Keesokan harinya…Ilona dan Egar resmi pindah ke rumah sewaan mereka. Rumah itu cukup luas dengan halaman yang dipenuhi rumput liar dan semak-semak yang tumbuh tak terurus. Udara pagi masih terasa dingin ketika Bu Sari, pemilik rumah, datang menghampiri mereka yang tengah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi. Tidak banyak barang, hanya dua koper."Kalau kalian butuh tukang kebun, Ibu bisa bantu panggilkan," ujar Bu Sari ramah, melihat bagaimana halaman rumah itu tampak sangat membutuhkan perawatan.Ilona tersenyum kecil, menyeka keringat di dahinya. "Tidak perlu, Bu. Kami akan pelan-pelan membersihkannya sendiri."“Kalian bisa?”“Bisa, bu.”Bu Sari mengangguk mengerti. Rumahnya sendiri berada tepat di sebelah rumah sewaan itu. Ia kemudian bercerita bahwa awalnya rumah ini dibangun untuk anaknya, tetapi anaknya lebih memilih ikut suaminya merantau ke kota lain. Sejak saat itu, rumah ini dibiarkan kosong bertahun-tahun.“Apa selama ini tidak ada yang menyewanya, Bu?” tanya Ilona.“
Hujan gerimis diluar sana membasahi jendela rumah kecil itu. Suara rintiknya berpadu dengan keheningan malam, membawa ketenangan bagi mereka yang mendengarnya.Di ruang tamu yang hanya diterangi lampu meja, Egar menatap Ilona dengan lembut, sorot matanya penuh kasih yang selama ini ia simpan rapat-rapat."Jangan panggil aku begitu," ujar Ilona dengan wajah bersemu merah, menghindari tatapan Egar yang begitu dalam.Egar tersenyum tipis. "Kenapa? Kamu istriku."Ilona menggigit bibir bawahnya, hatinya bergejolak hebat. Ia ingin menyangkal, ingin tetap mempertahankan tembok yang selama ini ia bangun. Namun, semakin lama, semakin sulit baginya untuk berpura-pura bahwa hatinya tidak goyah oleh segala ketulusan dan pengorbanan Egar."Sudahlah, sebaiknya kamu istirahat," ucapnya akhirnya, mengalihkan pandangannya ke arah lain.Egar masih menatapnya, tetapi ia tidak memaksa. Ia tahu, Ilona butuh waktu. Ia sudah berjanji, tidak akan menuntut lebih sebelum Ilona benar-benar siap menerima dia me
Satu bulan kemudian…Hujan rintik-rintik membasahi atap rumah kecil mereka. Udara terasa dingin, tetapi Ilona tetap duduk di meja makan, matanya menatap kosong ke arah dapur yang nyaris kosong. Persediaan makanan mereka semakin menipis, dan di tengah keterbatasan ini, hanya ada satu hal yang terus memenuhi pikirannya: Yumi.Gadis kecil itu butuh makanan bergizi untuk tumbuh. Ia tidak boleh kekurangan nutrisi. Namun, sampai kapan mereka bisa bertahan dengan keadaan seperti ini?Yumi baru saja mulai tumbuh dengan baik. Tapi, apakah mereka bisa terus memberikan makanan yang terbaik untuk Yumi."Aku juga harus bekerja," ujar Ilona, suaranya tegas namun penuh beban.Egar, yang duduk di kursi di seberangnya, terdiam. Matanya menatap meja, seolah mencari jawaban yang selama ini sulit ia temukan.Sudah satu bulan mereka tinggal di tempat ini, dan hingga kini, Egar masih belum mendapatkan pekerjaan. Uang yang mereka miliki—yang berasal dari pemberian Riko—sudah hampir habis. Jika bulan ini mer
Pagi itu, seperti biasa, Egar dan Ilona sudah sibuk menata dagangan mereka di depan rumah. Udara masih sejuk, embun belum sepenuhnya hilang dari dedaunan, tetapi tangan mereka sudah bekerja tanpa henti. Ilona menggoreng berbagai gorengan yang akan dijajakan, sementara Egar menata makanan di atas meja, memastikan semuanya terlihat rapi dan menarik bagi pembeli.Namun, dibalik rutinitas itu, ada kegundahan yang sulit ditepis dari benak Egar."Aku jadi merasa tidak berguna," gumamnya pelan, tanpa sadar tangannya berhenti menyusun makanan.Ilona yang sedang sibuk mengangkat gorengan menoleh ke arahnya. Ia bisa melihat ekspresi suaminya yang tampak lelah, bukan karena pekerjaan, tetapi karena harga dirinya yang terasa terguncang.Bagaimana tidak? Dia yang selama ini hanya tahu tinggal makan, semua ada pembantu yang menyediakan. Kini, dia malah menata dagangan, yang mungkin dulunya dianggap makanan murah di matanya. Tapi, nyatanya kini dari sini mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari."
Tanpa terasa, setahun sudah Ilona dan Egar menjalani kehidupan di kota ini. Perlahan, segala kesulitan yang pernah mereka hadapi mulai berubah menjadi keberkahan. Bisnis yang Egar jalani berkembang pesat. Ia tidak hanya menguntungkan diri sendiri, tetapi juga membantu banyak nelayan yang selama ini kesulitan menjual hasil tangkapan mereka dengan harga yang layak.Kini, Egar bahkan tengah membangun sebuah gudang penyimpanan hasil laut yang lebih besar. Ia juga berencana untuk merambah pasar di kota-kota lain, terutama kota yang jauh dari laut, di mana ikan segar lebih sulit didapatkan.Tak hanya bisnis, hubungan mereka pun semakin baik. Kini mereka benar-benar menjadi suami istri yang saling melengkapi dalam berbagai hal, saling mendukung, dan saling menguatkan.Pagi itu, Egar tengah bersiap lebih awal dari biasanya. Ia duduk di meja makan, menikmati sarapan yang disiapkan Ilona."Sayang, aku hari ini harus pergi pagi-pagi. Maaf nggak bisa bantu kamu jualan," ujar Egar dengan nada meny
"Kamu serius?" Ilona menatap suaminya dengan mata membulat, masih sulit percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Egar mengangguk pelan. "Iya. Bahkan sampai meninggal, Papa nggak pernah bisa bertemu lagi dengan anak dan istrinya yang lain. Karena Mama membatasi semua gerak-geriknya. Tekanan semakin tinggi, tuntutan semakin besar, dan akhirnya dia meninggal dalam keadaan terpisah dari mereka, mungkin juga tanpa kejelasan apapun. Bahkan bisa jadi mereka hanya melihat berita kematian papa dari layar kaca.”Ilona menghela nafas panjang. Ia menggenggam tangan Egar, berusaha memberikan ketenangan, meskipun dalam situasi ini, ia tak tahu harus berkata apa. Baginya, menilai siapa yang benar dan salah bukanlah hal yang mudah."Mereka nggak pernah nyariin Papa?" tanya Ilona akhirnya, mencoba memahami lebih dalam.Egar tersenyum miris. "Nggak ada yang bisa lolos dari pantauan Mama. Bahkan kita yang waktu itu ngumpet di hotel bisa ditemukan. Aku kadang kepikiran, entah gimana nasib ibu dan ana
Tik! Tik!Suara rintik hujan menjadi alunan melodi merdu di rumah sederhana yang ditempati Egar dan Ilona. Musim hujan tampaknya masih lama, setiap hari selalu hujan.Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di dapur, Ilona tengah sibuk menyiapkan makan malam ketika Egar yang duduk di meja makan menikmati kopi menunggu makan malam, tiba-tiba menggumam dengan nada gelisah."Tapi, kenapa feelingku mengatakan lain ya…"Ilona menghentikan gerakan tangannya, menatap suaminya dengan kening berkerut. "Ada apa?"Egar mendesah, melepas jaketnya lalu berjalan mendekati Ilona. "Lokasi yang Mama pilih ternyata tidak jauh dari sini. Seolah-olah itu memang sudah Mama rencanakan sejak awal. Kita selama ini tidak menyadari kalau kita diawasi.""Mungkinkan semua gangguan yang kita dapat juga rekayasa dari mama?" tanya Egar lagi, seperti bertanya pada dirinya sendiri.Ilona membelalakkan mata. "Di mana?""Di daerah perkampungan sebelah. Ada tanah luas kosong di sana, ternyata sudah dibeli oleh Amigos G
Mentari baru saja naik ketika Egar mengurungkan niatnya untuk pergi ke gudang pengolahan ikan. Langkahnya yang semula mantap tiba-tiba terhenti di ambang pintu. Pikirannya dipenuhi kecemasan, membuatnya memutar balik dan kembali masuk ke dalam rumah.“Apa yang sebenarnya Mama rencanakan?” gumamnya, tatapannya tajam menatap lantai.Ilona, yang sedang memeluk Yumi, menoleh dengan cemas. Suaminya terlihat gelisah, lebih dari biasanya.Egar menghela napas panjang. “Hidup ini ternyata begitu berat. Mama sengaja membiarkan kita merasa tenang setahun ini, hanya untuk menyerang saat kita lengah. Kenapa Mama jadi seperti seorang psikopat? Padahal aku ini anaknya sendiri…”Ilona tetap diam, tangannya mengeratkan pelukan pada Yumi. Ketakutan begitu nyata di matanya.Ia tahu, Nyonya Bira tidak benar-benar menginginkan Yumi karena cinta. Wanita itu hanya melihat Yumi sebagai alat untuk mencapai tujuannya—harta peninggalan Gia. Jika Yumi kembali ke tangan Nyonya Bira, dia pasti akan mengalami kehid
Sehari…Dua hari…Tiga hari…Bahkan hingga seminggu penuh, tak ada satu kabar pun datang dari Anita. Rumah milik Egar dan Ilona yang sebelumnya mulai terasa tenang kembali tegang, seperti ada awan hitam yang menggantung di atas atapnya. Setiap denting jam seolah menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan tanpa kejelasan.Nyonya Bira tak tinggal diam. Ia hampir setiap hari datang, wajahnya dipenuhi amarah yang terpendam. Ia bukan sekadar ibu mertua yang cerewet, tetapi wanita yang merasa hidupnya penuh kendali dan kini merasa semuanya mulai goyah.“Kau masih belum dengar apa pun dari dia?” tanyanya tajam begitu melangkah masuk, tanpa basa-basi.Ilona yang tengah menyapu halaman hanya menunduk. Egar keluar dari dapur, mendengar nada tinggi ibunya dan merasa lelah menghadapi sikap yang terus menyudutkan istrinya.“Ma, bukankah sekarang tidak ada lagi berita, tuntutan, ataupun tuduhan kepada Mama. Untuk apa mencari tahu?” tanya Egar dengan nada tegas. “Semua seperti menguap. Harusnya Ma
Mobil hitam itu semakin menjauh, membawa Anita kembali ke dunia lamanya—dunia penuh gengsi, tanggung jawab besar, dan luka masa lalu yang belum sembuh. Tapi di depan rumah di kota pinggir ini, badai lain sedang meletus dalam diam.Ilona masih berdiri terpaku. Angin siang itu menyibak rambutnya yang dibiarkan tergerai. Di balik matanya yang tenang, pikirannya berkecamuk hebat. Suara Anita—panggilan lembut dan penuh cinta—masih menggema. Tapi juga, bayangan masa kecilnya kembali muncul, ketika ia harus tumbuh tanpa ibu kandung, diasuh oleh orang lain, tanpa tahu siapa dirinya sebenarnya.“Sekarang kau bangga karena ternyata punya ibu yang hebat?” tanya Nyonya Bira tajam, mengoyak lamunan Ilona.Wanita paruh baya itu tampak menatap Ilona dengan tatapan sinis, masih penuh kebencian. Meskipun sudah tahu kalau Ilona memiliki orang tua yang jelas, bahkan lebih kaya dan lebih berpengaruh darinya.Ilona menoleh perlahan, matanya kini dingin dan kosong. “Aku biasa saja, Ma.”“Pastilah, kau itu
Tangis Anita masih belum sepenuhnya reda. Pelukan Ilona, panggilan “Mama” yang begitu lama ia nantikan, kini benar-benar ia dengar dengan telinganya sendiri. Bukan dalam mimpi, bukan hanya bayangan kosong penuh harap di malam-malam panjang yang sepi. Hari ini, keajaiban itu nyata.“Terima kasih, Nak,” ucap Anita sambil menghapus air matanya, mencoba tersenyum di tengah guncangan emosinya.Ilona tidak menjawab. Hanya senyuman tipis yang ia berikan, namun di balik senyuman itu ada seribu luka yang perlahan mulai terobati. Di belakang mereka, Egar berdiri memperhatikan. Wajahnya penuh rasa lega, dan matanya pun tak mampu menahan bulir air bening yang akhirnya jatuh perlahan di pipinya.Hubungan yang awalnya penuh keraguan, kini mulai merekat, sedikit demi sedikit.Namun suasana penuh haru itu seketika diusik.“Ya ampun, seperti di sinetron saja,” sindir suara yang sangat dikenali. “Padahal hanya kembali ke ibu kota dan bisa balik lagi ke sini, tapi pelukannya seperti orang yang tidak bak
Ruang tamu yang sebelumnya penuh dengan ketegangan kini terasa jauh lebih sunyi. Setelah semua percakapan meledak dan terbongkar, yang tersisa hanyalah perasaan-perasaan yang belum terucap. Perasaan tak percaya, penyesalan, dan kegundahan menggantung di udara.Jojo, sopir sekaligus asisten pribadi Anita, kembali memasuki ruangan setelah sibuk berbicara di telepon. Dengan nada sopan dan tenang, ia melapor,"Nyonya, penerbangan jam dua siang ini sudah dikonfirmasi."Anita mengangguk pelan. "Oke. Tapi, kamu disini menjaga Ilona."“Tapi, Nyonya—““Kalau begitu, carikan seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga Ilona dan Egar disini,” potong Anita secepatnya.Dia tidak bisa meninggalkan Ilona tanpa penjagaan, dia ingin melindungi anaknya. Apalagi, dia tidak bisa mempercayai mertua Ilona.“Baik, Nyonya,” jawab Jojo patuh dan kembali sibuk dengan ponselnya, mencari seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga majikan baru mereka, Ilona, Egar dan anak-anak mereka. Karena, Jojo harus selalu menda
Ruangan itu hening, tapi ketegangannya terasa seperti bara api yang perlahan membakar udara. Di tengah suasana tegang itu, Nyonya Bira masih berdiri dengan dada terangkat tinggi, senyuman sinis menghiasi wajahnya.Pandangannya tajam tertuju pada wanita berpenampilan sederhana yang berdiri tak jauh dari Ilona. Wanita itu mengenakan gamis sederhana berwarna pastel, wajahnya pucat namun menyimpan ketenangan yang misterius."Nyonya? Jadi ini mamanya atau majikannya?" tanya Nyonya Bira dengan nada menyindir, matanya melirik ke arah Ilona yang masih belum berkata apa-apa.“Katanya ibu kandungnya, tapi dipanggil Nyonya.”Senyum liciknya mengembang seiring ia melihat ekspresi kikuk Ilona. Dalam hatinya, Nyonya Bira sudah menyimpulkan semuanya—bahwa kehadiran wanita bernama Anita ini bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh Ilona. Ia percaya bahwa Anita hanyalah bayang-bayang dari masa lalu yang memalukan, seseorang yang tak seharusnya berdiri di rumah keluarga Bira yang terhormat."Ma, tolong...
Udara pagi masih terasa dingin ketika ketegangan di ruang tengah rumah Egar belum juga mereda. Semua orang seakan berjalan di atas pecahan kaca, takut bergerak, takut bicara. Hanya Ilona yang duduk mematung, memeluk Gana dengan tubuh gemetar, seolah berusaha menyerap kekuatan dari anak kecil itu.Kehadiran Anita, ibunya yang telah lama hilang, terasa seperti sebuah keajaiban—tapi juga sebuah pertanyaan besar. Mengapa sekarang? Di saat semua tuduhan, fitnah, dan aib menyelimuti dirinya, mengapa wanita itu datang seakan siap menghadapi badai bersamanya?Namun jawaban Anita atas hinaan Nyonya Bira justru menggetarkan hati.“Mungkin saja.”Itu saja yang ia katakan, pelan, nyaris berbisik. Tapi tidak ada sedikitpun getar ketakutan dalam suaranya. Ia tak menghiraukan cercaan atau tawa sinis dari Nyonya Bira. Fokusnya hanya satu: Ilona. Anak yang telah ia lahirkan, yang kini duduk di hadapannya.“Egar…” panggil Anita lembut, matanya menatap menantunya dengan tegas tapi penuh harap.Egar meng
Matahari belum sepenuhnya meninggi, namun rumah Egar sudah dipenuhi ketegangan. Tangis Ilona masih terdengar lirih, tertahan di balik pelukan anaknya, Gana. Wajahnya sembab, nafasnya tak teratur. Tubuhnya lemas seolah tak punya daya untuk membela diri dari semua tuduhan yang dilontarkan mertuanya, Nyonya Bira.Di sudut ruangan, Yumi memeluk lututnya, bingung dengan keributan yang terjadi. Sementara itu, Egar berdiri kaku, mencoba menahan emosi yang memuncak.“Karena dia nama Mama jadi tercoreng!” bentak Nyonya Bira. “Mama kini diburu wartawan, mereka menunggu di luar rumah, mau konfirmasi apa benar pembunuh ini adalah menantu Mama! Sekarang, apa yang harus Mama jawab, Egar? Haruskah Mama mengakuinya?”Ilona menggigil. Kata "pembunuh" itu seperti pukulan berulang di dadanya. Padahal, ia sendiri baru mengetahui bahwa Romy, mantan suaminya, telah meninggal. Dan sekarang ia yang dituduh sebagai pelakunya.“Mama, Ilona bukan pembunuh! Itu semua fitnah!” Egar akhirnya bersuara lantang.Namu
“Aku bahkan tidak tahu Romy meninggal. Kini, aku yang menjadi sasaran,” gumam Ilona lemah, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Egar langsung menghampiri dan memeluknya erat. Ia tahu ini akan menghantam Ilona sangat keras, tapi ia juga tahu mereka bisa melewati ini bersama. Hatinya penuh amarah, tapi juga kesedihan. Ia tahu betul siapa istrinya. Ilona bukan pembunuh. Ia yakin itu.Bulir-bulir bening mengalir di wajah Ilona, menggambarkan betapa luka ini datang terlalu mendadak. Ia tidak pernah menyangka bahwa bayang-bayang masa lalu akan kembali menghantuinya dengan cara seburuk ini.“Romy, juga pasti tidak pernah menuduh kamu melakukan itu. Dia juga pasti sedih dengan semua ini. Dan aku yakin, mengapa hal ini baru sekarang mereka angkat, itu karena Romy telah tiada,” ucap Egar lembut, menghapus jejak airmata yang mengalir di wajah sang istri.“Romy begitu lemah untuk melawan ibunya, dan ibunya selalu memanfaatkan itu.”“Dia bukan lemah, itu karena dia sangat menyayangi ka
“Papa, mau makan lagi,” ujar Yumi membuyarkan lamunan Egar.Egar tersentak dari lamunannya, dia sadar ternyata mereka belum selesai makan. Ketika menatap ke atas meja makan, makanan masih terbuka. Dan belum setengahnya tersentuh.“Oke, Sayang. ayo, papa temani Yumi makan.”Keesokan harinya…Pagi itu rumah Egar kembali dipenuhi kehangatan yang lama terasa hilang. Aroma tumisan buncis dan telur dadar keju memenuhi udara, membuat suasana dapur terasa lebih hidup. Ilona sibuk di dapur, menyusun sarapan di meja makan dengan penuh cinta.Di kursi tinggi mereka, Yumi yang hampir empat tahun sudah duduk manis sambil menggoyang-goyangkan kakinya, Gana juga tampak duduk dengan tenang menunggu makanannya tiba.Egar keluar dari kamar dalam balutan kemeja biru dan celana panjang abu-abu, wajahnya tampak lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Hari ini ia akan kembali ke gudang pengelolaan ikan miliknya setelah beberapa hari sibuk mengurus banyak hal.Dia tersenyum melihat Ilona sedang menuangkan te