Malam harinya, Kayasaka dan Zavier tengah bersiap-siap. Keduanya kini masih ada di ruangan rawat Naya. Mereka berdua telah selesai menyusun rencana, dan semua persiapan mereka sudah selesai. "Ya. Mereka sudah menunggu kita di atas lantai rumah sakit ini, Hyung. Kita akan pergi sesuai rencana. Aku juga sudah menghubungi Daniel untuk bala bantuan."Kayasaka tersenyum tipis, "baguslah." Katanya sembari mengenakan jas hitamnya. "Lucu ya, dulu kau sering bertengkar dengannya. Tapi sekarang dialah yang membantu kita." Kata Zavier tertawa, lelaki itu kini berpakaian formal dengan setelan jas yang sangat cocok pada tubuh atletisnya. Dia agak sedikit tak menyangka, Daniel Aglerio yang sedikit arogan nyatanya berteman baik dengan Hyungnya yang dingin dan bermulut pedas. Keduanya selalu beradu mulut saat ada perjamuan dikalangan mafia atau pembisnis gelap. Tak ada kecocokan yang orang lain lihat dari keduanya. Tapi siapa sangka, hubungan kebenci
Kayasaka menjatuhkan teleponnya. Tanpa kata berlari setelah mendengar penuturan Bibi Marry soal Naya. "Hyung! Ada apa?!"Zavier yang tak tau apa-apa langsung mengikuti langkah Hyungnya yang terlihat panik tidak karuan. Kayasaka terlihat berlari setengah sadar dari atap dini hari itu, lelaki itu tak peduli apa pun yang terpenting baginya saat ini adalah pergi ke ruangan Naya secepat yang dia bisa. Jantung Kayasaka berpacu dengan cepat begitu dia sudah ada di depan ruangan rawat Naya yang masih dijaga beberapa bodyguard yang dia sewa. Lelaki itu membuka pintu ruangan, membuat orang yang ada di dalam sana terkejut sekaligus lega mengetahui siapa yang masuk dengan penampilan berantakannya. "Tuan ... Nyonya sudah sadar."Kaki Kayasaka lemas mendengar penuturan Bibi Marry yang terisak. Matanya ikut memanas, melihat wanita di ranjang rumah sakitnya terlihat membuka mata dan tersenyum ke arahnya. Rasanya
Naya menoleh melihat pintu ruangan di buka. Matanya meredup tatkala melihat Bibi Marry masuk dan mulai mendekatinya. Naya pikir dia akan mendapati Kayasaka di sana. Dia sepertinya sangat bodoh karena terlalu berharap begini. "Nyonya, apa ada yang Nyonya butuhkan?" Naya menggeleng menjawab pertanyaan wanita tua itu. "Tidak. Terima kasih, Bibi." Ucapnya lirih masih berbaring di ranjangnya. Naya belum bisa melepas masker oksigennya karena napasnya masih tersendat-sendat. Naya akhirnya tau kalau paru-parunya baru saja di operasi akibat peluru itu, jadi dia belum bisa bernapas dan berbicara dengan benar. "Apa ada Kayasaka di sini?" Tanya Naya nyaris tak terdengar. Bibi Marry yang paham akan perkataan Nyonyanya itu menggeleng. Setelah pergi beberapa saat yang lalu, Zavier dan Kayasaka belum terlihat. "Apa saya perlu mencari Tuan dan Tuan muda?" Naya menggeleng, "Bibi, istirahat saja." Katanya pelan, Bibi Marry menunduk patuh. "Kalau begitu saya pamit melihat Bibi Anne dulu. Apa
"Panas?" "Tidak." Naya menggeleng ketika bubur itu masuk ke mulutnya. Saat ini dia sedang sarapan disuapi Kayasaka. Naya bisa sendiri sebenarnya, tapi karena lelaki ini memaksa, Naya dengan senang hati mengiyakan saja. Karena pada dasarnya, Kayasaka memang tak bisa dibantah. Naya hanya tak ingin lelaki itu marah seperti setengah jam yang lalu, karena tau kalau dia belum bisa menghukum Gladys atas permintaan Bibi Anne. Sebelumnya, wanita tua itu menyelipkan secarik kertas di telapak tangan Naya tepat sebelum wanita ini sadar. Di sana tertulis kalau Bibi Anne terpaksa melakukan semua sandiwara ini karena sebenarnya, Gladys adalah anak kandungnya. Wanita tua itu ingin melindungi Naya dan Gladys sekaligus, karena mau bagaimana pun Bibi Anne adalah seorang ibu yang rela melakukan apa pun demi anak-anaknya. "Buka mulutmu." Naya membuka mulutnya enggan ketika Kayasaka lagi-lagi menyuapinya bubur hambar itu. Tapi saat suapan ketiga, wanita itu sengaja menutup mulutnya rapat-rapat.
"Dia benar-benar ceroboh! Bagaimana dia tidak sadar kalau sudah membawa ponsel orang lain! Kakak tingkat menyebalkan!" Emily mengutuk Zavier sepanjang lorong kampus yang dilewatinya. Sore itu, dia misuh-misuh setelah dimarahi dosen karena tidak membawa tugas. Emily mengelak dengan menjawab kalau dia tidak tau pengumpulan tugasnya dipercepat hari ini. Tapi teman sekelasnya mengatakan kalau sudah ada pengumuman di grup chat kelas mereka. Emily mendelik, karena dia merasa yakin dia tidak mendapatkan pemberitahuan itu. Dan saat dia hendak mengecek pesan grup chat di ponselnya untuk membuktikan, dia baru sadar kalau kata sandi yang digunakan pada ponselnya sama sekali berbeda. Emily pun sampai pada kesimpulan ponsel yang ada di genggamannya ini bukanlah ponsel miliknya. Melainkan ponsel milik Zavier yang memang sama persis. Di awal kepindahannya Emily memang agak sedikit takut jika ponselnya tertukar dengan milik Zavier. Dan hari ini peristiwa itu benar-benar terjadi. Peristiwa y
"Emily!" Gadis yang namanya disebut itu menghempaskan tangan Gladys kasar. Dua wanita yang sama-sama berambut pendek itu kini menatap satu sama lain. "Apa!? Kau ingin menyakiti pasien? Kau ingin menyakiti kembaran Kak Alyssa lagi? Tidak akan ku biarkan!" Gadis itu mendadak galak, Emily yang tadi tersasar setelah berusaha mencari Zavier malah berakhir di taman rindang ini. Menyaksikan perkelahian dua orang yang dikenalnya. "Kau ini lucu sekali, bukannya dulu kau juga ingin menyingkirkannya?" Emily menarik tangan Gladys kasar, menjauh dari Naya yang tertegun melihat pertengkaran dua orang itu. "Aku tidak akan terhasut oleh ucapanmu lagi! Apa kau pikir setelah semuanya aku akan tetap jadi pionmu? Aku mengerti sekarang, kau hanya iri pada kehidupan kembaran Kak Alyssa kan? Aku gila karena dulu sempat mempercayaimu!" "Hey adik ipar! Kenapa kau berbicara dengan sok suci begitu? Kita teman yang akan jadi saudarakan? Ayolah, kau masih ada dipihakku kan?" Emily mendecih jijik. "T
"Emily!" Gadis yang namanya disebut itu menghempaskan tangan Gladys kasar. Dua wanita yang sama-sama berambut pendek itu kini menatap satu sama lain. "Apa!? Kau ingin menyakiti pasien? Kau ingin menyakiti kembaran Kak Alyssa lagi? Tidak akan ku biarkan!" Gadis itu mendadak galak, Emily yang tadi tersasar setelah berusaha mencari Zavier malah berakhir di taman rindang ini. Menyaksikan perkelahian dua orang yang dikenalnya. "Kau ini lucu sekali, bukannya dulu kau juga ingin menyingkirkannya?" Emily menarik tangan Gladys kasar, menjauh dari Naya yang tertegun melihat pertengkaran dua orang itu. "Aku tidak akan terhasut oleh ucapanmu lagi! Apa kau pikir setelah semuanya aku akan tetap jadi pionmu? Aku mengerti sekarang, kau hanya iri pada kehidupan kembaran Kak Alyssa kan? Aku gila karena dulu sempat mempercayaimu!" "Hey adik ipar! Kenapa kau berbicara dengan sok suci begitu? Kita teman yang akan jadi saudarakan? Ayolah, kau masih ada dipihakku kan?" Emily mendecih jijik. "
Klik! Louis membuka pintu, ketika semua mata menatapnya dingin, kecuali seorang wanita yang dengan tenang duduk di ranjangnya. Sebuah tinjuan keras mendarat di pipi Louis. Membuat kacamata beningnya terlepas, memperlihatkan bola mata birunya yang selama ini tersembunyi di balik kacamata. "Kayasaka ... pelan-pelan. Sudah ku bilang ini salah paham." "Nyonya ... " Louis melirik Naya yang tersenyum lirih, mengucapkan maaf tanpa suara. Ternyata ini saatnya semuanya terbongkar. Dia tak akan mengelak hukuman yang akan dia dapatkan nantinya. Toh, ini memang salahnya. Tragedi itu, Louis yakin Kayasaka dan Zavier sudah tau. "Kau tak ingin menjelaskannya asisten Louis? Atau aku perlu menghubungi komplotanmu?" Zavier berkata dingin. Mengacungkan ponsel yang menampakan panggilan tak terjawab. Ponselnya yang tak sengaja tertukar dengan Emily itulah yang menjembatani semua kejadian ini. "Saya tak punya pembelaan. Saat itu, 'kita' sama-sama tersesat." Satu pukulan lagi diterima ol