“Kenapa?” tanya Embun bingung. Dia menghentikan aktivitas makannya. “Saya meninggalkanmu di pusat perbelanjaan tadi.” “Oh, tidak apa-apa. Saya bisa pulang sendiri. Tidak usah dipikirkan. Kamu juga punya urusanmu sendiri, ‘kan?” terang Embun dengan tersenyum. Gadis itu kembali melanjutkan makan malamnya. Kaisar tertegun. Ia tidak menyangka dengan jawaban dan reaksi Embun, padahal jika itu terjadi pada istri orang lain, pasti mereka akan marah pada suami-suaminya. Ha! Kaisar memejamkan matanya. Bisa-bisanya ia membandingkan pernikahan mereka yang berlandaskan kontrak dengan pernikahan orang lain yang berlandaskan cinta. “Tidak masalah, Kaisar. Selama masih ada transportasi umum, saya masih aman kok,” jawab Embun lagi mencoba mencairkan suasana, karena Kaisar tiba-tiba diam dan terpejam. Kaisar tersentak dan membuka matanya mendengar jawaban Embun, kemudian setelah menguasai emosinya, pria itu mengangguk pelan. Terlalu bingung untuk merespon Embun. Keheningan kembali merajai kedu
Embun langsung menerobos masuk, tetapi terkesiap melihat Kaisar yang duduk di tepian ranjang dengan mata sedikit terpejam. Rambut lelaki itu sangat berantakan, berbanding lurus dengan wajahnya yang mengantuk. Embun menjerit tertahan. Lelaki itu lagi-lagi tidak mengenakan atasan dan membiarkan bagian atas tubuhnya terekspos, terlihat jelas perutnya yang berkotak enam. Refleks Embun menutup matanya.Kesadaran Kaisar langsung penuh begitu mendengar teriakan Embun. Tersadar karena melihat reaksi Embun, Kaisar dengan cepat mengenakan kaos di samping tubuhnya.“Ada apa? Kenapa kamu sampai masuk kamarku?”“Papamu baru saja meneleponku, dan sedang dalam perjalanan menuju ke sini,” terang Embun pada Kaisar dan setelah mengingat hal itu, Embun baru merasa panik, tanpa sadar berjalan bolak-balik di hadapan Kaisar. “Bagaimana ini?”“Tidak usah cemas, Embun. Semua akan baik-baik saja.” Kaisar menenangkan Embun.Deg!Tiba-tiba tubuh Embun terhenti, dan tubuhnya memanas ketika merasakan kedua tanga
“Mamamu nanti siang juga akan datang ke sini untuk bertemu dengan kalian.”Kaisar menatap Surya lewat cangkir kopi yang disesapnya saat mendengar bahwa ibunya juga akan menemui dirinya dan Embun. Lalu, Kaisar menatap kopi hitam dalam cangkirnya sejenak.Kali ini kopi buatan Embun terasa pahit, tidak seperti biasanya.Atau informasi tentang kedatangan ibunya yang membuat kopi ini terasa pahit?Kaisar diam berjalan ke arah dapur dan meminta tambahan gula dari Embun, setelahnya Embun menambahkan gula pada kopinya, Kaisar mengucapkan terima kasih dan tersenyum pada Embun sebelum kembali menemui Surya di ruang tamu.Surya melihat interaksi antara anak lelakinya dengan menantunya. Lelaki itu mengulum senyum. Dia tidak menyangka, anak bungsunya yang dingin itu ternyata bisa sehangat ini dengan istrinya. Keputusannya menikahkan Kaisar dengan Embun adalah pilihan yang tepat.Kaisar kembali duduk di hadapan Surya, “Aku tidak mengira Mama akan secepat ini menemui kami.”Hubungan Kaisar dengan i
“Oh, sudah berkumpul semua ternyata.” Wanita itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang mendadak menjadi senyap. Tatapannya berhenti saat bertemu pandang dengan Embun.Matanya menyipit memindai penampilan Embun dari ujung kepala hingga ujung kaki. Embun mengenakan minidress berpotongan sederhana berwarna salem, dengan riasan wajah yang sangat natural. Tidak ada kesan mewah dalam penampilan Embun.“Saya Embun, Ma.” Embun berdiri dari duduknya, menghampiri Lidya dan mengulurkan tangan kanannya, namun tak disambut oleh wanita di hadapannya itu."Jangan panggil aku mama. Aku tidak mengizinkanmu memanggilku dengan sebutan itu," balas Lidya tidak menghiraukan Embun dan berlalu begitu saja dari hadapan Embun. Semua orang melihat ke arah mereka. Embun tersenyum sumir menurunkan tangan kanannya.“Jadi, kamu wanita yang dijodohkan suamiku untuk Kaisar?” Lidya masih bersuara di belakang Embun.Baru ketika Embun berbalik untuk menjawab, Kaisar sudah berdiri di dekatnya, menatap Embun d
[Dia sudah kembali]Sebuah pesan singkat yang dilampiri dengan tiga buah foto seorang perempuan cantik bertubuh semampai, mencuri perhatian perhatian Lidya yang tengah menikmati segelas smoothie, sarapannya pagi itu.Dengan sigap Lidya meraih ponsel dan membuka notifikasinya. Senyum menyeringai tersungging di wajah tanpa keriputnya.Foto pertama yang dilihatnya memperlihatkan seorang wanita yang tengah berjalan menyeret travel bag berukuran sedang di pintu kedatangan internasional bandara. Foto kedua menampilkan wanita yang sama tengah menelepon seseorang dan menuju lobi bandara. Foto ketiga menunjukkan wanita cantik itu memasuki sebuah mobil mewah berwarna hitam di depan lobi bandara.Lidya mengerjabkan matanya. Sesaat tadi ingatannya melayang pada pesan yang diterimanya tiga hari lalu, sehari sebelum pertemuannya dengan keluarganya di kediaman Kaisar.Dan siang ini, Lidya sudah duduk di salah satu restoran favoritnya menunggu kedatangan wanita dalam foto itu.“Aku tidak percaya, aku
Kaisar sedang menandaskan kopinya ketika Embun keluar dari kamarnya. Wanita itu sudah rapi dengan setelan kerjanya.“Kamu sudah mau berangkat ke kafe?” tanya Kaisar menatap Embun yang sedang duduk di hadapannya menyantap sarapan pagi.“Iya. Hari ini ada pengiriman bahan-bahan makanan ke kafe, dan karyawan yang bertanggungjawab sedang izin sakit. Meski ada karyawan lain yang menggantikan, tapi saya harus tetap mengawasinya,” jawab Embun setelah duduk di hadapan Kaisar dan memulai memakan sarapan pagi.Kaisar melirik jam tangannya. Masih pukul enam lebih lima belas menit.“Kamu mau saya antarkan ke kafe?” Kaisar menawarkan tumpangan.Embun buru-buru menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, Kaisar. Saya bawa mobil sendiri saja. Kantormu tidak searah dengan kafe saya. Kalau kamu mengantar saya lebih dulu, nanti malah kamu yang terlambat tiba di kantor. Apalagi sekarang Senin pagi, pasti macet di mana-mana.” Embun menolak halus tawaran Kaisar. Kaisar menganggukkan kepalanya. Setelah menyel
“Kamu tidak menggunakan kartu dari saya?” Beberapa hari lalu, Kaisar memeriksa laporan keuangan pribadinya. Sejujurnya dia merasa terkejut mendapati mutasi rekeningnya yang hampir tak berkurang.Embun yang saat itu sedang memotong buah melon menghentikan kegiatannya. Mata coklat perempuan itu mengerjap, keningnya mengernyit sambil menghampiri Kaisar yang duduk di meja makan. “Saya pakai, kok, untuk membeli kebutuhan rumah.”“Hanya kebutuhan rumah? Kamu tidak memakainya untuk kebutuhan pribadimu?”Embun tersenyum kecil. “Tidak setiap bulan saya membeli kebutuhan pribadi. Lagipula kalau saya butuh, saya bisa menggunakan uang saya sendiri.”Sebenarnya Embun masih ingat bagaimana ucapan Kaisar dulu saat menyinggung kartu kredit yang diberikan padanya. Kaisar seperti tidak senang jika ia menggunakan kartu kredit untuk keperluan yang lain, jadi sejak saat itu Embun berusaha untuk tidak menggunakan kartu kredir Kaisar, kecuali jika memang sangat diperlukan.“Kartu itu sudah saya berikan unt
Awalnya Kaisar memberikan kartu hitam pada Embun untuk melihat apakah wanita itu akan menghamburkan uangnya dengan sesuatu yang tidak berguna, dan menguji wanita itu dengan kekayaan Kaisar yang ia tunjukan sekarang. Kalau dengan kekayaan Kaisar yang sekarang saja wanita itu akan bertingkah seperti orang kaya baru, berarti semua wanita sama saja, dan Kaisar tidak akan meneruskan pernikahannya. Namun, ternyata istrinya justru benar-benar tidak menggunakan kartu kredit yang pernah ia berikan. Itu sebenarnya adalah hal yang bagus, karena alasan Kaisar menutupi identitasnya selama ini adalah untuk menguji wanita itu, dan Embun bisa dianggap telah lulus ujiannya. Kaisar bisa saja memberitahukan identitas aslinya pada Embun. Kaisar mengedarkan pandangannya pada sekeliling kafe, meneliti setiap sudut. Dari pandangannya sebagai seorang pebisnis, membuat dan menciptakan kafe yang bisa ramai pengunjung seperti ini tidak mudah, tetapi Embun berhasil melakukannya. Kali ini ada rasa penasaran d
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi