagi. Siapa pria yang berani masuk ke kamar Monika jika memang dia tidak memiliki hubungan spesial kan? Ya benar! Dugaan Rafael pasti benar wanita ini berselingkuh di belakangnya dan tak tau dirinya telah membeberkannya tanpa sadar.“Kau menikmatinya malam itu?” tanya Rafael lagi seakan belum puas dengan jawaban Monika karena ini terasa sangat lucu baginya. Jelas jelas Rafael bersama
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista melangkah perlahan menuju area kedatangan bandara, mengikuti arahan tim manajemennya yang sibuk mengatur segala sesuatunya. Hatinya berdegup kencang saat ia melirik ke arah kerumunan orang di depan.Pandangannya langsung terhenti pada seorang pria yang berdiri dengan tegap, mengenakan jas hitam elegan yang sangat cocok dengan postur tubuh tingginya. Rafael.“Tidak mungkin,” bisiknya dalam hati. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rafael, pria yang dulu sangat dikenalnya, kini terlihat jauh lebih tampan dan gagah. Wajahnya begitu tegas dengan rahang yang semakin tajam. Mata cokelatnya tetap setajam dulu, hanya saja sekarang ada kilatan dingin di sana."Nona Marone? Wah, sebuah keberuntungan sekali bisa bertemu anda di sini.” Ucapan pria yang berdiri di belakang Rafael itu membuyarkan tatapan antara Chalista dan Rafael.Chalista tersenyum, namun belum sempat dia menjawab, asisten pribadinya, Lucy menariknya dan berbisik. “Nona….ya ampun kau mengenal Tuan Rafael? Tidak