Rania melangkah masuk ke rumah dengan langkah gontai. Wajahnya memancarkan kelelahan yang mendalam setelah seharian berada di Bandung untuk menyelesaikan pekerjaan dekorasi. Pintu yang terbuka menyambut aroma harum wedang jahe yang sudah disiapkan oleh Cucu.Cucu langsung berdiri dari kursi rotannya di ruang tamu dan menyambut putrinya dengan senyum hangat. “Rania, kau terlihat sangat lelah. Cepat duduk, wedang jahe sudah Ibu siapkan untukmu.”Rania tersenyum tipis, mengambil napas dalam-dalam, lalu melepas tas kecilnya. “Terima kasih, Bu. Rasanya seharian ini tidak berhenti bergerak. Cuaca di Bandung tadi juga terlalu panas untuk hari kerja berat seperti ini.”Sementara itu, Icha dan Citra yang mengantar Rania langsung pamit pulang setelah memastikan semuanya beres. “Kami pulang dulu, Mbak Rania. Terima kasih atas hari ini,” ujar Icha seraya melambaikan tangan.“Hati-hati di jalan,” balas Rania sebelum menu
Rania duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang menyala dalam redupnya cahaya kamar. Hatinya penuh gejolak, pertarungan antara rasa takut dan keinginan untuk melindungi Bintang. Pernyataan Cucu di meja makan tadi terus terngiang, seperti gema yang tidak mau hilang.Ia menarik napas panjang, menenangkan dirinya meski matanya tetap tak mampu terpejam. Dengan tangan gemetar, ia membuka daftar kontak di ponselnya. Nama itu masih ada, meski telah lama ia blokir. Perlahan, ia mengetuk opsi untuk membuka blokir, merasa berat seolah keputusan ini akan membuka pintu menuju kenangan yang ingin ia tutup rapat.Rania mulai mengetik. Jari-jarinya bergetar saat menuliskan setiap kata.“Apa mau kamu, Bastian? Sudah aku katakan kalau kita sudah tidak ada hubungan apa pun lagi. Bukankah kamu yang sudah memutuskan semuanya? Lalu kenapa kamu kembali menteror hidupku dan anakku? Aku mohon, berhentilah mengikuti kami. Kami sudah bahagia tanpa kamu."S
Pagi itu, Bastian melangkah cepat menuju ruang rapat setelah tiba di kantornya. Meskipun terlihat tenang di luar, pikirannya terus bekerja mencari celah untuk mengungkap siapa dalang di balik masalah ini. Farel sudah menunggu di ruang rapat bersama beberapa kepala divisi, tim IT, dan Danang yang terlihat gelisah di sudut ruangan.“Oke, semua sudah di sini,” Bastian membuka rapat dengan suara tegas. “Kita langsung ke intinya. Saya ingin setiap kepala divisi menjelaskan langkah-langkah apa yang sudah diambil sejak masalah ini muncul.”Kepala IT, Anton, memulai penjelasan. “Kami sudah melakukan audit sistem, Pak Bastian. Data yang bocor berasal dari server utama, tapi aksesnya menggunakan akun milik Danang. Log menunjukkan aktivitas mencurigakan pada pukul satu dini hari sekitar dua hari yang lalu.”Bastian mengalihkan pandangannya ke Danang. “Danang, saya ingin mendengar penjelasanmu. Apa kamu pernah login atau memberikan akses ke akunmu?”Danang menggeleng cepat, suaranya terdengar gug
Dua minggu berlalu dengan intensitas tinggi di kantor Bastian. Tim IT bekerja tanpa kenal lelah, dipimpin oleh Farel yang memastikan semua langkah diambil dengan cermat. Mereka berhasil melacak jejak digital penyusup, memulihkan data yang hilang, dan memperkuat sistem keamanan. Hari ini adalah hari yang sangat penting, laporan akhir akan disampaikan ke PT. Satria Jaya, dan Bastian merasa yakin bahwa semua telah terkendali.Di ruang rapat utama, Bastian duduk bersama Farel, kepala IT, dan beberapa staf senior. Layar besar di depan mereka menunjukkan hasil analisis terakhir. Kepala IT membuka presentasi dengan nada serius.“Pak Bastian, kami berhasil mengidentifikasi pelaku di balik serangan ini. Berdasarkan jejak digital yang tertinggal, pelaku adalah orang dalam.”Ruangan menjadi sunyi seketika. Bastian mengerutkan kening. “Orang dalam? Siapa?”Kepala IT melanjutkan. “Seseorang dengan akses tingkat tinggi ke sistem kami. Berdasarkan audit log, kami menemukan bahwa pelaku adalah—bu May
Maya berdiri di depan pintu rumah orang tuanya dengan wajah penuh keputusasaan. Tangisannya belum reda sejak kabar buruk itu menghantamnya dua hari lalu. Ia tak menyangka Bastian akan setega ini, melibatkan hukum dalam masalah mereka.“Mami... Papi...” lirih Maya dengan suara bergetar setelah pintu dibuka.Ami—ibunya—memandang putrinya dengan raut khawatir, sementara Gery—ayah Maya—mengerutkan dahi. “Ada apa lagi, Maya? Kenapa kamu datang ke sini dengan wajah seperti ini?”Tanpa menjawab, Maya langsung merangkul Ami dan menangis terisak. Ami membawa putrinya masuk ke ruang tamu, sementara Gery hanya berdiri diam, memperhatikan sikap Maya dengan kecurigaan.“Maya, tenang dulu. Ceritakan semuanya dengan jelas. Apa yang terjadi?” tanya Ami lembut, meski nada suaranya terdengar waspada.Maya duduk di sofa, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. “Bastian... dia melaporkan aku ke polisi
Maya duduk di kamarnya dengan tatapan kosong, memandangi layar ponsel yang menunjukkan pesan dari ibunya. Pesan itu mengabarkan bahwa Bastian tetap bersikeras melanjutkan laporan ke polisi. Ia menggigit bibirnya dengan geram, lalu mulai menyusun rencana manipulatif yang menurutnya adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirinya dari kehancuran.Sore ini, Maya memanggil kedua orang tuanya ke kamarnya. Ia berbicara dengan nada penuh keputusasaan.“Mami, Papi, aku nggak tahu lagi harus gimana. Kalau Bastian nggak mau mencabut laporan itu, hidupku selesai. Aku nggak bisa masuk penjara, aku nggak bisa kehilangan semuanya!” ujar Maya dengan suara bergetar, meski air mata yang mengalir di pipinya adalah hasil dari keahlian aktingnya.Gery dan Ami saling bertatapan. Ami mencoba menenangkan putrinya. “Maya, tenang. Kita sudah mencoba bicara dengan Bastian, tapi dia keras kepala. Kalau kamu benar-benar salah, kamu harus siap menerima konsekuensinya.
Sore itu, suasana taman belakang rumah Bastian terasa tenang. Hembusan angin membawa aroma segar dari dedaunan yang berembun setelah hujan pagi tadi. Bastian duduk di kursi santai, menikmati segelas anggur merah yang memantulkan cahaya senja. Ia mencoba menenangkan pikirannya setelah beberapa hari yang penuh tekanan.Ketika ia sedang menikmati waktu sendirinya, suara pintu pagar terdengar dari kejauhan. Seorang ART datang melapor bahwa Nora dan Prakas, kedua orang tuanya, baru saja tiba. Bastian hanya mengangguk kecil, menandakan persetujuannya untuk menemui mereka.Tak lama, kedua orang tua Bastian sudah berada di taman belakang, duduk di kursi berhadapan dengannya. ART datang membawa teh dan kudapan, meletakkannya di meja kecil di antara mereka sebelum beranjak pergi.“Papi, Mami, ada yang bisa kubantu?” tanya Bastian dengan nada datar namun sopan.Prakas, dengan raut wajah tegas seperti biasanya, langsung memulai percakapan tanpa basa-basi. “Bastian, kami di sini untuk membicarakan
Lembang, kediaman Rania.Rania menatap ponselnya yang bergetar di sisi meja, sedikit terkejut melihat nama Bastian muncul di layar. Hatinya seketika bergemuruh, campuran rasa kesal, ragu, dan sedikit penasaran. Sudah lebih dari dua minggu sejak terakhir kali ia mendengar kabar tentang pria itu, dan ia berharap keadaan tetap tenang seperti hari-hari sebelumnya. Namun, keberadaan pesan ini seperti membawa awan gelap ke pikirannya yang sudah dipenuhi oleh desain dan deadline klien.Ia mencoba kembali fokus pada layar laptop, namun pikirannya sudah teralihkan. Pesan itu seolah memanggilnya, memaksa perhatian penuh.“Kenapa lagi sekarang?” gumam Rania pelan, sedikit kesal.Akhirnya, dengan tarikan napas panjang, Rania meraih ponselnya. Jemarinya sempat ragu untuk mengetuk layar, namun pada akhirnya ia membuka pesan itu.Pesan dari Bastian: “Rania, aku tahu kamu mungkin membenciku. Tapi aku hanya ingin tahu kabar Bintang. Apakah dia
Hari itu, Rania dan keluarganya sedang bertandang ke Jakarta. Selain rumah mewah di Bandung, Boby memiliki rumah lain di ibu kota. Rumah megah dengan desain modern minimalis itu terletak di kawasan elit Jakarta Selatan. Tak hanya itu, Boby juga memiliki kantor cabang di pusat kota yang menjadi salah satu aset penting dalam jaringan bisnisnya.Pagi itu, keluarga mereka tiba di rumah tersebut. Rita tampak antusias mengenalkan setiap sudut rumah kepada Rania. “Lihat, ini ruang tamu utama. Desainnya memang lebih modern dibandingkan rumah di Bandung. Tapi aku tetap merasa nyaman di sini,” ucapnya sambil tersenyum.Boby menimpali dengan nada bercanda. “Nyaman, karena dekorasinya sesuai selera Mama, kan? Padahal dulu Papa ingin nuansa klasik.”Rania tersenyum mendengar celotehan kedua orang tuanya. Di sela-sela tur kecil itu, ia melihat Bintang berlari-lari kecil mengikuti langkah nenek dan kakeknya. Bocah itu tampak senang dengan lingkungan baru yang penuh kejutan.Setelah makan siang, mere
Malam itu, ruang makan di rumah mewah milik Boby dan Rita dipenuhi suasana hangat. Meja panjang yang dihiasi vas bunga mawar putih di tengahnya terlihat penuh dengan hidangan lezat. Keluarga kecil yang baru saja merasakan kebahagiaan sejati selama beberapa bulan terakhir duduk bersama, menikmati waktu makan malam yang istimewa.Di ujung meja, Bintang, bocah kecil berusia hampir dua tahun, duduk di kursi tinggi miliknya. Wajah mungilnya tampak berseri-seri, matanya berbinar penuh antusias saat menunjuk ke arah sepiring kue cokelat yang baru saja dihidangkan oleh pelayan rumah.“Mau kue itu, Ma!” serunya, suaranya nyaring dan penuh semangat.Rania, yang duduk di sampingnya, tersenyum lembut namun tetap tegas. “Bintang, kita makan nasi dulu, ya. Kalau sudah habis, baru boleh makan kue.”Bintang mengerucutkan bibirnya, tanda ia tidak setuju. “Enggak mau! Kue dulu!”Rita, yang duduk di sisi lain meja, langsung merespons dengan nada penuh kasih. “Biarkan saja, Rania. Oma ambilkan kuenya, ya
Pagi itu, suasana kediaman keluarga Boby terasa berbeda. Sinar matahari menyelinap lembut di antara tirai jendela besar, menyinari seorang wanita muda yang berdiri di depan cermin panjang. Rania tampak luar biasa anggun dalam setelan blazer putih bersih yang dipadukan dengan rok pensil senada. Rambutnya disanggul rapi, memberikan kesan profesional namun tetap bersahaja. Sebuah bros kecil berbentuk bunga tersemat di kerah blazer, menambah sentuhan manis pada penampilannya.“Kamu sudah siap, Sayang?” suara berat namun lembut Boby terdengar dari balik pintu. Pria paruh baya itu melangkah masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya tampak semakin berwibawa. Matanya penuh kebanggaan saat memandang putri semata wayangnya.“Sudah, Pa. Tapi… masih sedikit gugup,” jawab Rania sembari tersenyum tipis. Tangannya sibuk merapikan bros di blazer, mencoba mengusir rasa gugup yang perlahan menyeruak.Boby mendekat, menepuk pundak Rania dengan lembut. “Tidak perlu gugup. Kamu pasti bisa. Papa
Hari masih pagi ketika Boby, Rita, dan Rania tiba di Surabaya. Perjalanan ini bukan perjalanan biasa, ada misi besar yang ingin mereka selesaikan. Bersama mereka, hadir seorang pengacara andal yang dipercaya Boby untuk menangani kasus ini dengan cermat.Berkat koneksi Boby, mereka dengan mudah mendapatkan akses untuk berbicara dengan salah satu tahanan—wanita yang menjadi otak di balik penyekapan Rania. Suasana di ruangan khusus tempat pertemuan berlangsung terasa dingin dan penuh ketegangan. Wanita itu duduk di seberang mereka, dengan raut wajah keras yang menggambarkan pengalaman hidup penuh lika-liku.“Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?” tanya wanita itu, memecah keheningan dengan nada menantang.Boby duduk dengan tenang, memperhatikan wanita itu dengan tatapan tajam. “Kami ingin tahu kebenaran. Siapa yang menyuruhmu mencelakai putriku?”Wanita itu mendengus, mengalihkan pandangannya. “Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan.”Rita menghela napas, mencoba pendekatan yang lebih
Suasana malam itu masih hening. Boby dan Rita masih saling pandang seraya memerhatikan putri mereka yang terlihat banyak menyimpan luka.Rita kemudian meraih tangan Rania, menggenggamnya dengan lembut. “Kami tidak ingin memaksa, sayang. Apa pun keputusanmu, kami akan mendukungmu. Tapi jika suatu saat kamu merasa siap untuk menghadapi Bastian, kami akan ada di sisimu.”Rania menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Ma. Aku hanya butuh waktu untuk menyembuhkan semuanya.”Boby berdiri, berjalan mendekati putrinya. Ia menepuk pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Yang penting kamu bahagia, Rania. Itu yang paling utama.”Malam itu, Rania mencoba merenung di kamarnya. Ia tahu bahwa menghindari Bastian selamanya bukanlah solusi. Namun, hatinya masih terlalu terluka untuk kembali membuka pintu bagi pria itu. Kini, yang ia butuhkan adalah waktu—waktu untuk menemukan kembali kekuatannya, waktu untuk menyembuhkan lukanya, dan waktu untuk menentukan langkah berikutnya dalam hidu
Dua bulan berlalu, dan kehidupan Rania berubah drastis. Kini ia bukan lagi gadis sederhana yang hidup di Lembang, melainkan seorang wanita anggun yang memancarkan pesona luar biasa. Perubahan itu begitu kentara, dari caranya berbicara hingga kepercayaan diri yang perlahan tumbuh. Namun, selama dua bulan terakhir, Rania memilih menghindar dari dunia luar, termasuk dari Bastian. Ia memutuskan untuk fokus pada dirinya, mempersiapkan diri menjadi sosok yang baru.Hari ini adalah hari besar. Untuk pertama kalinya, Rania akan diperkenalkan kepada keluarga besar dan kolega Boby serta Rita. Sebuah acara istimewa digelar di ballroom mewah salah satu hotel bintang lima di Bandung.Sore itu, ballroom tersebut dipenuhi oleh dekorasi elegan bernuansa emas dan putih. Meja-meja bundar ditata sempurna, dikelilingi tamu undangan dari keluarga besar hingga kolega bisnis Boby. Semua hadir dengan antusias, tak sabar menyaksikan kejutan malam itu.Rania berdiri di balik pintu utama ballroom, mengenakan ga
Setelah keheningan sejenak yang terasa membebani di pikiran Rania, Rania pun akhirnya membuka suara. Ia pandangi wajah Rita dan Boby bergantian, mencoba meyakinkan hati kalau memang sudah saatnya ia jujur.Pada akhirnya, Rania menghela napas panjang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menceritakan semuanya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bersuara.“Bastian…” Rania memulai dengan suara yang gemetar. Ia menatap Rita dan Boby bergantian, mencari keberanian di mata mereka yang penuh perhatian. “Dia adalah… ayah kandung Bintang.”Rita yang tadinya tenang kini sedikit terkejut. Matanya membulat, tapi ia tetap menjaga ekspresinya agar tidak membuat Rania merasa terhakimi. Boby pun mengernyit, namun tetap sabar menunggu penjelasan lebih lanjut.“Hubungan kami dulu sangat rumit,” lanjut Rania dengan suara yang mulai bergetar. “Kami sempat berpacaran ketika masih kuliah. Kami sempat punya Impian untuk hi
Udara malam di taman belakang rumah Boby dan Rita terasa sejuk, dihiasi gemerlap bintang di langit yang cerah. Gemericik air dari kolam kecil di tengah taman memberikan ketenangan tersendiri. Rania duduk di salah satu kursi taman, ditemani secangkir cokelat hangat yang mengepul di tangannya. Boby dan Rita duduk di seberangnya, masing-masing dengan secangkir cokelat dan sepiring brownies di atas meja kecil di antara mereka.Setelah Bintang terlelap, mereka memutuskan ini waktu yang tepat untuk berbincang lebih dalam. Boby membuka percakapan dengan suara lembut namun penuh ketegasan.“Rania,” katanya, menatap putrinya dengan penuh haru, “Ada hal yang selama ini belum sempat kami ceritakan. Kami ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi dulu.”Rania memandang ayah kandungnya dengan ekspresi campur aduk. Ia tahu percakapan ini penting, namun ia tidak menyangka akan langsung membahas masa lalu.“Dulu,” Boby melanjutkan, &l
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika sebuah mobil SUV hitam berhenti perlahan di depan rumah kecil yang dulunya dihuni oleh Rania di Lembang. Lampu depan mobil itu memancar terang, menerangi halaman yang tampak sunyi. Dari dalam mobil, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah yang memancarkan ketegasan turun. Itu adalah Bastian.Langkahnya mantap menuju pintu utama. Tangannya mengetuk dengan sopan, berharap suara ketukan itu akan memanggil seseorang dari dalam. Namun, alih-alih melihat Rania atau Cucu, seorang gadis muda yang tak dikenalnya membuka pintu.“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” Gadis itu menyapa ramah, menatap Bastian dengan sedikit rasa heran.“Selamat malam,” Bastian menjawab sambil melirik ke dalam rumah yang terlihat berbeda dari yang ia ingat. “Rania dan Bintang ada di rumah?” tanyanya langsung.Gadis itu tersenyum kecil. “Oh, maaf, mbak Rania dan keluarganya sudah pindah ke Band