Rasa pusing menusuk kepala Megan, matanya mengerjap beberapa kali ketika menyesuaikan cahaya di sekitarnya. Hingga pemandangan di sekitarnya menjadi jelas. Pemandangan wajah familiar dengan ekspresi datar dan gelombang amarah yang masih memekati kedua bola biru di sampingnya. “M-mikail?” Megan mengerjap lagi, mencoba menggali ingatan terakhirnya. Tetapi segera teralihkan oleh rasa berat di kepalanya. Tangannya bergerak, hendak menyentuh kepalanya. Tetapi tertahan oleh sesuatu yang menempel di tangannya.Megan menunduk, melihat pergelangan tangannya dibebat perban dan cairan infus tersambung di selang yang menempel di punggung tangan kirinya.“Ya, memangnya siapa lagi yang kau harapkan akan ada di sini, hah?” dengusan tajam menyelimuti nada suara Mikail yang tajam. Menyembunyikan gemuruh amarah yang menerjang layaknya badai di dalam dadanya.Megan tak terlalu fokus akan kemarahan dalam tatapan pria itu, pandangannya berkeliling. Mencari tahu di mana keberadaannya saat ini. Semaki
“P-pernikahan?” Bibir Megan yang pucat bergerak dengan kaku. Sekarang Megan tak yakin apakah berada di ambang kematian lebih buruk dari sebuah pernikahan. Bibir Mikail menipis dengan tajam menangkap reaksi yang ditampilkan oleh Megan. Seolah pernikahan yang telah mereka jalani di masa lalu adalah hal terburuk yang ada di hidup Megan. Dan sekarang ia menyodorkan hal terburuk itu di hadapan Megan. Yang tak diberi pilihan selain menelan semua keburukan itu mentah-mentah. Hati Mikail benar-benar tergores dengan keras. Amarah bergemuruh di dadanya. Menerjang-nerjang dinding dadanya dengan keras. Dan satu-satunya orang yang lebih berhak menerima semua luapan emosinya hanyalah Megan. Satu-satunya dan hanya Megan seorang. Akan tetapi, ia menekan dalam-dalam kemarahan di dadanya. Menekannya kuat-kuat. Demi kewarasannya. “Kenapa? Kau tak suka?” Mikail melemparkan pertanyaan itu dengan sengit. “Kiano adalah segalanya bagiku, Megan. Aku tak akan mempertaruhkan keberuntunganku dengan membia
Menjelang pagi, Megan masih tak bisa memejamkan matanya. Pikiran dan hatinya masih dipenuhi tentang Mikail dan pernikahan yang pria itu inginkan. Ia masih berbaring di tempat tidur hingga hari berubah siang. Cairan infusnya sudah habis dan dokter datang satu jam yang lalu untuk menggantinya. Menanyakan beberapa hal yang tak sungguh-sungguh Megan dengan dan jawab dengan benar. Tetapi dokter itu mengatakan bahwa kondisinya masih belum pulih benar dan harus meminum makan dan minum obat, yang tidak juga ia laksanakan. Tidak ada Jelita yang memaksanya melakukan semua itu seperti biasanya ketika ia sedang sakit. Jelita masih juga tak bisa dihubungi dan Megan tak ingin menghubungi Mikail untuk menanyakan managernya itu pada Mikail. Megan percaya Jelita baik-baik saja seperti yang dikatakan Mikail. Dan itu lebih dari yang diinginkannya untuk Jelita. Suara sering ponsel membuat Megan tersentak dengan keras. Melihat nama Nicholas sebagai pemanggil nya. Megan mengangkat benda pipih itu dan me
Rahang Nicholas semakin terkatup rapat. Sesuatu yang tidak menyenangkan akan datang. Dari raut dan nada suara Megan, sudah menjelaskan lebih dari cukup. Kemajuan hubungannya dan Megan, mengalami kemunduran yang buruk. “Kiano sudah tahu tentang siapa aku?” Keterkejutan yang besar tercipta di wajah Nicholas. Dua hari yang lalu, Kiano nyaris mengetahui rahasia besar ini setelah memergoki pembicaraannya dan Mikail. “B-bagaimana?” Megan menggeleng dengan gugup, tampak kelas kebingungan dan bibirnya kesulitan mencari kata-kata. Nicholas mengulurkan tangan, menangkap tangan wanita itu. Saat itulah, tanpa sengaja tangan Mikail menyentuh sesuatu yang mengganjal di pergelangan tangan Megan. Megan yang tak menyadari hal tersebut pun dibuat terkejut ketika Nicholas tiba-tiba menyingkap lengan blazernyya yang panjang dan membelalak menatap perban yang melilit pergelangan tangannya. “Apa ini, Megan?” Kedua mata Nicholas membelalak, menatap Megan dengan tajam. “Apa yang dilakukan Mikail padamu
Malam hari, Jelita benar-benar datang ke apartemen Megan. Tetapi apartemen itu kosong. Menemukan ponsel Megan yang tergeletak di tengah tempat tidur, Jelita melihat panggilan terakhir wanita itu dengan Nicholas. Jelita pun menghubungi Nicholas. “Jelita?” Suara Megan menyapa dari seberang. “Kaukah itu?” “Ya, Megan. Apa yang terjadi? Kenapa kau meninggalkan ponselmu di apartemen dan malah memegang ponsel Nicholas?” “Cerita yang panjang, Jelita. Aku sedang di rumah sakit.” “Rumah sakit?!” Jelita tersentak. “Apa yang terjadi denganmu? Apakah Mikail melukaimu?” “B-bukan.” “Lalu?” “Nicholas. Dia sedang ada di ruang operasi.” “Apa?” “Aku akan menceritakannya nanti, bisakah kau datang ke sini. A-aku … aku benar-benar ketakutan, Jelita. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku bahkan tak tahu siapa yang harus kuhubungi untuk memberitahu keadaan Nicholas. Orang tuanya …” “Sshhh … tenanglah. Tarik napasmu.” Megan berusaha mengikuti, tetapi kepanikan masih menyelimuti desah napas wan
Langkah Mikail sempat tersendat ketika menghampiri Megan yang duduk di kursi di ujung lorong. Kepala wanita itu tertunduk, menatap telapak tangan yang berlumur darah. "M-mikail?" Suara Megan terdengar serak dan begitu lemah. Bibirnya juga terlihat begitu pucat, dan wajahnya terlihat lebih tirus sejak terakhir bertemu wanita itu kemarin. Bahkan seharusnya wanita itulah yang dirawat di rumah sakit setelah percobaan bunuh diri konyol itu. Bukannya menunggu sepupu sialannya. Mikail sendiri tidak tahu bagaimana persisnya Nicholas bisa masuk ke rumah sakit. Tetapi dari pengawalnya, sebuah informasi singkat bahwa sepupunya itu yang menyelamatkan nyawa mantan istrinya cukup mengejutkan mengejutkannya. Itulah sebabnya Megan sangat setia menunggu di depan rumah operasi selama enam jam lebih. Wajah wanita itu dipenuhi derai air mata. Dengan penampilan yang berantakan. Perban yang melilit pergelangan tangan Megan terlihat mengintip di balik lengan panjang blazer yang wanita itu kenakan. Beberap
Megan berhasil mengurai air matanya dan tak sampai jatuh ke pipinya ketika melepaskan pelukannya pada Kiano. Dengan senyum lebar yang dipenuhi binar kerinduan, kedua telapak tangannya bergerak merangkum wajah mungil bocah itu. Menatap mata bulat Kiano yang jernih. Sejernih air laut seperti milik Mikail. "Hai, tante sangat senang kau datang ke sini." "Ya. Kiano juga." Telapak tangan Megan mengelus sisi wajah mungil Kiano. Seolah butuh meyakinkan berkali-kali bahwa putranya benar-benar bisa ia sentuh. "Apa kau benar-benar Kiano?" "Ya, tante cantik. Ini Kiano." Telapak tangan mungil Kiano menyentuh punggung tangan Megan. "Apa tante cantik sudah tahu siapa Kiano?" Megan mengangguk, menahan gumpalan emosi yang memadati tenggorokannya. Menahan tangisan yang hendak terlepas. "Ya, tentu saja. Kau putraku. Kiano Matteo." Kiano pun ikut mengangguk. "Ya, tante cantik adalah ibuku." Megan kembali membawa tubuh mungil itu ke pelukannya. Memeluknya dengan lebih erat. "Sayang, mama benar-bena
“Dia bukan istri Mikail?” Kening Jelita menukik tajam. “Apa?” Megan mengangguk. “Kupikir … kupikir dia istri Mikail.” “Lalu untuk apa dia menikah denganmu?” Megan tampak berpikir sejenak lalu menggeleng. “Yang kupedulikan hanya Kiano. Aku bisa bertemu dengan Kiano kapan pun aku ingin. Aku bahkan tak peduli jika menjadi istri keduanya, atau bahkan menjadi orang ketiga.” Megan pikir suaranya akan keluar dengan penuh keyakinan, tetapi malah terdengar begitu hambar dan serasa mencekik tenggorokannya. Yang malah mendapatkan dengusan dari Jelita. “Jangan sebodoh itu, Megan. Kau pikir aku akan membiarkanmu menikah dengan Mikail jika Mikail sudah punya istri? Bukannya sejak awal aku sudah mengatakan padamu kalau dia seorang duda, kan. Dan ternyata dia dudamu.” Megan mengingat kembali pertemuan pertamanya dan Mikail. Lalu mengangguk. Ya, saat itu Jelita sengaja ingin menjodohkannya dengan Mikail. Jadi wanita itu pasti tahu kalau Mikail sedang tidak menjalin hubungan dengan siapa pun. “A
Mikail dan Kiano masih menunggu baby Kylie di ruang bayi setelah mengantarkan Megan ke ruang perawatan. Memastikan sang istri untuk istirahat sebelum pergi, tetapi Megan tak bisa tidur. Pun dengan rasa lelah dan letih yang masih membuatnya lemah dan berbaring di tempat tidur. Perutnya terasa lapar setelah semua tenaga yang ia kerahkan saat persalinan. Suara pintu diketuk, Megan menoleh. Sepertinya perawat yang disuruh Mikail untuk membawakannya makanan untuknya. Tetapi wajahnya berubah masam ketika bukan perawat yang muncul, melainkan Marcel. Satu tangan membawa nampan berisi makanan dan satu tangannya disembunyikan di belakang. Membuat Megan berkerut kening akan sikap aneh pria itu. “Kenapa kau di sini, Marcel?” tanya Megan dengan nada tak bersahabat seperti biasa. Marcel tak menjawab, pria itu meletakkan nampan di nakas. “Aku tahu kau tak akan suka jika aku menyuapimu, kan?” Megan hanya mendengus tipis. Tentu saja ia akan menunggu Mikail. Dan ia langsung mengambil ponsel untuk
Delapan bulan kemudian … Megan memuntahkan seluruh isi perutnya di lubang toilet dengan hentakan yang kuat dari dalam perutnya. Membungkuk dengan kedua tangan bersandar di dinding karena perutnya yang besar membuatnya kesulitan berjongkok. “Kau muntah lagi?” Marcel muncul dari balik pintu yang tak sempat Megan tutup ketika bergegas masuk ke kamar mandi. Berdiri di belakang Megan sembari menggosok pelan punggung wanita itu. Megan yang sudah lemas, tak punya kekuatan untuk menolak perhatian Marcel, apalagi untuk memanggil Mikail yang masih belum turun ke lantai satu. Kedua kakinya melemah dan jatuh bersandar ke tubuh Marcel, sesi muntahan itu akhirnya berhenti dan Marcel mendudukkan Megan di lubang toilet. “Lepaskan dia, Marcel.” Mikail muncul di ambang pintu. Menghampiri Megan dan menarik lengan sang adik untuk menjauh dari istrinya. Marcel hanya mengedikkan bahu dan menuruti keinginan sang kakak meski tidak meninggalkan kamar mandi. Ia mengamati Mikail yang mengambil beberapa lem
Jelita menurunkan ponselnya dari telinga dengan helaan napas yang lolos dari kedua lubang hidung dan bibirnya. Matanya terpejam dengan telapak tangan yang menyentuh perutnya yang masih rata. Pernikahan? Ia tak bisa menolak Nicholas yang ingin menikahinya. Terutama setelah pria itu tahu saat ini dirinya tengah hamil. Ya, seminggu yang lalu. Tiba-tiba ia pingsan di tempat pemotretan Nicholas, pria itu membawanya ke rumah sakit. Dan saat ia terbangun dari pingsannya, pria itu sudah menyelipkan cincin di jari manisnya dengan omong kosong tentang pernikahan. “Apa-apaan ini, Nicholas?” Jelita berusaha melepaskan cincin tersebut dari jari manisnya tetapi ditahan oleh Nicholas. “Menikah? Apa kau kehilangan kewarasanmu? Apa kepalamu baru saja dilempar kamera? Atau kejatuhan lampu?” rentetnya dengan kesal. Bukankah ia yang jatuh pingsan, kenapa malah Nicholas yang kehilangan otaknya. Nicholas hanya menarik seulas senyum sebagai jawaban. “Kita harus menikah. Kita membutuhkan pernikahan ini.”
Sepanjang perjalanan, Megan sengaja membisu. Matanya terpejam, menahan tangisan kekecewaan dan perasaannya yang campur aduk. Semua ingatan buruknya naik ke permukaan. Keberengsekan Marcel, kehamilannya, pertengkarannya dan Mikail, lalu perceraian mereka. Semua memenuhi benaknya, menekan dadanya. Setelah semua ini, kenapa kenyataan ini harus naik ke permukaan. Menamparnya dengan keras.Setelah setengah jam kemudian, Mikail menghentikan mobil tepat di teras rumah. Belum sempat mematikan mesin mobilnya, Megan sudah membuka pintu mobil. “Tunggu, Megan.” Tangan Mikail tak sempat menangkap tangan Megan yang sudah melompat turun. “Kau harus hati-hati. Kakimu …” Mikail pun menyusul melompat turun dari dalam mobil.Mikail semakin dibuat kebingungan oleh perubahan sikap Megan. Ia setengah berlari mengejar dan berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu di tengah ruang tamu. “Apa yang terjadi, Megan? Kenapa denganmu?”Megan menatap wajah Mikail dengan penuh kekecewaan, tetapi bibirnya tetap
Satu bulan kemudian … Setelah satu bulan. Dengan diantar Mikail, akhirnya hari ini Megan kembali ke rumah sakit untuk melepaskan gips di kaki kanannya. Retakan di tulang kaki Megan sudah sembuh, meski harus tetap hati-hati dan menggunakan peyangga demi melatih kaki yang sudah lama tidak digunakan untuk jalan. Sekarang keduanya berada di lift, hendak turun ke lantai basement dan kembali pulang. Megan duduk di kursi roda, meski sudah bersikeras akan berjalan kaki dengan peyangga saja, Mikail malah mendudukkan pantatnya di sana. Mendorong kursi roda dan membungkam protes Megan dengan tegas. “Jam berapa sekarang?” “Dua.” “Kiano sudah pulang?” “Ya, Marcel sudah menjemputnya, dia baru saja sampai di sekolahnya Kiano.” Megan mendesah kesal. Selama satu bulan penuh dan karena kakinya yang butuh perawatan khusus, Mikail menyerahkan semua tentang Kiano pada Marcel. Ya, Megan masih belum sepenuhnya menerima sikap baik Marcel meski pria itu selalu memperlakukannya dengan baik. Seperti yang
Mikail membeku dalam ketercengangannya, kehilangan kata-kata ketika menemukan perut Alicia yang membesar hanyalah sebuah perut palsu yang dililit di pinggang. Sekilas tampak seperti nyata, tapi … itu terbuat dari bantalan kain yang menyerupai perut asli. Bahkan memiliki pusar di tengahnya. Cukup lama bagi Mikail untuk mencerna apa yang disaksikannya saat ini, dalam kebingungannya ia berusaha menemukan pijakannya. Alicia membelalak, terkesiap dengan keras dan wajahnya tertunduk menatap perut palsunya yang sekarang terekspos di hadapan Mikail. Kebohongannya terbongkar, dilucuti habis-habisan tak hanya oleh Mikail, tetapi juga oleh Marcel. Tidak, kebohongannya yang sudah ia bangun mati-matian, tidak bisa terbongkar semudah ini. “M-mi …” bibirnya bergetar hebat, bahkan hanya untuk memanggil nama Mikail. Ia bahkan belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tetapi kembali dipatahkan oleh kalimat Marcel. “Dia benar-benar menipumu mentah-mentah, Mikail. Aku sudah mengatakan padamu, kan.
Alicia tak berhenti berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, kedua tangannya saling meremas dengan gugup. Ia sudah membereskan CCTV, bukti kebusukannya. Tapi masih ada satu bukti yang akan memberatkannya. Bukti yang masih hidup itu harus ia lenyapkan. Janji Alicia pada dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal dengan kuat oleh kegugupan yang tak berhenti menghantui benaknya. Wanita itu mengambil ponselnya, sudah hampir tengah malam. Tapi ia jelas tak bisa tidur dengan semua kegelisahan ini. Tidak, malam ini adalah kesempatannya. Ia harus menutup mulut Megan sebelum wanita itu membuka mulut. Alicia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berjalan keluar kamar. Membangunkan sopir untuk membawanya ke rumah sakit sambil memegang perut dan berpura kesakitan. Sopir pun bergegas membawa Alicia ke rumah sakit. Baru saja penjaga keamanan menutup pintu gerbang setelah mobil Alicia pergi, penjaga keamanan itu kembali membukakan pintu gerbang untuk Marcel. Sesampai di rumah sakit, Alicia turun
Akan tetapi, seringai itu hanya bertahan satu detik di ujung bibirnya. Ketika suara langkah kaki yang bergema dari lantai bawah memucatkan seluruh permukaan wajahnya. Dan dari atas ia bisa melihat Marcel yang tercengang menemukan tubuh Megan yang tersungkur di lantai. “Megan?!” Marcel melompat ke arah tubuh Megan yang tergeletak di lantai, tak bergerak dengan kepala yang berdarah. Pria itu terduduk di lantai, membawa kepala Megan dalam pangkuannya. Telapak tangannya menepuk pelan pipi Megan, berusaha menyadarkan wanita itu. “Ada apa ini? Megan?” Mikail muncul, tak kalah tercengangnya dengan Marcel dan ikut duduk di lantai memeriksa keadaan Megan. Marcel mendongak, tatapannya menajam ke ujung tangga. “Alicia?” Sekali lagi Mikail dikejutkan dengan Alicia yang juga tak sadarkan diri di tengah anak tangga. “Aku harus membawanya ke rumah sakit.” Marcel menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Megan. Menggendong tubuh Megan dan bergegas membawanya keluar. Mikail ingin m
Hari ini, Megan harus berhasil. Janji Megan pada dirinya sendiri yang tengah berdiri di depan cermin. Kedua tangannya saling meremas, memberikan dukungan dan semangat untuk dirinya sendiri. Setelah Mikail berangkat kerja dan ia mengantar Kiano ke sekolah, Megan menghabiskan waktu di lantai satu untuk mengintai kegiatan Alicia. Wanita itu hanya keluar untuk makan pagi, dengan memasang raut pucat yang ditampakkan semenyedihkan mungkin. Mikail terlihat ibat, tapi untuk pertama kalinya ia merasa Marcel memihaknya karena pria itu sama sekali tak terpengaruh dengan tampilan Alicia. Pria itu seolah bisa membaca mata batin Alicia yang sesungguhnya. Jika saja sedikit kecerdasan Marcel dimiliki oleh Mikail, tapi ia sendiri tak bisa menyalahkan Mikail. Dirinyalah yang menciptakan ketakutan itu pada Mikail saat hamil Kiano. Dan rupanya itu membekas begitu dalam di hati Mikail sehingga kebaikan hati pria itu dimanfaatkan oleh wanita licik seperti Alicia. Alicia tampak tak tenang ketika di meja m