Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika sebuah mobil SUV hitam berhenti perlahan di depan rumah kecil yang dulunya dihuni oleh Rania di Lembang. Lampu depan mobil itu memancar terang, menerangi halaman yang tampak sunyi. Dari dalam mobil, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah yang memancarkan ketegasan turun. Itu adalah Bastian.
Langkahnya mantap menuju pintu utama. Tangannya mengetuk dengan sopan, berharap suara ketukan itu akan memanggil seseorang dari dalam. Namun, alih-alih melihat Rania atau Cucu, seorang gadis muda yang tak dikenalnya membuka pintu.
“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” Gadis itu menyapa ramah, menatap Bastian dengan sedikit rasa heran.
“Selamat malam,” Bastian menjawab sambil melirik ke dalam rumah yang terlihat berbeda dari yang ia ingat. “Rania dan Bintang ada di rumah?” tanyanya langsung.
Gadis itu tersenyum kecil. “Oh, maaf, mbak Rania dan keluarganya sudah pindah ke Band
Udara malam di taman belakang rumah Boby dan Rita terasa sejuk, dihiasi gemerlap bintang di langit yang cerah. Gemericik air dari kolam kecil di tengah taman memberikan ketenangan tersendiri. Rania duduk di salah satu kursi taman, ditemani secangkir cokelat hangat yang mengepul di tangannya. Boby dan Rita duduk di seberangnya, masing-masing dengan secangkir cokelat dan sepiring brownies di atas meja kecil di antara mereka.Setelah Bintang terlelap, mereka memutuskan ini waktu yang tepat untuk berbincang lebih dalam. Boby membuka percakapan dengan suara lembut namun penuh ketegasan.“Rania,” katanya, menatap putrinya dengan penuh haru, “Ada hal yang selama ini belum sempat kami ceritakan. Kami ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi dulu.”Rania memandang ayah kandungnya dengan ekspresi campur aduk. Ia tahu percakapan ini penting, namun ia tidak menyangka akan langsung membahas masa lalu.“Dulu,” Boby melanjutkan, &l
Setelah keheningan sejenak yang terasa membebani di pikiran Rania, Rania pun akhirnya membuka suara. Ia pandangi wajah Rita dan Boby bergantian, mencoba meyakinkan hati kalau memang sudah saatnya ia jujur.Pada akhirnya, Rania menghela napas panjang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menceritakan semuanya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bersuara.“Bastian…” Rania memulai dengan suara yang gemetar. Ia menatap Rita dan Boby bergantian, mencari keberanian di mata mereka yang penuh perhatian. “Dia adalah… ayah kandung Bintang.”Rita yang tadinya tenang kini sedikit terkejut. Matanya membulat, tapi ia tetap menjaga ekspresinya agar tidak membuat Rania merasa terhakimi. Boby pun mengernyit, namun tetap sabar menunggu penjelasan lebih lanjut.“Hubungan kami dulu sangat rumit,” lanjut Rania dengan suara yang mulai bergetar. “Kami sempat berpacaran ketika masih kuliah. Kami sempat punya Impian untuk hi
Dua bulan berlalu, dan kehidupan Rania berubah drastis. Kini ia bukan lagi gadis sederhana yang hidup di Lembang, melainkan seorang wanita anggun yang memancarkan pesona luar biasa. Perubahan itu begitu kentara, dari caranya berbicara hingga kepercayaan diri yang perlahan tumbuh. Namun, selama dua bulan terakhir, Rania memilih menghindar dari dunia luar, termasuk dari Bastian. Ia memutuskan untuk fokus pada dirinya, mempersiapkan diri menjadi sosok yang baru.Hari ini adalah hari besar. Untuk pertama kalinya, Rania akan diperkenalkan kepada keluarga besar dan kolega Boby serta Rita. Sebuah acara istimewa digelar di ballroom mewah salah satu hotel bintang lima di Bandung.Sore itu, ballroom tersebut dipenuhi oleh dekorasi elegan bernuansa emas dan putih. Meja-meja bundar ditata sempurna, dikelilingi tamu undangan dari keluarga besar hingga kolega bisnis Boby. Semua hadir dengan antusias, tak sabar menyaksikan kejutan malam itu.Rania berdiri di balik pintu utama ballroom, mengenakan ga
Suasana malam itu masih hening. Boby dan Rita masih saling pandang seraya memerhatikan putri mereka yang terlihat banyak menyimpan luka.Rita kemudian meraih tangan Rania, menggenggamnya dengan lembut. “Kami tidak ingin memaksa, sayang. Apa pun keputusanmu, kami akan mendukungmu. Tapi jika suatu saat kamu merasa siap untuk menghadapi Bastian, kami akan ada di sisimu.”Rania menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Ma. Aku hanya butuh waktu untuk menyembuhkan semuanya.”Boby berdiri, berjalan mendekati putrinya. Ia menepuk pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Yang penting kamu bahagia, Rania. Itu yang paling utama.”Malam itu, Rania mencoba merenung di kamarnya. Ia tahu bahwa menghindari Bastian selamanya bukanlah solusi. Namun, hatinya masih terlalu terluka untuk kembali membuka pintu bagi pria itu. Kini, yang ia butuhkan adalah waktu—waktu untuk menemukan kembali kekuatannya, waktu untuk menyembuhkan lukanya, dan waktu untuk menentukan langkah berikutnya dalam hidu
Hari masih pagi ketika Boby, Rita, dan Rania tiba di Surabaya. Perjalanan ini bukan perjalanan biasa, ada misi besar yang ingin mereka selesaikan. Bersama mereka, hadir seorang pengacara andal yang dipercaya Boby untuk menangani kasus ini dengan cermat.Berkat koneksi Boby, mereka dengan mudah mendapatkan akses untuk berbicara dengan salah satu tahanan—wanita yang menjadi otak di balik penyekapan Rania. Suasana di ruangan khusus tempat pertemuan berlangsung terasa dingin dan penuh ketegangan. Wanita itu duduk di seberang mereka, dengan raut wajah keras yang menggambarkan pengalaman hidup penuh lika-liku.“Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?” tanya wanita itu, memecah keheningan dengan nada menantang.Boby duduk dengan tenang, memperhatikan wanita itu dengan tatapan tajam. “Kami ingin tahu kebenaran. Siapa yang menyuruhmu mencelakai putriku?”Wanita itu mendengus, mengalihkan pandangannya. “Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan.”Rita menghela napas, mencoba pendekatan yang lebih
Pagi itu, suasana kediaman keluarga Boby terasa berbeda. Sinar matahari menyelinap lembut di antara tirai jendela besar, menyinari seorang wanita muda yang berdiri di depan cermin panjang. Rania tampak luar biasa anggun dalam setelan blazer putih bersih yang dipadukan dengan rok pensil senada. Rambutnya disanggul rapi, memberikan kesan profesional namun tetap bersahaja. Sebuah bros kecil berbentuk bunga tersemat di kerah blazer, menambah sentuhan manis pada penampilannya.“Kamu sudah siap, Sayang?” suara berat namun lembut Boby terdengar dari balik pintu. Pria paruh baya itu melangkah masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya tampak semakin berwibawa. Matanya penuh kebanggaan saat memandang putri semata wayangnya.“Sudah, Pa. Tapi… masih sedikit gugup,” jawab Rania sembari tersenyum tipis. Tangannya sibuk merapikan bros di blazer, mencoba mengusir rasa gugup yang perlahan menyeruak.Boby mendekat, menepuk pundak Rania dengan lembut. “Tidak perlu gugup. Kamu pasti bisa. Papa t
Malam itu, ruang makan di rumah mewah milik Boby dan Rita dipenuhi suasana hangat. Meja panjang yang dihiasi vas bunga mawar putih di tengahnya terlihat penuh dengan hidangan lezat. Keluarga kecil yang baru saja merasakan kebahagiaan sejati selama beberapa bulan terakhir duduk bersama, menikmati waktu makan malam yang istimewa.Di ujung meja, Bintang, bocah kecil berusia hampir dua tahun, duduk di kursi tinggi miliknya. Wajah mungilnya tampak berseri-seri, matanya berbinar penuh antusias saat menunjuk ke arah sepiring kue cokelat yang baru saja dihidangkan oleh pelayan rumah.“Mau kue itu, Ma!” serunya, suaranya nyaring dan penuh semangat.Rania, yang duduk di sampingnya, tersenyum lembut namun tetap tegas. “Bintang, kita makan nasi dulu, ya. Kalau sudah habis, baru boleh makan kue.”Bintang mengerucutkan bibirnya, tanda ia tidak setuju. “Enggak mau! Kue dulu!”Rita, yang duduk di sisi lain meja, langsung merespons dengan nada penuh kasih. “Biarkan saja, Rania. Oma ambilkan kuenya, ya
Hari itu, Rania dan keluarganya sedang bertandang ke Jakarta. Selain rumah mewah di Bandung, Boby memiliki rumah lain di ibu kota. Rumah megah dengan desain modern minimalis itu terletak di kawasan elit Jakarta Selatan. Tak hanya itu, Boby juga memiliki kantor cabang di pusat kota yang menjadi salah satu aset penting dalam jaringan bisnisnya.Pagi itu, keluarga mereka tiba di rumah tersebut. Rita tampak antusias mengenalkan setiap sudut rumah kepada Rania. “Lihat, ini ruang tamu utama. Desainnya memang lebih modern dibandingkan rumah di Bandung. Tapi aku tetap merasa nyaman di sini,” ucapnya sambil tersenyum.Boby menimpali dengan nada bercanda. “Nyaman, karena dekorasinya sesuai selera Mama, kan? Padahal dulu Papa ingin nuansa klasik.”Rania tersenyum mendengar celotehan kedua orang tuanya. Di sela-sela tur kecil itu, ia melihat Bintang berlari-lari kecil mengikuti langkah nenek dan kakeknya. Bocah itu tampak senang dengan lingkungan baru yang penuh kejutan.Setelah makan siang, mere
Di lorong rumah sakit yang terasa begitu dingin, Nora dan Prakas berjalan mendekati Rita dan Boby. Ekspresi wajah mereka menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Sebagai orang tua Bastian, mereka memang harus menjaga jarak agar tidak terlalu mencolok. Namun, saat ini, hati mereka benar-benar tak tenang melihat kondisi Bintang yang terbaring lemah di ruang IGD.“Rita... Boby...” suara Nora bergetar saat berbicara, matanya yang mulai berkaca-kaca menatap penuh simpati. “Kami sangat prihatin dengan kondisi Bintang. Apa yang sebenarnya terjadi?”Boby menarik napas panjang, seolah berusaha menahan emosinya yang sudah meluap-luap sejak tadi. Sementara itu, Rita hanya mampu mengusap air matanya yang terus mengalir. “Kami masih menunggu hasil lab,” ucapnya dengan suara lirih. “Dokter masih melakukan berbagai pemeriksaan untuk memastikan penyebabnya.”Prakas menatap Rita dan Boby dengan penuh empati. Ia ingin sekali mengatakan bahwa Bintang bukan hanya cucu mereka, tetapi juga cucu kandungnya s
Langit biru cerah menghiasi pagi yang penuh sukacita di rumah Rania. Halaman yang luas telah disulap menjadi arena pesta bertema karakter Tayo, kesukaan Bintang. Balon berwarna biru, kuning, dan merah bergantungan di setiap sudut, sementara panggung kecil dihiasi dengan ilustrasi bus-bus kecil yang tersenyum ceria. Lagu tema Tayo diputar, menciptakan suasana riang di antara anak-anak yang berlarian dengan penuh kegembiraan.“Selamat ulang tahun, Bintang!” teriak para tamu kecil sambil bertepuk tangan. Bintang, dengan baju kaos bergambar Tayo dan celana jeans kecilnya, tertawa senang saat Rania, ibunya, menggendongnya ke atas panggung.Rania menatap putranya dengan penuh kebahagiaan. Setiap detik pertumbuhan Bintang adalah keajaiban baginya. Anak kecil yang ia perjuangkan seorang diri tanpa seorang suami, kini sudah tumbuh besar dan sehat.“Terima kasih sudah datang, semuanya! Hari ini kita merayakan ulang tahun Bintang yang ke-3. Doakan dia tumbuh menjadi anak yang kuat dan bahagia, y
Usai acara ulang tahun, Rania berdiri di sudut ruangan, berbincang santai dengan dua rekannya. Sorot matanya lelah, namun senyumnya tetap terjaga untuk menghormati tamu yang hadir. Tiba-tiba, Nora menghampirinya.“Permisi, Rania,” sapa Nora dengan suara pelan namun penuh ketegasan. “Bisa bicara sebentar?”Rania menoleh, sedikit terkejut melihat Nora berdiri di hadapannya. Ia mengangguk pelan. “Tentu, Bu.”Mereka berjalan ke sudut ruangan yang lebih sepi, menjauh dari keramaian. Lampu redup menciptakan bayangan lembut di dinding, menambah kesan intim pada percakapan mereka.“Ada apa?” tanya Rania, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan.Nora menarik napas panjang sebelum berbicara. “Rania, aku hanya ingin meminta maaf. Aku tahu mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi aku tak ingin menunda lebih lama. Aku minta maaf jika dulu aku atau keluarga kami pernah menyakitimu.”Rania terdiam
Lampu-lampu kristal berkilauan memantulkan cahaya lembut di seluruh ruangan mewah hotel bintang lima di pusat kota Bandung. Aroma bunga mawar dan lili memenuhi udara, menciptakan suasana elegan yang memanjakan indera. Para tamu berpakaian formal berdatangan, berjalan di atas karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke aula utama. Suara musik orkestra mengalun lembut, menambah kemewahan pesta ulang tahun Rania yang ke-29.Rania berdiri di tengah aula, mengenakan gaun berwarna merah marun yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Senyumnya memancarkan kehangatan, meski hatinya berdebar karena momen yang penuh makna ini. Di sampingnya, Bintang, putranya yang berusia dua tahun, tampak menggemaskan dalam setelan kecil berwarna putih dengan dasi kupu-kupu hitam. Matanya yang jernih menyorotkan keceriaan polos seorang anak kecil.Boby dan Rita—orang tua kandung Rania—berdiri dengan penuh kebanggaan di sisi mereka. Boby mengenakan setelan jas hitam klasik, sementara Rita tampil angg
Malam itu begitu sunyi di taman belakang rumah megah milik Prakas dan Nora. Lampu-lampu taman yang redup memancarkan cahaya hangat di antara dedaunan yang bergerak pelan tertiup angin malam. Bastian duduk di bangku kayu tua, menatap kosong ke arah kolam kecil yang tenang. Wajahnya tampak lelah, matanya dipenuhi bayang-bayang masa lalu yang sulit dihapus.Tak lama kemudian, Nora datang menghampiri, membawa secangkir kopi panas di tangannya. Ia duduk di samping putranya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hanya meletakkan kopi di meja kecil di depan mereka. Keheningan menyelimuti sejenak sebelum Nora akhirnya membuka suara dengan lembut.“Kopi hangat selalu bisa menenangkan pikiran yang kacau,” katanya, mencoba mencairkan suasana.Bastian menghela napas, menundukkan kepala. “Terima kasih, Mami,” jawabnya pelan tanpa menyentuh kopi itu.Nora menatap putranya dengan penuh kasih. “Bastian, sudah berapa lama kamu duduk di sini, merenung tanpa arah? Apa kamu pikir dengan begitu semua masalah
Malam menjelang, suasana di kamar Rania terasa begitu hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar di sela-sela lamunannya. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lutut sambil menatap kosong ke arah jendela yang sedikit terbuka. Angin malam yang sejuk menyelinap masuk, mengusap lembut wajahnya yang terlihat sendu.Kehadiran Bastian tadi siang benar-benar mengusik pikirannya. Entah kenapa, ada perasaan yang sulit ia jelaskan setiap kali berhadapan dengan pria itu. Apalagi, saat melihat bagaimana Bastian memandang Bintang—anak yang selama ini ia besarkan sendiri tanpa kehadiran seorang ayah.Satria juga ada di sana. Pria itu seolah tidak pernah menyerah untuk mendekatinya dan berusaha mengambil peran dalam hidupnya dan Bintang. Rania menghela napas berat. Kepalanya semakin penuh dengan berbagai pikiran yang berputar tanpa henti.Tiba-tiba, suara nada dering ponselnya membuyarkan lamunannya. Dengan ragu, ia meraih ponsel yang tergeletak di meja nakas. Nama Bastian terpampang jel
Hari itu, udara Bandung terasa sejuk dengan semilir angin yang menyusup di sela-sela pepohonan. Di rumah keluarga Rania, suasana terasa hangat. Di ruang makan, meja panjang telah dipenuhi hidangan, tanda mereka bersiap untuk makan siang bersama. Rania duduk bersama kedua orang tuanya, Rita dan Boby, serta ibu angkatnya, Cucu. Satria juga ada di sana, duduk di samping Bintang, sambil bercanda dengan bocah kecil itu.Tawa Bintang mengisi ruangan. Anak itu begitu riang ketika Satria menunjukkan cara membuat origami sederhana dari tisu."Om Satria bisa bikin ini lagi?" tanya Bintang sambil memegang hasil origami berbentuk burung kecil."Tentu, Bintang. Om bisa buat yang lebih bagus lagi kalau kamu mau," jawab Satria sambil tersenyum hangat.Namun, suasana ceria itu tiba-tiba terhenti ketika terdengar suara bel dari pintu depan. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara."Siapa, ya?" gumam Rita sambil melirik Rania."Aku buka pintu, Ma," ujar Rania sambil beranjak.Saat pintu terbuka, Rani
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela ruang keluarga rumah Rania. Di atas meja, beberapa cangkir teh hangat tersusun rapi, sementara di ruang tamu terdengar tawa renyah Bintang yang sedang bermain di atas karpet bersama mobil-mobilan kecilnya.“Ma, lihat ini!” teriak Bintang sambil menunjukkan mainan barunya yang kemarin ia beli bersama Rania.Sebelum Rania sempat menjawab, suara bel rumah berbunyi.“Sebentar, Bintang,” kata Rania sambil melangkah ke pintu.Begitu pintu terbuka, seorang pria dengan setelan kasual—kaus putih dan celana jeans—tersenyum hangat. Satria, pria yang belakangan ini sering mampir ke rumah Rania, berdiri dengan sebuah kantong kertas besar di tangannya.“Pagi, Rania. Ini untuk Bintang,” ujarnya sambil menyerahkan kantong itu.Rania melirik kantong tersebut, lalu ke arah Satria dengan ekspresi sedikit bingung. “Kamu nggak perlu repot-repot setiap kali datang, Mas.”Satria hanya tertawa kecil. “Aku nggak merasa repot, kok. Aku senang bisa membawakan sesua
Kepulan asap pesawat terbang tampak membumbung tinggi di udara Bandara Soekarno-Hatta. Maya berdiri di tepi jendela kaca besar di ruang tunggu, memandang ke arah landasan pacu. Matanya kosong, wajahnya lelah, tetapi bibirnya tetap membentuk garis tegas seolah ia tidak ingin menunjukkan kelemahan. Di tangannya, paspor dan tiket penerbangan ke Frankfurt, Jerman, tergenggam erat.Hari ini, segalanya berubah. Perceraian yang baru saja disahkan beberapa minggu lalu telah menghapus statusnya sebagai istri dari Bastian, seorang pengusaha ternama di Jakarta.“Bu Maya, sudah waktunya boarding,” suara sopir pribadinya memecah keheningan.Maya menoleh sekilas. “Kamu pulang saja. Terima kasih sudah mengantarkan,” jawabnya singkat.Pria itu mengangguk hormat sebelum pergi, meninggalkan Maya sendirian.Maya menarik napas panjang dan berjalan menuju gerbang keberangkatan. Sepanjang langkahnya, ingatan tentang rumah megah yang pernah ia tinggali bersama Bastian menghantui pikirannya. Di sana, ia pern