Mikail membeku. Jelas itu adalah sebuah pertanyaan yang besar.“Apa mama tidak menyayangi Kiano?” Keantusiasan memenuhi kedua mata bulat Kiano. “Apa mama tahu siapa Kiano?”Lagi, bibir Mikail dibuat membeku. Tak mengatakan apa pun adalah cara teraman untuk menghadapi situasinya saat ini.Jika ia menjawab yang sesungguhnya, pun semua kesalahan berada di pihak Megan. Tetap saja jawaban itu akan membuat Kiano tersakiti.“Apakah itu sebabnya mama meninggalkan Kiano saat itu? Karena tidak tahu siapa Kiano yang sebenarnya?”Rasa panas menjalar di kedua ujung matanya, belum pernah Mikail merasa seterpojok ini. Nicholas benar, Kepercayaan dirinya belum pernah diruntuhkan sehancur ini oleh siapa pun. Tak ada yang berani melakukan hal segila itu padanya, bahkan memikirkannya pun tidak.Melihat kerinduan yang begitu besar menyelimuti kedua mata biru itu, Mikail tahu segala hal yang telah ia berikan dan limpahkan pada putranya tidak melengkapi kekosongan hati Kiano. Bahkan mungkin tak perna
“Apa sekarang kau puas, Megan?” desis Mikail dengan gurat amarah yang menggaris tajam di wajah pria itu. Berjalan semakin dekat hingga membuat Megan terhuyung ketika mencoba melompat menghindar. Tetapi pinggangnya ditangkap oleh Mikail dan mendorong kedua tubuh mereka hingga merapat ke dinding. “Kau sudah merencanakan semua ini, kan? Ck, aku kehilangan kata-kata untuk kelicikanmu.”Megan memiringkan wajahnya ke samping. Napas panas Mikail yang bercampur alkohol benar-benar membuatnya perutnya bergejolak. “L-lepaskan, Mikail. Aku tak tahu apa yang kau katakan.”“Kau harus bertanggung jawab.” Mikail mencengkeram rahang Megan, membawa kedua mata wanita itu menatap lurus ke arahnya. “Aku akan membuatmu membayar mahal, Megan. Kau pikir bisa mempermainkan kami sesuka hatimu. Datang dan pergi di kehidupan kami kapan pun kau inginkan, hah?”Megan meringis merasakan tekanan yang kuat di wajahnya. Nyaris meremukkan tulang rahangnya. Membuatnya kesultan mengerang tanpa rasa sakit. Dan meski e
Rasa pusing menusuk kepala Megan, matanya mengerjap beberapa kali ketika menyesuaikan cahaya di sekitarnya. Hingga pemandangan di sekitarnya menjadi jelas. Pemandangan wajah familiar dengan ekspresi datar dan gelombang amarah yang masih memekati kedua bola biru di sampingnya. “M-mikail?” Megan mengerjap lagi, mencoba menggali ingatan terakhirnya. Tetapi segera teralihkan oleh rasa berat di kepalanya. Tangannya bergerak, hendak menyentuh kepalanya. Tetapi tertahan oleh sesuatu yang menempel di tangannya.Megan menunduk, melihat pergelangan tangannya dibebat perban dan cairan infus tersambung di selang yang menempel di punggung tangan kirinya.“Ya, memangnya siapa lagi yang kau harapkan akan ada di sini, hah?” dengusan tajam menyelimuti nada suara Mikail yang tajam. Menyembunyikan gemuruh amarah yang menerjang layaknya badai di dalam dadanya.Megan tak terlalu fokus akan kemarahan dalam tatapan pria itu, pandangannya berkeliling. Mencari tahu di mana keberadaannya saat ini. Semaki
“P-pernikahan?” Bibir Megan yang pucat bergerak dengan kaku. Sekarang Megan tak yakin apakah berada di ambang kematian lebih buruk dari sebuah pernikahan. Bibir Mikail menipis dengan tajam menangkap reaksi yang ditampilkan oleh Megan. Seolah pernikahan yang telah mereka jalani di masa lalu adalah hal terburuk yang ada di hidup Megan. Dan sekarang ia menyodorkan hal terburuk itu di hadapan Megan. Yang tak diberi pilihan selain menelan semua keburukan itu mentah-mentah. Hati Mikail benar-benar tergores dengan keras. Amarah bergemuruh di dadanya. Menerjang-nerjang dinding dadanya dengan keras. Dan satu-satunya orang yang lebih berhak menerima semua luapan emosinya hanyalah Megan. Satu-satunya dan hanya Megan seorang. Akan tetapi, ia menekan dalam-dalam kemarahan di dadanya. Menekannya kuat-kuat. Demi kewarasannya. “Kenapa? Kau tak suka?” Mikail melemparkan pertanyaan itu dengan sengit. “Kiano adalah segalanya bagiku, Megan. Aku tak akan mempertaruhkan keberuntunganku dengan membia
Menjelang pagi, Megan masih tak bisa memejamkan matanya. Pikiran dan hatinya masih dipenuhi tentang Mikail dan pernikahan yang pria itu inginkan. Ia masih berbaring di tempat tidur hingga hari berubah siang. Cairan infusnya sudah habis dan dokter datang satu jam yang lalu untuk menggantinya. Menanyakan beberapa hal yang tak sungguh-sungguh Megan dengan dan jawab dengan benar. Tetapi dokter itu mengatakan bahwa kondisinya masih belum pulih benar dan harus meminum makan dan minum obat, yang tidak juga ia laksanakan. Tidak ada Jelita yang memaksanya melakukan semua itu seperti biasanya ketika ia sedang sakit. Jelita masih juga tak bisa dihubungi dan Megan tak ingin menghubungi Mikail untuk menanyakan managernya itu pada Mikail. Megan percaya Jelita baik-baik saja seperti yang dikatakan Mikail. Dan itu lebih dari yang diinginkannya untuk Jelita. Suara sering ponsel membuat Megan tersentak dengan keras. Melihat nama Nicholas sebagai pemanggil nya. Megan mengangkat benda pipih itu dan me
Rahang Nicholas semakin terkatup rapat. Sesuatu yang tidak menyenangkan akan datang. Dari raut dan nada suara Megan, sudah menjelaskan lebih dari cukup. Kemajuan hubungannya dan Megan, mengalami kemunduran yang buruk. “Kiano sudah tahu tentang siapa aku?” Keterkejutan yang besar tercipta di wajah Nicholas. Dua hari yang lalu, Kiano nyaris mengetahui rahasia besar ini setelah memergoki pembicaraannya dan Mikail. “B-bagaimana?” Megan menggeleng dengan gugup, tampak kelas kebingungan dan bibirnya kesulitan mencari kata-kata. Nicholas mengulurkan tangan, menangkap tangan wanita itu. Saat itulah, tanpa sengaja tangan Mikail menyentuh sesuatu yang mengganjal di pergelangan tangan Megan. Megan yang tak menyadari hal tersebut pun dibuat terkejut ketika Nicholas tiba-tiba menyingkap lengan blazernyya yang panjang dan membelalak menatap perban yang melilit pergelangan tangannya. “Apa ini, Megan?” Kedua mata Nicholas membelalak, menatap Megan dengan tajam. “Apa yang dilakukan Mikail padamu
Malam hari, Jelita benar-benar datang ke apartemen Megan. Tetapi apartemen itu kosong. Menemukan ponsel Megan yang tergeletak di tengah tempat tidur, Jelita melihat panggilan terakhir wanita itu dengan Nicholas. Jelita pun menghubungi Nicholas. “Jelita?” Suara Megan menyapa dari seberang. “Kaukah itu?” “Ya, Megan. Apa yang terjadi? Kenapa kau meninggalkan ponselmu di apartemen dan malah memegang ponsel Nicholas?” “Cerita yang panjang, Jelita. Aku sedang di rumah sakit.” “Rumah sakit?!” Jelita tersentak. “Apa yang terjadi denganmu? Apakah Mikail melukaimu?” “B-bukan.” “Lalu?” “Nicholas. Dia sedang ada di ruang operasi.” “Apa?” “Aku akan menceritakannya nanti, bisakah kau datang ke sini. A-aku … aku benar-benar ketakutan, Jelita. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku bahkan tak tahu siapa yang harus kuhubungi untuk memberitahu keadaan Nicholas. Orang tuanya …” “Sshhh … tenanglah. Tarik napasmu.” Megan berusaha mengikuti, tetapi kepanikan masih menyelimuti desah napas wan
Langkah Mikail sempat tersendat ketika menghampiri Megan yang duduk di kursi di ujung lorong. Kepala wanita itu tertunduk, menatap telapak tangan yang berlumur darah. "M-mikail?" Suara Megan terdengar serak dan begitu lemah. Bibirnya juga terlihat begitu pucat, dan wajahnya terlihat lebih tirus sejak terakhir bertemu wanita itu kemarin. Bahkan seharusnya wanita itulah yang dirawat di rumah sakit setelah percobaan bunuh diri konyol itu. Bukannya menunggu sepupu sialannya. Mikail sendiri tidak tahu bagaimana persisnya Nicholas bisa masuk ke rumah sakit. Tetapi dari pengawalnya, sebuah informasi singkat bahwa sepupunya itu yang menyelamatkan nyawa mantan istrinya cukup mengejutkan mengejutkannya. Itulah sebabnya Megan sangat setia menunggu di depan rumah operasi selama enam jam lebih. Wajah wanita itu dipenuhi derai air mata. Dengan penampilan yang berantakan. Perban yang melilit pergelangan tangan Megan terlihat mengintip di balik lengan panjang blazer yang wanita itu kenakan. Beberap