Egar menggenggam tangan Ilona erat saat mereka keluar dari ruang praktek dokter kandungan. Senyumnya hangat, mencoba menenangkan istrinya yang baru saja mendapat kabar baik tentang kehamilannya.Akhirnya, baru hari ini mereka sempat memeriksakan Ilona ke dokter. Memang hasil testpack menunjukkan garis dua, tapi mereka ingin tahu usia dan kondisi kandungannya."Kamu jangan stres, jangan pikirkan semua masalah. Aku pasti akan menyelesaikannya," ujar Egar lembut.Ilona mengangguk, meskipun dalam hatinya, pikirannya masih terus berkecamuk. Bagaimana dia bisa tenang? Akankah mereka harus kehilangan Yumi? Bagaimana bisa bahagia? Sejak kecil Yumi berada dalam dekapannya.Mereka berdua berjalan perlahan menuju parkiran, tempat motor tua Egar terparkir. Yumi mereka titipkan kepada Bu Sari, beliau juga merasa sangat senang menjaga Yumi. Beliau menganggap Yumi seperti cucunya sendiri. Ilona dan Egar tidak mungkin membawa serta Yumi ke rumah sakit, apalagi dengan kondisi Ilona yang masih rentan
"Hari ini kalian tidak bisa mengelak!" ujar Nyonya Bira dengan bersedekap dada.Nyonya Bira berdiri di teras rumah Egar dan Ilona, matanya menatap tajam ke arah putranya. Wajahnya menunjukkan ketidaksabaran yang jelas. Ia menolak masuk, seolah udara di rumah sederhana itu membuatnya sesak."Silakan duduk, Ma," tawar Egar berbasa basi mempersilakan ibunya duduk pada dua kursi yang ada di teras."Ogah, alergi!""Rumah ini bersih, Ma.""Ternyata miskin itu menular," sindir Nyonya Bira menatap sang anak sambil tersenyum mengejek."Yang penting gak jahat."Nyonya Bira membulatkan matanya ketika mendengar Egar begitu santai menjawab semua perkataannya. "Rumah jelek, mengontrak, hidup susah. Entah apa yang kau cari dengan wanita itu," keluhnya menatap iba Egar.Namun, Egar tidak terprovokasi dengan apa yang ibunya katakan. Dia tetap tersenyum."Aku menjemput Yumi!" seru Nyonya Bira lantang.Dia tidak bisa berlama-lama lagi disini, udara kemiskinan itu begitu menyesakkan baginya.Egar, yang
"Sudah selesai?" tanya Ilona pelan. "Iya." Ceklek! Pintu terbuka dari dalam, Yumi langsung berlari keluar, seperti baru saja dibebaskan dari kurungan. "Mama sudah pergi," ucap Egar dengan pelan.Ilona menatap suaminya dengan cemas, matanya menyelidik seolah ingin memastikan apakah yang barusan dikatakan Egar memang benar. Namun, tatapan kosong dan napas berat yang dihembuskan pria itu cukup menjadi jawaban.Sementara itu, suara tawa kecil menggema di halaman depan. Yumi berlarian dengan ceria, seolah dunia di sekelilingnya hanya dipenuhi kebahagiaan. Gadis kecil itu baru saja keluar dari kamar setelah berjam-jam dikurung oleh ibunya, Ilona, yang mencoba melindunginya dari ancaman Nyonya Bira."Yumi, hati-hati, Nak," Ilona mengingatkan.Namun, seperti biasa, gadis kecil itu terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Kakinya terus berlari di atas tanah berumput, tangannya terentang menikmati kebebasan sesaat."Dia tidak mengerti apa-apa. Dia anak kecil yang hanya tahu bermain," gumam E
Satu bulan setelahnya…“Mama berhasil membuat kekacauan, kini kita seperti buronan. Keluarga Bernadi mencari keberadaan kita,” ujar Egar sambil membaca pesan yang ada di ponselnya.Saat itu, Ilona yang sedang membuat susu untuk kehamilannya itu tampak menatap sang suami heran. Dia merasa tidal ada hubungannya dengan perseteruan Nyonya Bira dan keluarga Bernadi. Mengapa mereka malah yang diburu?“Kenapa?”“Ya, mereka marah padaku. Menganggap aku tidak bisa menjaga Yumi, kini mereka melaporkanku ke polisi,” jawab Egar.Ilona memegang dadanya, udara di sekitarnya terasa begitu sesak. Entah mengapa, cobaan demi cobaan tidak kunjung berhenti dalam hidup mereka. Padahal, seharusnya kini mereka sedang berbahagia.Egar langsung menahan tubuh sang istri, dia membimbing Ilona duduk di sebelahnya. Meraih tangan sang istri dan mengecupnya lembut.Egar tersenyum ke arah Ilona. “Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja.”“Bagaimana kamu begitu yakin akan baik-baik saja? kita menghadapi orang y
“Enggak kok,” jawab Ilona.“Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja,” bisik Egar.Lagi, lelaki itu begitu yakin kalau semuanya akan baik-baik saja. Berkali-kali dia meyakinkan sang istri kalau tidak akan ada yang bisa merebut Yumi darinya. Dan kini, yang Ilona takutkan bukanlah kedua Nyonya dari keluarga itu, melainkan dia takut dengan wanita yang bernama Helena.Sejak mendengar nama itu semalam, Ilona tidak pernah berhenti memikirkannya. Apalagi mengingat wanita itu bersedia membantu, sedangkan yang sedang berseteru adalah keluarganya sendiri. Apakah benar dia akan melawan keluarganya demi seorang Egar? Tapi, kenapa? Bukankah seharusnya dia berada di pihak keluarga Bernadi?“Ma-mama…”Suara Yumi dari luar kamar membuat Egar segera melepaskan ciumannya, ternyata anak berusia dua tahun itu bangun lebih dulu. Bahkan kini setiap kali terbangun dia akan langsung keluar kamar dan mencari Ilona.Ceklek! Ilona membuka pintu.“Wah, Yumi sudah bangun,” sambut Ilona dan langsung memberika
"Apa?"Ilona terkejut bukan main. Ia tidak menyangka bahwa ini harga yang harus mereka bayar. Ternyata, Helena menginginkan Egar, bukan yang lain. Dan bagi Ilona, itu lebih mengerikan daripada ancaman apa pun yang pernah mereka hadapi.Seorang wanita cantik, dari keluarga kaya raya datang dengan sendirinya dan meminta suaminya menikahinya. Apakah tidak ada yang lebih menakutkan dari itu. Apalagi Egar mencintai Gia, tidak mustahil jika Egar pun akan jatuh cinta pada adiknya. Lalu bagaimana dengannya?"Kenapa? Kau tuli?" tanya Helena dengan nada mengejek, melirik kearah Ilona dengan tatapan sinis dan merendahkan.Ilona menggelengkan kepala, sementara Egar tampak terdiam, mencoba mencerna ucapan Helena. Ia berharap dirinya hanya salah dengar, tapi ekspresi serius di wajah wanita itu menandakan bahwa ini bukan sekadar gurauan.Dan apakah mungkin soal pernikahan dijadikan bahan candaan?"Helena, jangan main-main. Kita sedang mencari solusi atas masalah yang pelik, bukan menambah masalah ba
“Kau hanya mengarang cerita. Gia tidak pernah meninggalkan wasiat seperti itu,” ujar Egar, matanya menyipit menatap Helena penuh kewaspadaan.Dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Helena. Bisa saja wanita itu hanya mengada-ada. Lagi pula, Egar tidak memiliki ketertarikan sedikit pun kepada Helena, meskipun wanita itu memiliki pesona dan gaya hidup mewah.Egar mengakui, Helena memang sosok yang berani. Semasa Gia masih hidup, ia kerap bercerita tentang betapa salutnya ia terhadap adik perempuannya yang satu itu. Helena memiliki koneksi yang luas, bahkan di luar negeri. Dia berani menekan keluarganya sendiri dengan memanfaatkan para investor, menjadikan dirinya lebih berkuasa dibanding para pria di keluarga besar mereka.Namun, meskipun Helena memiliki keberanian, itu tidak berarti Egar harus mengikuti jalannya. Pernikahan bukanlah solusi, justru akan menambah masalah baru. Mungkin pernikahan itu bisa membantunya mengendalikan keluarga Bernadi, tapi tidak ada yang bisa menjam
“Jangan bertanya, lihat saja nanti.”"Sekalipun tidak ada pilihan lain, aku tidak akan menikah denganmu."Egar berkata dengan tegas, menolak keinginan Helena tanpa keraguan. Pernikahan bukan solusi, dan dia tak akan terperangkap dalam permainan Helena. Dia yakin semuanya akan baik-baik saja tanpa harus mengikuti keinginan wanita itu.Yumi adalah anak kandungnya. Tak ada satu orang pun yang berhak merawat putrinya selain dirinya sendiri. Masalah sebenarnya adalah harta peninggalan Gia yang kini berada di tangan Nyonya Bira. Itu yang harus ia pertanggungjawabkan.Helena tersenyum tipis, seolah tak terpengaruh oleh penolakan itu. “Wajar kalau Kak Gia sangat mencintaimu. Kau memang penuh pesona, Egar. Kau punya pendirian yang kuat, tidak mudah goyah. Tapi, kau tetap harus menikah denganku.”Egar menggeleng. “Kau sangat keras kepala,” gumamnya.Helena memang tak pernah menyerah. Sekali dia menginginkan sesuatu, dia akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya. Dan kini, dia ingin menikahi E
Sehari…Dua hari…Tiga hari…Bahkan hingga seminggu penuh, tak ada satu kabar pun datang dari Anita. Rumah milik Egar dan Ilona yang sebelumnya mulai terasa tenang kembali tegang, seperti ada awan hitam yang menggantung di atas atapnya. Setiap denting jam seolah menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan tanpa kejelasan.Nyonya Bira tak tinggal diam. Ia hampir setiap hari datang, wajahnya dipenuhi amarah yang terpendam. Ia bukan sekadar ibu mertua yang cerewet, tetapi wanita yang merasa hidupnya penuh kendali dan kini merasa semuanya mulai goyah.“Kau masih belum dengar apa pun dari dia?” tanyanya tajam begitu melangkah masuk, tanpa basa-basi.Ilona yang tengah menyapu halaman hanya menunduk. Egar keluar dari dapur, mendengar nada tinggi ibunya dan merasa lelah menghadapi sikap yang terus menyudutkan istrinya.“Ma, bukankah sekarang tidak ada lagi berita, tuntutan, ataupun tuduhan kepada Mama. Untuk apa mencari tahu?” tanya Egar dengan nada tegas. “Semua seperti menguap. Harusnya Ma
Mobil hitam itu semakin menjauh, membawa Anita kembali ke dunia lamanya—dunia penuh gengsi, tanggung jawab besar, dan luka masa lalu yang belum sembuh. Tapi di depan rumah di kota pinggir ini, badai lain sedang meletus dalam diam.Ilona masih berdiri terpaku. Angin siang itu menyibak rambutnya yang dibiarkan tergerai. Di balik matanya yang tenang, pikirannya berkecamuk hebat. Suara Anita—panggilan lembut dan penuh cinta—masih menggema. Tapi juga, bayangan masa kecilnya kembali muncul, ketika ia harus tumbuh tanpa ibu kandung, diasuh oleh orang lain, tanpa tahu siapa dirinya sebenarnya.“Sekarang kau bangga karena ternyata punya ibu yang hebat?” tanya Nyonya Bira tajam, mengoyak lamunan Ilona.Wanita paruh baya itu tampak menatap Ilona dengan tatapan sinis, masih penuh kebencian. Meskipun sudah tahu kalau Ilona memiliki orang tua yang jelas, bahkan lebih kaya dan lebih berpengaruh darinya.Ilona menoleh perlahan, matanya kini dingin dan kosong. “Aku biasa saja, Ma.”“Pastilah, kau itu
Tangis Anita masih belum sepenuhnya reda. Pelukan Ilona, panggilan “Mama” yang begitu lama ia nantikan, kini benar-benar ia dengar dengan telinganya sendiri. Bukan dalam mimpi, bukan hanya bayangan kosong penuh harap di malam-malam panjang yang sepi. Hari ini, keajaiban itu nyata.“Terima kasih, Nak,” ucap Anita sambil menghapus air matanya, mencoba tersenyum di tengah guncangan emosinya.Ilona tidak menjawab. Hanya senyuman tipis yang ia berikan, namun di balik senyuman itu ada seribu luka yang perlahan mulai terobati. Di belakang mereka, Egar berdiri memperhatikan. Wajahnya penuh rasa lega, dan matanya pun tak mampu menahan bulir air bening yang akhirnya jatuh perlahan di pipinya.Hubungan yang awalnya penuh keraguan, kini mulai merekat, sedikit demi sedikit.Namun suasana penuh haru itu seketika diusik.“Ya ampun, seperti di sinetron saja,” sindir suara yang sangat dikenali. “Padahal hanya kembali ke ibu kota dan bisa balik lagi ke sini, tapi pelukannya seperti orang yang tidak bak
Ruang tamu yang sebelumnya penuh dengan ketegangan kini terasa jauh lebih sunyi. Setelah semua percakapan meledak dan terbongkar, yang tersisa hanyalah perasaan-perasaan yang belum terucap. Perasaan tak percaya, penyesalan, dan kegundahan menggantung di udara.Jojo, sopir sekaligus asisten pribadi Anita, kembali memasuki ruangan setelah sibuk berbicara di telepon. Dengan nada sopan dan tenang, ia melapor,"Nyonya, penerbangan jam dua siang ini sudah dikonfirmasi."Anita mengangguk pelan. "Oke. Tapi, kamu disini menjaga Ilona."“Tapi, Nyonya—““Kalau begitu, carikan seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga Ilona dan Egar disini,” potong Anita secepatnya.Dia tidak bisa meninggalkan Ilona tanpa penjagaan, dia ingin melindungi anaknya. Apalagi, dia tidak bisa mempercayai mertua Ilona.“Baik, Nyonya,” jawab Jojo patuh dan kembali sibuk dengan ponselnya, mencari seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga majikan baru mereka, Ilona, Egar dan anak-anak mereka. Karena, Jojo harus selalu menda
Ruangan itu hening, tapi ketegangannya terasa seperti bara api yang perlahan membakar udara. Di tengah suasana tegang itu, Nyonya Bira masih berdiri dengan dada terangkat tinggi, senyuman sinis menghiasi wajahnya.Pandangannya tajam tertuju pada wanita berpenampilan sederhana yang berdiri tak jauh dari Ilona. Wanita itu mengenakan gamis sederhana berwarna pastel, wajahnya pucat namun menyimpan ketenangan yang misterius."Nyonya? Jadi ini mamanya atau majikannya?" tanya Nyonya Bira dengan nada menyindir, matanya melirik ke arah Ilona yang masih belum berkata apa-apa.“Katanya ibu kandungnya, tapi dipanggil Nyonya.”Senyum liciknya mengembang seiring ia melihat ekspresi kikuk Ilona. Dalam hatinya, Nyonya Bira sudah menyimpulkan semuanya—bahwa kehadiran wanita bernama Anita ini bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh Ilona. Ia percaya bahwa Anita hanyalah bayang-bayang dari masa lalu yang memalukan, seseorang yang tak seharusnya berdiri di rumah keluarga Bira yang terhormat."Ma, tolong...
Udara pagi masih terasa dingin ketika ketegangan di ruang tengah rumah Egar belum juga mereda. Semua orang seakan berjalan di atas pecahan kaca, takut bergerak, takut bicara. Hanya Ilona yang duduk mematung, memeluk Gana dengan tubuh gemetar, seolah berusaha menyerap kekuatan dari anak kecil itu.Kehadiran Anita, ibunya yang telah lama hilang, terasa seperti sebuah keajaiban—tapi juga sebuah pertanyaan besar. Mengapa sekarang? Di saat semua tuduhan, fitnah, dan aib menyelimuti dirinya, mengapa wanita itu datang seakan siap menghadapi badai bersamanya?Namun jawaban Anita atas hinaan Nyonya Bira justru menggetarkan hati.“Mungkin saja.”Itu saja yang ia katakan, pelan, nyaris berbisik. Tapi tidak ada sedikitpun getar ketakutan dalam suaranya. Ia tak menghiraukan cercaan atau tawa sinis dari Nyonya Bira. Fokusnya hanya satu: Ilona. Anak yang telah ia lahirkan, yang kini duduk di hadapannya.“Egar…” panggil Anita lembut, matanya menatap menantunya dengan tegas tapi penuh harap.Egar meng
Matahari belum sepenuhnya meninggi, namun rumah Egar sudah dipenuhi ketegangan. Tangis Ilona masih terdengar lirih, tertahan di balik pelukan anaknya, Gana. Wajahnya sembab, nafasnya tak teratur. Tubuhnya lemas seolah tak punya daya untuk membela diri dari semua tuduhan yang dilontarkan mertuanya, Nyonya Bira.Di sudut ruangan, Yumi memeluk lututnya, bingung dengan keributan yang terjadi. Sementara itu, Egar berdiri kaku, mencoba menahan emosi yang memuncak.“Karena dia nama Mama jadi tercoreng!” bentak Nyonya Bira. “Mama kini diburu wartawan, mereka menunggu di luar rumah, mau konfirmasi apa benar pembunuh ini adalah menantu Mama! Sekarang, apa yang harus Mama jawab, Egar? Haruskah Mama mengakuinya?”Ilona menggigil. Kata "pembunuh" itu seperti pukulan berulang di dadanya. Padahal, ia sendiri baru mengetahui bahwa Romy, mantan suaminya, telah meninggal. Dan sekarang ia yang dituduh sebagai pelakunya.“Mama, Ilona bukan pembunuh! Itu semua fitnah!” Egar akhirnya bersuara lantang.Namu
“Aku bahkan tidak tahu Romy meninggal. Kini, aku yang menjadi sasaran,” gumam Ilona lemah, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Egar langsung menghampiri dan memeluknya erat. Ia tahu ini akan menghantam Ilona sangat keras, tapi ia juga tahu mereka bisa melewati ini bersama. Hatinya penuh amarah, tapi juga kesedihan. Ia tahu betul siapa istrinya. Ilona bukan pembunuh. Ia yakin itu.Bulir-bulir bening mengalir di wajah Ilona, menggambarkan betapa luka ini datang terlalu mendadak. Ia tidak pernah menyangka bahwa bayang-bayang masa lalu akan kembali menghantuinya dengan cara seburuk ini.“Romy, juga pasti tidak pernah menuduh kamu melakukan itu. Dia juga pasti sedih dengan semua ini. Dan aku yakin, mengapa hal ini baru sekarang mereka angkat, itu karena Romy telah tiada,” ucap Egar lembut, menghapus jejak airmata yang mengalir di wajah sang istri.“Romy begitu lemah untuk melawan ibunya, dan ibunya selalu memanfaatkan itu.”“Dia bukan lemah, itu karena dia sangat menyayangi ka
“Papa, mau makan lagi,” ujar Yumi membuyarkan lamunan Egar.Egar tersentak dari lamunannya, dia sadar ternyata mereka belum selesai makan. Ketika menatap ke atas meja makan, makanan masih terbuka. Dan belum setengahnya tersentuh.“Oke, Sayang. ayo, papa temani Yumi makan.”Keesokan harinya…Pagi itu rumah Egar kembali dipenuhi kehangatan yang lama terasa hilang. Aroma tumisan buncis dan telur dadar keju memenuhi udara, membuat suasana dapur terasa lebih hidup. Ilona sibuk di dapur, menyusun sarapan di meja makan dengan penuh cinta.Di kursi tinggi mereka, Yumi yang hampir empat tahun sudah duduk manis sambil menggoyang-goyangkan kakinya, Gana juga tampak duduk dengan tenang menunggu makanannya tiba.Egar keluar dari kamar dalam balutan kemeja biru dan celana panjang abu-abu, wajahnya tampak lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Hari ini ia akan kembali ke gudang pengelolaan ikan miliknya setelah beberapa hari sibuk mengurus banyak hal.Dia tersenyum melihat Ilona sedang menuangkan te