Rasa sakit dihatinya sudah tidak dapat tahan. Eliza menangis sejadi-jadinya. Bahkan ia sampai menutup mulutnya agar suara tangisnya tidak menggangu orang-orang yang berada di dalam ruangan ini.Eliza bisa masuk kategori wanita kuat. Disaat ia mengalami depresi kehilangan anaknya, suami datang membawa kabar bahagia prihal pesta pernikahan mewah bersama istri barunya. Bukan hanya berita bahagia pernikahan yang Eliza dengar, namun juga berita kehamilan madunya. Jika hal ini menimpa ibu muda yang sedang depresi, mungkin mereka akan memilih bunuh diri atau gila. "Apa suamimu bekerja?" Nathan bertanya ketika melihat Eliza sudah mulai tenang. Eliza menggelengkan kepalanya. Melihat jawaban dari Eliza, Nathan tersenyum sinis. Bagaimana mungkin wanita itu tidak mengetahui tempat suaminya bekerja. Dan hal ini di luar logikanya. Mendengar kisah Eliza, begitu sangat memilukan. Begitu juga dengan tangisnya yang menyayat hati. Namun tetap saja Nathan tidak percaya dan menggap ini hanya akting."
"Oh itu suaminya."Nathan memandang foto pria berlatar biru yang tertempel di buku nikah. Pria itu memang terlihat tampan dan mungkin karena itu dia bisa mendapatkan dua istri, pikir Nathan. Namun tetap saja Nathan jauh lebih tampan dari pada suami Eliza."Ini anaknya om Marwan Armando." Mawar berkata dengan kesal ketika melihat respon putranya. Nathan diam dan memperhatikan foto pria yang menjadi suami Eliza. Ia memang tidak begitu kenal dengan Sandy dan hanya berjumpa beberapa kali saja."Bukankah kita diundang ke acara resepsi pernikahannya besok?" Mawar mengingatkan Nathan.Mawar sangat mengingat wajah Sandy, karena di undangan yang tercetak tertempel wajah pengantin wanita dan pengantin pria. "Iya mi," jawab Nathan kemudian. Setelah mendengar perkataan Mawar, Nathan akhirnya percaya bahwa cerita tentang rumah tangga Eliza memang benar. "Bukankah istrinya sesama karyawan di perusahaan kita?" Mawar kembali memandang Nathan.Wati salah seorang teman sosialitanya. Pada saat Sandy
Nathan menghubungi Bibi Elly dan meminta agar Eliza datang membawa anaknya ke ruang kerja. Setelah memberikan perintah Nathan kembali menutup sambungan teleponnya. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. Bibi Eli datang bersama bayi Noah yang masih tertidur lelap di gendongan Eliza. "Yang mana Eliza, kenapa tidak jadi datang?" Hermawan bertanya ketika melihat gadis cantik yang masih sangat muda menggendong cucunya. "Eliza ini Pi." Mawar memberitahu sambil menunjuk ke arah Eliza.Hermawan memandang Eliza dengan mengurutkan keningnya. Kemudian memandang ke arah istrinya. "Apa ini Ibu susu Noah ?" tanyanya "Iya Pi, Eliza istirahat saja, Noah biar sama saya." "Baik Bu," jawab Eliza yang menyerahkan Noha ke tangan Mawar. Setelah memberikan Noah ke tangan neneknya, Eliza kembali ke kamar bayi. "Apa benar yang tadi itu Ibu susunya Noha?" Hermawan mengambil cucunya dari tangan Mawar."Iya Pi," jawab Mawar."Kok masih muda, papi mengira Ibu susunya sudah berumur 35. Badannya
Mengapa ada manusia seperti Wati. Ibnu cucunya sendiri, namun mengapa dengan kejam menulis pesan seperti ini.Eliza memegang dadanya yang terasa sakit dan juga sesak. Ibnu sudah tidak ada, namun mengapa mereka seperti tidak sedih sedikitpun atas kepergian Ibnu. Air matanya tiba-tiba saja menete dengan sendirinya. Bukan hanya dirinya yang tidak diakui sebagai menantu, namun juga Ibnu.Begitu banyak pesanan yang masuk di ponselnya, namun Eliza tidak sanggup membacanya satu persatu.Tiba-tiba saja ponsel Eliza berdering, tertulis nama ayah Ibnu memanggil. Eliza mengabaikan panggilan telepon dan memilih untuk menenangkan hati dengan menangis.Satu kali panggilan tidak terjawab, kemudian panggilan ke dua, tiga hingga panggilan ke lima.Setelah hatinya lebih tenang, Eliza mengangkat panggilan telepon tersebut."Halo sayang," sapa Sandy. Dari suaranya terdengar Sandy sangat cemas. Namun Eliza tahu yang dicemaskan Sandy hanya uang. Suaminya itu pasti sangat ketakutan kalau Eliza kabur dan t
"Mas tidak akan mengabaikan kamu, mas akan sering datang ke rumah mama untuk ketemu kamu," jawab Sandy dengan tersenyum. Tanpa disadari, ia sudah merindukan istri pertamanya itu. "Mas datang ke tempat mama mau ngapain?" tanya Eliza dengan gaya sok polos. "Kita suami istri, mas harus jalankan tugas sebagai suami dengan adil." Lagi-lagi Sandy berkata dengan santai. Dia tidak tahu seperti apa hancur dan terlukanya hati Eliza mendengar ucapannya."Tugas suami seperti apa mas?" Eliza masih terus bertanya agar Sandy menjelaskan secara detail."Sayang, masak gak ngerti. Kita buat adik untuk Ibnu. Mas sudah sangat rindu, sejak adek selesai melahirkan kita belum pernah melakukannya." Akhirnya Sandy berkata dengan blak-blakan."Mas itu seperti Oreo." Eliza menggantung ucapannya. "Seperti Oreo gimana?" Sandy tidak mengerti dengan ucapan istrinya. "Suka celup sana terus kemudian celup sini.Liza ikhlas kok jadi pembantu yang tidak digaji oleh Mama, yang penting hutang lunas. Mas tolong bilang
Eliza menikmati perannya sebagai seorang ibu. Setelah selesai menjemur Noah di pagi hari, Eliza kemudian memandikannya dan menyusui. Bahagia, hanya kata ini yang menggambarkan perasaannya. Kehadiran bayi Noah, mampu mengobati rasa rindu serta mengobati rasa sakit kehilangan anaknya.Eliza tersenyum menatap bayi yang tampan nan rupawan. Setelah selesai mandi, bayi mungil itu terlihat segar. Aroma khas bayi begitu sangat menyenangkan hingga Eliza mencium pipi bayi Noah berulang-ulang kali."Nak ibu mau mandi sebentar, terus ganti baju. Sayang, ibu tunggu sebentar ya jangan nangis." Eliza tersenyum dan mencium pipi bulat bayi tampan tersebut. "Anak ibu pintar sekali." Eliza gemas saat melihat bayi Noah tertawa dengan mulut terbuka. Setelah berpamitan Eliza kemudian pergi ke kamarnya. Namun sebelum itu dia menitipkan bayi tampan itu kepada baby sister. Eliza heran melihat Mawar. Apakah Mawar begitu punya banyak uang sehingga harus membayar baby sister lagi. Padahal dia sudah digaji di
"Sayang, sudah sampai di mana?" tanya Sandy. Jika dulu Eliza sangat senang ketika Sandy memanggilnya sayang, namun sekarang dia merasa perutnya seperti sedang dikocok hingga terasa mual dan ingin muntah. "Ini lagi berhenti di warung makan, mas." Eliza menjawab dengan asal. "Apa sudah sampai di Pekanbaru?" tanya Sandy. "Belum mas masih di jalan." "Sudah sampai di mana ini, sayang?" Sandy sangat penasaran. Ia ingin melakukan video call agar melihat keberadaan istrinya. Namun lagi-lagi handpon jadul Eliza menjadi permasalahannya."Ini udah masuk kabupaten Pelalawan. Sekarang di daerah sorek." Eliza menjelaskan secara detail seakan ia benar-benar sedang berada di dalam perjalanan. Sandy sungguh tidak mengetahui bahwa istri yang dianggapnya bodoh sebenarnya tidak sebodoh yang dia pikir. Bahkan bisa mengarang cerita seperti ini. "Oh mas kirain sudah sampai Pekanbaru. Sayang, mas sangat senang." Sandy akhirnya mengungkapkan perasaannya. Meskipun ini pernikahan yang kedua, namun bersa
"Mas handphone Liza baterainya soak. Nanti rencananya di Pekanbaru Liza mau cari baterai handphone. Ini juga casing-nya udah nggak bagus jadi terpaksa diikat pakai karet biar gak lepas. "Sandi terdiam mendengar perkataan Eliza. Apakah mungkin masih ada toko handphone yang menjual casing dan juga baterai handphone yang dipegang Eliza?"Mas, ini baterainya udah mau mati," kata Eliza ingin segera ingin mengakhiri panggilan telepon bersama dengan Sandy. Karena setiap kali mendengar suaminya itu berbicara entah mengapa rasa sakit di hatinya semakin bertambah kuat. Hingga membuat hatinya terasa berdenyut nyeri "Mas, kamu ngapain, cepat rapikan dulu pakainya. Sebentar lagi acara di mulai."Eliza mendengar suara lembut mendayu-dayu memanggil Sandy. Siapa pemilik suara itu sudah pasti istri keduanya. "Lagi nelpon Eliza sebentar," jawab Sandy dengan jujur."Oh sini handphonenya, Aku ingin ngomong sama Eliza." Mirna berkata dengan wajah tersenyum. Dan hal itu yang membuat Sandy senang. Itu ar
Setelah tertidur cukup lama, Mirna tersadar dari pingsannya. Hal pertama yang dilihatnya hanyalah kesunyian. Persalinan yang lebih cepat dari perencanaan, membuat orang tua berserta keluarganya dari kampung belum datang. Sedangkan Sandy, mungkin saja sudah pergi mencari istri pertamanya. Apakah pria itu sama sekali tidak peduli terhadapnya?Lalu bagaimana dengan mama mertua dan juga kedua kakak ipar? Apakah mama mertua yang dulu katanya sangat menyayangi Mirna sekarang sudah tidak peduli?Mirna baru saja bertarung nyawa melahirkan buah cinta mereka, namun mengapa Sandy pergi tanpa menunggu ia terbangun. Apakah Eliza begitu berharga, sedangkan ia tidak? Begitu banyak pertanyaan yang berputar-putar dibenak kepalanya. Namun tidak ada satupun pertanyaan yang mampu dijawabnya.. Pria itu dingin dan tidak peduli terhadap dirinya. Mirna merasakan kakinya yang seperti kesemutan. Bahkan digerakkan pun sulit. Tenggorokannya kering dan sangat haus. Ia ingin minum namun tidak bisa untuk berger
"Bagus, jangan bertahan sama orang yang tidak berhati. Biarkan saja mereka bahagia dengan kehidupannya sendiri. Kita juga bisa bahagia dengan kehidupan kita sendiri." Perkataan Marwan menjadi isyarat bahwa pria itu mendukung semua yang ingin dilakukan oleh Eliza. "Gimana nak lukanya, apa ada yang mengkhawatirkan?" Marwan bertanya sambil memandang luka-luka di wajah Eliza. "Nggak ada yang serius pa, ini hanya luka ringan saja. Sudah nggak sakit juga. "Eliza tersenyum mengusap pipinya. "Seperti ini lukanya kamu bilang nggak apa-apa?" Nathan langsung memotong perkataan Eliza. Eliza yang dipukul, namun dia merasa kesakitan. Apalagi ketika melihat banyak memar serta luka di kening Eliza yang harus mendapatkan jahitan. Eliza terdiam mendengar perkataan dari Nathan. "Papa harap ini yang terakhir kalinya Eliza diperlakukan seperti ini nak." Marwan berkata dengan raut sedih. Sebagai seorang ayah, dia tidak tega melihat kedua anak perempuannya mendekam di penjara. Perbuatan Tia dan juga
Eliza terkejut memandang pria bertubuh tinggi yang berdiri di ambang pintu. "Papa." Pria itu tersenyum hangat memandang Eliza. Rona bahagia terlihat jelas diwajahnya yang tampan."Papa!" Teriak Eliza sambil berlari dan langsung memeluk Marwan. "Iya nak, bagaimana kondisi Eliza?" Marwan tersenyum sambil mengusap kepala Eliza. Di keluarga Sandy hanya pria inilah yang begitu sangat menyayangi Eliza dan juga Ibnu. Suatu hal yang tidak akan pernah dilupakan oleh Eliza. "Liza baik Pak, maafin Liza yang nggak bisa jagain papa sewaktu sedang sakit," sesal Eliza. "Tidak apa-apa nak, papa ngerti kok seperti apa Kondisi Eliza. Bahkan papa selalu berdoa agar Eliza tidak datang ke rumah. Keputusan Eliza untuk pergi sudah sangat tepat." Marwan berkata dengan raut wajah sedih.Marwan tahu Wati akan menjadikan Eliza babu seumur hidup. Karena itu dia tidak mau Eliza menghabiskan masa muda dan masa depannya bersama dengan suami seperti Sandy. Laki-laki yang tidak memiliki prinsip. "Papa sudah seh
"Eliza kenapa tidak cerita sama mami kalau masalahnya seperti ini?" Mawar langsung bertanya setelah perawatan Kiara pergi."Maaf mi," jawab Eliza sambil menundukkan kepalanya. "Kenapa nggak cerita sama mami?" Mawar memandang Eliza dengan kecewa.Padahal Ia sudah menganggap Eliza sebagai anaknya sendiri. Namun mengapa Eliza tidak mau memberitahukan permasalahan ini kepadanya. Jika seandainya tahu masalah yang dihadapi Eliza, ia akan diselesaikan semuanya. Eliza tidak perlu terluka seperti sekarang. "Maaf mi, niatnya mau selesaikan masalah ini sendiri. Liza ingin menyelesaikan semuanya secara baik-baik. Liza udah nabung uang gaji, agar bisa bayar hutang. Kata ibu Wati, kalau hutang sudah lunas, Liza baru boleh cerai dari Mas Sandy. Liza gak menyangka masalahnya akan jadi seperti ini." Eliza menjelaskan secara singkat. Bagi Mawar, Eliza sangatlah menderita karena mendapat pemukulan hingga seperti ini. Namun bagi Eliza, ini hanya luka kecil. Ibarat kata orang, jika ingin menangkap ika
"Eliza, kamu tidak apa-apa kan?" Mawar tidak bisa menyembunyikan kepanikan di wajahnya. Wanita berwajah cantik itu langsung mengusap wajah Eliza dengan lembut. Jika seandainya Wati beserta kedua anaknya tidak ditahan oleh pihak kepolisian, ketiga wanita itu pasti akan merasakan kekejaman yang dilakukan Mawar. Wanita asal Inggris itu memang tidak pernah melakukan hal yang keji, namun bukan berarti dia tidak pandai membalas perbuatan orang lain hingga 10 kali lipat lebih buruk. "Liza nggak apa-apa Pi, mi." Eliza tersenyum memandang Hermawan dan Mawar."Seperti ini kondisi kamu, masih bilang gak apa-apa?" Nathan berkata dengan marah.Eliza tidak berani memandang Nathan. Sejak tadi pria itu selalu saja mengomelinya hingga telinga Eliza terasa panas. Apa lagi cari Nathan menatapnya, seakan menelannya hidup-hidup."Apa ada luka serius dengan Eliza, Riz?" Mawar bertanya dengan Rizki. Sejak tadi Rizki berdiri di samping dokter yang memeriksa Eliza. Secara tidak langsung ia mengawasi dokt
"Sebentar sus," kata Mawar sambil menghentikan kedua perawat tersebut. "Ada apa Bu?" tanya salah seorang perawat. Mawar mengeluarkan uang 5 juta dari dalam tas nya. "Ini saya ada rezeki untuk kalian berdua." Kedua perawat itu terkejut melihat uang yang diberikan mawar. "Ibu ini uang apa?" Tanya kedua perawat itu secara bersamaan. "Kebetulan ada rezeki, kalian bagi dua," jawab Mawar dengan tersenyum."Tapi sebaiknya tidak usah." Perawat cantik itu menolak uang yang diberikan Mawar. "Tidak boleh menolak rezeki, ini rezeki kalian." Mawar menyodorkan uang ke tangan salah seorang perawat. "Tapi Bu." "Saya tahu kalian itu kerjaannya berat tapi gajinya sedikit. Ini sengaja saya kasih untuk kalian, agar kalian bisa makan enak di akhir bulan." Mawar tersenyum ramah."Ibu baik sekali, terima kasih ya Bu," kata kedua perawat itu dengan sangat bahagia. "Kalau boleh tahu bayi yang lahir cacat itu siapa ya?" Tanya Mawar yang pemasaran."Oh itu Bu, Mas yang duduk di ruang operasi itu. Anak
Tubuhnya lemas seketika. Bahkan kakinya tidak mampu menopang berat badannya sendiri. Pria itu terduduk di lantai dengan wajah yang pucat. "Pak Sandy, Apa Anda baik-baik saja?" tanya Dokter pria tersebut. Sandy diam sambil menggelengkan kepalanya. Jika anaknya sudah dibawa ke ruang bayi terlebih dahulu dan barulah melihatnya, dia pasti akan menuduh pihak rumah sakit telah mengganti anaknya. Namun nyatanya tidak, ia langsung melihat kondisi anaknya yang baru terlahir. Bahkan tubuhnya masih banyak lendir dan juga darah. Ini artinya bayi perempuan yang sedang menangis itu memang benar anaknya. "Pak Sandy, apa anda baik-baik saja?" Dokter itu kembali bertanya karena melihat Sandy yang hanya diam seperti patung. Cukup lama pria itu terdiam dan pada akhirnya sebuah kalimat keluar dari bibirnya. "Apa anak saya cacat?""Iya Pak," dokter itu menjawab sesuai dengan kondisi sang bayi. Sandy berusaha berdiri, dibantu oleh seorang perawat. Dilihatnya wajah bayi perempuannya yang sangat cantik.
Hermawan yang sedang memimpin rapat menghentikan ucapannya ketika asisten pribadinya masuk ke dalam ruangan tersebut. Biasanya asisten pribadinya akan melakukan hal tersebut jika ada sesuatu hal yang dianggap darurat. "Maaf Pak, Ibu Mawar ada di ruangan bapak. Beliau mengatakan ada hal buruk yang terjadi terhadap nona Eliza. Ibu Mawar meminta agar anda segera ke ruangan." Pria bertubuh tinggi itu sedikit membungkuk dan berbisik di dekat telinga Hermawan. Jantung Hermawan seakan berhenti berdetak ketika mendengar apa yang dikatakan oleh asisten pribadinya. Setelah diam beberapa detik barulah Hermawan menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya. "Untuk saat ini rapat saya ditunda," Hermawan beranjak dari duduknya dan langsung keluar dari ruangan. Dengan langkah cepat ia langsung berjalan menuju ke ruangannya. Begitu sampai di ruangannya, Hermawan langsung masuk dan melihat Mawar yang sedang menangis. "Mami, ada apa ini?" Hermawan bertanya dengan wajah cemas. "Papi, Eliza."
"Mereka tidak mungkin di penjara, Eliza tidak akan menuntut mama, dan kakak-kakak, aku. Aku sangat tahu seperti apa sifat Eliza." Sandy berkata dengan yakin."Ya kita lihat saja nanti seperti apa perkembangan kasusnya. Oh iya papa lupa memberitahumu kalau papa akan melakukan akad nikah minggu depan di hotel berlian," kata Marwan."Papa tidak sedang bercanda?" Tanya Sandy dengan nada tidak suka. Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda."Papa tidak bercanda, kamu silakan datang. Acara akad dimulai jam 09.00 pagi dan dilanjut dengan acara resepsi hingga jam 04.00 sore. Namun jika kamu tidak bisa, ya tidak apa-apa.""Papa, aku lagi pusing jadi jangan bercanda seperti ini." Sandy berulang kali menghirup napas panjang dan kemudian menghembuskan secara berlahan-lahan."Papa tidak bercanda, Kamu boleh datang jika tidak percaya." Marwan berkata dengan serius."Mama sedang mengalami musibah pa, begitu juga dengan kedua anak papa. Apa papa tidak punya hati sedikitpun?" Sandy berkata de