Begitu pulang dari kampus Eliza langsung pulang ke mansion bersama dengan Nathan. Seperti inilah rutinitasnya selama 6 bulan terakhir. Menjalani hidup dengan tenang, nyaman dan bahagia. Di sini semua kesedihan seakan tersapu habis dan digantikan dengan kebahagian. Bahkan dengan mudahnya Eliza melupakan suaminyaTerkadang Eliza merasa heran dengan statusnya. Dia hanya seorang pengasuh namun bos besar yang menjadi sopir pribadi. Setiap kali akan pergi ke manapun Nathan yang selalu mengantar serta menjemputnya. "Eliza cepat ke kemas barang-barang kamu." Mawar langsung memberikan perintah ke petikan Eliza melihat Eliza yang sudah masuk ke dalam rumah. "Siapin barang-barang, kita mau ke mana mi?" tanya Eliza. "Sore ini kita bakalan berangkat ke puncak." Wanita cantik itu duduk dengan anggun dan sambil menikmati teh hangatnya. "Ke puncak mi?" Eliza terkejut ketika mendengar perkataan dari Mawar. Bukankah Sabtu besok, pikirnya. "Jumat ini tanggal merah, karena itu kita berangkat sore.
Untuk pertama kalinya Eliza masuk ke dalam kamar Nathan. Eliza memandang kagum kamar dengan interior berwarna abu-abu yang dikombinasi putih. Kamar tidur dengan konsep kontemporer. Konsep ini menarik karena menciptakan lingkungan yang modern, bersih, dan elegan. Desain yang sederhana dan minimalis serta barang-barang yang teratur dengan rapi, memberikan suasana yang tenang dan santai untuk beristirahat.Eliza memandang kearah tempat tidur king size berwarna hitam. Desain kamar Nathan terkesan lelaki banget. "Apa istrinya yang dulu suka desain kamar seperti ini?" Tanya Eliza dalam hati."Aneh masa foto mantan istri nggak ada terpajang." Eliza hanya melihat beberapa lukisan yang dinilai memiliki harga yang tinggi. Ya sudahlah, ia tidak boleh terlalu memikirkan urusan orang lain. Eliza mulai mengemasi barang-barang yang akan dibawa oleh Nathan. Setelah yakin semua barang yang dibutuhkan sudah dimasukkan kedalam travel bag, Eliza kemudian keluar dari kamar. Untuk meminta bantuan kepada p
Pria itu memandang foto berukuran 3X4 itu dengan serius. "Sepertinya gak ada mas, apa istrinya kuliah di sini?" Tanya pria yang duduk di kasir tersebut.Sandy menggelengkan kepalanya. "Dia ke Pekanbaru dan tinggal di kosan temannya. Kosan temannya berada di jalan balam sakti," jawab Sandy."Pondokan apa mas?" Sandy menggeleng-gelengkan kepalanya. Saya lupa menanyakan nama kosannya. "Disini sangat banyak kos-kosan mas," kata pria berkumis tersebut.Sandy terdiam mendengar perkataan si pemilik warung. "Coba dilihat lagi mas, mana tahu bisa ingat." Sandy kembali mendekatkan foto istrinya ke pedagang tersebut.Pria itu kembali memandang foto Eliza. Kemudian menggelengkan kepalanya. "Saya sangat ingat dengan pelanggan yang biasa datang ke sini. Hampir rata-rata mahasiswa yang tinggal di jalan balam ini, pasti makan di sini." "Terimakasih mas," jawab Sandy. Mungkin si penjual ayam penyet benar, kalau Eliza tidak pernah datang ke sini. Apalagi Eliza mengatakan bahwa ia hanya makan denga
Nathan menikmati secangkir coklat hangat sambil memeluk putranya. Bayi tampan itu kalau tertidur memang sangat lelap. Noah bahkan sedikitpun tidak menghiraukan suara berisik. "Mas, Noah biar Liza yang pegang." Eliza tersenyum memandang Noah sedang terlelap."Nggak usah," tolak Nathan.Udara yang dingin membuat bayi mungil itu merasa nyaman tidur dalam dekapan sang Daddy."Tangan mas pasti pegal kalau gendong Noah terlalu lama. Biar Liza yang pegang Noah." Lagi-lagi Eliza menawarkan jasa."Di mobil tadi kamu sudah lama peluknya Noah, sekarang giliran saya."Nathan tahu Eliza sudah lelah memegang putranya. Karena itu ia ingin Eliza beristirahat sejenak."Sewaktu dimobil kita gantian." Eliza mengingatkan Nathan. Mawar dan Hermawan tidak ikut berbicara. Pasangan suami istri itu lebih memilih memperhatikan Eliza dan juga Nathan.Jika mereka di luaran mungkin semua orang akan beranggapan bahwa Eliza, istri Nathan. Karena memang Mereka terlihat begitu sangat mesra layaknya pasangan bahagia
Nathan tersenyum sambil meneguk minuman coklat. Ia sudah tidak sabar menunggu Eliza kembali dan memberikan laporan. Sesuai prediksi, Eliza kembali dalam waktu hitungan menit. "Apa sudah selesai?" Nathan bertanya seolah-olah tidak tahu dengan situasi di villa ini. Eliza kembali dengan wajah kesal. Niatnya membersihkan kamar, namun ia terkejut ketika melihat kamar yang begitu sangat bersih. Padahal dia beranggapan kamar di villa ini pasti banyak debu, mengingat sangat jarang di tempati. Di kamar Itu juga sudah tersedia selimut serta bantal. Kalau begitu untuk apa Eliza membawa dari rumah. Karena memang satu koper berisi selimut untuk mereka. "Kenapa nggak kasih tahu, kalau kamarnya sudah dibersihin. Alas tempat tidur, bantal dan selimut juga sudah ada." Nathan tertawa mendengar perkataan Eliza. Begitu juga dengan Mawar. Wajah Eliza sangat lucu dengan bibir yang maju beberapa senti. Sehingga membuat Mawar gemas sendiri. Sedangkan Hermawan bersusah payah menahan ketawa hingga perutn
"Sudah larut, kita istirahat," kata Hermawan setelah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Saat ini sudah menunjukkan jam 11 malam."Iya Pi, mas Noah minta ya." Eliza bersiap mengambil Noah dari tangan Nathan. Namun sayangnya pria itu semakin menjauhkan anaknya."Noah biar tidur dengan saya," kata Nathan. Eliza cukup terkejut mendengar perkataan Nathan. "Noah sudah bangun tengah malam dan minta susu.""Nanti saya akan kasih, stok asi masih ada," kata Nathan dengan santainya."Iya ada," jawab Eliza. "Sudah biarkan aja Noah sama Daddy nya. Ayo tidur." Mawar tersenyum sambil mengusap kepala Eliza. Eliza hanya diam dan terlihat kebingungan.Rasanya sangat tidak sopan, jika membiarkan Noah tidur bersama dengan Nathan. Walau bagaimanapun Eliza, ibu susu Noah. Eliza juga Ibu pengasuhnya. "Nggak apa sekali-kali Noah tidur dengan daddy-nya. Malam ini kamu bisa tidur dengan nyenyak." Setelah mengatakan hal tersebut, Mawar tersenyum dan kemudian pergi bersama dengan Hermawan
Melihat foto yang tempel dihalaman depan membuatnya semakin merasa bersalah. Untuk foto dibuku nikah saja, ia tidak mau membaca Eliza ke studio foto. Padahal Eliza meminta foto studio dan agar bisa membuat foto keluarga.Hanya permintaan sederhana, namun tidak bisa diwujudkannya. Sekarang putranya juga tidak ada. Itu artinya mereka tidak akan pernah bisa berfoto bersama lagi. Andaikan foto Ibnu masih tersimpan di handphone nya, Sandy masih bisa membuat foto tempel wajah. Yang terpenting formasi lengkap. Lamunan pria itu buyar ketika mendengar suara dering ponselnya. Disana tertulis nama my darling.Sandy diam beberapa saat dan kemudian menerima telepon."Halo," jawab Sandy. "Halo mas, kamu di mana? Aku sudah sampai dirumah tapi kamu tidak ada. Apa kamu sedang di luar cari makanan?" Mirna bertanya dengan suara lembut dan manja.Sandy diam beberapa saat. Tubuhnya sangat lelah, pikiran kacau dan emosi tidak stabil. Jika berbicara dengan Mirna, sudah pasti mereka akan berdebat dan be
Untuk pertama kalinya Eliza tidur tidak bersama Noah. Awalnya ia beranggapan bisa tidur nyenyak. Namun ternyata tidak, Eliza merasa tidak tenang dan selalu memikirkan bayi Noah. Ingin rasanya Eliza keluar dari kamar dan kemudian mengetuk pintu kamar Nathan. Namun hal itu pasti dinilai tidak sopan. Dia harus tahu menjaga batasan antara dirinya dan juga Nathan."Apa beneran Mas Nathan bisa mengamankan Noah kalau nangis? "Eliza meragukan kemampuan Nathan dalam merawat anaknya. Eliza mencoba memejamkan mata namun tetap saja dia tidak bisa tertidur. Di kawasan puncak suhu dimalam hari terasa sangat dingin. Membuat perut terasa lapar. Jika perutnya lapar seperti ini sudah pasti tidak akan bisa tidur. Karena itu ia memutuskan untuk membuat mie instan rebus di dapur.Eliza keluar dari kamar dan mencari mie instan didalam lemari. Senyum mengembang di bibir Eliza ketika melihat mie instan dengan berbagai rasa. Eliza berencana membuat Mie rebus pakai telur setengah matang dan juga cabe rawit.
Setelah tertidur cukup lama, Mirna tersadar dari pingsannya. Hal pertama yang dilihatnya hanyalah kesunyian. Persalinan yang lebih cepat dari perencanaan, membuat orang tua berserta keluarganya dari kampung belum datang. Sedangkan Sandy, mungkin saja sudah pergi mencari istri pertamanya. Apakah pria itu sama sekali tidak peduli terhadapnya?Lalu bagaimana dengan mama mertua dan juga kedua kakak ipar? Apakah mama mertua yang dulu katanya sangat menyayangi Mirna sekarang sudah tidak peduli?Mirna baru saja bertarung nyawa melahirkan buah cinta mereka, namun mengapa Sandy pergi tanpa menunggu ia terbangun. Apakah Eliza begitu berharga, sedangkan ia tidak? Begitu banyak pertanyaan yang berputar-putar dibenak kepalanya. Namun tidak ada satupun pertanyaan yang mampu dijawabnya.. Pria itu dingin dan tidak peduli terhadap dirinya. Mirna merasakan kakinya yang seperti kesemutan. Bahkan digerakkan pun sulit. Tenggorokannya kering dan sangat haus. Ia ingin minum namun tidak bisa untuk berger
"Bagus, jangan bertahan sama orang yang tidak berhati. Biarkan saja mereka bahagia dengan kehidupannya sendiri. Kita juga bisa bahagia dengan kehidupan kita sendiri." Perkataan Marwan menjadi isyarat bahwa pria itu mendukung semua yang ingin dilakukan oleh Eliza. "Gimana nak lukanya, apa ada yang mengkhawatirkan?" Marwan bertanya sambil memandang luka-luka di wajah Eliza. "Nggak ada yang serius pa, ini hanya luka ringan saja. Sudah nggak sakit juga. "Eliza tersenyum mengusap pipinya. "Seperti ini lukanya kamu bilang nggak apa-apa?" Nathan langsung memotong perkataan Eliza. Eliza yang dipukul, namun dia merasa kesakitan. Apalagi ketika melihat banyak memar serta luka di kening Eliza yang harus mendapatkan jahitan. Eliza terdiam mendengar perkataan dari Nathan. "Papa harap ini yang terakhir kalinya Eliza diperlakukan seperti ini nak." Marwan berkata dengan raut sedih. Sebagai seorang ayah, dia tidak tega melihat kedua anak perempuannya mendekam di penjara. Perbuatan Tia dan juga
Eliza terkejut memandang pria bertubuh tinggi yang berdiri di ambang pintu. "Papa." Pria itu tersenyum hangat memandang Eliza. Rona bahagia terlihat jelas diwajahnya yang tampan."Papa!" Teriak Eliza sambil berlari dan langsung memeluk Marwan. "Iya nak, bagaimana kondisi Eliza?" Marwan tersenyum sambil mengusap kepala Eliza. Di keluarga Sandy hanya pria inilah yang begitu sangat menyayangi Eliza dan juga Ibnu. Suatu hal yang tidak akan pernah dilupakan oleh Eliza. "Liza baik Pak, maafin Liza yang nggak bisa jagain papa sewaktu sedang sakit," sesal Eliza. "Tidak apa-apa nak, papa ngerti kok seperti apa Kondisi Eliza. Bahkan papa selalu berdoa agar Eliza tidak datang ke rumah. Keputusan Eliza untuk pergi sudah sangat tepat." Marwan berkata dengan raut wajah sedih.Marwan tahu Wati akan menjadikan Eliza babu seumur hidup. Karena itu dia tidak mau Eliza menghabiskan masa muda dan masa depannya bersama dengan suami seperti Sandy. Laki-laki yang tidak memiliki prinsip. "Papa sudah seh
"Eliza kenapa tidak cerita sama mami kalau masalahnya seperti ini?" Mawar langsung bertanya setelah perawatan Kiara pergi."Maaf mi," jawab Eliza sambil menundukkan kepalanya. "Kenapa nggak cerita sama mami?" Mawar memandang Eliza dengan kecewa.Padahal Ia sudah menganggap Eliza sebagai anaknya sendiri. Namun mengapa Eliza tidak mau memberitahukan permasalahan ini kepadanya. Jika seandainya tahu masalah yang dihadapi Eliza, ia akan diselesaikan semuanya. Eliza tidak perlu terluka seperti sekarang. "Maaf mi, niatnya mau selesaikan masalah ini sendiri. Liza ingin menyelesaikan semuanya secara baik-baik. Liza udah nabung uang gaji, agar bisa bayar hutang. Kata ibu Wati, kalau hutang sudah lunas, Liza baru boleh cerai dari Mas Sandy. Liza gak menyangka masalahnya akan jadi seperti ini." Eliza menjelaskan secara singkat. Bagi Mawar, Eliza sangatlah menderita karena mendapat pemukulan hingga seperti ini. Namun bagi Eliza, ini hanya luka kecil. Ibarat kata orang, jika ingin menangkap ika
"Eliza, kamu tidak apa-apa kan?" Mawar tidak bisa menyembunyikan kepanikan di wajahnya. Wanita berwajah cantik itu langsung mengusap wajah Eliza dengan lembut. Jika seandainya Wati beserta kedua anaknya tidak ditahan oleh pihak kepolisian, ketiga wanita itu pasti akan merasakan kekejaman yang dilakukan Mawar. Wanita asal Inggris itu memang tidak pernah melakukan hal yang keji, namun bukan berarti dia tidak pandai membalas perbuatan orang lain hingga 10 kali lipat lebih buruk. "Liza nggak apa-apa Pi, mi." Eliza tersenyum memandang Hermawan dan Mawar."Seperti ini kondisi kamu, masih bilang gak apa-apa?" Nathan berkata dengan marah.Eliza tidak berani memandang Nathan. Sejak tadi pria itu selalu saja mengomelinya hingga telinga Eliza terasa panas. Apa lagi cari Nathan menatapnya, seakan menelannya hidup-hidup."Apa ada luka serius dengan Eliza, Riz?" Mawar bertanya dengan Rizki. Sejak tadi Rizki berdiri di samping dokter yang memeriksa Eliza. Secara tidak langsung ia mengawasi dokt
"Sebentar sus," kata Mawar sambil menghentikan kedua perawat tersebut. "Ada apa Bu?" tanya salah seorang perawat. Mawar mengeluarkan uang 5 juta dari dalam tas nya. "Ini saya ada rezeki untuk kalian berdua." Kedua perawat itu terkejut melihat uang yang diberikan mawar. "Ibu ini uang apa?" Tanya kedua perawat itu secara bersamaan. "Kebetulan ada rezeki, kalian bagi dua," jawab Mawar dengan tersenyum."Tapi sebaiknya tidak usah." Perawat cantik itu menolak uang yang diberikan Mawar. "Tidak boleh menolak rezeki, ini rezeki kalian." Mawar menyodorkan uang ke tangan salah seorang perawat. "Tapi Bu." "Saya tahu kalian itu kerjaannya berat tapi gajinya sedikit. Ini sengaja saya kasih untuk kalian, agar kalian bisa makan enak di akhir bulan." Mawar tersenyum ramah."Ibu baik sekali, terima kasih ya Bu," kata kedua perawat itu dengan sangat bahagia. "Kalau boleh tahu bayi yang lahir cacat itu siapa ya?" Tanya Mawar yang pemasaran."Oh itu Bu, Mas yang duduk di ruang operasi itu. Anak
Tubuhnya lemas seketika. Bahkan kakinya tidak mampu menopang berat badannya sendiri. Pria itu terduduk di lantai dengan wajah yang pucat. "Pak Sandy, Apa Anda baik-baik saja?" tanya Dokter pria tersebut. Sandy diam sambil menggelengkan kepalanya. Jika anaknya sudah dibawa ke ruang bayi terlebih dahulu dan barulah melihatnya, dia pasti akan menuduh pihak rumah sakit telah mengganti anaknya. Namun nyatanya tidak, ia langsung melihat kondisi anaknya yang baru terlahir. Bahkan tubuhnya masih banyak lendir dan juga darah. Ini artinya bayi perempuan yang sedang menangis itu memang benar anaknya. "Pak Sandy, apa anda baik-baik saja?" Dokter itu kembali bertanya karena melihat Sandy yang hanya diam seperti patung. Cukup lama pria itu terdiam dan pada akhirnya sebuah kalimat keluar dari bibirnya. "Apa anak saya cacat?""Iya Pak," dokter itu menjawab sesuai dengan kondisi sang bayi. Sandy berusaha berdiri, dibantu oleh seorang perawat. Dilihatnya wajah bayi perempuannya yang sangat cantik.
Hermawan yang sedang memimpin rapat menghentikan ucapannya ketika asisten pribadinya masuk ke dalam ruangan tersebut. Biasanya asisten pribadinya akan melakukan hal tersebut jika ada sesuatu hal yang dianggap darurat. "Maaf Pak, Ibu Mawar ada di ruangan bapak. Beliau mengatakan ada hal buruk yang terjadi terhadap nona Eliza. Ibu Mawar meminta agar anda segera ke ruangan." Pria bertubuh tinggi itu sedikit membungkuk dan berbisik di dekat telinga Hermawan. Jantung Hermawan seakan berhenti berdetak ketika mendengar apa yang dikatakan oleh asisten pribadinya. Setelah diam beberapa detik barulah Hermawan menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya. "Untuk saat ini rapat saya ditunda," Hermawan beranjak dari duduknya dan langsung keluar dari ruangan. Dengan langkah cepat ia langsung berjalan menuju ke ruangannya. Begitu sampai di ruangannya, Hermawan langsung masuk dan melihat Mawar yang sedang menangis. "Mami, ada apa ini?" Hermawan bertanya dengan wajah cemas. "Papi, Eliza."
"Mereka tidak mungkin di penjara, Eliza tidak akan menuntut mama, dan kakak-kakak, aku. Aku sangat tahu seperti apa sifat Eliza." Sandy berkata dengan yakin."Ya kita lihat saja nanti seperti apa perkembangan kasusnya. Oh iya papa lupa memberitahumu kalau papa akan melakukan akad nikah minggu depan di hotel berlian," kata Marwan."Papa tidak sedang bercanda?" Tanya Sandy dengan nada tidak suka. Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda."Papa tidak bercanda, kamu silakan datang. Acara akad dimulai jam 09.00 pagi dan dilanjut dengan acara resepsi hingga jam 04.00 sore. Namun jika kamu tidak bisa, ya tidak apa-apa.""Papa, aku lagi pusing jadi jangan bercanda seperti ini." Sandy berulang kali menghirup napas panjang dan kemudian menghembuskan secara berlahan-lahan."Papa tidak bercanda, Kamu boleh datang jika tidak percaya." Marwan berkata dengan serius."Mama sedang mengalami musibah pa, begitu juga dengan kedua anak papa. Apa papa tidak punya hati sedikitpun?" Sandy berkata de