Ayokk jujur aja Mon, udah ketangkep basah juga kan?
Monika kini benar benar mati kutu. Seluruh tubuhnya rasanya akan ambruk saat ini juga. Netranya fokus menatap sebuah video dari layar hp yang sedang Rafael putar.Tenggorokannya rasanya terkecat, dia menelan ludahnya susah mayah dan tangannya terkepal kuat.Setelah Rafael mengatakan hal yang membuat Monika bungkam, pria tampan itu langsung mengeluarkan hpnya dari kantong celananya. Kemudian, dia membuka hpnya dan memutarkan sebuah video.Bukan vidio biasa, melainkam video yang dapat mengakhiri hidupnya saat ini juga.Video cctv di villa saat di Bali itu.Rafael benar benar menikmati wajah syok dan panik yang diperlihatkan oleh Monika. Entah sudah berapa lama Rafael sudah menahan semua ini dan rasanya dia sudah gatal sejak dulu ingin membungkam istrinnya ini tapi ternyata waktu yang paling tepat dia pikir adalah sekarang.Sebenarnya rencana Rafael sudah mulus, dia akan mengancam Monika dengan video ini segera agar dia mau menandatangani sebuah perjanjian pernikahan yang tentunya lebih m
“AKU SUDAH CUKUP RAF SELAMA INI MENAHAN SEMUANYA. SEKARANG AKU GAK KUAT. AKU CUMA MAU CINTA DAN KASIH SAYANG DARI KAMU TAPI KAMU GAK PERNAH BISA NGASIH KE AKU!” Monika menangis sambil meneriaki Rafael.Posisinya saat ini benar benar sangat berbahaya. Monika berdiri di pembatas balkon yang ada di lantai 3. Posisinya benar benar sangat berbahaya, jika jatuh dari sana maka kemungkinan Monika bisa tewas mengenaskan.Sial!Rafael tak pernah membayangkan wanita ini akan menjadi segila ini.Dengan langkah pelan, Rafael berjalan mendekat ke arah balkon sambil meminta Monika untuk tenang. “Monika….tenang. Mati di sini tidak akan menyelesaikan masalah.” Ucapan Raafel sukses membuat emosi Monika semakin membuncah.Chalista disisi lain yang melihat semua itu langsung berlari menghampiri Rafael dengan tergesa gesa. “R-Raf!..Kak Raf! Suara Chalista bergetar saat memanggil nama suaminya itu, di hadapan istri sahnya.Dia sungguh bingung apa yang sebenarnya terjadi di sini, tapi melihat dari raut wajah
“DOKTER!! BAGAIMANA KEADAAN MENANTU SAYA?” Mayang langsung menghampiri dokter yang memeriksa Monika, disusul oleh mama dan papa Monika.Keadaan di lorong rumah sakit itu sangat kacau, ada banyak orang yang menunggu di sana dengan raut wajah yang panik. Begitu juga dengan dokter itu yang merasa cukup gugup karena dia memeriksa menantu dari pemilik rumah sakit ini, Abimanyu.Dokter itu menarik napasnya pelan sebelum berucap. DIa sudah menganggukkan kepalanya pada Abimanyu sebagai tanda hormat sebelum dia berucap tapi ada banyak sekali orang yang mengerumuninya saat dia barusaja keluar sehabis memeriksa keadaan Monika. “Dokter…anak saya baik baik saja kan?” Suara mama Monika bergetar saat menanyakannya, dia sungguh khawatir bukan main saat diberikan kabar kalau putri kesayangannya jatuh dari balkon.Seluruh keluarga ada di sana, baik keluarga Monika maupun keluarga Rafael. Begitu juga dengan Rafael dan Chalista yang berdiri dengan posisi yang berjauhan agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Suara dari pria yang sangat Rafael kenali itu membuat perhatiannya teralihkan. Rafael hendak langsung menjawab agar masalah ini tidak menjadi panjang, dia ingin berbohong saja terlebih dahulu mengingat dia merasa ini bukan waktu yang tepat untuk membongkar semuanya.Tapi, saat semuanya sedang hening dan menunggu jawaban dari Rafael, salah satu sumber masalah dari semua ini tiba tiba masuk ke ruangan rawat inap milik Monika.Marco, pria berbadan tinggi dengan kulit sedikit gelap itu terlihat membawa beberapa tas yang berisi perlengkapan majikannya, Monika karena memang Monika akan dirawat selama beberapa hari.Tatapan Rafael sangat dalam, mengarah ke Marco. Bukan tatapan marah ataupun benci, tapi sebagai seorang pria Rafael tentu sangat paham bagaimana perasaan Marco.Pria ini pertama kali Rafael temui 2 hari sebelum pernikahannya dengan Monika. Ya, tepat beberapa jam sebelum tragedinya dengan Chalista terjadi. Saat itu Marco masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu dan melihat Rafael t
Suara remasan dari botol kaleng terdengar di rooftop sebuah rumah sakit mewah di kawasan Jakarta Pusat. Rafael, pria tampan dengan wajah yang terlihat marah itu menatap jauh diantara gedung gedung tinggi pencakar langit yang memang terlihat dari atas sini.Beberapa botol minuman kaleng lainnya berderet di sampingnya, Rafael sudah banyak sekali meminum minuman soda itu yang merupakan bukan hal biasa. Rafael biasanya tidak meminum minuman kaleng seperti itu dengan alasan kesehatan, ya karena itu mengandung banyak sekali gula tapi terkadang saat ia merasa setres, hanya itu obat yang dapat membuatnya merasa lebih tenang.Ekspresi pria itu terlihat begitu marah, apalagi dia selalu meremas dengan keras botol kaleng itu setelah menegak isinya dengan habis. Sementara itu waktu sudah hampir malam dan Rafael masih berdiri di sana sejak jam 5 sore tadi.Beberapa kali Rafael mengabaikan panggilan dari mamanya bahkan Chalista. Karena dia ingin sendiri saat ini. Rafael tadi berbohong mengatakan kala
Rafael sangat menikmati saat saat seperti ini seumur hidupnya. Dia memang tak pernah merasa dirinya seorang malaikat yang baik hati, namun sebaliknya, Rafael adalah iblis dengan balutan wajah bak pangeran.Buktinya, dia benar benar menikmati ekspresi dan seluruh ekspresi yang ditunjukkan oleh wanita ini. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, wanita ini terlihat persis seperti Monika, hanya saja versi lebih dewasa dengan postur tubuh yang lebih berisi karea memang Monika sangat menjaga bentuk tubuhnya agar tetap langsing.Mama mertuanya ini benar benar mengingatkan Rafael pada Monika, wanita ular itu. Dan bahkan bukan hanya mengingatkannya pada fitur wajah atau fisik dari Monika, seluruh emosi yang bisanya hanya dia rasakan saat berbicara dengan Monika atau berada di dekatnya juga Rafael rasakan saat ini, saat dia sedang bericara dengan mama mertuanya.Sungguh ajaib.Apa itu karena tebakan Rafael tepat sasaran? Kalau Monika saja bisa berbuat selicik dan sejahat itu demi kepentingan
Plak!Mama Monika kembali menampar Rafael, di sisi pipi yang sama hingga membuat Rafael terpaksa memiringkan wajahnya karena tamparannya begitu keras.Bukannya kapok dengan tamparan pertama sebelumnya tamaparan itu malah membuatnya semakin memanas, dia juga bersemangat untuk berperang dengan wanita ini karene memang sejak awal mama Monikalah yang terlebih dahulu memulai semua drama ini.Dia yang menyeret Rafael ke sini dan berniat memutar balikkan fakta dan berusaha menyalahkan Rafael karena tidak becus menjadi suami atas perselingkuhan anaknya. Entah logika macam apa itu tapi jika wanita ini ingin menjatuhkan Rafael maka tidak akan semudah itu.Mungkin wanita ini berpikir Rafael akan sama seperti Abimanyu yang bisa dengan mudah diajak untuk bekerja sama tanpa memikirkan untung rugi tapi Rafael berbeda. Dia memiliki sifat yang jauh lebih keras dan tak tersentuh.Kini mata mama Monika sudah memerah dan melotot tajam seakan akan bisa keluar kapan saja. Tatapannya setajam pisau dan itu me
Drtt Drtt DrttSuara dering dari hpnya yang ada di saku celananya membuat lamunan Rafael buyar. Dia masih setia berdiri di rooftop dengan beberapa botol soda di sampingnya. Pria tampan yang biasanya sangat rapi itu kini terlihat sangat kacau.Rafael awalnya ingin mengabaikan panggilan telpon itu karena memang dia pikir itu dari mamanya akan tetapi tiba tiba dia punya firasat kalau itu panggilan dari orang yang sudah Rafael tunggu tunggu sejak berjam jam tadi.Dengan gerakan cepat, Rafael meraih saku celananya untuk mengambil hpnya. Dia melihat dengan segera siapa nama yang tertera di sana. Rafael tak dapat lagi mendeskripsikan betapa dia merasa lega saat melihat nama Morgan di sana.Tanpa berlama lama lagi, Rafael langsung menggeser layar hpnya dan berbicara dengan Morgan dengan nada tak sabaran. “Bagaimana, kau sudah mencari tau?” Rafael berdiri tegak dengan pikiran yang terfokus sepenuhnya pada Morgan karena pria ini memang satu satunya harapannya.Dulu, Rafael terbiasa melakukannya
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista melangkah perlahan menuju area kedatangan bandara, mengikuti arahan tim manajemennya yang sibuk mengatur segala sesuatunya. Hatinya berdegup kencang saat ia melirik ke arah kerumunan orang di depan.Pandangannya langsung terhenti pada seorang pria yang berdiri dengan tegap, mengenakan jas hitam elegan yang sangat cocok dengan postur tubuh tingginya. Rafael.“Tidak mungkin,” bisiknya dalam hati. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rafael, pria yang dulu sangat dikenalnya, kini terlihat jauh lebih tampan dan gagah. Wajahnya begitu tegas dengan rahang yang semakin tajam. Mata cokelatnya tetap setajam dulu, hanya saja sekarang ada kilatan dingin di sana."Nona Marone? Wah, sebuah keberuntungan sekali bisa bertemu anda di sini.” Ucapan pria yang berdiri di belakang Rafael itu membuyarkan tatapan antara Chalista dan Rafael.Chalista tersenyum, namun belum sempat dia menjawab, asisten pribadinya, Lucy menariknya dan berbisik. “Nona….ya ampun kau mengenal Tuan Rafael? Tidak