"Nomor ini sedang ada dalam panggilan lain." Zavier kesal, sudah beberapa kali dia mencoba menelpon nomor Emily. Tapi nomor wanita itu selalu berada dalam panggilan lain. Apa jadi nona muda Fernandes memang sesibuk itu? Atau dia sedang menelpon seseorang? Lain kali Zavier harus mencoba menyadap nomernya untuk tau siapa yang sedang Emily telpon. Jika ini adalah saingannya, Zavier akan coba menghancurkannya terlebih dulu. Rasanya dia sudah tidak bisa menunda lagi untuk segera menghancurkan keluarga Fernandes dari dalam. Selain mendukung ambisi Kayasaka, nyatanya Zavier juga punya dendam tersendiri. Dia tak akan pernah bisa melupakan kejadian itu, kejadian di mana orang tuanya meninggal karena tabrak lari yang dilakukan oleh salah satu keluarga Fernandes. Tabrakan maut yang menjadikannya yatim piatu untuk selamanya. Lelaki berdarah korea itu akhirnya memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Jujur saja tubuhnya terasa lengket oleh keringat. Selama tiga hari ini Zavier hanya mandi s
"Faniya? Kak Lio mana?" Eland bertanya, tadi lelaki itu sebenarnya bersama dengan Faniya dan Emilio karena rencananya mereka akan mengantarkan gadis itu pulang ke desa asalnya. Tapi Eland melupakan kunci mobilnya, jadi lelaki itu kembali ke ruangan rawat Faniya, membiarkan Emilio dan Faniya pergi terlebih dahulu. Sekarang Eland menemukan gadis dengan rambut coklatnya itu berlari sendirian dan bukan pergi ke parkiran seperti rencana awal mereka tadi. "Itu ... tadi ... " "Kak Lio!" Eland berseru nyaring tatkala menemukan Emilio yang menyusul. Dua orang ini tampak aneh di matanya, karena sepertinya ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Tapi apa? Eland sama sekali tak tau dan tak bisa menebaknya. "Kenapa kalian malah kembali ke sini?" Tanya Eland heran. Faniya diam, melirik Emilio yang sepertinya juga bingung harus menjelaskan kejadian ini bagaimana. "Pertama, kita pergi dulu saja." Kata Eland akhirnya, kesal juga dari tadi tak mendapat respon apapun. Tapi tangan Emilio mena
"Tuan ... sepertinya Nyonya perlu dibangunkan." Ucap Louis hati-hati, karena dari 15 menit yang lalu mobil hitam itu hanya terparkir diam di halaman rumah. Di perjalanan tadi, Naya secara tidak sadar tertidur. Bahkan kini malah bersandar nyaman di bahu Kayasaka, yang Louis yakini akan sangat kaku karena menopang Nyonya rumahnya itu lumayan lama. "Aku akan membawanya. Parkirkan mobilnya setelah aku turun." Louis mengangguk tersenyum tertahan, nyatanya Kayasaka tak tega membagunkan wanita yang tengah terlelap itu. Setelah kepergian Kayasaka, Louis mulai memarkirkan mobil dan membawa keluar semua barang bawaan Naya dari rumah sakit. Untuk nantinya dia serahkan pada Bibi Marry dan Lusi yang sudah menunggu di depan rumah. Sementara itu, Kayasaka membawa Naya dengan tenang, sesekali memperbaiki posisi gadis itu agar nyaman bersandar pada dada bidangnya. Tiba di lantai tiga, lelaki itu langsung membawa Naya ke kasurnya. Tapi saat hendak beranjak, kancing kemejanya tersangkut pada ram
"Tuan, apa semua aset Nona Gladys kita pindahkan atas nama Nyonya?" Kayasaka mengangguk, masih memindai dokumen ditangannya. "Pastikan Gladys tidak tau akan hal ini. Lakukan serapih mungkin Louis." Pemuda berkacamata itu mengangguk. Lalu menutup pintu ruangan Kayasaka kembali. Pagi tadi, Kayasaka baru menyelesaikan meeting dengan klien luar negeri, di lanjutkan rapat dan saat ini dia sedang memindai semua dokumen yang baru saja Louis serahkan. Setelah malam itu, Kayasaka berusaha menghentikan semua ketertarikannya pada Faniya. Walau tidak sepenuhnya, karena segalanya harus dimulai dengan pelan-pelan. Kayasaka hanya ingin menghargai Naya, wanita yang sepertinya sudah menguasai separuh atensinya. Drrrrttt ... Baru dipikirkan sebentar, wanita itu menelponnya. Apa dia cenayang? Kayasaka meraih benda pipih itu, menempelkannya ke dekat telinga. "Ada apa?" Tanyanya tanpa basi-basi, sangat khas gaya seorang Kayasaka yang to the point dan tidak suka bertele-tele. "Aku izin ke rumah Za
"Ini Arsenik." Naya tak bisa berkata-kata, terlalu syok dengan apa yang baru saja dialaminya. Arsenik? Dia seperti sedang syuting film kalau begini ceritanya. Dia tentu tau racun seperti apa arsenik itu, racun yang nyaris sulit dideteksi bahkan tokoh revolusi munir diduga meninggal karena racun ini. Kasus pembunuhannya bahkan masih misteri sampai sekarang, sampai Naya masuk ke dalam novel inipun, Naya yakin kasusnya masih belum terpecahkan. Untungnya, Kayasaka sepertinya lebih peka dari siapapun. Lelaki ini berhasil menyelamatkan nyawanya yang hampir melayang beberapa menit yang lalu. "Siapa yang memasak makanan ini?" Tanya Kayasaka pada Naya yang masih menatap kosong ke arah makanan yang ada di depannya. "Bibi Marry." Jawabnya jujur walau masih bergetar tak percaya hampir diracuni, "aku bahkan memakan sarapannya pagi ini." Naya menatap Kayasaka, mencoba mengenyahkan pikiran negatifnya. Pikirannya langsung lari pada scene novel di mana kejadian ini harusnya terjadi pada Faniy
Naya masih termenung dalam mobil. Perkataan Kayasaka benar-benar mengganggunya. "Dari awal, aku punya banyak musuh. Kau tak pernah tau siapa yang akan jadi musuhmu selanjutnya." Ya ... Naya tak bisa menyangkal fakta itu. Kayasaka memang punya banyak musuh, tapi intuisinya mengatakan kalau Bibi Marry tak mungkin salah satu darinya. Kenapa? Selain tak punya motif, Naya diam-diam sudah punya kecurigaan tersendiri. Selama tinggal di mansion mewah Kayasaka. Naya tentu tidak hanya diam, tapi dia juga mengamati. Dia hanya terlihat baik dan manis saat ada orang lain bersamanya. Selebihnya, dia sering melakukan pengamatan sendiri. Dan kecurigaannya jatuh pada ... ... Lusi. Pelayannya itu aneh, meski terlihat polos tapi tatapannya selalu berubah saat Naya bersama dengan Kayasaka, atau saat lelaki itu bersama Zavier. Lusi adalah pelayan kediaman yang ditugaskan tepat setelah Arranaya menikah dengan Kayasaka. Awalnya tak ada yang aneh, tapi lama kelamaan Naya sadar sesuatu. Tatapan Lusi
"K-Kayasaka ... " Naya tertegun dengan luka sayatan yang lelaki itu dapatkan di pipi kirinya. Wanita itu bahkan lebih tertegun lagi saat Kayasaka membalikkan cutter itu dan membuat leher Lusi tersayat tepat di depan matanya. Lantai marmer itu kian dipenuhi cairan merah dari arteri Lusi yang terpotong tepat sasaran, sangat rapi dan juga mengerikan. "Kayasaka ... kau ... kau membunuhnya?" Tanya Naya retoris, hampir hilang kata karena terkejut. Kayasaka membuang cutter itu, sepertinya baru sadar telah menghabisi seseorang di depan istrinya. Dia lantas balik badan, memdekap Naya dengan erat. "Maaf ... aku takut dia menyakitimu." ucapnya lirih, merasa sangat bersalah karena sudah memperlihatkan pemandangan mengerikan itu pada Naya. Naya masih mematung dalam pelukan lelaki jangkung yang berstatus sebagai suaminya itu. Tubuhnya bergetar, semuanya terjadi begitu cepat, Lusi yang beberapa menit lalu berdebat dengannya bahkan sudah terbunuh sekarang. Pemandangan malam yang mengerikan.
"Noona! Kau baik-baik saja kan?" Teriak Zavier ditelpon. "Iya, aku tidak apa-apa, tapi Kayasaka terluka. Dan apakah tidak apa-apa dia membunuh Lusi?" "Luka di mana? Kalau luka kecil aku yakin Hyung tidak akan mempermasalahkannya. Soal pelayan itu Noona tenang saja. Tindakan Hyung dianggap sebagai pertahanan diri, asalkan semua bukti dan saksinya lengkap, Hyung tidak akan terjerat kasus hukum." Naya bernapas lega mendengarnya, dia takut kalau tindakan Kayasaka ini nantinya akan berbuntut panjang. "Ya ... untungnya luka Kayasaka tidak parah. Apa kau masih di sana bersama asisten Louis?" "Iya sepertinya kasus ini akan beres besok, karena ternyata Lusi adalah buronan dengan berbagai kasus." "Baiklah, terima kasih Zavier. Sampaikan ucapan terima kasihku pada asisten Louis juga." "Tentu Noona. Selamat beristirahat, tidak usah memikirkan yang lain. Jal-ja." Naya menutup telpon itu. Ini sudah setengah jam, tapi Kayasaka bahkan belum keluar dari kamar mandi. Sembari menunggu, Naya
"Noona benar-benar akan pulang?" Tanya Zavier masih tak mengerti. Setelah dia dan Emily saling mengejar di koridor keduanya kembali dengan Naya yang sudah sibuk berkemas. "Hm, iya." Jawab Naya tanpa ragu, dia melirik Kayasaka yang tadi marah karena tak rela ditinggal pergi olehnya. Semua bujuk rayu lelaki itu bahkan tak mempan pada Naya yang tetap ingin pulang. Naya sendiri bersikukuh pulang dan tak bisa tinggal lebih lama di sini, karena bagaimanapun dia tidak mau menghilang tepat di depan orang-orang yang dia sayangi. "Padahal Kakak juga pulang besok 'kan? Kenapa kak Naya tidak menginap saja?" Itu Emily, ikut memerotes keputusan Naya. "Aku harus pulang karena harus menyiapkan sesuatu Lily. Aku ingin menyiapkan untuk menyambut kepulangan kakakmu." Jawab Naya dengan kerlingan jahilnya. Bohong. Naya bahkan tak tau masih bisa melihat Kayasaka hingga besok pagi atau tidak. "Biarkan saja. Kakak iparmu memang keras kepala. Toh besok aku tak akan pulang." Kayasaka berkomentar k
"Jadi apa yang kau inginkan Naya? Misimu sudah berhasil dan Novelnya sudah selesai." Naya yang masih tak percaya ditarik ke dimensi aneh ini hanya diam. Wanita itu belum menjawab apa pun, dia hanya tertunduk sembari mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Di mana dia menghadiri pemakaman Zavier. Iya, Zavier. Tumbal novel ini ternyata bukan Kayasaka tapi Zavier. Malam itu, saat Kayasaka kecelakaan, Naya langsung menghubungi Emily karena Kayasaka membutuhkan donor darah secepatnya. Emily yang sedang bersama Zavier langsung bergegas menuju rumah sakit. Tapi di jalan mereka berdua dijegat oleh orang-orang suruhan Amretha. Orang yang sama yang merusak mobil Kayasaka dan membuatnya kecelakaan. Di tengah kekalutan itu, Zavier tertembak dan motornya kecelakaan tapi Emily selamat. Naya yang was-was karena Emily tak kunjung datang untungnya mendapat bantuan dari Emilio dan Alares yang ternyata mau mendonorkan darahnya untuk Kayasaka. Setelahnya, Emily datang ke rumah sakit dengan ber
Pagi harinya, Naya, Kayasaka, Zavier dan Emily sudah sarapan bersama di meja makan. Setelah pertemuan mengharukan kedua adik kakak itu, semalamam Emily dan Kayasaka bercerita, entah untuk meluruskan kesalahpahaman atau mengenang kebersamaan mereka. Akhirnya, Zavier dan Emily memilih menginap malam itu. Sehingga pagi ini mereka bisa sarapan bersama. Sarapan sederhana yang Naya buat dengan senang hati. "Bagaimana Hyung? Kau bisa cuti satu hari ini 'kan?" Tanya Zavier sebelum menyendokkan penuh sereal coklat ke dalam mulutnya. Pemuda itu sekali lagi membahas rencananya untuk mengajak ketiga orang di sekitarnya ini untuk ke taman hiburan bersama. Katanya, untuk merayakan keutuhan keluarga ini. "Aku bisa, tapi tanya dulu pada Noonamu, apa kondisinya memungkinkan untuk pergi ke taman hiburan. Dia pasti kelelahan karena kegiatan kami malam tadi." Na
Zavier menarik topinya lebih dalam. Masuk ke area kafe yang lumayan ramai siang itu. Setelah suasana hatinya sedikit membaik, pemuda itu memutuskan untuk pergi ke kafe mencari makanan karena di apartemennya tak ada apa-apa selain air dingin.Biasanya, Zavier akan pergi ke mansion Kayasaka dan memakan masakan bibi Marry atau mencoba pasta dan kue buatan Naya. Tapi saat ini dia ingin menikmati kesendiriannya. Zavier sudah tak membenci Kayasaka tapi dia juga masih canggung jika harus langsung bertemu lelaki itu. "Apa yang ingin anda pesan?" Tanya pelayan yang menghampiri Zavier di mejanya. Zavier melihat menu di tangannya, ada deretan makanan yang terlihat enak di sana. Tapi tatapannya terpaku pada pasta yang mengingatkannya pada sosok Emily. Ingatannya menerawang jauh saat dia dan gadis itu tinggal bersama untuk beberapa hari. Zavier ingat pernah mencuri pasta yang dimasak gadis itu, juga mencuri rasa manis dari bibir ra
"Kayasaka," panggil Naya pelan, wanita itu berdiri ketika suaminya baru saja membuka pintu setelah dari ruangan rapat. Naya memang sudah menunggu Kayasaka sedari tadi. Setelah menjamu Emilio dan Alares sebentar, Naya langsung ke sini menemui Kayasaka yang sekali lagi terlihat berantakan. Bagaimana tidak, luka terbesarnya kembali. Siapa yang bisa baik-baik saja? "Aku tidak memintamu ke sini. Kau seharusnya beristirahat saja di rumah." Kayasaka berkata dingin, Naya tersenyum maklum.Dengan senyuman yang masih menghiasi wajahnya, wanita itu menghampiri Kayasaka di kursi kerjanya. Naya berdiri di belakang suaminya itu, memeluk leher Kayasaka dari belakang, lalu mengelus pundak suaminya pelan, sembari menenggelamkan kepalanya di sana. "Yaya kalau marah memang selalu berubah jadi kulkas ya?" Tanya Naya jenaka berusaha mencairkan suasana. Melihat suaminya masih tak merespons membuat Naya semakin ingin berusaha.
Seorang pemuda masih meringkuk dalam selimut. Mengabaikan dering ponselnya. Zavier, pemuda itu bahkan enggan membuka gorden, dia hanya membiarkan dirinya meringkuk dalam gelap. Dia tak ingin menemui siapa pun. Dia tak ingin mendengar apapun. Kepalanya masih berdenyut sakit akibat pengakuan Kayasaka semalam. Fakta gila yang menyangkut orang tuanya juga masih tak bisa dia percaya. Kamarnya ini menjadi saksi betapa kacau dan hancurnya Zavier. Remuk, Zavier benar-benar tak berdaya. Matanya melirik botol wine yang kosong di ujung karpet, setelahnya netranya berpendar menyusuri figura foto yang sudah menjadi kepingan di lantai kamarnya. Semestanya benar-benar sedang berantakan. Begitu juga dengan seisi kamarnya. Drrrrttt ... drrrtttt ....Ponsel Zavier bergetar lagi. Kali ini pemuda itu bergerak melihatnya, dia yakin itu pesan dari Noonanya karena wanita itu memang tak henti-henti meneleponnya d
Naya membuka matanya, tersenyum mendapati Kayasaka masih terlelap sembari memeluknya. Lelaki itu terlihat sangat tampan bahkan saat memejamkan mata. Bulu matanya lentik untuk ukuran seorang pria. Sedangkan itu rahangnya tegas dengan hidung mancung dan alis yang lebat. Naya mencintai pria ini, sangat. Terlepas dari seberapa tampan ia atau sekelam apa masa lalunya. "Misimu ..." "Misimu ... " "Misimu Naya ... " Naya memejamkan matanya. Kepalanya mendadak sakit dan pusing, ditambah suara-suara aneh yang mulai berdengung di telinganya, semacam panggilan peringatan. "Ke sini ... " "Ke sini ... " "Akh!" Naya meringis ketika suara itu seolah menekan kepalanya. Membuat rasa sakit di sana semakin membuatnya merintih. Kayasaka terbangun karena pergerakan tak nyaman dari Naya. Melihat istrinya merintih kesa
"Jadi bagaimana semuanya dimulai?" Tanya Naya penasaran. "Apa kau tau ini tanggal berapa?" tanya Kayasaka balik, membuat Naya meraih ponsel di meja kecil yang ada di depan mereka. Tubuhnya syok kecil, saat ponselnya menunjukkan tanggal 14. "Jadi selama ini ... setiap tanggal 14 kau menyembunyikan ke datangan Amretha Fernandes ke rumah ini dari semua orang?" Kayasaka senang istrinya cepat tanggap, tapi bukan begitu awal mulanya. "Bukan dia. Lebih tepatnya, kedatangan lelaki brengsek yang jadi suaminya. Ayahku." Kening Naya berkedut tak mengerti, Kayasaka melanjutkan, "setiap tanggal 14 ayahku itu selalu datang ke rumah ini untuk memberikan uang supaya aku bisa bertahan hidup. Tapi dari setahun yang lalu dia tak pernah datang dan malah Amretha Fernandes yang selalu datang ke sini mencarinya. Kesimpulan yang bisa aku tarik, lelaki itu menghilang. Walaupun sedikit rumit berhadapan dengan Amretha Fenandes tapi aku bersyukur, aku tak perlu menemui lelaki brengsek itu lagi." Kata
Kayasaka menatap Naya yang tertidur dalam pelukannya. Setelah makan malam, wanita itu terlelap begitu saja sembari terus memeluknya. Kayasaka menarik tangannya perlahan. Turun dari kasur dan menarik selimut untuk menutupi tubuh istrinya. Naya mengulet sebentar sebelum tertidur lagi dengan mencari posisi nyaman yang baru. Kayasaka sendiri memerhatikan itu dan mulai beranjak pergi ke ruang kerjanya sendiri yang ada di sebelah kamar tidur luasnya. Kayasaka merogoh kunci, membuka nakas di bawah meja kerjanya. Lelaki itu mulai mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah dokumen. Dokumen-dokumen yang selama ini dia simpan dengan sangat rapat. Kedatangan Amretha Fernandes memaksanya untuk kembali teringat dokumen-dokumen lama itu. Dokumen yang menjadikan Kayasaka lelaki brengsek yang tak pantas mendapatkan sebuah pengampunan atau kata maaf. Kehidupan normalnya bersama Naya, sering kali membuatnya lupa kalau dia adalah monster penghancur. Monster yang bersedia melakukan apa pun agar am