Suara gedoran bergema dengan keras memenuhi seluruh ruang kerja Mikail. Satu tangannya yang terkepal berada di meja dan tangannya yang lain menggenggam kuat ponsel yang menempel di telinga. Wajahnya merah padam, serasa dibakar mentah-mentah. Dan amarah bergemuruh memenuhi dadanya. Beraninya Megan meninggalkan rumah tanpa seijinnya. Bahkan mengancam anak buahnya hingga tak berdaya dan lebih menuruti perintah wanita itu ketimbang dirinya. "Tunggu di sana sampai dia kembali. Pastikan kau mengawasinya dengan ketat dan laporkan secara berkala padaku," desis Mikail tajam. Memungkasi panggilan dari seberang dengan membanting ponsel ke meja. Ia mendorong tubuhnya bersandar ke belakang dengan mata terpejam. Entah butuh berapa puluh helaan hingga gemuruh di dadanya perlahan mereda. Baru saja ia meninggalkan Megan dengan Kiano yang sedang menghabiskan kue di meja makan untuk mengantar makanan Alicia, saat ia kembali keduanya sudah tidak ada di sana. Mikail pun naik ke lantai dua dan melihat
Megan tersentak dan bergegas terbangun ketika mendengar suara dering ponselnya. Menemukan dirinya berbaring di tempat asing dengan bau antiseptik yang begitu pekat dan kedua matanya membelalak menemukan ini adalah ruangs perawatan Nicholas. Kepalanya berputar dan melihat tubuh Nicholas yang berbaring di ranjang dengan kedua mata gang terpejam. Teringat alasan keberadaannya di tempat ini. Ia pun bergerak turun sambil menatap jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 5 pagi. Megan pun segera mengambil tasnya dan bangkit berdiri. Berjalan menghampiri ranjang pasien demi memperbaiki letak selimut Nicholas yang sudah rapi. Tanpa menciptakan suara sekecil apa pun yang bisa membangunkan Nicholas. Sampai di lobi rumah sakit, Megan dikejutkan dengan keberadaan Tom yang bergegas menghampiri dirinya yang baru saja menginjak teras gedung. "Nyonya?" "Apa yang kau lakukan di sini?" Megan membelalak pada Tom dengan suara yang nyaris membentak karena mengejutkannya. "Tuan meminta saya
Apa yang kau lakukan, Mikail?" Megan tak bisa menahan getaran dalam suaranya. Kali ini Mikail tak hanya menyentuh dagunya dengan ujung jemari. Melainkan menggenggam rahangnya, memaksa seluruh perhatiannya tertuju hanya kepada pria itu. Seringai Mikail naik lebih tinggi saat mendesiskan jawabannya, "Kau tahu benar apa yang kuinginkan darimu." Megan menelan ludahnya. Seluruh tubuhnya menegang oleh rasa takut yang nulai merebak memenuhi dadanya. "Aku tidak bisa, Mikail. Kau tahu aku tidak siap memenuhi keinginanmu yang satu itu." "Kau memiliki terlalu banyak syarat, Megan. Apa kau tidak menyadari posisimu?" "Kau mengatakan tak akan menyentuh wanita yang tidak menginginkanmu." Suara Megan bergetar semakin hebat. Sorot tajam di kedua mata Mikail sama sekali tak menunjukkan bahwa pria itu mendengarkan kata-katanya. "Mungkin akan menjadi pengecualian untukmu." "Tidak, Mikail. A-aku tidak bisa…" Megan menggeleng dengan sekuat tenaganya dan mendorong dada Mikail untuk menjauh darinya. Ge
"Bukan pintunya, Megan!!!" Kali ini Mikail menggedor pintu kamar mandi dengan seluruh tenaganya. Hampir merobohkannya jika Megan membukanya sedetik lebih lama. Tubuh Mikail mematung, menatap wajah Megan yang merah dipenuhi air mata. "Aku sudah mengatakan ingin sendirian, Mikail." Suara Megan terdengar begitu lirih. Nyari tak terdengar jika jarak di antara mereka lebih lebar lagi. Mikail terdiam selama beberapa saat. Mengamati raut wajah Megan dengan lebih dalam dan wanita itu sungguh-sungguh menginginkan waktu untuk dirinya sendiri. "Lakukan apa pun yang kau inginkan, Megan," putusnya kemudian. "Hanya pastikan saja pintunya tidak dikunci. Aku tak akan mengganggumu." Megan berkerut kening. Terkejut dan tak menyangka dengan keputusan Mikail. Meski kelegaan itu hanya untuk sepersekian detik, karena berikutnya. Mikail berkata dengan nada penegasan yang tak bisa dibantah. "Setelah kau selesai dengan waktumu, kita akan bicara." Megan terdongak, protes sudah siap di ujung lidahnya, teta
Wajah Mikail menggelap dengan gurat amarah yang mengeras di seluruh permukaan wajah pria itu akan jawaban angkuh Megan. Bahkan dagu wanita itu terangkat, mencoba memberanikan diri dengan cara yang konyol di mata Mikail. Megan menelan ludahnya, seolah menelan habis ketakutannya akan jawaban yang diberikannya pada Mikail. "Aku hanya berjanji akan melakukan apa pun demi Kiano, Mikail. Masalah atau penyakitku sama sekali bukan urusanmu." Mata Mikail menyipit, mencermati ekspresi di wajah Megan lebih dalam. "Tidak. Aku sudah berkali-kali menegaskan padamu, urusanmu akan selalu menjadi urusanku. Jika kau tidak ingin mengatakannya padaku, aku akan melakukannya dengan caraku sendiri." Kepucatan di wajah Megan tak tertolong lagi. Kedua mata wanita itu melebar, terkejut akan paksaan yang keras di wajah pria itu. Tak ada bantahan, segala hal tentang dirinya, Mikail harus tahu. Dengan sangat detail. Dan Megan tak siap dirinya dikelupas dengan cara yang memaksa. Mikail pun berputar, hendak mel
Tak menemukan Megan di kamar, Mikail pun pergi ke kamar Kiano. Lampu kamar sudah diatur dengan mode tidur. Keheningan menyelimuti seluruh ruangan dan tatapan Mikail langsung mengarah ke tempat tidur. Melihat Megan yang duduk bersandar di kepala ranjang, kepala wanita itu miring ke samping dengan posisi tidak nyaman sedangkan di pangkuan wanita itu ada buku dongeng Kiano yang hampir jatuh ke lantai. Mikail menghampiri sisi ranjang tempat Megan terduduk. Memperbaiki selimut Kiano dan mengecup kening putranya dengan penuh kasih sayang. Kemudian menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Megan dan mengangkat wanita itu keluar kamar Kiano tanpa menciptkan suara sekecil apa pun agar istri dan anaknya tidak terbangun. Sesampai di kamar utama, Mikail membaringkan Megan di tempat tidur. Menarik selimut hingga ke pundak dan duduk di samping Megan. Tangannya terukur, menyelipkan helaian rambut Megan ke balik telinga. Menatap wajah cantik Megan yang rasanya tak pernah berubah. Hidu
Sampai di ruang makan, keduanya melihat Alicia yang duduk di kursi samping Kiano. Wanita itu tampak sibuk membujuk Kiano untuk membuka mulut sedangkan Kiano menggeleng. Tampak keras kepala menolak suapan dari tangan Alicia. “Kiano ingin mama yang melakukannya. Mama sudah berjanji.” “Ya, tapi mamamu sedang istirahat dan tak bisa …” Kening Megan berkerut tak suka dengan jawaban yang diberikan Alicia kepada Kiano. “Mama?” Kalimat Alicia terputus oleh suara memanggil Kiano yang langsung menyadari kedatangan kedua orang tuanya. Alicia ikut menoleh, dengan kekecewaan yang melintasi kedua matanya. Menatap Mikail dan Megan bergantian, bahkan dengan lengan Mikail yang merangkul pundak Megan. Mengisyaratkan bahwa hubungan pasangan itu tampaknya sudah membaik. Secepat ini? Alicia tak memercayai fakta tersebut. Mikail tak pernah semudah itu diluluhkan, dan lagi-lagi kehadiran Megan di rumah ini hanya untuk mematahkan segala kebiasan yang Mikail dengan telak. Kiano melompat turun dari kursi
Megan terlonjak dan tubuhnya nyaris terjungkal ke belakang jika tidak ditahan oleh pegangan Mikail di pergelangan tangannya. Cengkeraman pria itu di pergelangan tangannya semakin menguat ketika tangannya yang lain berusaha merebut ponselnya dari genggaman Mikail, menggigit bibir bagian dalamnya demi menahan bibirnya untuk bersuara. Ia sudah mengangkat panggilan Nicholas, dan tak ingin membuat pria itu lebih curiga setelah ia menyebut nama Mikail sedetik sebelum Mikail merampas ponselnya. Sungguh, Megan berharap suaranya keluar selirih mungkin dan Nicholas tak sungguh mendengarkannya.Mikail menempelkan ponsel Megan di telinganya, menyeringai tipis mendengarkan suara dari seberang lalu memutusnya."Kau menyelinap keluar hanya untuk menerima panggilannya?" dengus Mikail memasukkan ponsel Megan ke dalam saku celananya."Apa yang kau lakukan, Mikail?" Megan berusaha meraih ponselnya, tetapi langsung dihadang oleh tangan Mikail. "Kembalikan ponselku.""Tidak," tegas Mikail dengan suara