"Hah?! Kau gila!?" Ujar Naya syok maksimal, masih ada di taman rimbun depan rumah peninggalan orang tuanya setelah ditarik Zavier paksa. "Iya Noona kau harus melakukan ini untuk menguji perasaan Hyung padamu bukan? Aku tak ingin kau ditinggalkan." Zavier masih berusaha mensugesti Naya untuk menyetujui rencana gilanya. "Apa kau bisa menjamin dia datang tepat waktu? Aku tidak yakin dia akan memilihku Zaza. Padahal aku biasa saja kalau dia memang ingin menemui Faniya." Tanya Naya sangat realistis, karena dia sadar mengubah perasaan seseorang tidaklah mudah. Dia tidak ingin berharap lebih, lalu tersakiti akhirnya. Bisa hidup tanpa terluka saja dia sudah bersyukur. Selama ini, dia hanya ingin mengubah Kayasaka menjadi lebih baik dan tak berpikiran untuk menyakiti atau mambunuhnya di akhir cerita nanti. "Aku tau kau baik. Tapi ketertarikan Hyung pada Kak Faniya bukan seperti yang Noona pikirkan." "Maksudnya?" Zavier mengajak wanita itu duduk di kursi taman yang ada di sana, lalu mu
Langit sedang cerah, tapi lelaki dengan kemeja putihnya yang basah terlihat sangat kalut. Memeluk wanitanya dengan erat. Sangat panik saat beberapa menit lalu wanita yang selalu tersenyum kearahnya sebelum pamit pulang mendadak henti napas karena tenggelam. Untungnya dia bisa melakukan pertolongan pertama, setidaknya menjauhkan wanita yang telah menjadi istrinya itu dari bahaya. "Cepatlah Zavier!" Kayasaka berseru kesal, saat mobil yang dikendarai Zavier rasanya melaju dengan sangat lambat. Sudah sejak lama dia tidak merasakan ketakutan ini. Ketakutan akan ditinggalkan seorang diri di dunia yang sangat kejam. Cukup Senandika dan Ibundanya saja yang pergi. Cukup Faniya saja yang sudah hilang dari jangkauannya. Tapi wanita ini ... wanita yang entah sejak kapan mengantarkan rasa hangat pada perasaannya. Dia ingin meminta Naya untuk tetap tinggal. Bagaimanapun caranya, dia ingin wanitanya tetap baik-baik saja. "Hyung!" Zavier ikut rusuh saat Kayasaka tanpa kata langsung turun dar
"Kau mau pergi ke mana?" Tanya Kayasaka pada Naya yang sudah turun dari kasur sembari mendorong infusannya. "Aku bosan." Adu Naya jujur. Meskipun kamar VVIP ini mewah. Tapi sepanjang penglihatan hanya ada dinding dan jendela. Hanya ada tv yang sudah bosan dia tonton, Naya ingin merasakan sentuhan alam sesekali. "Aku ingin pergi ke taman. Aku rasa di sana akan menyenangkan." "Tidak boleh." Jawab Kayasaka tanpa menoleh karena sedang memindahkan berkas-berkas pekerjaannya. "Sebentar saja ... Ya?" Bujuk Naya lagi. Berharap Kayasaka akan luluh. "Tidak boleh, Nyonya Elaksi." Kata Kayasaka dengan penekanan. "Kayasaka, Kau benar-benar kejam!" Naya merutuk kesal, terpaksa kembali berbaring di ranjangnya atas perintah Kayasaka. Dia bahkan sudah merasa lebih baik, tapi lelaki ini bahkan tak membolehkannya sekedar jalan-jalan atau keluar dari ruangan. Padahal apa yang salah dari itu? Sepuluh menit berlalu, dan Naya sudah bosan sendiri. Kayasaka malah asik dengan semua dokumennya. Dar
"Nomor ini sedang ada dalam panggilan lain." Zavier kesal, sudah beberapa kali dia mencoba menelpon nomor Emily. Tapi nomor wanita itu selalu berada dalam panggilan lain. Apa jadi nona muda Fernandes memang sesibuk itu? Atau dia sedang menelpon seseorang? Lain kali Zavier harus mencoba menyadap nomernya untuk tau siapa yang sedang Emily telpon. Jika ini adalah saingannya, Zavier akan coba menghancurkannya terlebih dulu. Rasanya dia sudah tidak bisa menunda lagi untuk segera menghancurkan keluarga Fernandes dari dalam. Selain mendukung ambisi Kayasaka, nyatanya Zavier juga punya dendam tersendiri. Dia tak akan pernah bisa melupakan kejadian itu, kejadian di mana orang tuanya meninggal karena tabrak lari yang dilakukan oleh salah satu keluarga Fernandes. Tabrakan maut yang menjadikannya yatim piatu untuk selamanya. Lelaki berdarah korea itu akhirnya memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Jujur saja tubuhnya terasa lengket oleh keringat. Selama tiga hari ini Zavier hanya mandi s
"Faniya? Kak Lio mana?" Eland bertanya, tadi lelaki itu sebenarnya bersama dengan Faniya dan Emilio karena rencananya mereka akan mengantarkan gadis itu pulang ke desa asalnya. Tapi Eland melupakan kunci mobilnya, jadi lelaki itu kembali ke ruangan rawat Faniya, membiarkan Emilio dan Faniya pergi terlebih dahulu. Sekarang Eland menemukan gadis dengan rambut coklatnya itu berlari sendirian dan bukan pergi ke parkiran seperti rencana awal mereka tadi. "Itu ... tadi ... " "Kak Lio!" Eland berseru nyaring tatkala menemukan Emilio yang menyusul. Dua orang ini tampak aneh di matanya, karena sepertinya ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Tapi apa? Eland sama sekali tak tau dan tak bisa menebaknya. "Kenapa kalian malah kembali ke sini?" Tanya Eland heran. Faniya diam, melirik Emilio yang sepertinya juga bingung harus menjelaskan kejadian ini bagaimana. "Pertama, kita pergi dulu saja." Kata Eland akhirnya, kesal juga dari tadi tak mendapat respon apapun. Tapi tangan Emilio mena
"Tuan ... sepertinya Nyonya perlu dibangunkan." Ucap Louis hati-hati, karena dari 15 menit yang lalu mobil hitam itu hanya terparkir diam di halaman rumah. Di perjalanan tadi, Naya secara tidak sadar tertidur. Bahkan kini malah bersandar nyaman di bahu Kayasaka, yang Louis yakini akan sangat kaku karena menopang Nyonya rumahnya itu lumayan lama. "Aku akan membawanya. Parkirkan mobilnya setelah aku turun." Louis mengangguk tersenyum tertahan, nyatanya Kayasaka tak tega membagunkan wanita yang tengah terlelap itu. Setelah kepergian Kayasaka, Louis mulai memarkirkan mobil dan membawa keluar semua barang bawaan Naya dari rumah sakit. Untuk nantinya dia serahkan pada Bibi Marry dan Lusi yang sudah menunggu di depan rumah. Sementara itu, Kayasaka membawa Naya dengan tenang, sesekali memperbaiki posisi gadis itu agar nyaman bersandar pada dada bidangnya. Tiba di lantai tiga, lelaki itu langsung membawa Naya ke kasurnya. Tapi saat hendak beranjak, kancing kemejanya tersangkut pada ram
"Tuan, apa semua aset Nona Gladys kita pindahkan atas nama Nyonya?" Kayasaka mengangguk, masih memindai dokumen ditangannya. "Pastikan Gladys tidak tau akan hal ini. Lakukan serapih mungkin Louis." Pemuda berkacamata itu mengangguk. Lalu menutup pintu ruangan Kayasaka kembali. Pagi tadi, Kayasaka baru menyelesaikan meeting dengan klien luar negeri, di lanjutkan rapat dan saat ini dia sedang memindai semua dokumen yang baru saja Louis serahkan. Setelah malam itu, Kayasaka berusaha menghentikan semua ketertarikannya pada Faniya. Walau tidak sepenuhnya, karena segalanya harus dimulai dengan pelan-pelan. Kayasaka hanya ingin menghargai Naya, wanita yang sepertinya sudah menguasai separuh atensinya. Drrrrttt ... Baru dipikirkan sebentar, wanita itu menelponnya. Apa dia cenayang? Kayasaka meraih benda pipih itu, menempelkannya ke dekat telinga. "Ada apa?" Tanyanya tanpa basi-basi, sangat khas gaya seorang Kayasaka yang to the point dan tidak suka bertele-tele. "Aku izin ke rumah Za
"Ini Arsenik." Naya tak bisa berkata-kata, terlalu syok dengan apa yang baru saja dialaminya. Arsenik? Dia seperti sedang syuting film kalau begini ceritanya. Dia tentu tau racun seperti apa arsenik itu, racun yang nyaris sulit dideteksi bahkan tokoh revolusi munir diduga meninggal karena racun ini. Kasus pembunuhannya bahkan masih misteri sampai sekarang, sampai Naya masuk ke dalam novel inipun, Naya yakin kasusnya masih belum terpecahkan. Untungnya, Kayasaka sepertinya lebih peka dari siapapun. Lelaki ini berhasil menyelamatkan nyawanya yang hampir melayang beberapa menit yang lalu. "Siapa yang memasak makanan ini?" Tanya Kayasaka pada Naya yang masih menatap kosong ke arah makanan yang ada di depannya. "Bibi Marry." Jawabnya jujur walau masih bergetar tak percaya hampir diracuni, "aku bahkan memakan sarapannya pagi ini." Naya menatap Kayasaka, mencoba mengenyahkan pikiran negatifnya. Pikirannya langsung lari pada scene novel di mana kejadian ini harusnya terjadi pada Faniy