Eliza menatap wajah tampan bayi Noah. Meskipun bukan anak yang dilahirkannya, namun rasa sayangnya sudah tumbuh dengan sendirinya."Tadi minum asinya jam berapa sus?" tanya Eliza "Jam 6 pagi mbak Eliza," jawab suster itu dengan tersenyum."Oh berarti sekarang sudah 2 jam ya sus." Eliza melihat jam yang terpajang di dinding. "Iya." "Hai anak ganteng, bangun ini sudah waktunya minum susu." Eliza tersenyum sambil mencolek pipi bayi berwarna pink tersebut."Bu, apa nama bayinya sudah ada?" Eliza memandang Mawar yang berdiri di sebelahnya."Sudah, namanya Noah." Mawar tersenyum memandang cucunya yang sedang tertidur."Enaknya tidur anak ibu." Eliza mencium pipi bayi Noah dengan gemas."Nak, mimik dulu yuk, nanti kalau sudah kenyang tidur lagi." Nathan hanya diam ketika melihat Eliza yang berbicara begitu lembut dengan anaknya.Tiba-tiba saja dia teringat dengan ibu kandung bayi tersebut. Sejak bayi itu lahir hingga sampai saat ini belum satu kalipun bertemu dengan ibu kandungnya. "Noa
Eliza terus saja memperhatikan setiap jalan yang dilewatinya. Hingga mobil memasuki kawasan elit yang mana bangunan rumahnya memiliki bentuk hampir sama. Mobil berhenti di depan pagar tinggi sekitar 2 meter. Tak lama kemudian pintu pagar terbuka secara otomatis tanpa ada petugas yang mendonorkan pagar.Eliza memandang kagum rumah yang dibangun di atas tanah seluas 30.000 m. Rumah senilai 1,4 triliun ini, merupakan rumah termewah di Indonesia. Mobil mewah milik Nathan masuk ke dalam pekarangan dan memberhentikan mobilnya di tempat parkiran khusus. Lagi-lagi Eliza terdiam melihat mobil yang berjejer rapi. Melihat banyaknya mobil yang terparkir, Eliza yakin bahwa Nathan pemilik sorum mobil. "Eliza, kita sudah sampai." Perkataan Mawar menarik kesadaran Eliza yang sempat melamun. "Iya Bu," jawab Eliza yang sedikit terkejut. "Ayo kita turun." Mawar tersenyum memandang Eliza yang masih melongo. Lagi-lagi suara Mawar mengejutkan Eliza yang masih saja terpukau dengan kemewahan rumah te
Eliza berdiri di depan pintu kamar yang sudah terbuka lebar. Meskipun yakin dengan apa yang didengarnya, namun tetap saja Eliza takut untuk melangkah masuk ke dalam kamar. Ini bukan kamar untuk pengasuh bayi. Kamar ini milik tuan rumah atau tamu. Mana mungkin Eliza diberi kamar yang begitu sangat besar dan juga mewah. Pada akhirnya Eliza membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar."Eliza, ada apa?" Tanya Mawar."Bu, kamar saya di mana? Maaf saya salah kamar." Eliza menutup kembali pintu kamar dan memandang Mawar yang berdiri di belakangnya."Kamu tidak salah Kamar, ini memang kamar kamu." Mawar tersenyum dan kemudian pergi."Bu, tunggu." Langkah kaki Mawar terhenti ketika mendengar Eliza memanggilnya. "Ada apa Eliza?""Kamar ini sangat mewah sekali bu. Saya tidak bisa tidur di sini. Saya tidurnya di kamar yang biasa saja." Eliza mengungkapkan unek-unek di hatinya.Sikap Mawar yang begitu sangat baik membuat Eliza merasa tidak enak hati. Padahal pekerjaannya hanyalah seorang pe
"Mirna ada apa?" Wati bertanya ketika melihat Mirna yang keluar kamar dengan marah."Mas Sandy, ma," kata Mirna sambil menunjuk Sandy yang berada di belakangnya dengan mata melotot. Mirna memiliki mata yang besar, jika marah dengan mata melotot terlihat sangat menyeramkan.Sandy diam sambil menelan air ludahnya. Melihat mata istrinya yang melotot seperti akan keluar, sungguh membuat merinding."Sandy, apa yang kamu lakukan terhadap Mirna?" Wati memandang ke arah Sandy. "Mas Sandy memberikan uang ku untuk wanita laknat itu ma." Mirna langsung menjawab sebelum Sandy menjelaskan."Uang kamu diberikan untuk Eliza? apa maksudnya?" Wajah Wati memerah ketika mendengar pengaduan dari Mirna."Semalam kami ke rumah mas Sandy untuk mengambil baju-baju mas Sandy. Saat itu Eliza memanfaatkan situasi untuk merayu mas Sandy dan meminta uang. Perempuan itu sungguh tidak tahu malu." Mirna berkata dengan suara keras. Emosinya meledak-ledak ketika mengetahui Sandy memberi uang untuk istri pertamanya
Sandy merasakan jantungnya berdebar cepat. Kakinya lemas ketika turun dari mobil. Tidak bisa terbayangkan olehnya seperti apa raut wajah kecewa Eliza ketika uang yang sudah diberikan, diambil kembali. Padahal nominal uang yang dia berikan tidaklah besar. Gajinya perbulan 10 juta, hanya dua juta yang diberikan untuk Eliza, namun memang mereka semuanya ribu.Sikap ibu, kedua saudara perempuan serta istrinya yang seperti ini membuat harga dirinya diinjak-injak sebagai laki-laki. "Mah, aku mohon jangan diambil uang itu. Hanya itu uang pegangan untuk Eliza." Sandy berkata sambil memegang tangan wanita yang telah melahirkannya. "Dia akan tinggal di rumah mama. Jadi kamu tidak perlu memikirkan masalah makannya. Semuanya nanti mama yang akan kasih." Wati menepuk dada.Kehadiran Eliza sudah pasti akan merusak kebahagiaan menantu kesayangan dan putra bungsunya. Karena itu Wati harus segera bertindak."Ma, tolong pikir sedikit harga diri aku." Sandy berkata dengan memohon. Bahkan tubuhnya ber
Eliza terbangun ketika hari sudah sore. Tidur di kamar yang begitu sangat mewah seperti ini ditambah lagi suhu di kamar yang dingin karena berasal dari pendingin ruangan membuat tidurnya semakin nyenyak. Eliza baru menyadari bahwa dia tidur dengan selimut tebal. Padahal sebelumnya dia tidak memakai selimut. Lalu siapa yang memberinya selimut? "Nona sudah bangun? " Terdengar suara seorang wanita menyapa. Eliza menoleh ke sebelah kanan dan melihat seorang wanita paruh baya yang memakai seragam pelayan. Hanya saja warna seragamnya berbeda dari yang lainnya. "Iya Bu," jawab Eliza tersenyum sungkan."Panggil saja saya bibi Eli. "Wanita itu tersenyum. "Ya bi," jawab Eliza sambil memandang ke arah wanita tersebut. Wanita itu sedang sibuk menyusun pakaian di dalam lemari. Eliza berangsur duduk dan memandang jam yang tertempel di dinding. Matanya melotot dan juga terkejut ketika mengetahui saat ini sudah jam 03.00 sore. "Bibi Eli, apa sekarang sudah sore?" Eliza mengusap wajahnya dengan
Eliza memandang dress berwarna maroon itu dan kemudian dengan ragu mengambilnya. "Bibi ini bajunya sangat bagus." Eliza memegang bahan baju yang terasa lembut. Ia terkejut ketika melihat Lebel harga dari baju tersebut."Iya nona, tidak apa-apa ini semuanya memang dipakai untuk setiap hari. Baju ini sangat banyak jadi nona bisa menggantinya setiap hari." Dengan ragu Eliza memakai pakaian di kamar mandi. Setelah memakai baju Eliza pun keluar. Kulitnya yang putih bersih tampak begitu sangat cantik memakai dress berwarna maroon. Eliza juga terlihat seperti gadis ABG karena memang usianya masih sangat muda. "Nona Eliza cantik sekali. Nona lebih cocok menjadi mahasiswa atau siswa SMA." Si bibi memandang Eliza sambil tersenyum."Sayangnya saya nggak sampai kuliah bi, cuma lulusan SMA," kata Eliza dengan tersenyum singkat. Pakai ini non." Bibi Eli memberikan bando berwarna maroon.Eliza memandang bando bermotif bunga tersebut."Nona terlihat seperti gadis remaja jika pakai bando ini. Seb
Baru melihat menu yang terhidang saja sudah membuat air liur Eliza seakan menetes. "Silakan duduk nona." Bibi Eli menggesekkan kursi untuk Eliza."Terima kasih bi," jawab Eliza tersenyum canggung. Jujur saja Eliza tidak nyaman di perlakukan seperti nona muda rumah ini. "Bi, kenapa menunya banyak sekali?" Eliza berkata sambil memasukkan nasi kedalam piring."Nyonya besar belum tahu menu yang menjadi favorit nona Eliza, karena itu beliau meminta bagian dapur menyiapkan menu ini. Jadi nona bisa memilih mana yang nona sukai. "Lagi-lagi Eliza tercengang ketika mendengar penuturan dari bibi Eli. Bagaimana mungkin semua menu ini disiapkan karena tidak mengetahui apa yang dia sukai. "Saya suka semua." Eliza tersenyum.Selama menikah dengan Sandi, Eliza tidak pernah diajak makan di restoran. Dan biasanya dia selalu masak menu sederhana guna menghemat anggaran belanja yang diberikan oleh Sandy."Bibi Eli apa mau menemani saya makan?" tanya Eliza. Makan dilihatin seperti ini tentunya membuat
"Apa mas sudah lihat anak kita, dia sangat cantik." Mirna tersenyum ketika mengingat wajah cantik Putrinya.Sandy menganggukkan kepalanya. "Dia cantik sekali."Air matanya menetes dengan sendirinya. Padahal ia sudah berusaha menahan agar air mata itu tidak keluar. Namun tetap saja air matanya tidak bisa di kondisikn. Hatinya perih setiap kali mengingat kondisi bayi cantik tersebut. "Mas, gimana dengan mama, kak Tia dan kak Tina?" Mirna bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Padahal ia sudah tahu seperti apa kasus mama mertua berserta kedua kakak iparnya dari Eliza. Namun tetap saja pura-pura tidak tahu."Pengacara yang membela Eliza menuntut mama yang sudah melakukan penganiayaan terhadap Eliza. Pengacara itu juga menuntut Mama telah melakukan penipuan, terkait masalah piutang. Kemudian juga pemerasan. Tiga kasus berat itu dilayangkan untuk mama. Mama tidak bisa membantah semua tuduhan tersebut karena video ketika dia melakukan pemerasan, penipuan, serta penganiayaan terhadap Eliza s
Apa ia tidak salah lihat. Eliza mengucek matanya berulang-ulang kali untuk memastikan bahwa pandangannya benar-benar bermasalah. Tidak mungkin Nathan yang akan menjadi gurunya. Setahu Eliza, Nathan tidak memiliki kemampuan beladiri."Mau sampai berapa lama berdiri di situ?" Nathan memandang jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Eliza masih diam di tempat dengan ekspresi wajah terkejut. Atau lebih tepatnya ia kecewa karena guru yang akan mengajarnya tidak sesuai dengan harapan. Yang jadi supir pribadi, Nathan. Masak yang jadi guru taekwondo juga Nathan. "Kamu sudah melawati 5 menit." Nathan mengangkat 5 jarinya.Eliza menelan air ludahnya berulang-ulang kali. Harapannya mendapatkan guru yang baik, sabar dan gak pernah marah. Bukan guru galak yang menakutkan seperti ini."Eliza!" Panggil Nathan."Mas Nathan." Eliza menyebut nama sang majikan. Apakah benar bosnya sendiri yang akan menjadi gurunya?Kalau seperti ini bagaimana dengan gaji pelatih?Eliza mengusap keringat di peli
"Dok, istri saya kenapa?" Sandy panik ketika melihat istrinya tegang seperti ini.Dokter Rizki langsung memeriksa kondisi Mirna dan menyuntikkan obat penenang hingga wanita itu kembali tertidur."Bagaimana kondisi istri saya dok?" Sandy bertanya sambil memandang istrinya."Istri anda Shock, namun tidak apa-apa. Saat ini peran Anda sangat dibutuhkan, agar istri anda bisa menerima kenyataan." Hanya Kalimat Ini yang diucapkan oleh dokter berwajah manis tersebut. Sandy menganggukkan kepalanya. "Karena ibunya belum bisa menerima kenyataan tentang kondisi bayinya, sebaiknya bayi ini kami bawa dulu ke ruang bayi." Dokter Rizki berkata sambil mengendong bayi malang tersebut. Sandy menganggukkan kepalanya. Tubuhnya terasa amat lelah dia ingin beristirahat walaupun sejenak. Sandy hanya diam ketika melihat dokter itu menggendong anaknya dan membawanya pergi. "Mengapa harus jadi seperti ini?" Pria itu frustasi dan menarik-narik rambutnya. "Eliza." Sandy kembali mengingat istri pertamanya.
"Buka mulut!"Eliza menelan air liurnya berulang-ulang kali ketika mendengarkan perintah pria yang duduk di depannya. Bagaimana mungkin dia bisa menelan makanannya dengan nikmat jika wajah pria itu terkesan menakutkan. "Eliza, cepat buka mulut!" lagi-lagi pria itu memberi perintah. "Mas, Liza bisa makan sendiri. Bisa nggak sakit kok serius ini nggak sakit sama sekali." Eliza berusaha untuk menolak. "Nggak dengar Mas suruh apa?" Ucapan Nathan menjadi pertanda bahwa pria itu tidak menerima negosiasi."Dengar." Eliza sudah tidak berani protes dan memilih untuk membuka mulutnya. Nathan hanya diam memperhatikan Eliza yang sedang mengunyah nasi di mulutnya. Begitu nasi di mulut Eliza habis, ia kembali memasukkan suapan yang baru. "Mas, Liza bisa makan sendiri." Eliza tetap memaksa untuk makan sendiri namun sayang ucapannya tidak akan dihiraukan oleh Nathan."Mas, Liza sudah kenyang." Eliza menolak suapan terakhir dari Nathan."Satu lagi." Nathan yang tidak kenal kompromi tetap memaks
"Ke kantor polisi, ngapain?" tanya Mirna dengan jantung berdebar-debar. Apa yang terjadi hingga Sandy harus ke kantor polisi."Aku males cerita tentang masalah ini." Eliza menarik napas panjang dan kemudian menghembuskan secara perlahan-lahan."Mbak Mirna ingin tahu ceritanya, coba saja lihat di media sosial atau berita online," saran Eliza.Mirna menurut dan langsung mencari berita tentang Wati. Ia terkejut ketika melihat video Wati menghajar Eliza yang tersebar luas. Bukan hanya Wati, kedua anak perempuannya juga ikut mengeroyok Eliza. Video ini langsung viral padahal baru diunggah 3 jam yang lalu. Begitu banyak masuk komentar dari para netizen yang semuanya menghujat Wati, Tia dan juga Tina."Apakah separah ini?""Ya, zaman sekarang sangat enak sekali untuk mencari keadilan. Dengan seperti itu saja orang sudah menuntut keadilan untuk aku." Eliza tersenyum puas."Apa kamu menjebak mereka?" Mirna menata curiga dengan Eliza."Kalau menjebak, kok bawa polisi."Mirna langsung terdiam
Wajah Mirna pucat pasih mendengar ancaman dari Eliza. "Kau ingin memeras aku?" Eliza tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Aku gak punya niat mengancam atau memeras, hanya saja aku ingin menyelamatkan mbak Mirna."Anggap saja ini cara Eliza mengambil hak nafkah yang seharusnya di berikan Sandy untuknya, justru di rampas Mirna yang seorang pelakor."Jika aku memberikan uang itu kepadamu, kau akan benar-benar menghapus pesan itu?" Mirna mengeratkan giginya. "Tentu, minum dulu mbak." Eliza kembali menyodorkan Mirna Air mineral. "Mbak Mirna lagi emosi, sebaiknya minum dulu biar ada tenaga untuk marah." Eliza kembali berbicara dengan lembut.Mirna sudah tidak mampu menahan rasa haus. Pada akhirnya ia meminum air yang diberikan Eliza. Setelah Mirna meminum seperempat gelas, Eliza kembali meletakkan gelas ke atas meja. "Aku masih haus." Mirna memprotes."Mbak Mirna baru selesai operasi, jadi belum boleh minum banyak. Nanti setelah kentut baru boleh minum dan makan." Eliza berkata
"Kembalikan anakku." Mirna memandang bayi yang saat ini digendong oleh Eliza."Mbak Mirna, aku itu nggak sejahat kamu. Disaat aku menghubungi mas Sandy, kamu tahu namun sengak tidak memberi tahu dia. Setiap pesan yang aku kirim, kamu selalu baca, kamu tahu seperti apa kondisi anakku, tapi kamu sengaja tidak memberi tahu mas Sandy. Namun, Aku tidak akan tega menyakiti anak bayi seperti ini. Dia anak yang tidak bersalah, dia terlahir tanpa dosa. Apapun yang terjadi di antara kita, aku nggak mau membawa dia ke dalam permasalahan kita." Eliza berkata dengan tenang sambil memandang wajah bayi yang sedang tertidur lelap.Eliza sudah melihat seperti apa Kondisi bayi Mirna. Tidak bisa dibayangkannya seperti apa nanti reaksi Mirna ketika melihat kondisi anak yang begitu sangat dia harapkan.Mirna terdiam tanpa bisa membantah perkataan Eliza. Eliza sengaja mengeluarkan handphone jadul dari dalam saku celana. Ia mulai membaca pesan masuk dari Mirna."[Eliza, aku tahu kamu menghubungi handphone
Setelah tertidur cukup lama, Mirna tersadar dari pingsannya. Hal pertama yang dilihatnya hanyalah kesunyian. Persalinan yang lebih cepat dari perencanaan, membuat orang tua berserta keluarganya dari kampung belum datang. Sedangkan Sandy, mungkin saja sudah pergi mencari istri pertamanya. Apakah pria itu sama sekali tidak peduli terhadapnya?Lalu bagaimana dengan mama mertua dan juga kedua kakak ipar? Apakah mama mertua yang dulu katanya sangat menyayangi Mirna sekarang sudah tidak peduli?Mirna baru saja bertarung nyawa melahirkan buah cinta mereka, namun mengapa Sandy pergi tanpa menunggu ia terbangun. Apakah Eliza begitu berharga, sedangkan ia tidak? Begitu banyak pertanyaan yang berputar-putar dibenak kepalanya. Namun tidak ada satupun pertanyaan yang mampu dijawabnya.. Pria itu dingin dan tidak peduli terhadap dirinya. Mirna merasakan kakinya yang seperti kesemutan. Bahkan digerakkan pun sulit. Tenggorokannya kering dan sangat haus. Ia ingin minum namun tidak bisa untuk berger
"Bagus, jangan bertahan sama orang yang tidak berhati. Biarkan saja mereka bahagia dengan kehidupannya sendiri. Kita juga bisa bahagia dengan kehidupan kita sendiri." Perkataan Marwan menjadi isyarat bahwa pria itu mendukung semua yang ingin dilakukan oleh Eliza. "Gimana nak lukanya, apa ada yang mengkhawatirkan?" Marwan bertanya sambil memandang luka-luka di wajah Eliza. "Nggak ada yang serius pa, ini hanya luka ringan saja. Sudah nggak sakit juga. "Eliza tersenyum mengusap pipinya. "Seperti ini lukanya kamu bilang nggak apa-apa?" Nathan langsung memotong perkataan Eliza. Eliza yang dipukul, namun dia merasa kesakitan. Apalagi ketika melihat banyak memar serta luka di kening Eliza yang harus mendapatkan jahitan. Eliza terdiam mendengar perkataan dari Nathan. "Papa harap ini yang terakhir kalinya Eliza diperlakukan seperti ini nak." Marwan berkata dengan raut sedih. Sebagai seorang ayah, dia tidak tega melihat kedua anak perempuannya mendekam di penjara. Perbuatan Tia dan juga