Nathan menghubungi Bibi Elly dan meminta agar Eliza datang membawa anaknya ke ruang kerja. Setelah memberikan perintah Nathan kembali menutup sambungan teleponnya. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. Bibi Eli datang bersama bayi Noah yang masih tertidur lelap di gendongan Eliza. "Yang mana Eliza, kenapa tidak jadi datang?" Hermawan bertanya ketika melihat gadis cantik yang masih sangat muda menggendong cucunya. "Eliza ini Pi." Mawar memberitahu sambil menunjuk ke arah Eliza.Hermawan memandang Eliza dengan mengurutkan keningnya. Kemudian memandang ke arah istrinya. "Apa ini Ibu susu Noah ?" tanyanya "Iya Pi, Eliza istirahat saja, Noah biar sama saya." "Baik Bu," jawab Eliza yang menyerahkan Noha ke tangan Mawar. Setelah memberikan Noah ke tangan neneknya, Eliza kembali ke kamar bayi. "Apa benar yang tadi itu Ibu susunya Noha?" Hermawan mengambil cucunya dari tangan Mawar."Iya Pi," jawab Mawar."Kok masih muda, papi mengira Ibu susunya sudah berumur 35. Badannya
Mengapa ada manusia seperti Wati. Ibnu cucunya sendiri, namun mengapa dengan kejam menulis pesan seperti ini.Eliza memegang dadanya yang terasa sakit dan juga sesak. Ibnu sudah tidak ada, namun mengapa mereka seperti tidak sedih sedikitpun atas kepergian Ibnu. Air matanya tiba-tiba saja menete dengan sendirinya. Bukan hanya dirinya yang tidak diakui sebagai menantu, namun juga Ibnu.Begitu banyak pesanan yang masuk di ponselnya, namun Eliza tidak sanggup membacanya satu persatu.Tiba-tiba saja ponsel Eliza berdering, tertulis nama ayah Ibnu memanggil. Eliza mengabaikan panggilan telepon dan memilih untuk menenangkan hati dengan menangis.Satu kali panggilan tidak terjawab, kemudian panggilan ke dua, tiga hingga panggilan ke lima.Setelah hatinya lebih tenang, Eliza mengangkat panggilan telepon tersebut."Halo sayang," sapa Sandy. Dari suaranya terdengar Sandy sangat cemas. Namun Eliza tahu yang dicemaskan Sandy hanya uang. Suaminya itu pasti sangat ketakutan kalau Eliza kabur dan t
"Mas tidak akan mengabaikan kamu, mas akan sering datang ke rumah mama untuk ketemu kamu," jawab Sandy dengan tersenyum. Tanpa disadari, ia sudah merindukan istri pertamanya itu. "Mas datang ke tempat mama mau ngapain?" tanya Eliza dengan gaya sok polos. "Kita suami istri, mas harus jalankan tugas sebagai suami dengan adil." Lagi-lagi Sandy berkata dengan santai. Dia tidak tahu seperti apa hancur dan terlukanya hati Eliza mendengar ucapannya."Tugas suami seperti apa mas?" Eliza masih terus bertanya agar Sandy menjelaskan secara detail."Sayang, masak gak ngerti. Kita buat adik untuk Ibnu. Mas sudah sangat rindu, sejak adek selesai melahirkan kita belum pernah melakukannya." Akhirnya Sandy berkata dengan blak-blakan."Mas itu seperti Oreo." Eliza menggantung ucapannya. "Seperti Oreo gimana?" Sandy tidak mengerti dengan ucapan istrinya. "Suka celup sana terus kemudian celup sini.Liza ikhlas kok jadi pembantu yang tidak digaji oleh Mama, yang penting hutang lunas. Mas tolong bilang
Eliza menikmati perannya sebagai seorang ibu. Setelah selesai menjemur Noah di pagi hari, Eliza kemudian memandikannya dan menyusui. Bahagia, hanya kata ini yang menggambarkan perasaannya. Kehadiran bayi Noah, mampu mengobati rasa rindu serta mengobati rasa sakit kehilangan anaknya.Eliza tersenyum menatap bayi yang tampan nan rupawan. Setelah selesai mandi, bayi mungil itu terlihat segar. Aroma khas bayi begitu sangat menyenangkan hingga Eliza mencium pipi bayi Noah berulang-ulang kali."Nak ibu mau mandi sebentar, terus ganti baju. Sayang, ibu tunggu sebentar ya jangan nangis." Eliza tersenyum dan mencium pipi bulat bayi tampan tersebut. "Anak ibu pintar sekali." Eliza gemas saat melihat bayi Noah tertawa dengan mulut terbuka. Setelah berpamitan Eliza kemudian pergi ke kamarnya. Namun sebelum itu dia menitipkan bayi tampan itu kepada baby sister. Eliza heran melihat Mawar. Apakah Mawar begitu punya banyak uang sehingga harus membayar baby sister lagi. Padahal dia sudah digaji di
"Sayang, sudah sampai di mana?" tanya Sandy. Jika dulu Eliza sangat senang ketika Sandy memanggilnya sayang, namun sekarang dia merasa perutnya seperti sedang dikocok hingga terasa mual dan ingin muntah. "Ini lagi berhenti di warung makan, mas." Eliza menjawab dengan asal. "Apa sudah sampai di Pekanbaru?" tanya Sandy. "Belum mas masih di jalan." "Sudah sampai di mana ini, sayang?" Sandy sangat penasaran. Ia ingin melakukan video call agar melihat keberadaan istrinya. Namun lagi-lagi handpon jadul Eliza menjadi permasalahannya."Ini udah masuk kabupaten Pelalawan. Sekarang di daerah sorek." Eliza menjelaskan secara detail seakan ia benar-benar sedang berada di dalam perjalanan. Sandy sungguh tidak mengetahui bahwa istri yang dianggapnya bodoh sebenarnya tidak sebodoh yang dia pikir. Bahkan bisa mengarang cerita seperti ini. "Oh mas kirain sudah sampai Pekanbaru. Sayang, mas sangat senang." Sandy akhirnya mengungkapkan perasaannya. Meskipun ini pernikahan yang kedua, namun bersa
"Mas handphone Liza baterainya soak. Nanti rencananya di Pekanbaru Liza mau cari baterai handphone. Ini juga casing-nya udah nggak bagus jadi terpaksa diikat pakai karet biar gak lepas. "Sandi terdiam mendengar perkataan Eliza. Apakah mungkin masih ada toko handphone yang menjual casing dan juga baterai handphone yang dipegang Eliza?"Mas, ini baterainya udah mau mati," kata Eliza ingin segera ingin mengakhiri panggilan telepon bersama dengan Sandy. Karena setiap kali mendengar suaminya itu berbicara entah mengapa rasa sakit di hatinya semakin bertambah kuat. Hingga membuat hatinya terasa berdenyut nyeri "Mas, kamu ngapain, cepat rapikan dulu pakainya. Sebentar lagi acara di mulai."Eliza mendengar suara lembut mendayu-dayu memanggil Sandy. Siapa pemilik suara itu sudah pasti istri keduanya. "Lagi nelpon Eliza sebentar," jawab Sandy dengan jujur."Oh sini handphonenya, Aku ingin ngomong sama Eliza." Mirna berkata dengan wajah tersenyum. Dan hal itu yang membuat Sandy senang. Itu ar
Lagi-lagi Eliza merasakan sakit yang luar biasa. Dia ingin mengakhiri sambungan telepon namun Mirna masih terus mengajaknya berbicara. Madunya itu terlihat begitu sangat baik terhadapnya namun setiap kalimat yang keluar dari bibirnya tampak jelas bahwa dia sangat membenci Eliza. "Aku pasti akan kerja di rumah mama Mbak, tapi nanti setelah pulang dari sini. Aku janji utang itu akan aku bayar. Jika aku tidak bisa membayar hutang dengan menjadi pembantu aku akan membayar hutang dengan uang. Bagaimana cara mendapatkannya aku, itu urusan aku." Eliza berkata sambil menahan rasa marah dan emosinya. Eliza merasa sudah dipermainkan oleh Sandy. Rasa kebenciannya semakin besar setelah mendengar semua yang dikatakan Mirna. Ternyata Sandy benar-benar menganggapnya bodoh."Kamu mau jual diri?" Mirna berkata dengan gaya kaget.Eliza tersenyum sinis mendengar perkataan wanita tersebut. Mbak Mirna sudah biasa berbuat kotor. Main dengan suami orang hingga hamil, karena itu punya pikiran kotor. Mbak M
Setelah cukup lama menangis dan meratapi nasib, Eliza keluar dari dalam kamar dan langsung ke kamar bayi Noah.Eliza beranggapan bahwa bayi tampan itu sudah tertidur karena lelah menunggunya. Namun ternyata Eliza salah, karena bayi tampan itu sedang bermain dengan tangan dan kakinya sendiri. Sepertinya Noah memandang menunggu Eliza datang."Maaf ya nak, ibu lama." Eliza tersenyum dan mencium pipi bulat bayi Noah. Bayi berwajah tampan itu tertawa lebar memperlihatkan gusinya yang merah. Eliza gemas melihat bayi Noah yang tertawa riang seperti ini. "Ayo kita main ke bawah." Eliza tersenyum sambil mengecup pipi Noah. Mau seperti apapun suasana hatinya, Eliza tidak akan menunjukkannya di depan Noah. Saat bersama Noah, dia akan menjadi ibu yang baik dan cerita.Bayi laki-laki itu tersenyum sambil menggerak-gerakkan tangannya. "Anak ibu sangat pintar." Eliza mengendong bayi Noah dan membawanya ke lantai 1."Eliza ayo sarapan." Mawar langsung memanggil ketika melihat Eliza melintas. "Iy
Eliza memandang pantulan wajahnya di depan cermin. Ada rasa tidak percaya ketika melihat sosok bidadari yang ada di depannya. Sosok Itu tampak begitu sangat cantik dan sempurna. "Wow cantik sekali." Perias make up itu tersenyum dan memuji kecantikan Eliza. Eliza tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Liza sampai nggak kenal sama diri sendiri." "Jika Liza secantik ini, apakah tidak membuat pengantin wanitanya kesal dan juga marah? Karena tamu lebih cantik daripada yang memiliki acara." Eliza berkata dengan wajah kesal. Perias make up itu tertawa mendengar celetup Eliza "Jika orangnya sudah cantik, mau di apapun hasilnya tetap cantik. Jika tamunya seperti ini, saya yakin pak penghulu akan salah menikahkan pengantin perempuannya. Dan si pengantin laki-laki akan salah ketika membaca ijab Kabul," kata wanita yang sudah membuat Eliza semakin cantik, bak boneka Barbie.Eliza diam sambil memandang wajah prias make up yang berdiri di belakangnya. Meskipun tidak memandang wanita itu se
Meskipun mengatakan iya, namun Eliza masih berdiri di tempatnya. Sedangkan tatapan matanya hanya tertuju kearah gaun yang diletakkan di atas tempat tidur. "Silahkan nona, jam 9 pagi ini Nona harus sudah siap." Bibi Eli memberikan perintah dengan senyuman. "Baik, bi, ini gaun untuk Liza pakai?" Eliza masih tidak yakin dengan gaun tersebut."Iya," jawab bibi Eli."Kenapa gaunnya cantik sekali ya Bi. Eliza tidak mengerti dengan yang namanya berlian. Namun melihat batu permata yang melekat di gaun itu, ia seakan melihat Kilauan berlian yang begitu sangat indah."Iya Nona, baju ini nyonya Mawar yang menyiapkannya," jawab bibi Eli.Eliza tersenyum. Ternyata Mawar masih mengingatnya. Ia akan menjadi anak yang baik dan menuruti semua yang diperintahkan Mawar. Yang terpenting Eliza tidak diusir dari mansion ini. Karena ia belum sanggup meninggalkan Noah. "Nona suka?" Tanya Bibi Eli."Jika Mami yang memilihkan pasti sangat bagus sekali. Apalagi ini beneran cantik banget. Sudah pasti Liza su
Jantung Nathan berdebar dengan cepat ketika memandang jas yang akan dikenakannya untuk acara jam 11 siang nanti. Jas berwarna putih dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam. Hari ini adalah hari bersejarah untuknya. Namun begitu banyak kecemasan yang muncul di benak kepalanya. Apakah keputusannya ini sudah tepat? Ataukah dia terlalu ingin terburu-buru sehingga tidak memikirkan hal buruk ke depannya? Lalu bagaimana jika Eliza marah, bahkan sampai membencinya? "Jika nanti Eliza marah Aku akan berusaha membujuknya." Nathan bertekad dalam hatinya. Sesulit apapun dia pasti akan berusaha dan berjuang membujuk Eliza agar tidak marah lagi dengannya. Namun bagaimana jika Eliza membencinya? Hal yang begitu sangat ditakutkan oleh Nathan.Rasanya tidak mungkin Eliza sangat menyayangi Noah. Ia yakin Eliza pasti akan menerima keputusan yang telah diambilnya demi Noah.Nathan mulai memakai pakaiannya dan memandang pantulan tubuhnya dari depan cermin. Wajah tampan, tubuh tinggi berisi tampak begitu
Cukup lama menenangkan hati, akhirnya malam ini Eliza bisa tertidur lelap. Eliza baru terbangun ketika hari sudah pagi. Dan dia baru menyadari bahwa tadi malam tidur sendiri, tanpa Noah. Seharusnya ia senang karena bisa tertidur dengan lelap tanpa ada gangguan dari anak susunya. Namun nyatanya hatinya terasa semakin sakit dan juga perih. Apakah memang seperti ini cara Nathan memisahkannya dengan Noha. Lagi-lagi air mata Eliza mengalir dengan sendirinya. Rasa sayang yang diberikannya untuk Noha, benar-benar tulus dan sepenuh hati. Namun mengapa ia harus berpisah dari Noha?Dulu Nathan dan Mawar pernah mengatakan bahwa Eliza boleh menjadi mommy Noha, untuk selamanya. Apakah janji yang mereka ucapkan sudah tidak berlaku? Eliza menangis sambil memegang dadanya yang terasa begitu sangat sakit. Berulang kali mengusap air matanya, namun tetap saja air mata itu meluncur dengan sendirinya. Mungkin terlalu banyak menangis, hingga mata Eliza mengecil dan sembab.Setelah puas menangis, ia
Mengapa waktu berjalan sangat lambat. Eliza sangat tidak bersemangat dan hanya berbaring di dalam kamar. Apalagi Noha dibawa Mawar pergi berkunjung ke rumah kerabatnya. Sudah 3 hari terakhir, Mawar dan Herman tampak sangat sibuk. Sedangkan Nathan, tidak terlihat sama sekali. Eliza tahu bahwa pria itu tidak pulang selama beberapa hari. Namun apa masalahnya, ia juga tidak tahu."Nona Eliza, ini makan malamnya." Bibi Eli berkata sambil meletakkan menu makan malam untuk Eliza."Terimakasih Bi," jawab Eliza dengan tidak bersemangat. Eliza lebih memilih makan di dalam kamar daripada makan di meja makan. Karena hanya dia sendiri yang ada di rumah sedangkan Hermawan dan Mawar belum pulang dari rumah kerabatnya. "Iya Nona Eliza, jika tidak ada yang dibutuhkan, bibi permisi," jawab Bibi Eli dengan tersenyum."Bi, Mas Nathan ke mana?" Eliza tidak tenang karena tidak tahu kabar Nathan. Suasana di masion juga terasa dingin. Tidak ada candaan, ketika sarapan pagi, dan makan malam. Biasanya Natha
Nathan memandang Eliza yang duduk di sebelahnya. Sejak tadi Eliza hanya diam dan memejamkan matanya. Tampak sekali bahwa wanita itu sedang menahan rasa sakit. "Sakit sekali ya?" Nathan mengusap kepala Eliza dengan penuh kasih sayang. Melihat Eliza yang sakit seperti ini tentu membuatnya tidak tega. Dia tidak menyangka ternyata memberikan ASI kepada anak akan berdampak seperti ini terhadap ibunya. Eliza menganggukkan kepalanya. "Sakit banget, berdenyut juga." "Coba mas pegang?" Nathan meminta izin terlebih dahulu sebelum menyentuh balon Eliza. Mata Eliza yang terpejam, langsung terbuka dan memandang Nathan dengan bringas. "He... He.... Mas cuma mau periksa." Nathan tersenyum nyengir sambil menggaruk kepalanya ."Gak boleh," tolak Eliza."Mau mas bantuin?" Nathan bertanya dengan jantung berdebar cepat. Jika Eliza menyetujui, ia akan melakukan seperti apa yang disarankan dokter. Nathan tidak berniat untuk kurang ajar, namun ini semua dilakukannya untuk mengurangi rasa sakit Eliza.
Nathan duduk di samping Eliza dan seorang dokter perempuan. Untuk permasalahan seperti ini Nathan memang tidak mengizinkan dokter laki-laki yang menanganinya. "Keluhannya apa, Eliza?" Dokter itu bertanya sambil memandang Eliza yang sedang meringis menahan rasa sakit."Saya baru menghentikan ASI untuk anak saya dok. Dan ini baru jalan di hari pertama," jelas Eliza. Jujur saja Eliza tidak nyaman membahas masalah ini di depan Nathan. Namun pria keras kepala itu sangat sulit untuk diajak kompromi, bahkan memaksa masuk ke dalam ruangan."Oh apakah payudaraanya membengkak, terasa sakit, berdenyut dan juga nyeri?" Dokter perempuan itu langsung merespon dengan cepat. Eliza menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu saya periksa dulu."Eliza menganggukkan kepalanya dan berbaring di atas tempat tidur. Sedangkan Nathan sudah seperti seorang suami yang sangat waspada dan mencemaskan istrinya. Dia mengikuti Eliza dan berdiri di samping tempat tidur. Jika Nathan bukanlah bosnya, Eliza pasti sudah
Nathan menjemput Eliza ke kampus. Karena tidak melihat Eliza di parkiran, Nathan langsung ke kelas. Dilihatnya Eliza yang duduk di dalam kelas dan meletakkan tas di bagian dadanya. Sedangkan wajahnya tampak sedang menahan rasa sakit. "Eliza!" Nathan memanggil Eliza dengan cemas. Eliza memandang Nathan dengan wajah meringis. "Kenapa Mas jemput Liza lama?"Biasanya Eliza tidak pernah bertanya seperti ini jika Nathan lambat menjemput. Karena Nathan memberi tahu kalau dia bertemu dengan klien. "Maaf ya, tadi Mas ada ketemu klien. Klien itu minta ketemunya secara dadakan." Nathan memandang Eliza dan kemudian mengusap kepalanya. "Apa kamu sakit?" Nathan menempelkan punggung tangannya di kening Eliza. Namun ia tidak merasakan suhu tubuh Eliza yang panas. "Enggak," jawab Eliza yang kebingungan menjelaskan kondisi tubuhnya saat ini. "Terus kenapa mukanya jadi pucat gini?" Nathan tidak puas dengan jawaban dari Eliza. "Noha sudah berhenti nyusu, Mas. "Nathan bingung mendengar jawaban dar
Pagi ini wajah Mawar tampak berseri-seri ketika seluruh anggota keluarga berkumpul dan sarapan pagi bersama. Yang membuat wanita itu semakin bahagia karena ada Kiara yang merupakan warga baru dalam keluarganya. Begitu juga dengan Yura yang menjadi cucunya. Mawar tidak pernah menyangka bahwa anak angkatnya akan menikah. Selain membawa istri, Rizky juga memberikannya seorang cucu perempuan. Hati Mawar terlalu baik dan juga tulus. Sehingga kehadiran Yura diterima dengan sangat baik. Selain itu juga dia menganggap Yura seperti cucunya."Kalian akan tinggal di sini kan?" Mawar bertanya sambil memandang Rizki dan juga Kiara secara bergantian. Kiara tidak bisa menjawab, dia justru melirik ke arah suaminya. "Kami akan pindah dan tinggal di rumah yang sudah aku beli lama Tante," jawab Rizki. Rumah mewah sudah ada hanya saja selama ini belum ditempatinya karena merasa sepi di rumah yang begitu sangat besar. Selama ini juga rumah itu hanya diurus oleh asisten rumah tangganya yang menetap di s