Fanny menatap Viera lama, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja dia terima. Dia bisa melihat ketulusan di mata sahabatnya, tapi logikanya masih memberontak."Kalo gitu... sikap aneh loe belakangan ini..." Fanny menggantung kalimatnya."Iya," Viera mengangguk pelan. "Gue... gue berusaha bersikap normal di sekolah. Tapi kadang susah, Fan. Apalagi waktu di kelas...""Dan pembatas buku yang loe simpen itu?" Fanny teringat sesuatu yang sempat dia perhatikan. "Yang selalu loe pegang-pegang..."Viera mengeluarkan pembatas buku dari tasnya dengan tangan gemetar. "Ini... hadiah pertama dari Ian setelah kami tunangan."Fanny mengambil pembatas buku itu, mengamati bunga yang diawetkan di dalamnya dengan teliti. Ada tanggal yan
Suara langkah kaki yang familiar terdengar dari koridor, membuat Viera dan Fanny serentak menoleh. Renna muncul di ambang pintu kelas, rambutnya yang biasa rapi kini sedikit berantakan tertiup angin."Eh, kalian masih di sini?" Renna tersenyum, meletakkan tasnya di meja terdekat. "Gue baru selesai dari perpustakaan. Capek banget, tapi..." dia terhenti, menyadari atmosfer berat yang menggantung di udara. Matanya bergantian menatap wajah kedua sahabatnya - mata Viera yang sembab dan ekspresi serius Fanny yang tidak biasa."Ada... ada apa?" Renna bertanya hati-hati, perutnya mulai terasa tidak enak.Viera merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia mencuri pandang ke arah Fanny, yang memberikan anggukan hampir tak terlihat - sebuah dukungan tanpa kata yang entah mengapa membuat matanya kembali memanas.
"Justru karena itu," Viera mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata Renna yang masih menyiratkan kekecewaan. "Karena kalian terlalu penting buat gue. Gue... gue takut kalian akan mandang gue beda." Renna terdiam, mengamati sahabatnya yang tampak begitu rapuh namun di saat yang sama begitu yakin dengan perasaannya. Di matanya, Viera masih sama seperti gadis yang dia kenal di bangku SMA - yang selalu menjadi penengah antara dia dan Fanny, yang selalu punya cara untuk membuat mereka tersenyum di hari-hari terburuk. "Dan sekarang?" Renna bertanya pelan. "Apa bedanya sekarang?" "Sekarang..." Viera menghela napas, "sekarang gue udah gak sanggup nyembunyiin ini sendirian. Apalagi dari kalian." Ada sesuatu yang berbeda dalam cara mereka berdiri sekarang - seolah ada jarak tak kasat mata yang terbentuk, tapi di saat yang sama ada ikatan yang justru menguat. "Gue masih gak setuju," Renna akhirnya berkata, suaranya tegas tapi tidak keras. "Ini... ini terlalu beresiko, Ra. Buat l
"Tapi?" "Tapi Ian gak nolak perjodohan ini… Makanya..." Viera menggigit bibirnya, "kita mutusin buat... professional. Di sekolah, dia guru matematika. Di luar..." dia tersenyum malu, "dia calon suami gue." Fanny dan Renna bertukar pandang. Ada sesuatu yang murni, yang tulus, dalam cara Viera mengucapkan 'calon suami gue'. "Dan pembatas buku itu?" Fanny menunjuk benda yang masih digenggam Viera. "Ini..." Viera mengeluarkan pembatas buku itu, meletakkannya di tengah meja. Di bawah cahaya lampu kedai, bunga yang diawetkan di dalamnya terlihat lebih indah. "Ian tau gue suka pressed flowers. Dia bikin ini sendiri... dari bunga yang dia petik di taman rumahnya." Renna mengambil pembatas buku itu, mengamatinya dengan seksama. Ada tanggal yang terukir di sudutnya - tanggal yang sekarang dia pahami signifikansinya. "Kalian..." Renna menelan ludah, "kalian yakin ini yang terbaik?" Viera terdiam sejenak, matanya menatap es k
"Dan kalo loe harus punya anak," Renna tiba-tiba berkata, membuat Viera tersedak es krimnya, "jangan panggil kita tante ya. Kita masih terlalu muda buat dipanggil tante.""Ren!" Viera memukul pelan lengan sahabatnya, wajahnya merah padam. "Siapa yang ngomongin anak?""Ya kan..." Fanny ikut menggoda, "nanti kalo udah nikah...""Stop!" Viera menutupi wajahnya yang semakin memerah. "Kalian ini..."Mereka bertiga tertawa, tapi tawa Renna dan Fanny tidak sepenuhnya mencapai mata mereka. Ada kekhawatiran yang masih menggantung, pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab."Ra," Fanny berkata setelah tawa mereka mereda, "loe udah... udah pikirin soal masa depan loe? Maksud gue... setelah nikah..."
"Eh," Renna tiba-tiba teringat sesuatu, "nanti kalo ada reuni angkatan gimana?"Viera yang sedang menyeruput minumannya terdiam. Dia tidak pernah memikirkan ini sebelumnya."Iya ya," Fanny menambahkan. "Bakal aneh banget gak sih? Maksudnya... yang lain dateng sama pasangan masing-masing, terus loe dateng sama...""Mantan guru matematika kita," Renna menyelesaikan kalimat Fanny, membuat Viera tersedak minumannya."Aduh, kalian ini," Viera menggelengkan kepalanya, tapi ada senyum kecil di bibirnya. "Ian bilang... kita harus mulai biasain diri. Lagian..." dia terdiam sejenak, "setelah nikah nanti, pasti semua juga akan terbiasa pelan-pelan.""Tapi tetep aja," Fanny menggigit bibirnya. "Bayangin aja... waktu yang lain cerita 'eh gue kerja di sini nih', 'gue baru dapet promosi', loe bilang apa? 'Gue nikah sama guru matematika kita'?""Fan!" Viera memukul pelan lengan sahabatnya, tapi dia tidak bisa menahan tawanya."Atau waktu reunian guru-guru," Renna menambahkan dengan nada jahil. "Loe ba
Keesokan paginya, suasana di sekolah berjalan seperti biasa. Ian melangkah memasuki gedung sekolah dengan tas kerja di tangannya, berusaha menjaga ekspresinya tetap normal meski pikirannya masih dipenuhi percakapan semalam dengan Viera dan sahabat-sahabatnya."Pagi, Pak Ian," Bu Sarah menyapa sambil berjalan melewatinya di koridor."Selamat pagi, Bu Sarah," Ian membalas dengan senyum sopan seperti biasa.Di ruang guru, beberapa rekannya sedang membicarakan rencana ujian semester. Ian duduk di mejanya, mengeluarkan berkas-berkas yang perlu dia periksa. Namun pikirannya terus melayang ke Viera, bertanya-tanya bagaimana reaksi sahabatnya saat mengetahui hubungan mereka."Ian," Pak Rudi, guru fisika, menghampiri mejanya. "Nanti rapat koordinasi jam berapa ya?"
Minggu pagi yang cerah, Viera berdiri gugup di depan cermin studio, sementara seorang MUA sedang menyelesaikan riasannya. Di sebelahnya, Renna dan Fanny sibuk membantu memilih gaun. "Yang putih ini bagus," Renna mengangkat sebuah gaun. "Simple tapi elegan." "Tapi yang cream juga cantik," Fanny menambahkan. "Apalagi buat outdoor shoot nanti." Viera hanya bisa menggigit bibirnya gugup. Sejak tadi perutnya terasa melilit. "Ian mana ya?" "Masih ganti baju kayaknya," Fanny melirik ke arah ruang ganti pria. "Nervous banget ya?" "Banget," Viera mengaku. "Gimana kalo... kalo nanti ada yang liat foto-fotonya sebelum waktunya?" "Tenang aja," Renna menenangkan. "Fotografernya udah janji bakal jaga privasi kalian. Lagian lokasi shootnya kan agak jauh dari kota." Pintu ruang ganti terbuka, dan Ian melangkah keluar mengenakan setelan jas hitam yang rapi. Dia terlihat sama gugupnya dengan Viera. "Wow, Pak Ian!" Fanny bersiul pelan, membuat Ian tersenyum malu. "Viera..." Ian terpaku melihat c
Viera memeriksa kembali semua jawabannya, memastikan tidak ada yang terlewat. Setelah yakin, dia menekan tombol "Kirim" dan menunggu sistem memproses jawabannya. Layar berkedip sejenak, kemudian muncul pesan konfirmasi bahwa ujiannya telah berhasil disimpan dan terkirim.Viera menghela napas lega, melepas headset, dan bersandar di kursinya. Satu ujian telah selesai, masih ada beberapa lagi yang menunggu. Tapi setidaknya, yang pertama telah dilewati dengan baik.Setelah waktu ujian habis, para siswa diizinkan meninggalkan ruangan. Viera bertemu dengan Renna dan Fanny di koridor."Gimana?" tanya Fanny, wajahnya terlihat lelah tapi puas."Tidak buruk," jawab Viera. "Bagaimana dengan kalian?""Soal nomor 35 hampir bikin gue menangis," keluh Renna. "Tapi sisanya oke."Mereka berjalan bersama menuju kantin untuk makan siang sebelum kembali untuk ujian Bahasa Indonesia di sesi siang. Di tengah jalan, Viera merasakan ponselnya bergetar. Pesan dari Ian."Semoga ujian pertamamu lancar. Percaya
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah satu minggu istirahat dan persiapan intensif, ujian akhir resmi di SMA Internasional Nusantara dimulai. Berbeda dengan sekolah konvensional, sekolah mereka menggunakan sistem ujian berbasis komputer—salah satu keunggulan dari sekolah internasional yang sering dibanggakan oleh kepala sekolah di setiap kesempatan. Pagi itu, Viera tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Koridor-koridor masih sepi, hanya ada beberapa siswa yang tampak sama gugupnya dengan dirinya, membawa buku dan catatan untuk dibaca sekali lagi sebelum ujian dimulai. "Pagi, Ra!" sapa Renna yang berlari kecil mendekatinya. "Siap untuk hari ini?" Viera tersenyum tipis. "Sebisa mungkin. Bagaimana denganmu?" "Rasanya seperti otak mau meledak," keluh Renna sambil memegang kepalanya secara dramatis. "Terlalu banyak yang harus diingat." "Kalian berdua terlalu tegang," Fanny muncul dari belakang, menepuk bahu kedua temannya. "Ini cuma ujian, bukan akhir dunia." "Kata seseo
Mereka menghabiskan sisa waktu mereka berbicara tentang hal-hal yang lebih ringan—bagaimana ujian simulasi berjalan, buku baru yang Ian baca, film yang ingin ditonton Viera. Mencoba untuk tidak tenggelam dalam kekhawatiran tentang masa depan, mencoba untuk hidup dalam momen ini.Ketika waktu berpisah tiba, Ian tidak menawarkan untuk mengantar Viera pulang seperti biasanya. Mereka berdua tahu bahwa untuk saat ini, mereka harus lebih berhati-hati."Jaga dirimu," kata Ian saat mereka berdiri di depan kafe. "Fokus pada ujianmu. Setelah itu...""Setelah itu, kita akan mencari jalan," Viera melanjutkan kalimat Ian.Ian tersenyum, matanya memancarkan kelembutan dan janji. "Ya. Kita akan mencari jalan."Mereka berpisah tanpa sentuhan, tanpa bisikan, hanya dengan tatapan yang menyimpan ribuan kata tak terucap. Viera berjalan pulang sendiri, hatinya berat tapi tekadnya kuat.Dia tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidak akan mudah. Sudah sejak awal dia menyadarinya. Tapi dia juga tahu bahwa bebe
Balasan Ian datang beberapa detik kemudian. "Tidak ada masalah. Hanya ingin berbicara. Kafe biasa, jam 4?" "Oke. Sampai bertemu nanti." Viera memasukkan ponselnya ke saku, perasaan was-was aneh menyelimuti hatinya. Meskipun Ian bilang tidak ada masalah, ada sesuatu dalam perkataannya yang terasa... berbeda. Atau mungkin itu hanya kekhawatirannya saja? *** Kafe Masa Lalu terlihat lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena hari Jumat, atau mungkin karena banyak siswa yang merayakan berakhirnya ujian simulasi. Viera duduk di sudut yang sedikit terpisah, tempat favorit mereka, segelas matcha latte di hadapannya. Ian terlambat sepuluh menit, hal yang sangat tidak biasa untuk seseorang yang selalu tepat waktu seperti dirinya. Ketika akhirnya dia muncul, wajahnya terlihat sedikit pucat dan ada lingkaran hitam tipis di bawah matanya. "Maaf membuatmu menunggu," katanya, duduk di hadapan Viera. "Rapat guru berlangsung lebih lama dari yang kukira." "Tidak apa-apa," Viera tersenyum ke
Hari-hari berlalu dengan cepat dalam rutinitas ujian simulasi yang melelahkan. Setiap pagi, Viera bangun dengan kecemasan yang sama—apakah dia cukup belajar, apakah dia siap, apakah dia akan mengecewakan dirinya sendiri, orang tuanya, atau Ian. Setiap malam, dia tertidur dengan kelelahan yang sama—otaknya penuh dengan rumus, teori, dan fakta-fakta yang harus diingat.Tapi hari ini berbeda. Hari ini adalah hari terakhir ujian simulasi, dan atmosfer di sekolah terasa lebih ringan. Meski masih ada ketegangan, ada juga harapan—ujian simulasi akan berakhir, dan mereka akan punya waktu singkat untuk bernapas sebelum ujian sesungguhnya dimulai."Loe kelihatan lebih segar," komentar Renna saat mereka berjalan bersama di koridor sekolah menuju kelas terakhir—Bahasa Inggris.Viera tersenyum kecil. "Gue rasa karena ini hari terakhir. Dan Bahasa Inggris selalu menjadi pelajaran favorit gue.""Bukan karena semalam loe dapat telepon dari Pak guru matematika?" goda Fanny yang berjalan di sisi lain V
"Tapi kamu menyukai guru matematika itu," balas Ian, dan Viera bisa membayangkan senyuman kecil di wajahnya saat mengetik pesan itu."Ya," Viera mengetik, tersenyum pada dirinya sendiri. "Sangat.""Tidurlah, Viera. Besok akan jadi hari yang panjang.""Oke. Selamat malam.""Selamat malam. Mimpi indah."Viera meletakkan ponselnya, mematikan lampu tidur, dan menarik selimut hingga menutupi dagunya. Di luar, angin malam berbisik di antara dedaunan, menciptakan melodi tidur yang lembut dan menenangkan.Besok adalah ujian simulasi. Lalu ujian sebenarnya. Lalu kelulusan. Lalu...Dalam kegelapan kamarnya, di bawah bintang-bintang plastik yang memudar, Viera memejamkan mata. Untuk saat ini, dia akan mengikuti saran Ian. Tidak berpikir terlalu jauh.Besok adalah besok. Hari ini, setidaknya, dunianya sedikit lebih utuh dari kemarin.***Kelas terasa hening meski dipenuhi oleh puluhan siswa. Hanya suara goresan pensil di atas kertas dan sesekali desahan frustrasi yang terdengar. Ujian simulasi ma
Viera mengangguk, mengeratkan genggamannya pada tangan Ian. "Langkah demi langkah."Mereka berdiam dalam keheningan yang nyaman untuk beberapa saat, menikmati kedekatan yang jarang bisa mereka rasakan di tempat umum."Kamu harus masuk," akhirnya Ian berkata. "Sudah malam."Viera menghela napas, tidak ingin momen itu berakhir, tapi tahu bahwa Ian benar. "Ya, aku tahu."Sebelum keluar dari mobil, Viera berbalik dan menatap Ian. "Terima kasih untuk hari ini. Untuk... membuat duniaku sedikit lebih utuh."Ian tersenyum, matanya berkilau di bawah cahaya temaram. "Terima kasih kembali. Untuk membiarkanku masuk ke dalamnya."Dengan satu anggukan terakhir, Viera keluar dari mobil dan berjalan pulang. Langkahnya terasa ringan, seolah beban yang selama ini dia pikul sedikit terangkat. Di belakangnya, mobil Ian menunggu sampai dia berbelok menuju rumahnya sebelum perlahan melaju pergi, membawa serta bayangan-bayangan yang kini terasa lebih jelas, lebih nyata, dalam kehidupan Viera.Sesampainya di
Dengan itu, suasana canggung mulai mencair. Ian ternyata tidak hanya ahli matematika, tapi juga memiliki pemahaman yang baik tentang ekonomi. Dia menjelaskan konsep-konsep sulit dengan cara yang mudah dipahami, menggunakan contoh-contoh dari kehidupan nyata. "Jadi, rumusnya bisa dikerjakan seperti ini seperti ini," Ian menulis rumus sederhana di kertas. Viera memperhatikan dengan kagum bagaimana teman-temannya perlahan-lahan mulai nyaman dibimbing oleh Ian. Fanny bahkan sudah berani bercanda, sementara Renna menunjukkan ketertarikannya dengan rumus yang mudah dihafal. Sesi belajar itu berlangsung sampai malam. Ketika akhirnya mereka memutuskan untuk pulang, Viera merasakan campuran emosi yang aneh—bangga melihat Ian berinteraksi baik dengan teman-temannya, tapi juga sedikit cemas. Seolah dua dunianya yang terpisah kini mulai bertabrakan. "Terima kasih untuk bantuannya, Pak Ian," Fanny berkata saat mereka berpisah di depan kafe. "Kamu—maksudku Anda—guru yang hebat." Ian tersenyum
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa, ujian akhir hampir tiba. Viera dan teman-temannya tenggelam dalam buku-buku pelajaran dan kertas-kertas latihan. Kafe-kafe di sekitar sekolah penuh dengan siswa kelas dua belas yang belajar kelompok, menyesap kopi berlebihan, dan saling bertukar rumus dan catatan."Aku tidak bisa mengingat semua rumus ini," keluh Fanny, menutup buku fisikanya dengan frustasi. "Terlalu banyak.""Buat diagram dulu," saran Renna, yang dengan tenang membuat kartu-kartu kecil berisi poin-poin penting. "Lebih mudah mengingat secara visual."Viera mengangguk, tapi matanya terasa berat. Dia sudah belajar sejak pagi, dan hari sudah menjelang sore. Cangkir kopi ketiganya nyaris kosong."Kalian tahu," Viera berkata sambil meregangkan tubuhnya, "Ian sebenarnya punya metode bagus untuk mengingat rumus-rumus."Ada keheningan canggung sejenak sebelum Fanny tertawa kecil. "Viera, loe gak mau tanya gitu metode tunanganmu buat mengingat rumus?"Viera memutar matanya, tapi tidak