"Bertahanlah, Istriku. Tolong, bertahanlah."Henri membawa istrinya ke rumah sakit agar wanita itu segera ditangani. Sesuai dugaan, dokter pun menyatakan bahwa istrinya kehilangan banyak darah dan memerlukan transfusi. Ada banyak luka di sekujur tubuh Rahma, dan beberapa memerlukan penanganan ekstra.Mendapati hal itu, Henri bertanya-tanya penyiksaan jenis apakah yang sudah dilalui oleh sang istri dan entah berapa lama wanita itu melaluinya.Namun, Henri tidak bisa menggali informasi mengenai hal itu. Istrinya masih tidak sadarkan diri dan berada di ruang ICU."Berengsek!" desis pria paruh baya itu sembari mendaratkan kepalan tangannya ke dinding, melampiaskan emosi.Semuanya tidak ada yang berjalan lancar!Mulai dari putranya yang masih belum ditemukan, pengkhianatan besar-besaran, dan sekarang istrinya nyaris tewas jika tidak segera ia temukan!Wajah Henri memerah menahan marah. Bajingan-bajingan itu sudah mengganggu orang yang salah.Namun, sekarang, bagaimana ia bisa menuntut bal
"Sebagai suami, bukankah seharusnya Papa melakukan tugas dengan becus?”Dalam kondisi biasa, mungkin Henri akan langsung menampar Dion. Namun, kali ini pria paruh baya itu menahan diri. Bukan hanya karena putranya sedang babak belur, tapi juga karena dalam hatinya, Henri turut menyalahkan dirinya sendiri.Jika saja ia lebih memperhatikan istrinya, mungkin wanita itu akan ditemukan lebih cepat. Atau bahkan, seseorang tidak akan bisa menyakiti Rahma sejak awal.Ya, semua salah Henri."Maafkan Papa, Dion." Sang ayah akhirnya berucap. "Papa teledor."Ia tidak berusaha membela diri. Namun, tidak juga mengungkapkan apa yang sebenarnya ia lakukan pada Dion.Meskipun Dion marah dan kecewa dengan sang ayah, pria itu menurut saat Henri menariknya agar duduk di kursi tunggu satu-satunya di samping tempat tidur. Dalam otak Dion, mungkin ayahnya sendiri sedang sibuk mengurusi dirinya yang hilang dan segala jenisnya.Karenanya ia diam saja dan membiarkan Henri memanggil perawat untuk mengobati lu
"Kaisar. Kaisar." Pria yang tengah terlelap sembari memeluk istrinya itu terusik dengan suara yang memanggil-manggil namanya beberapa kali tersebut. Keningnya berkerut, sementara lenguhan pelan keluar dari tenggorokannya."Kaisar?" Suara itu kembali memanggil. Kali ini pemilik suara itu juga mengusap pipi Kaisar pelan. "Sayang? Mas? Suamiku?"Akhirnya, Kaisar membuka matanya. Mana mungkin ia diam saja setelah Embun memanggilnya dengan sederet panggilan sayang tersebut?"... Ya, Embun? Ada apa?" Suara Kaisar khas orang baru bangun tidur, terdengar berat dan serak. Matanya yang segelap malam juga tampak mengantuk.Ia melirik ke arah jam di meja nakas. Pukul sebelas malam."Aku agak lapar. Kamu lapar tidak?" tanya Embun, agak tiba-tiba dan tidak terduga."Huh?" Kaisar mencoba memproses ucapan Embun tersebut. "Lapar?""Iya. Tadi kan aku hanya makan nasi uduk saja," balas Embun. "Tidak banyak juga.""Ah, begitu." Kaisar bangun dan duduk. Pria itu menatap sang istri yang masih berbaring di
“Bagaimana dengan buah apel yang kuminta, sayang?”Embun menatap ke arah Kaisar yang baru saja pulang dari restoran sate dekat tempat ini. Sepertinya pria itu tak membaca pesan yang dikirimkannya beberapa saat lalu. Ah, salah Embun juga sih. Tadi tiba-tiba saja ia ingin apel segar. Ekspresi di wajah Kaisar terlihat sedikit bingung. Lalu dengan polos ia mengangkat plastik berisi sate yang dipesan oleh Embun tadi. “Lalu, satenya bagaimana?”Embun tersenyum. “Tiba-tiba sudah tidak ingin. Buat kamu saja.”Meskipun agak bingung dengan sikap Embun saat ini, tapi entah kenapa, Kaisar tetap merasa senang. Ia mengusap lembut kepala Embun. “Jadi, bagaimana? Mau beli apel segar dulu saja?”Embun terlihat berpikir sejenak, sebelum ia menatap Kaisar dengan berseri-seri. “Aku punya ide yang lebih baik. Gimana kalau kita ke perkebunan apel saja?”Dahi Kaisar mengernyit. “Perkebunan apel? Tapi, kita bisa beli apel di supermarket dekat sini, kan?”Embun menggeleng. Benar-benar tidak seperti biasanya
"Karena kau akan belajar langsung dari ahlinya."Embun menatap Kaisar, dan berujar dengan ragu, "Kau bisa berkuda, Kaisar?"Kaisar memegang dadanya, sambil menatap Embun dengan ekspresi tersinggung yang dibuat-buat. "Kalau kau mau tau, aku sedikit terluka dengan pertanyaanmu barusan, istriku."Embun menutup mulutnya. Agak tidak percaya juga, jika pria yang semula hanya memiliki satu ekspresi saja, seiring berjalannya waktu, ada ragam ekspresi yang ia tunjukkan secara spontan seperti sekarang ini. "Aku bahkan pernah memenangkan beberapa perlombaan berkuda di masa lalu." Kaisar memasukkan tangannya ke dalam saku, sebelum tersenyum ke arah Embun. Embun merangkul lengan Kaisar sambil menganggukkan kepalanya. "Iya, aku percaya, sayang."**Ketika mereka sampai di tempat berkuda, Kaisar langsung berganti pakaian. Sementara Embun justru terdiam, ia kan sedang hamil? Bagaimana mungkin ia bisa ikut berkuda? “Kamu belum berganti pakaian?” Kaisar keluar dari ruang ganti dengan pakaian dan pe
“Ck. Dia selalu begini kalau aku sedang butuh!”Aletta merutuk sembari kembali memilih opsi ‘panggil’ di ponselnya. Sekali lagi, nama Dominic terpampang di layar, tapi tetap tidak ada jawaban.“Nomor yang Anda tuju, sedang tidak dapat dihu–”Dengan penuh kemarahan, Aletta mengakhiri panggilannya. “Argh, sial!” umpatnya geram. Kali ini, wanita berambut cokelat terang itu ganti menghubungi asisten Dominic. Untungnya, baru pada dering ketiga, panggilannya diangkat.Tapi bukan berarti Aletta akan melewatkan kesempatannya melampiaskan kemarahan pada siapa pun di seberang saluran telepon itu,“Bosmu itu sedang sibuk apa sih? Kalau ditelepon tidak pernah diangkat! Seenaknya saja!” Aletta mengomel. “Apa gunanya dia punya ponsel, hah?”Si asisten diam, membiarkan Aletta mengata-ngatainya karena ia sendiri tahu kalau wanita itu tidak mungkin mengoceh demikian pada Dominic.Setelah puas, barulah Aletta bertanya, “Di mana dia sekarang?”“Tuan Dominic saat ini sedang berada di mansion pribadinya
"Kamu sebenarnya sedang ada masalah dengan Kaisar?""Tidak, Kak." Embun menjawab cepat. "Kan tadi sudah aku bilang kalau dia menjagaku dengan baik.""Lalu kenapa?" Di seberang saluran telepon, Rindang duduk. Siap mendengarkan cerita sang adik. "Coba cerita ke Kakak."Embun menggigit bibir bagian bawahnya sejenak, berpikir, sebelum kemudian mengatakan, "Sepertinya belakangan ini usaha Kaisar sedang banyak masalah. Aku tahu banyak yang harus dia bereskan, tapi saat ini dia justru ada di sini karena khawatir padaku.""Aku tidak mau makin membebaninya, Kak." Embun meremas ujung bajunya dengan gelisah. Ia tidak menyinggung soal Rindang sama sekali. "Aku berencana akan memberitahukan nanti, jika kandunganku sudah lebih kuat dan masalah bisnis Kaisar sudah selesai."Tidak ada sahutan dari Rindang selama beberapa saat hingga Embun memandang ponselnya sesaat, memastikan bahwa ia masih terhubung dengan sang kakak."Halo? Kak Rindang?" ucap Embun lagi."Embun." Setelah beberapa saat, barulah Rin
"Rindang! Ada tamu!"Rindang mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk dan mengernyit. Jarang-jarang ada tamu yang mengunjunginya di sini. Siapa …?Sepasang mata kayak Embun tersebut membeliak tidak percaya saat melihat sosok tamu yang mencarinya hingga ke tempat kerja.“Bagaimana … kenapa kemari!?”***"Persetan. Yang aku inginkan saat ini bukan itu."Cara bicara Dominic membuat Aletta gemetar. Tidak bisa disangkal, ada ketakutan dalam diri perempuan itu ketika berhadapan dengan Dominic.Namun, rasa kesal Aletta lebih besar saat ini."Apa maksudmu berkata begitu?" balas Aletta. "Kamu bilang kalau ingin segera mendengar kabar baik dariku. Sekarang aku sudah susah-susah–Dom, kita mau ke mana!?"Tanpa aba-aba, pria dingin itu menggendong Aletta di bahunya dan membawanya ke kamar dengan mudah."Turunkan aku, Dominic Romero!"Dominic menjatuhkan Aletta ke atas tempat tidur sebelum kemudian tubuh Dominic mengungkungnya di sana."Diam." Pria itu berucap dengan suara rendah. Detik berikut