Malam itu, Bastian berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas gelap yang disesuaikan dengan sempurna. Rambutnya tersisir rapi, dan wajahnya seperti biasa—tegas, dingin, tanpa ekspresi yang benar-benar terbaca. Di tengah kesibukannya memeriksa dasi, Maya muncul dari belakang. Wanita itu, dalam gaun malam yang mewah berwarna biru tua, melangkah perlahan mendekati suaminya sambil memerhatikan penampilannya.“Kau terlihat rapi sekali malam ini,” ucap Maya, nadanya terdengar datar, tapi ada sedikit nada sindiran di baliknya. “Untuk menghadiri pertunangan Farel?”Bastian menghela napas pendek, tetap memandang bayangan dirinya di cermin tanpa menoleh ke arah istrinya. “Ya. Itu penting.”“Kenapa harus begitu formal? Dia hanya—.” Maya berhenti, menelan kalimat yang ingin diucapkannya. Namun, matanya yang mencemooh berbicara lebih banyak daripada kata-katanya.“Dia hanya apa?” potong Bastian, suaranya tenang, tapi tegas. Ia menoleh, memandangi Maya dengan sorot mata tajam.“Farel hanya pri
Malam mulai merangkak, dan suasana di kantor Bastian terasa tegang. Di balik pintu ruangan pribadi yang tertutup rapat, suara-suara tinggi terdengar. Bastian yang biasanya tenang dan dingin kini berbeda. Ia berdiri dengan kedua tangan mengepal di samping tubuhnya, napasnya memburu karena amarah yang membara.“Jadi benar, Maya? Semua ini karena ulahmu?” Suara Bastian menggema di ruangan, tatapannya dingin seperti es yang siap membekukan segala sesuatu di sekitarnya.Maya duduk di kursi berlapis kulit di depannya, berusaha tetap terlihat tenang. Namun, getaran di tangannya menunjukkan sebaliknya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan nada datar, “Bastian, kamu salah paham. Aku bisa menjelaskan semuanya.”“Jangan berani-berani memutarbalikkan fakta, Maya!” Bastian membentak, suaranya penuh kekerasan. Ia memukul meja dengan keras, membuat berkas-berkas yang ada di atasnya melompat kecil. “Semua bukti menunjukkan bahwa kamu sudah menggelapkan dana perusahaan. Kamu bahkan teg
Siang itu, rumah megah milik keluarga Prakas terasa lebih tenang dari biasanya, meski ketegangan menggantung di udara. Di meja makan yang besar, tersaji hidangan lengkap mulai dari sup asparagus hingga steak salmon, yang semuanya tampak menggugah selera. Namun, tak satu pun dari mereka tampak benar-benar menikmati makanannya. Bastian duduk dengan ekspresi dingin di salah satu ujung meja, sementara Maya duduk di seberangnya dengan wajah yang terlihat penuh kepura-puraan. Nora, sang ibu, duduk di tengah-tengah mereka, sesekali melirik ke arah kedua belah pihak. Prakas, yang memimpin meja makan, akhirnya memecah keheningan. “Baiklah, semua sudah di sini. Mari kita makan dulu sebelum berbicara,” ujar Prakas, mencoba memberi nada netral pada situasi yang jelas tidak bersahabat. Bastian hanya mengangguk singkat. Ia sebenarnya tidak ingin berada di sini, namun rasa hormatnya pada kedua orang tuanya menahan keinginannya untuk pergi. Sementara itu, Maya, dengan senyuman kecil yang tampak di
Setelah percakapan emosional di taman belakang, Nora dan Maya kembali ke ruang makan. Prakas dan Bastian masih terlihat berbincang ringan sambil sesekali menyeruput teh hangat yang tersisa. Ketika keduanya melihat kedatangan Nora dan Maya, suasana perlahan berubah lebih serius. Nora duduk di kursinya dengan anggun, sementara Maya memilih tempat yang agak berjauhan dari Bastian, berusaha menghindari tatapan tajam suaminya. Keheningan menyelimuti ruangan sejenak sebelum Nora menghela napas panjang, mencoba mencairkan suasana. “Bastian, Papi…” Nora memulai dengan nada tenang. “Aku sudah berbicara dengan Maya di taman tadi. Dia mengakui kesalahannya dan benar-benar menyesal.” Bastian mendengus kecil, matanya menyipit. “Menyesal? Baru sekarang? Setelah semua bukti jelas di depan mata?” “Bastian, dengarkan dulu,” potong Nora dengan lembut. “Maya merasa tertekan. Dia merasa diabaikan olehmu, dan itu yang membuatnya bertindak di luar kendali. Mami tidak membenarkan apa yang dia lakukan, t
Malam itu, rumah besar Bastian terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam yang terdengar samar, mengiringi langkah pria itu memasuki ruang kerjanya. Pintu kayu besar berderit pelan saat Bastian menutupnya, seolah menyegel dirinya dari dunia luar. Dengan gerakan yang kasar, ia menjatuhkan dirinya di kursi kebesaran di belakang meja kerja. Tatapan matanya kosong, pikirannya penuh dengan bayangan wajah Rania dan tawa kecil Bintang. Naluri di hatinya berkecamuk, memunculkan pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. “Bintang…” gumamnya, hampir seperti bisikan. Ada sesuatu yang ia rasakan saat melihat bocah itu—sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia menggenggam sisi meja kerjanya dengan erat, mencoba menenangkan diri. Tapi, semakin ia berusaha, semakin kuat amarah yang meluap di hatinya. Ia marah karena Rania telah menikah dan memiliki anak tanpa pernah memberi tahu dirinya, tapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuat pikirannya tak tenang—naluri emosional yang begitu mendalam
Di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, Maya duduk dengan gelisah. Sesekali matanya melirik jam tangan emas yang melingkar di pergelangan tangannya. Beberapa saat kemudian, Ronald masuk, mengenakan kemeja santai. Wajahnya tenang, hampir tanpa ekspresi, seperti tidak ada beban yang menghantuinya.“Kamu terlambat,” ujar Maya ketus saat Ronald mendekatinya.Ronald hanya tersenyum tipis, duduk di hadapan Maya dengan santai. “Santai saja, Sayang. Jadi, ada apa kali ini?”Maya mendesah berat, memutar cangkir kopinya tanpa minat. “Bastian sudah tahu. Dia mulai menyelidiki semuanya. Aku yakin dia sudah punya bukti cukup kuat soal dana yang aku selewengkan.”“Lalu?” Ronald bertanya santai, menyandarkan punggungnya di kursi.Maya menatap Ronald dengan tajam. “Kamu tidak takut sama sekali? Kalau aku kena, kamu juga pasti terseret. Aku bisa saja memberitahu Bastian semuanya.”Ronald tertawa keci
Matahari mulai menampakkan dirinya di cakrawala, menyinari desa Lembang dengan sinar jingga yang hangat. Toko bunga milik Rania sudah buka seperti biasa, memancarkan aroma segar dari berbagai macam bunga yang tertata rapi di dalamnya. Sinar matahari pagi menembus dinding kaca toko, menciptakan pola indah yang memantul di lantai.Rania berdiri di depan pintu toko, menghirup udara pagi yang masih dingin. Ia tersenyum kecil, meskipun wajahnya menyiratkan kelelahan. Dua karyawannya, Icha dan Citra, sibuk menyapu dan merapikan meja di dalam toko.“Kak Rania, hari ini ada pesanan karangan bunga untuk pernikahan ya? Mau kita mulai siapkan sekarang?” tanya Icha sambil membawa catatan pesanan.“Ya, siapkan saja. Jangan lupa tambahkan pita putih di setiap sudutnya. Itu permintaan khusus dari pelanggan,” jawab Rania lembut.Citra yang sedang menyusun bunga-bunga segar di ember besar ikut menimpali. “Kak, kalau ini selesai cepat, boleh dong kita bikin kopi hangat? Udara pagi ini dingin sekali.”Ra
Rania menghentikan mobil pick-upnya di depan rumah sederhana milik Bibi Ningrum. Begitu turun, ia langsung melihat Bayu, bocah kecil berusia tiga tahun lebih, tergeletak tak sadarkan diri di dalam pelukan sang ayah. Napasnya tersengal, dan wajahnya memucat. Ningrum berlutut di samping anaknya, tangisnya pecah sambil memohon.“Teh Cucu, Rania... tolong Bayu, dia tiba-tiba kejang tadi. Sekarang dia nggak sadar. Saya takut sekali,” suara Ningrum parau, matanya memohon dengan penuh harap.Cucu, yang berdiri di belakang Rania, segera mendekat dan memegang bahu Ningrum, berusaha menenangkan. “Tenang, Ning. Kita bawa Bayu ke rumah sakit sekarang juga. Rania sudah siap dengan mobilnya.”“Paman, Bibi, bantu saya mengangkat Bayu ke mobil,” ucap Rania tegas, mencoba tetap tenang meski hatinya ikut bergetar melihat kondisi sepupunya.Dengan sigap, Paman Tedi membantu menggendong tubuh kecil Bayu yang lemas. Sementara itu, Rania memasang kain terpal sebagai atap sementara di bak belakang mobil pick
“Selamat pagi, Bintang…” Dengan senyum merekah, Nora dan Prakas datang dengan sebuah buket bunga berukuran besar. Mereka sengaja memesan buket khusus untuk cucu mereka yang kini kondisinya sudah jauh lebih baik.“Terima kasih, Oma,” balas Bintang.“Bintang sekarang sudah segar ya, sudah ganteng. Hari ini, kita akan pulang ke rumah. Tapi oma sedih deh, karena nggak akan bisa bebas lagi bertemu dengan Bintang.” Nora sedikit cemberut. Namun manyun itu malah membuat Bintang tertawa.“Siapa bilang jeng Nora dan mas Prakas tidak bisa bebas datang ke rumah. Kalian bisa datang kapan pun untuk bertemu dengan Bintang. Selama di rumah sakit, kami sadar kalau ikatan darah tidak dapat dipisahkan begitu saja,” ucap Rita.“Iya, Tante. Tante dan om boleh kok datang kapan saja dan bertemu dengan Bintang.” Rania menggenggam lembut tangan kanan Nora.Nora tersenyum lembut. Ia belai pipi Rania sekali, lalu ia pun kembali mengalihkan pandangan ke arah Bintang. “Terima kasih, Rania. Kamu memang sangat baik
Setelah beberapa jam berada di ruang observasi pascaoperasi, Bastian dan Bintang akhirnya dipindahkan ke ruang rawat inap. Mereka ditempatkan di satu ruangan yang sama, kamar VVIP terbaik di rumah sakit itu, yang telah disiapkan sebelumnya oleh keluarga mereka. Meski keduanya sudah sadar, kondisi mereka masih sangat lemah. Namun, Bastian terlihat lebih baik dibandingkan dengan Bintang yang masih tampak pucat dan lemah.Rania duduk di samping tempat tidur Bintang, menggenggam tangan kecil putranya dengan lembut. Matanya berkaca-kaca melihat kondisi anaknya yang masih begitu rapuh. Sesekali, ia mengusap rambut Bintang dengan penuh kasih sayang. Di tempat tidur sebelah, Bastian menatap ke arah mereka dengan senyum tipis. Meski tubuhnya masih terasa nyeri akibat operasi, hatinya terasa lebih ringan karena telah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan putranya.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Rania lirih, suaranya penuh perhatian.Bastian mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja. Jangan khaw
“Hasilnya..." dokter berhenti sejenak, melihat ekspresi cemas mereka. Semua orang yang ada di ruangan itu menahan napas, menunggu kelanjutan dari kalimat dokter."Bastian cocok menjadi donor untuk Bintang."Ruangan itu seketika dipenuhi helaan napas lega. Rania menutup wajahnya dengan tangan, menangis tanpa suara. Bastian mengangguk mantap, matanya berkaca-kaca. Namun, dokter belum selesai. "Namun, ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan lebih lanjut. Operasi ini harus dilakukan secepat mungkin."Rania menghapus air matanya dengan cepat. "Secepat mungkin? Seberapa cepat, Dok?""Idealnya, dalam 24 jam ke depan. Kondisi Bintang semakin melemah. Jika kita menunda lebih lama, risiko kegagalan akan semakin besar. Kami akan segera menyiapkan jadwal operasi dan memastikan semua persiapan berjalan lancar."Bastian langsung mengangguk. "Saya siap, Dok. Kapan pun operasi akan dilakukan, saya siap."Dokter tersenyum tipis. "Baik. Kami akan segera mempersiapkan ruang operasi dan tim bedah. Un
Di dalam ruangan dokter, suasana terasa begitu tegang. Rania menggenggam jemarinya sendiri, sementara Bastian duduk dengan wajah serius menatap dokter ahli yang akan menangani transplantasi hati Bintang."Sebelum kita melanjutkan ke tahap pemeriksaan, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu risiko yang mungkin terjadi dalam operasi ini," ujar dokter dengan nada hati-hati.Bastian mengangguk mantap. "Tolong jelaskan, Dok. Saya ingin tahu semua risikonya."Dokter menarik napas sejenak sebelum mulai berbicara. "Pertama, operasi transplantasi hati merupakan prosedur besar yang memiliki risiko komplikasi. Bagi pasien penerima, dalam hal ini Bintang, ada kemungkinan tubuhnya menolak organ baru meskipun sudah cocok secara medis. Jika ini terjadi, kita harus segera mengambil langkah medis tambahan untuk mengatasinya."Rania menelan ludah, hatinya semakin gelisah. "Lalu bagaimana dengan risiko untuk pendonor? Maksud saya... untuk Bastian?"Dokter menatap keduanya dengan tenang. "Sebagai pendono
Ruangan rumah sakit dipenuhi keheningan yang mencekam. Jam dinding menunjukkan pukul dua siang ketika pintu kamar terbuka dan seorang dokter spesialis masuk dengan raut wajah serius. Semua mata langsung tertuju padanya.Dokter itu berjalan mendekati ranjang tempat Bintang terbaring lemah. Ia memeriksa kondisi bocah itu dengan seksama, mencatat beberapa hal di berkasnya sebelum akhirnya menatap seluruh keluarga yang berkumpul di dalam ruangan.“Saya ingin membicarakan hasil pemeriksaan terbaru Bintang,” kata dokter dengan suara tenang namun tegas.Rania menggenggam tangan kecil putranya yang terasa dingin. Hatinya berdebar kencang. Begitu pula dengan Rita, Boby, Nora, Prakas, dan tentu saja Bastian yang berdiri dengan wajah tegang di sudut ruangan.Dokter menarik napas dalam, lalu berkata, “Hasil menunjukkan bahwa Bintang mengalami gagal hati akut. Kondisinya cukup serius, dan kami harus bertindak cepat untuk menyelamatkannya.”Ruangan kembali sunyi. Pernyataan itu seperti petir di sia
Pagi itu, udara rumah sakit masih terasa dingin. Rita dan Boby tiba lebih awal dari biasanya, membawa sekantong penuh buah segar dan makanan untuk Rania. Keduanya berjalan menuju kamar tempat Bintang dirawat dengan hati yang dipenuhi kecemasan.Saat mereka masuk, mata mereka langsung tertuju pada sosok Bastian yang tertidur di sofa dengan posisi yang terlihat tidak nyaman. Tubuhnya sedikit membungkuk, kepalanya bertumpu pada lengannya, dan nafasnya terdengar teratur namun lelah. Selimut tipis yang diberikan perawat tadi malam masih membungkus tubuhnya.Rania yang sedang duduk di tepi tempat tidur Bintang, menoleh dan tersenyum lemah melihat kedua orang tuanya.“Dia tidak tidur semalaman,” bisik Rania, sebelum mereka sempat bertanya.Rita menghela napas panjang. Meski dalam hatinya masih ada sedikit ganjalan terhadap Bastian, ia tidak bisa menyangkal bahwa lelaki itu benar-benar peduli terhadap anaknya.“Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Boby, suaranya lirih.Rania menatap buah hatinya
Satria berdiri di sudut ruangan, memperhatikan bagaimana Bastian duduk di samping tempat tidur Bintang, menggenggam tangan kecilnya dengan penuh kepedulian. Ada sesuatu dalam tatapan Bastian—ketulusan, ketakutan, sekaligus rasa tanggung jawab yang begitu besar. Hal yang selama ini Satria ingin berikan untuk Rania dan Bintang, namun nyatanya, dia hanya orang luar dalam kisah ini.Ia menghela napas panjang. Melawan perasaannya sendiri, ia akhirnya memilih untuk mundur. Untuk saat ini, Bintang memang membutuhkan orang tua kandungnya. Tidak ada ruang untuknya di sini. Dengan langkah pelan, ia mendekati Rita dan Boby yang masih berdiri di dekat pintu.“Tante, Om... Aku pamit dulu,” katanya dengan suara rendah.Rita menatapnya dengan sorot mata penuh pengertian. “Terima kasih sudah datang, Satria. Kami sangat menghargainya.”Satria tersenyum tipis. “Tidak masalah, Tante. Jika ada yang bisa aku bantu, aku selalu siap.”Boby menepuk pundaknya dengan ringan, tanda penghormatan dan terima kasih
Suasana di rumah sakit masih dipenuhi kecemasan. Setelah diputuskan untuk dirawat inap, Bintang kini berada di kamar VVIP dengan perawatan terbaik. Monitor di samping tempat tidurnya terus berbunyi pelan, menampilkan angka-angka yang mengukur kondisi tubuhnya. Rania tak bergeming dari sisi putranya, menggenggam tangan mungil itu dengan erat. Di wajahnya tergambar kelelahan, namun ia tak ingin pergi barang sejenak pun.Di ruang tunggu rumah sakit, Prakas dan Nora berdiri dengan gelisah. Sesekali, Prakas melirik jam tangannya, menanti kedatangan Bastian yang sudah dalam perjalanan dari Singapura. Nora memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri meski hatinya terus bergetar memikirkan cucunya.Tak lama, langkah cepat terdengar dari arah pintu masuk. Bastian muncul dengan wajah yang penuh kecemasan, masih mengenakan pakaian dari penerbangannya yang terburu-buru. Matanya langsung mencari kedua orang tuanya. Begitu melihat mereka, ia berjalan cepat dan langsung bertanya,“Mami, Papi!
Di lorong rumah sakit yang terasa begitu dingin, Nora dan Prakas berjalan mendekati Rita dan Boby. Ekspresi wajah mereka menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Sebagai orang tua Bastian, mereka memang harus menjaga jarak agar tidak terlalu mencolok. Namun, saat ini, hati mereka benar-benar tak tenang melihat kondisi Bintang yang terbaring lemah di ruang IGD.“Rita... Boby...” suara Nora bergetar saat berbicara, matanya yang mulai berkaca-kaca menatap penuh simpati. “Kami sangat prihatin dengan kondisi Bintang. Apa yang sebenarnya terjadi?”Boby menarik napas panjang, seolah berusaha menahan emosinya yang sudah meluap-luap sejak tadi. Sementara itu, Rita hanya mampu mengusap air matanya yang terus mengalir. “Kami masih menunggu hasil lab,” ucapnya dengan suara lirih. “Dokter masih melakukan berbagai pemeriksaan untuk memastikan penyebabnya.”Prakas menatap Rita dan Boby dengan penuh empati. Ia ingin sekali mengatakan bahwa Bintang bukan hanya cucu mereka, tetapi juga cucu kandungnya s