“Aku lelah,” ujar Ilona ketika beberapa kali persidangan dan masih belum menemukan titik terang. Helena benar-benar keras kepala dan tidak mau mengalah.Dia memiliki segalanya, kuasa hukum terbaik dan uang. Tapi, Egar tidak pernah menyerah. Dan siapa sangka ibunya sama sekali tidak mau membantu. Tapi, ternyata ada seorang baik yang bersedia membantu Egar. Entah apa motifnya, Egar tidak peduli yang penting dia memiliki dukungan.Setelah enam kali persidangan, menghabiskan waktu lima bulan, akhirnya Helena menyerah dan kalah. Egar bernafas lega.“Alhamdulillah, akhirnya Yumi tetap bersama kita,” ucap Egar memeluk Ilona yang kini perutnya sudah membuncit.“Tapi, aku masih ragu,” jawab Ilona.Egar menatap sang istri dengan sorot mata penuh keheranan dan tanda tanda. “Apa yang kamu ragukan?”“Mengapa akhirnya dia mengalah begitu saja, takutnya dia memiliki rencana lain. Dan semua ini semakin kacau,” jawab Ilona.“Kita coba percaya saja. Karena sebenarnya akhir-akhir ini mama juga ikut turu
“Mau apa mama kemari?” tanya Egar.Dua bulan setelah kelahiran Gana, tiba-tiba Nyonya Bira datang ke rumah mereka. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba wanita paruh baya itu sudah berada di teras.“Kenapa?” tanya Nyonya Bira ketus.“Gapapa, hanya heran saja Mama datang kemari. Apakah Mama ingin melihat Gana?”“Aku tidak peduli. Aku datang hanya memastikan apakah kau masih bertahan? Dan kau hebat bisa mengalahkan Helena, si wanita gila itu,” jawab Nyonya Bira.“Terima kasih atas bantuan Mama,” ucap Egar.“Kau kira, kau bisa melawannya dengan kekuatanmu itu? Kau hampir saja kalah dan masuk penjara.”Egar mengangguk, dia tahu semua yang dikatakan ibunya itu benar. Jika, pada saat itu Nyonya Bira tidak mengambil langkah, maka dia tidak akan bisa menyaksikan kelahiran putranya. Dia pasti kini sedang mendekam di balik jeruji besi.“Bagaimana pembangunan perusahaan Mama?” tanya Egar akhirnya. Dia selalu berusaha berdamai dengan sang ibu. Dia yakin, kedatangan ibunya kali ini pasti untuk
“Dasar buta.”Egar tidak menjawab, apapun yang dia katakan pastinya akan selalu salah di mata ibunya.“Mama akan tinggal disini,” ujar Nyonya Bira tiba-tiba.Egar dan Ilona saling pandang, pastinya mereka terkejut mendengar keinginan Nyonya Bira. Rasanya tidak percaya seorang Nyonya Bira mau tinggal di rumah yang katanya seperti gubuk.“Mama gak salah?” tanya Egar.“Tidak. Kenapa kalian gak menerima ku?”“Boleh kok, Ma.” Ilona menjawab dengan cepat, karena tidak mungkin menolak. Menolak keinginan ibu mertuanya itu sama saja dengan menyulutkan api perang.“Siapkan kamar untukku!” perintahnya.“Baik, Ma.”Ilona memberikan Gana kepada Egar, dia akan menyiapkan sebuah kamar untuk di tempati Nyonya Bira. Meskipun awalnya dia sedikit kebingungan, sebab kamar di rumah itu hanya ada dua. Selama ini telah mereka gunakan untuk kamar Yumi dan kamar mereka.Kini, ada tambahan penghuni lainnya. Dan itu artinya, mau tidak mau ada salah satu yang mengalah. Merelakan kamarnya ditempati oleh Nyonya Bi
“Loh, kenapa, Ma?” tanya Egar mengejar sang ibu.Meskipun dia sudah tahu jawabannya, tempat itu bukan tempat yang cocok untuk Nyonya Bira. Beliau tidak bisa tinggal di tempat yang sederhana seperti itu. karena terbiasa hidup penuh kemewahan.Lagian juga aneh rasanya mendengar Nyonya Bira yang tiba-tiba ingin tinggal bersama Egar dan Ilona. Hati Egar saja masih penuh tanda tanya mengapa ibunya mau tinggal disana, dan ternyata tidak perlu menunggu jawabannya terlalu lama, Mamanya akhirnya menyerah sendiri.“Mama tidak bisa tertular miskin,” jawabnya.“Oh, inilah keadaan kami, Ma. Tapi, menurut kami ini bukan miskin kok, tapi gaya hidup kami seperti ini. Dan juga, kemampuan kami sesuai dengan gaya,” ujar Egar tersenyum.“Aku akan tinggal di komplek perumahan perusahaan saja.”“Itu lebih baik, Ma. Pastinya akan lebih mewah daripada disini yang terletak di perkampungan. Nanti mama bisa menular kebiasaan ibu-ibu kampung sini. Duduk bersama dibawah pohon mangga ujung jalan menunggu tukang sa
“Ilona, kamu kapan akan jualan lagi?” tanya salah satu tetangga saat Ilona sedang memilih sayuran pada mamang sayur yang mangkal di bawah pohon mangga di depan rumah bu Sari.Tempat itu memang menjadi favorit para ibu-ibu menunggu tukang sayur datang. Bahkan itu seperti markas bagi mereka, dimana pertukaran informasi begitu cepat disana. Bahkan berita yang dibawa pun sangatlah akurat sumbernya.Ilona tersenyum. “Belum tahum bu. Gana masih sangat kecil.”“Padahal kamu bisa minta Bu Sari yang jagain dan kamu jualan loh. Soalnya kalau kamu gak jualan, bingung mau beli sarapan yang enak gak ada.”“Iya, benar sekali. Makanan Ilona itu pas rasanya,” sambung yang lain.“Jangan be
"Siapa?" tanya Ilona bingung, karena tiba-tiba ada orang yang datang ke rumah mereka.Dan itu juga, pertama kalinya ada yang memanggil Egar dengan sebutan abang. Apakah orang itu mengenal suaminya? Tapi, siapa? Kenapa bisa tahu alamat mereka?"Saya Andra," jawabnya memperkenalkan diri."Oh." Ilona hanya ber oh singkat, mengangguk pelan, meskipun masih dalam kebingungan karena dia tidak mengenal lelaki tersebut. Juga tidak pernah mendengar Egar menyebut nama itu. Rasanya nama itu benar-benar asing di telinganya."Apakah benar ini rumah Bang Egar?" tanya Andra sekali lagi mengulangi pertanyaannya."Oh, benar," jawab Ilona akhirnya. Padahal, awalnya dia berniat untuk tidak memberitahukan kalau itu rumah Egar, tapi entah mengapa lidahnya tidak bisa diajak kompromi. Padahal otaknya sudah memerintahkan untuk menjawab "bukan", lidahnya malah menjawab "benar"." Apa Bang Egar ada?" tanya Andra lagi.Ilona menggeleng. "Tidak ada, dia lagi di gudang."Andra mengangguk pelan. "Kapan abang akan
"Ternyata kau..."Egar menghela nafas berat, jelas terlihat ada kekecewaan yang terpendam dari suaranya. Ataukah mungkin kemarahan?Bisa saja, karena lelaki yang bernama Andra itu adalah anak dari ayahnya dari istri yang lain. Dan kini, pria yang mengaku sebagai adiknya berdiri di depannya dengan keadaan yang jauh lebih baik daripada yang dia bayangkan selama ini."Iya, Bang. Maaf, aku telah mengganggu abang disini. Tapi, aku merasa sudah saatnya bertemu dengan abang. Papa sudah lama meninggal. Mamaku juga sudah meninggal, jadi hanya abang satu-satunya keluargaku," jawab Andra pelan.Suaranya menunjukkan kesedihan. Dia kini tinggal seorang diri, bahkan ibunya sudah meninggal. Betapa saling mencintai kah mereka, sampai-sampai kini sama-sama sudah meninggal?"Untuk apa kau mencariku? Apa yang kau inginkan? Kau mau menuntut warisan?" tanya Egar sarkas.Bagaimanapun juga dia merasa sakit hati dan kecewa karena ibunya dikhianati. Di dalam pikirannya, Andra menemuinya pasti memiliki maksud
"Ini...?" tanya Egar tidak percaya dengan apa yang ada di depannya.Andra mengangguk. "Iya, itulah yang papa berikan.""Kau juga?" tanya Egar menyelidik.Andra mengangguk. "Iya, itulah yang dikambangkan Mama. Dan berhasil membuat aku hidup sampai saat ini."Egar menyipitkan matanya. "Maksudnya?""Haha, santai Bang. Maksudku, berkat warisan Papa ini kami bisa bertahan. Dan itupun kalau Mama gak pandai, kami sudah habis sama Nyonya Bira. Beliau sempat ingin merampas semua aset yang dikira dari Papa. Untungnya Papa memberikan dalam bentuk deposito atas namaku," jawab Andra.Egar mengangguk, tidak mengherankan kalau mamanya melakukan itu. Bahkan dia sempat berpikir kalau Andra dan ibunya sudah dihabisi oleh mamanya. Dia tidak menyangka kalau ternyata masih sempat bertemu dengan sang adik dalam keadaan seperti ini.Seperti yang Andra katakan, papa mereka meninggalkan warisan dalam bentuk deposito, sama halnya untuk Egar. Di dalam amplop itu semua surat menyuratnya dan uang yang ditinggalk
Suasana hangat perlahan mengisi ruang tamu. Xello duduk di lantai, bersila, dikelilingi oleh Yumi dan Gana yang tak henti tertawa mendengarkan dongeng yang ia bacakan. Tangan Xello bergerak dramatis, suaranya naik turun menirukan suara naga, ratu jahat, dan pahlawan kecil.Anita duduk di sofa, matanya berbinar melihat kebahagiaan terpancar dari wajah anaknya. Dalam hati, ia bangga melihat Xello yang sangat menyayangi Yumi dan Gana, meskipun mereka baru bertemu.“Selama di kota ini, Mami tinggal di hotel,” jawab Anita tiba-tiba, memecah keheningan antara mereka berdua. Menjawab pertanyaan Xello tadi.Xello menoleh, memutar badan menatap ibunya. Matanya membulat. “Serius? Selama ini Mami gak pernah nginap di rumah Kak Ilona?”Anita mengangguk. &ldqu
Kezio baru saja pergi. Suara mobil yang membawanya masih terdengar samar dari halaman depan, meninggalkan keheningan yang cukup menusuk di dalam rumah Ilona.Anita berdiri mematung di depan pintu, menatap kosong ke arah jalan yang kini lengang. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha tidak menangis. Tak mau terlihat rapuh di depan anak bungsunya, Xello.“Sudahlah, Mi. Jangan pikirkan, dia sudah besar,” ujar Xello pelan, berdiri di samping ibunya. Suaranya tenang, tapi mengandung simpati yang dalam.Anita hanya mengangguk perlahan. Hatinya remuk melihat Kezio pergi dalam amarah, tapi juga hangat karena Xello tetap tinggal.“Terima kasih, Xello,” ucap Anita lirih, matanya menatap anak lelakinya dengan penuh rasa syukur. Tak pernah ia duga, Xello yang
“Mami mengkhianati Papi!”Kalimat itu seperti belati, menancap tajam ke dada Anita. Anaknya masih bersikeras.Wanita paruh baya itu hanya menggeleng pelan, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia menatap Kezio, anak sulungnya, dengan sorot lembut namun penuh luka.“Tidak, sama sekali tidak,” jawab Anita dengan suara serak, nyaris berbisik. “Tapi… bolehkah Mami bahagia sebentar saja… sebelum Mami meninggal, Nak?”Seisi ruangan seketika menjadi senyap. Keheningan merambat pelan seperti kabut, menyelimuti semua yang ada di sana. Kata-kata itu bukan hanya menyayat hati, tapi juga memukul kesadaran semua orang. Bahkan Xello yang biasanya cerewet, kali ini hanya mampu menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.Kezio terpaku. Nafasnya tertahan. Urat di lehernya masih menegang, tapi kata-kata Anita baru saja mengguncang dinding-dinding egonya. Dia seolah tersadar kalau ibu mereka memang menderita sakit sejak lama, dan kapanpun bisa meninggal.“Mi…” gumamnya lirih, namun ke
Ruangan makan sore itu terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena AC yang terlalu dingin, tapi karena emosi yang menegang di antara keluarga yang sedang bergolak.“Kenapa aku mesti diam? Aku bertanya, berikan aku jawaban,” suara Xello terdengar lantang, memecah keheningan yang membatu.Semua mata tertuju padanya. Xello berdiri, tubuhnya tegak, suaranya mantap meski sorot matanya mengandung kekecewaan.Kezio memalingkan wajah, rahangnya mengeras. Ia tidak suka ditantang—apalagi oleh adik sendiri. “Kau masih kecil. Kau tidak mengerti apa-apa,” jawabnya dingin, nadanya meremehkan.Xello tertawa kecil, sinis, lalu melangkah maju dan berdiri tepat di depan Kezio. Meskipun selisih usia mereka lima tahun, kini Xello sudah hampir menyamai tinggi tubuh sang kakak.“Aku sudah hampir delapan belas tahun,” katanya dengan tenang namun tegas. “Aku sudah besar. Dan aku cukup mengerti dengan semua kepentingan kalian. Please, Kezio, support Mami…”Anita yang duduk di ujung meja langsung berdiri.
“Xello!” bentak Kezio dengan suara tinggi, membuat suasana di ruang keluarga sontak tegang. Nada suaranya bagaikan cambuk yang mencabik-cabik udara sore itu.Dia marah kepada adiknya yang begitu mudah menerima Ilona masuk ke dalam keluarga mereka. Dia tidak merasa memiliki ikatan dengan Ilona, seharusnya Xello juga merasakan hal yang sama, bukan malah menikmati tempat ini.Xello, yang tengah duduk santai sambil menikmati pemandangan halaman belakang dari balik kaca besar, hanya menoleh dan tersenyum ke arah sang kakak.“Come on, brother,” sahutnya dengan nada tenang yang kontras. “Untuk apa marah-marah? Mami terlihat lebih bahagia di sini. Dan juga... cepat atau lambat, semua akan saling meninggalkan. Buktinya kamu sendiri sudah keluar dari rumah dan tinggal di apartemen, bukan? So, di rumah juga hanya aku, Papi jarang ada di rumah.”Kalimat itu menghujam, bukan karena kasar, tapi karena menyentuh titik yang tak ingin Kezio akui. Ia terdiam, namun sorot matanya masih menusuk.Anita, y
Rumah itu terasa sedikit lebih sepi dari biasanya, meskipun anak-anak Egar dan Ilona sedang bermain di ruang keluarga. Ketegangan menggantung di udara seperti kabut tipis yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Ilona berdiri di samping Egar, mencoba menenangkan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.Egar berdiri sambil menggendong Gana yang sedang mengunyah biskuit dengan tenang, sementara Yumi duduk di karpet, menggambar bunga dengan pensil warna. Tapi fokus mereka semua kini tertuju pada dua sosok yang baru saja tiba di depan pintu: Kezio dan Xello.Mereka tinggi, tampan, dan membawa aura kota besar dalam gaya berpakaian mereka. Tapi yang paling mencolok adalah ekspresi wajah keduanya. Datar, dingin, dan nyaris tanpa emosi. Jojo, sopir pribadi Anita yang menjemput mereka dari bandara, hanya tersenyum canggung sebelum segera pamit dan meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.Anita mengambil langkah pertama. Ia tahu ini akan sulit. Tapi ini adalah pilihan yang sudah ia amb
Dapur rumah itu sederhana, namun hangat oleh aroma bumbu dan suara air yang mengalir. Ilona berdiri di depan wastafel, tangannya cekatan membersihkan cumi yang tadi dibawa Egar dari gudang. Di sampingnya, Anita duduk di kursi kecil, mengamati anak perempuannya dengan mata yang tak lelah mengagumi. Sejak kedatangannya ke rumah ini, Anita merasa hatinya mulai disembuhkan—perlahan tapi pasti.“Sejak kapan Egar bisnis hasil laut?” tanya Anita, suaranya ringan namun menyimpan keingintahuan yang dalam.“Sejak sekitar tiga tahun lalu, Ma,” jawab Ilona sambil tetap memfokuskan perhatian pada potongan cumi di tangannya. “Waktu kami pindah ke kota ini, Egar memutuskan untuk membuka usaha sendiri.”Anita mengangguk pelan. “Sebelumnya Egar bekerja di perusahaan ibunya, ya?”“Iya, Ma. Dulu dia menjabat sebagai salah satu pemimpin di perusahaan keluarganya. Tapi itu sebelum kami menikah.”Ada sedikit jeda, sebelum Anita mengajukan pertanyaan berikutnya. “Kalian berdua memang sudah kenal sejak kamu
Senja menyelimuti langit dengan semburat jingga yang menenangkan. Di ruang keluarga yang sederhana namun nyaman itu, Ilona duduk di sisi Anita dengan pikiran yang sedikit tidak tenang.Aroma melati dari teh memenuhi ruangan, namun tidak cukup kuat untuk mengalihkan perhatian Ilona dari berita yang baru saja disampaikan ibunya.“Ini adalah hal yang Mama tunggu. Tapi, sekaligus yang Mama takutkan,” ucap Anita lirih.Ilona mengernyit, memandang ibunya dengan penuh tanda tanya. Ada kekhawatiran yang tergurat jelas di wajah Anita, seperti seseorang yang ingin memberi kabar bahagia tapi takut akan badai yang bisa menyusul kemudian.“Adik-adikmu sudah datang. Hari ini… mereka sedang dalam perjalanan ke kota ini. Mereka datang lebih cepat dari yang Mama kira,” sambung Anita.Kalimat itu membuat hati Ilona bergetar. Ia memang telah tahu dirinya bukan anak tunggal dari Anita, ada dua orang lainnya yang lahir dari rahim yang sama. Hanya saja, mereka berbeda nasib. Kehidupan adik-adiknya berbandi
Hari itu, langit tampak kelabu. Awan menggantung berat seakan menyimpan beban yang tak kasat mata. Di ruang keluarga yang hangat dan tertata rapi, Ilona duduk bersandar di sofa. Cangkir teh di tangannya sudah mendingin sejak tadi, tak sempat ia hirup karena pikirannya terlalu sibuk menebak arah pembicaraan ibunya—Anita—yang baru saja datang membawa kabar yang belum sepenuhnya dijelaskan.Anita duduk di seberangnya. Perempuan paruh baya itu tampak lebih tenang hari ini. Meski garis wajahnya menunjukkan ketegasan, namun ada gurat kelelahan yang tak bisa disembunyikan.Ilona menarik napas dalam, lalu bertanya dengan suara pelan namun menembus tajam, “Apa yang mereka inginkan?”Anita menoleh, tersentak dari lamunannya. Ia tahu siapa yang dimaksud dengan "mereka" — keluarga besar Ilma, keluarga tempat ia berasal dan tempat yang selama ini Ilona bahkan tidak pernah tahu menjadi bagian dari dirinya.“Hanya ingin kenalan,” jawab Anita berusaha tenang, meskipun nada bicaranya terdengar menggan