Tik! Tik!Suara rintik hujan menjadi alunan melodi merdu di rumah sederhana yang ditempati Egar dan Ilona. Musim hujan tampaknya masih lama, setiap hari selalu hujan.Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di dapur, Ilona tengah sibuk menyiapkan makan malam ketika Egar yang duduk di meja makan menikmati kopi menunggu makan malam, tiba-tiba menggumam dengan nada gelisah."Tapi, kenapa feelingku mengatakan lain ya…"Ilona menghentikan gerakan tangannya, menatap suaminya dengan kening berkerut. "Ada apa?"Egar mendesah, melepas jaketnya lalu berjalan mendekati Ilona. "Lokasi yang Mama pilih ternyata tidak jauh dari sini. Seolah-olah itu memang sudah Mama rencanakan sejak awal. Kita selama ini tidak menyadari kalau kita diawasi.""Mungkinkan semua gangguan yang kita dapat juga rekayasa dari mama?" tanya Egar lagi, seperti bertanya pada dirinya sendiri.Ilona membelalakkan mata. "Di mana?""Di daerah perkampungan sebelah. Ada tanah luas kosong di sana, ternyata sudah dibeli oleh Amigos G
Mentari baru saja naik ketika Egar mengurungkan niatnya untuk pergi ke gudang pengolahan ikan. Langkahnya yang semula mantap tiba-tiba terhenti di ambang pintu. Pikirannya dipenuhi kecemasan, membuatnya memutar balik dan kembali masuk ke dalam rumah.“Apa yang sebenarnya Mama rencanakan?” gumamnya, tatapannya tajam menatap lantai.Ilona, yang sedang memeluk Yumi, menoleh dengan cemas. Suaminya terlihat gelisah, lebih dari biasanya.Egar menghela napas panjang. “Hidup ini ternyata begitu berat. Mama sengaja membiarkan kita merasa tenang setahun ini, hanya untuk menyerang saat kita lengah. Kenapa Mama jadi seperti seorang psikopat? Padahal aku ini anaknya sendiri…”Ilona tetap diam, tangannya mengeratkan pelukan pada Yumi. Ketakutan begitu nyata di matanya.Ia tahu, Nyonya Bira tidak benar-benar menginginkan Yumi karena cinta. Wanita itu hanya melihat Yumi sebagai alat untuk mencapai tujuannya—harta peninggalan Gia. Jika Yumi kembali ke tangan Nyonya Bira, dia pasti akan mengalami kehid
Egar menatap ibunya dengan mata yang penuh luka. Ia benar-benar tidak mengerti, seberapa banyak lagi harta yang diinginkan wanita itu?"Ma, apakah harta yang Mama miliki itu masih kurang? Untuk apa mama menumpuk harta sebanyak itu, mau dibawa kemana? Mama hanya seorang diri," tanyanya lemah, suaranya hampir bergetar.Nyonya Bira tersenyum miring. Senyum khasnya—dingin, penuh perhitungan. "Cukup," jawabnya santai.Egar mengepalkan tangan. "Kalau cukup, kenapa Mama masih saja sibuk dengan harta peninggalan Gia? Bahkan aku sendiri tidak mau mengusiknya. Semua untuk Yumi nanti. Jika aku dan Ilona tidak bisa memberikan dia harta, setidaknya dia sudah memiliki segalanya dari peninggalan ibunya."Ia berusaha menahan emosinya, tapi dadanya sesak.Seharusnya ia tidak pernah memberitahu ibunya bahwa Ilona sedang hamil. Seharusnya ia tahu, kabar itu hanya akan membuat Nyonya Bira semakin gila.Sekarang, Ilona masih terbaring di dalam kamar. Egar belum sempat melihatnya sadar atau tidak, belum se
Egar berdiri tegak di depan ibunya, tubuhnya menegang seperti benteng kokoh yang siap menghadang badai."Ma, silakan pergi," usirnya, suaranya bergetar menahan amarah.Namun, seperti yang sudah diduganya, Nyonya Bira tidak bergeming."Aku tidak akan pergi!" balas wanita itu dengan tatapan penuh keyakinan.Egar menghela napas panjang, mencoba menahan diri agar tidak meledak. "Apa mau Mama?" tanyanya frustasi.Selama ini, ia selalu memilih menghindar, selalu mengalah demi menjaga kedamaian. Jika ibunya mulai menuntut sesuatu yang tidak masuk akal, ia memilih pergi, menghilang dari rumah selama beberapa hari, membiarkan segalanya mereda dengan sendirinya. Tapi kali ini berbeda.Ini rumahnya. Kemana lagi ia harus pergi? Apalagi Ilona, istrinya, sedang hamil. Ia tidak bisa terus berlari.Nyonya Bira tersenyum tipis. "Membawa Yumi pergi! Kalau kalian memberikan Yumi, Mama akan membatalkan pembangunan perusahaan itu," jawabnya santai, seolah sedang menawarkan kesepakatan bisnis yang menguntu
PLAK! PLAK!Tamparan itu mendarat keras di wajah Egar. Pipinya terasa panas, tapi bukan hanya karena rasa sakitnya—melainkan karena penghinaan yang tersemat di dalamnya. Emosinya akan semakin meledak jika diingatkan dengan kejadian itu."Jangan pernah menyebut wanita jalang dan anak haram itu lagi!" suara Nyonya Bira meledak, penuh kebencian yang selama ini ia pendam.Egar menatap ibunya dengan mata berkilat marah. "Jangan pernah mencoba merebut Yumi, dan aku tidak akan mengingat hal itu. Aku juga hanya ingin Mama tahu bagaimana rasanya kalau seseorang yang berharga direbut. Mama sudah merasakannya, jadi aku yakin kalau Mama tahu perasaanku," balasnya, suaranya rendah namun penuh peringatan.Nyonya Bira menyeringai sinis. "Itu dua hal yang berbeda. Kau tidak bisa menyamakannya, Yumi adalah cucuku. Wajar kalau seorang nenek ingin merawat cucunya, memberikan yang terbaik yang tidak bisa kalian berikan.""Sama saja, keduanya sama-sama rasa sakit saat kehilangan orang yang disayangi," jaw
Egar menggenggam tangan Ilona erat saat mereka keluar dari ruang praktek dokter kandungan. Senyumnya hangat, mencoba menenangkan istrinya yang baru saja mendapat kabar baik tentang kehamilannya.Akhirnya, baru hari ini mereka sempat memeriksakan Ilona ke dokter. Memang hasil testpack menunjukkan garis dua, tapi mereka ingin tahu usia dan kondisi kandungannya."Kamu jangan stres, jangan pikirkan semua masalah. Aku pasti akan menyelesaikannya," ujar Egar lembut.Ilona mengangguk, meskipun dalam hatinya, pikirannya masih terus berkecamuk. Bagaimana dia bisa tenang? Akankah mereka harus kehilangan Yumi? Bagaimana bisa bahagia? Sejak kecil Yumi berada dalam dekapannya.Mereka berdua berjalan perlahan menuju parkiran, tempat motor tua Egar terparkir. Yumi mereka titipkan kepada Bu Sari, beliau juga merasa sangat senang menjaga Yumi. Beliau menganggap Yumi seperti cucunya sendiri. Ilona dan Egar tidak mungkin membawa serta Yumi ke rumah sakit, apalagi dengan kondisi Ilona yang masih rentan
"Hari ini kalian tidak bisa mengelak!" ujar Nyonya Bira dengan bersedekap dada.Nyonya Bira berdiri di teras rumah Egar dan Ilona, matanya menatap tajam ke arah putranya. Wajahnya menunjukkan ketidaksabaran yang jelas. Ia menolak masuk, seolah udara di rumah sederhana itu membuatnya sesak."Silakan duduk, Ma," tawar Egar berbasa basi mempersilakan ibunya duduk pada dua kursi yang ada di teras."Ogah, alergi!""Rumah ini bersih, Ma.""Ternyata miskin itu menular," sindir Nyonya Bira menatap sang anak sambil tersenyum mengejek."Yang penting gak jahat."Nyonya Bira membulatkan matanya ketika mendengar Egar begitu santai menjawab semua perkataannya. "Rumah jelek, mengontrak, hidup susah. Entah apa yang kau cari dengan wanita itu," keluhnya menatap iba Egar.Namun, Egar tidak terprovokasi dengan apa yang ibunya katakan. Dia tetap tersenyum."Aku menjemput Yumi!" seru Nyonya Bira lantang.Dia tidak bisa berlama-lama lagi disini, udara kemiskinan itu begitu menyesakkan baginya.Egar, yang
"Sudah selesai?" tanya Ilona pelan. "Iya." Ceklek! Pintu terbuka dari dalam, Yumi langsung berlari keluar, seperti baru saja dibebaskan dari kurungan. "Mama sudah pergi," ucap Egar dengan pelan.Ilona menatap suaminya dengan cemas, matanya menyelidik seolah ingin memastikan apakah yang barusan dikatakan Egar memang benar. Namun, tatapan kosong dan napas berat yang dihembuskan pria itu cukup menjadi jawaban.Sementara itu, suara tawa kecil menggema di halaman depan. Yumi berlarian dengan ceria, seolah dunia di sekelilingnya hanya dipenuhi kebahagiaan. Gadis kecil itu baru saja keluar dari kamar setelah berjam-jam dikurung oleh ibunya, Ilona, yang mencoba melindunginya dari ancaman Nyonya Bira."Yumi, hati-hati, Nak," Ilona mengingatkan.Namun, seperti biasa, gadis kecil itu terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Kakinya terus berlari di atas tanah berumput, tangannya terentang menikmati kebebasan sesaat."Dia tidak mengerti apa-apa. Dia anak kecil yang hanya tahu bermain," gumam E
Sehari…Dua hari…Tiga hari…Bahkan hingga seminggu penuh, tak ada satu kabar pun datang dari Anita. Rumah milik Egar dan Ilona yang sebelumnya mulai terasa tenang kembali tegang, seperti ada awan hitam yang menggantung di atas atapnya. Setiap denting jam seolah menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan tanpa kejelasan.Nyonya Bira tak tinggal diam. Ia hampir setiap hari datang, wajahnya dipenuhi amarah yang terpendam. Ia bukan sekadar ibu mertua yang cerewet, tetapi wanita yang merasa hidupnya penuh kendali dan kini merasa semuanya mulai goyah.“Kau masih belum dengar apa pun dari dia?” tanyanya tajam begitu melangkah masuk, tanpa basa-basi.Ilona yang tengah menyapu halaman hanya menunduk. Egar keluar dari dapur, mendengar nada tinggi ibunya dan merasa lelah menghadapi sikap yang terus menyudutkan istrinya.“Ma, bukankah sekarang tidak ada lagi berita, tuntutan, ataupun tuduhan kepada Mama. Untuk apa mencari tahu?” tanya Egar dengan nada tegas. “Semua seperti menguap. Harusnya Ma
Mobil hitam itu semakin menjauh, membawa Anita kembali ke dunia lamanya—dunia penuh gengsi, tanggung jawab besar, dan luka masa lalu yang belum sembuh. Tapi di depan rumah di kota pinggir ini, badai lain sedang meletus dalam diam.Ilona masih berdiri terpaku. Angin siang itu menyibak rambutnya yang dibiarkan tergerai. Di balik matanya yang tenang, pikirannya berkecamuk hebat. Suara Anita—panggilan lembut dan penuh cinta—masih menggema. Tapi juga, bayangan masa kecilnya kembali muncul, ketika ia harus tumbuh tanpa ibu kandung, diasuh oleh orang lain, tanpa tahu siapa dirinya sebenarnya.“Sekarang kau bangga karena ternyata punya ibu yang hebat?” tanya Nyonya Bira tajam, mengoyak lamunan Ilona.Wanita paruh baya itu tampak menatap Ilona dengan tatapan sinis, masih penuh kebencian. Meskipun sudah tahu kalau Ilona memiliki orang tua yang jelas, bahkan lebih kaya dan lebih berpengaruh darinya.Ilona menoleh perlahan, matanya kini dingin dan kosong. “Aku biasa saja, Ma.”“Pastilah, kau itu
Tangis Anita masih belum sepenuhnya reda. Pelukan Ilona, panggilan “Mama” yang begitu lama ia nantikan, kini benar-benar ia dengar dengan telinganya sendiri. Bukan dalam mimpi, bukan hanya bayangan kosong penuh harap di malam-malam panjang yang sepi. Hari ini, keajaiban itu nyata.“Terima kasih, Nak,” ucap Anita sambil menghapus air matanya, mencoba tersenyum di tengah guncangan emosinya.Ilona tidak menjawab. Hanya senyuman tipis yang ia berikan, namun di balik senyuman itu ada seribu luka yang perlahan mulai terobati. Di belakang mereka, Egar berdiri memperhatikan. Wajahnya penuh rasa lega, dan matanya pun tak mampu menahan bulir air bening yang akhirnya jatuh perlahan di pipinya.Hubungan yang awalnya penuh keraguan, kini mulai merekat, sedikit demi sedikit.Namun suasana penuh haru itu seketika diusik.“Ya ampun, seperti di sinetron saja,” sindir suara yang sangat dikenali. “Padahal hanya kembali ke ibu kota dan bisa balik lagi ke sini, tapi pelukannya seperti orang yang tidak bak
Ruang tamu yang sebelumnya penuh dengan ketegangan kini terasa jauh lebih sunyi. Setelah semua percakapan meledak dan terbongkar, yang tersisa hanyalah perasaan-perasaan yang belum terucap. Perasaan tak percaya, penyesalan, dan kegundahan menggantung di udara.Jojo, sopir sekaligus asisten pribadi Anita, kembali memasuki ruangan setelah sibuk berbicara di telepon. Dengan nada sopan dan tenang, ia melapor,"Nyonya, penerbangan jam dua siang ini sudah dikonfirmasi."Anita mengangguk pelan. "Oke. Tapi, kamu disini menjaga Ilona."“Tapi, Nyonya—““Kalau begitu, carikan seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga Ilona dan Egar disini,” potong Anita secepatnya.Dia tidak bisa meninggalkan Ilona tanpa penjagaan, dia ingin melindungi anaknya. Apalagi, dia tidak bisa mempercayai mertua Ilona.“Baik, Nyonya,” jawab Jojo patuh dan kembali sibuk dengan ponselnya, mencari seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga majikan baru mereka, Ilona, Egar dan anak-anak mereka. Karena, Jojo harus selalu menda
Ruangan itu hening, tapi ketegangannya terasa seperti bara api yang perlahan membakar udara. Di tengah suasana tegang itu, Nyonya Bira masih berdiri dengan dada terangkat tinggi, senyuman sinis menghiasi wajahnya.Pandangannya tajam tertuju pada wanita berpenampilan sederhana yang berdiri tak jauh dari Ilona. Wanita itu mengenakan gamis sederhana berwarna pastel, wajahnya pucat namun menyimpan ketenangan yang misterius."Nyonya? Jadi ini mamanya atau majikannya?" tanya Nyonya Bira dengan nada menyindir, matanya melirik ke arah Ilona yang masih belum berkata apa-apa.“Katanya ibu kandungnya, tapi dipanggil Nyonya.”Senyum liciknya mengembang seiring ia melihat ekspresi kikuk Ilona. Dalam hatinya, Nyonya Bira sudah menyimpulkan semuanya—bahwa kehadiran wanita bernama Anita ini bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh Ilona. Ia percaya bahwa Anita hanyalah bayang-bayang dari masa lalu yang memalukan, seseorang yang tak seharusnya berdiri di rumah keluarga Bira yang terhormat."Ma, tolong...
Udara pagi masih terasa dingin ketika ketegangan di ruang tengah rumah Egar belum juga mereda. Semua orang seakan berjalan di atas pecahan kaca, takut bergerak, takut bicara. Hanya Ilona yang duduk mematung, memeluk Gana dengan tubuh gemetar, seolah berusaha menyerap kekuatan dari anak kecil itu.Kehadiran Anita, ibunya yang telah lama hilang, terasa seperti sebuah keajaiban—tapi juga sebuah pertanyaan besar. Mengapa sekarang? Di saat semua tuduhan, fitnah, dan aib menyelimuti dirinya, mengapa wanita itu datang seakan siap menghadapi badai bersamanya?Namun jawaban Anita atas hinaan Nyonya Bira justru menggetarkan hati.“Mungkin saja.”Itu saja yang ia katakan, pelan, nyaris berbisik. Tapi tidak ada sedikitpun getar ketakutan dalam suaranya. Ia tak menghiraukan cercaan atau tawa sinis dari Nyonya Bira. Fokusnya hanya satu: Ilona. Anak yang telah ia lahirkan, yang kini duduk di hadapannya.“Egar…” panggil Anita lembut, matanya menatap menantunya dengan tegas tapi penuh harap.Egar meng
Matahari belum sepenuhnya meninggi, namun rumah Egar sudah dipenuhi ketegangan. Tangis Ilona masih terdengar lirih, tertahan di balik pelukan anaknya, Gana. Wajahnya sembab, nafasnya tak teratur. Tubuhnya lemas seolah tak punya daya untuk membela diri dari semua tuduhan yang dilontarkan mertuanya, Nyonya Bira.Di sudut ruangan, Yumi memeluk lututnya, bingung dengan keributan yang terjadi. Sementara itu, Egar berdiri kaku, mencoba menahan emosi yang memuncak.“Karena dia nama Mama jadi tercoreng!” bentak Nyonya Bira. “Mama kini diburu wartawan, mereka menunggu di luar rumah, mau konfirmasi apa benar pembunuh ini adalah menantu Mama! Sekarang, apa yang harus Mama jawab, Egar? Haruskah Mama mengakuinya?”Ilona menggigil. Kata "pembunuh" itu seperti pukulan berulang di dadanya. Padahal, ia sendiri baru mengetahui bahwa Romy, mantan suaminya, telah meninggal. Dan sekarang ia yang dituduh sebagai pelakunya.“Mama, Ilona bukan pembunuh! Itu semua fitnah!” Egar akhirnya bersuara lantang.Namu
“Aku bahkan tidak tahu Romy meninggal. Kini, aku yang menjadi sasaran,” gumam Ilona lemah, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Egar langsung menghampiri dan memeluknya erat. Ia tahu ini akan menghantam Ilona sangat keras, tapi ia juga tahu mereka bisa melewati ini bersama. Hatinya penuh amarah, tapi juga kesedihan. Ia tahu betul siapa istrinya. Ilona bukan pembunuh. Ia yakin itu.Bulir-bulir bening mengalir di wajah Ilona, menggambarkan betapa luka ini datang terlalu mendadak. Ia tidak pernah menyangka bahwa bayang-bayang masa lalu akan kembali menghantuinya dengan cara seburuk ini.“Romy, juga pasti tidak pernah menuduh kamu melakukan itu. Dia juga pasti sedih dengan semua ini. Dan aku yakin, mengapa hal ini baru sekarang mereka angkat, itu karena Romy telah tiada,” ucap Egar lembut, menghapus jejak airmata yang mengalir di wajah sang istri.“Romy begitu lemah untuk melawan ibunya, dan ibunya selalu memanfaatkan itu.”“Dia bukan lemah, itu karena dia sangat menyayangi ka
“Papa, mau makan lagi,” ujar Yumi membuyarkan lamunan Egar.Egar tersentak dari lamunannya, dia sadar ternyata mereka belum selesai makan. Ketika menatap ke atas meja makan, makanan masih terbuka. Dan belum setengahnya tersentuh.“Oke, Sayang. ayo, papa temani Yumi makan.”Keesokan harinya…Pagi itu rumah Egar kembali dipenuhi kehangatan yang lama terasa hilang. Aroma tumisan buncis dan telur dadar keju memenuhi udara, membuat suasana dapur terasa lebih hidup. Ilona sibuk di dapur, menyusun sarapan di meja makan dengan penuh cinta.Di kursi tinggi mereka, Yumi yang hampir empat tahun sudah duduk manis sambil menggoyang-goyangkan kakinya, Gana juga tampak duduk dengan tenang menunggu makanannya tiba.Egar keluar dari kamar dalam balutan kemeja biru dan celana panjang abu-abu, wajahnya tampak lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Hari ini ia akan kembali ke gudang pengelolaan ikan miliknya setelah beberapa hari sibuk mengurus banyak hal.Dia tersenyum melihat Ilona sedang menuangkan te