"Aku akan berusaha semampuku, yang pasti aku tidak akan membiarkan Yumi menderita," gumam Ilona, meskipun suaranya terdengar begitu lemah, seakan meyakinkan dirinya sendiri lebih dari siapapun.Bahkan mungkin orang lain yang mendengarnya saja tidak yakin dengan jawaban yang diberikan oleh Ilona."Aku tidak yakin," suara dingin Nyonya Asia menyambutnya, menusuk ke dalam hatinya seperti pisau tajam.Egar menghela napas berat, mencoba meredakan ketegangan yang semakin memanas. "Ma, Yumi tidak bisa berpisah dari Ilona. Lihat sendiri kondisinya. Yumi kurus seperti ini karena sempat kehilangan Ilona. Sejak awal, Ilona hanya dikontrak sebagai ibu susu selama enam bulan. Saat itu, pertumbuhan Yumi sangat baik. Tapi setelah Ilona pergi karena kontraknya habis, Yumi mulai melemah, tidak mau makan, tidak mau minum susu formula. Aku baru saja menemukan Ilona beberapa hari lalu, dan sekarang Yumi masih dalam masa pemulihan, Ma," jelasnya dengan nada memohon.“Sudah beberapa dokter yang memeriksa Y
“Tunggu saja kalian semua! Aku tidak akan tinggal diam. Jika kalian ketahuan mengotak atik harta Gia, anak itu akan aku rebut!"Setelah melontarkan kalimat itu dengan penuh kemarahan, Nyonya Asia akhirnya membalikkan badannya dan melangkah pergi. Wajahnya yang penuh emosi masih menyisakan ketegangan di ruangan itu."Aku juga gak akan diam," jawab Nyonya Bira."Ma..." Egar mengingatkan sang ibu agar tidak memperkeruh suasana.Nyonya Bira tampak mendengus."Kita lihat saja! Aku akan terus memantau!" balas Nyonya Asia lagi.Egar menghela napas panjang, mencoba meredakan beban yang menekan dadanya. Sementara itu, Ilona hanya bisa menggeleng kecil. Semuanya masih tentang harta. Mereka sudah kaya raya, namun tetap memperebutkan harta milik seorang anak kecil yang ditinggal mati ibunya. Mereka hanya memikirkan harta, tidak memikirkan Yumi."Ilona, terima kasih. Silakan kalau mau bawa Yumi ke kamar," ujar Egar kepada Ilona dengan suara lebih tenang.Ilona hanya mengangguk tanpa berkata apa p
"Ilona..."Nama itu keluar begitu saja dari bibirnya, lirih, nyaris seperti desahan angin.Romy menatap ke depan, matanya tak berkedip melihat sosok wanita yang dulu pernah menjadi dunianya. Wanita yang begitu ia cintai—dan yang ia lepaskan. Iya, lelaki itu adalah Romy, mantan suami Ilona, yang telah melepaskannya menuruti keinginan orang tuanya.Dadanya bergemuruh saat melihat Ilona dengan penuh kasih sayang menggendong seorang anak kecil. Senyumnya, tatapan matanya yang lembut, bahkan bagaimana tangannya mengusap rambut bocah itu—semua begitu alami.Tidak ada yang berubah dari Ilona, sekalipun mereka tidak bertemu selama setahun. Senyumnya, wajahnya dan kelembutannya masih tetap sama. dan yang pasti, Romy merindukannya. Tapi, kini semua sudah berbeda."Bukankah anak kita sudah meninggal?"“Itu anak siapa? Apa kamu sudah menikah lagi dan memiliki anak? Tapi, tidak mungkin secepat itu, kan?”Pikiran itu terus berputar di kepalanya, membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Seakan ada
Ilona keluar dari ruangan dokter dengan wajah berseri. Hari ini adalah hari yang baik. Semua hasil pemeriksaan Yumi hari ini sangat baik, menunjukkan peningkatan yang pesat jauh berbeda dari bulan lalu.Di dalam gendongannya, Yumi tampak asyik mengunyah biskuit kecil yang diberikan dokter sebagai hadiah. Tangannya yang mungil menggenggam erat camilan itu, sementara matanya yang berbinar seolah ikut mengekspresikan kebahagiaan Ilona."Yumi, kamu hebat. Dokter memuji perkembangan kamu. Sebentar lagi, kamu pasti bisa jalan," ujar Ilona dengan suara penuh kasih, sebelum menjawil hidung kecil gadis itu.Yumi hanya tertawa. Ia mungkin belum mengerti betul apa yang dikatakan Ilona, tetapi tawa riangnya sudah cukup membuktikan bahwa ia bahagia.Dan semua itu karena Ilona.Tidak bisa disangkal lagi. Sejak Ilona kembali merawatnya, Yumi mulai pulih. Gadis kecil itu kini lebih sehat, lebih kuat. Ia bukan lagi bayi lemah yang dulu hampir tidak memiliki harapan untuk bertahan hidup. Dunianya adala
Mata Romy tak berkedip menatap gadis kecil yang tertidur lelap dalam pelukan Ilona. Ada sesuatu dalam dirinya yang menyesak, rasa asing yang sulit ia namai.Ia mengingat hari-hari ketika mereka masih bersama. Ketika mereka berdua begitu bahagia menanti kelahiran anak mereka, merajut impian untuk keluarga kecil yang sempurna. Namun, takdir berkata lain. Bayi mereka pergi bahkan sebelum sempat melihat dunia, meninggalkan duka yang dalam dan luka yang tak kunjung sembuh.Dan kini, di hadapannya, Ilona menggenggam erat seorang anak kecil—bukan anak mereka."Dia?" tanya Romy sambil menunjuk ke arah Yumi.Ilona mendongak. Mata mereka bertemu, namun Ilona buru-buru mengalihkan pandangannya."Romy? Kenapa kamu di sini?" tanyanya, mengabaikan pertanyaan Romy. Raut wajahnya berubah, ada keterkejutan bercampur kecemasan. Baru kali ini ia melihat Romy kembali setelah setahun berpisah. Dan yang lebih mengejutkan, pria itu tampak jauh berbeda. Tubuhnya lebih kurus, kulitnya lebih pucat, dan sorot m
"Ilona, tunggu!"Suara Romy menggema di antara orang yang lalu lalang di rumah sakit, memaksa Ilona menghentikan langkahnya. Ia memeluk Yumi lebih erat, menoleh dengan enggan. Romy sudah mensejajari langkahnya, matanya penuh dengan sesuatu yang tak bisa Ilona artikan—kesakitan, kemarahan, atau mungkin penyesalan."Ada apa?" tanya Ilona datar, tak ingin terjebak dalam percakapan yang akan membuatnya goyah.Romy menatapnya lekat-lekat, lalu dengan suara rendah yang dipenuhi urgensi, ia bertanya, "Di mana kamu tinggal sekarang?"Ilona menghela napas berat. Ia sudah menduga pertanyaan ini akan muncul. Dengan tenang, ia menjawab, "Aku tinggal di rumah keluarga Yumi, karena aku sendiri tidak memiliki rumah. Rumah ibuku diambil oleh saudaranya, karena ternyata sertifikatnya ada di tangan mereka. Aku tidak bisa memberikan alamat kepada sembarang orang, karena disana aku hanya bekerja."Dahi Romy mengerut. "Apa aku kamu anggap orang sembarangan? Apa kamu menganggap kita tidak saling kenal?" Su
"Saya tahu, Nyonya." Ilona menjawab singkat dan terlihat tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Nyonya Bira. Dia terlalu lelah untuk menanggapi luapan emosi majikannya itu.Kalimat singkat Ilona justru membuat Nyonya Bira semakin murka. Wajahnya menegang, dia menatap Ilona seperti ingin langsung menerkamnya."Diam, kau!" bentaknya tajam, suaranya menggema di seluruh halaman paviliun itu, sehingga beberapa pekerja yang sedang berlalu lalang disana, hanya bisa menatap sekilas lalu mengelus dada. Mungkin mereka juga kasihan kepada Ilona, setiap hari selalu saja menjadi sasaran kemarahan atas salah yang tidak dia lakukan.Yumi, yang masih berada dalam gendongan Ilona, terbangun dengan tubuh gemetar. Gadis kecil itu mengkerut, wajahnya bersembunyi di bahu Ilona, seolah berharap dunia luar menghilang. Ilona menenangk
Plak! Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Ilona, sedangkan dia masih berusaha menenangkan Yumi agar tidak menangis dan duduk diam di pelukan Nesha. Ilona terkejut karena itu sangatlah tiba-tiba.Tamparan keras itu masih membekas di pipi Ilona. Rasa perih yang menjalar dari kulitnya tak seberapa dibandingkan dengan sakit hatinya. Ia hanya berusaha menjaga Yumi, hanya ingin gadis kecil itu merasa aman, tapi justru mendapat perlakuan kejam dari Nyonya Bira.Tubuhnya sempat oleng, kepalanya terasa seperti berputar, bahkan pandangannya juga menggelap, Ilona hampir jatuh ke lantai jika saja tak ada tangan kokoh yang menahannya. Tangan itu… milik Egar.Entah sejak kapan Egar datang, namun yang pasti dia datang disaat yang tepat. Dan sepertinya, melihat dari pen
Sehari…Dua hari…Tiga hari…Bahkan hingga seminggu penuh, tak ada satu kabar pun datang dari Anita. Rumah milik Egar dan Ilona yang sebelumnya mulai terasa tenang kembali tegang, seperti ada awan hitam yang menggantung di atas atapnya. Setiap denting jam seolah menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan tanpa kejelasan.Nyonya Bira tak tinggal diam. Ia hampir setiap hari datang, wajahnya dipenuhi amarah yang terpendam. Ia bukan sekadar ibu mertua yang cerewet, tetapi wanita yang merasa hidupnya penuh kendali dan kini merasa semuanya mulai goyah.“Kau masih belum dengar apa pun dari dia?” tanyanya tajam begitu melangkah masuk, tanpa basa-basi.Ilona yang tengah menyapu halaman hanya menunduk. Egar keluar dari dapur, mendengar nada tinggi ibunya dan merasa lelah menghadapi sikap yang terus menyudutkan istrinya.“Ma, bukankah sekarang tidak ada lagi berita, tuntutan, ataupun tuduhan kepada Mama. Untuk apa mencari tahu?” tanya Egar dengan nada tegas. “Semua seperti menguap. Harusnya Ma
Mobil hitam itu semakin menjauh, membawa Anita kembali ke dunia lamanya—dunia penuh gengsi, tanggung jawab besar, dan luka masa lalu yang belum sembuh. Tapi di depan rumah di kota pinggir ini, badai lain sedang meletus dalam diam.Ilona masih berdiri terpaku. Angin siang itu menyibak rambutnya yang dibiarkan tergerai. Di balik matanya yang tenang, pikirannya berkecamuk hebat. Suara Anita—panggilan lembut dan penuh cinta—masih menggema. Tapi juga, bayangan masa kecilnya kembali muncul, ketika ia harus tumbuh tanpa ibu kandung, diasuh oleh orang lain, tanpa tahu siapa dirinya sebenarnya.“Sekarang kau bangga karena ternyata punya ibu yang hebat?” tanya Nyonya Bira tajam, mengoyak lamunan Ilona.Wanita paruh baya itu tampak menatap Ilona dengan tatapan sinis, masih penuh kebencian. Meskipun sudah tahu kalau Ilona memiliki orang tua yang jelas, bahkan lebih kaya dan lebih berpengaruh darinya.Ilona menoleh perlahan, matanya kini dingin dan kosong. “Aku biasa saja, Ma.”“Pastilah, kau itu
Tangis Anita masih belum sepenuhnya reda. Pelukan Ilona, panggilan “Mama” yang begitu lama ia nantikan, kini benar-benar ia dengar dengan telinganya sendiri. Bukan dalam mimpi, bukan hanya bayangan kosong penuh harap di malam-malam panjang yang sepi. Hari ini, keajaiban itu nyata.“Terima kasih, Nak,” ucap Anita sambil menghapus air matanya, mencoba tersenyum di tengah guncangan emosinya.Ilona tidak menjawab. Hanya senyuman tipis yang ia berikan, namun di balik senyuman itu ada seribu luka yang perlahan mulai terobati. Di belakang mereka, Egar berdiri memperhatikan. Wajahnya penuh rasa lega, dan matanya pun tak mampu menahan bulir air bening yang akhirnya jatuh perlahan di pipinya.Hubungan yang awalnya penuh keraguan, kini mulai merekat, sedikit demi sedikit.Namun suasana penuh haru itu seketika diusik.“Ya ampun, seperti di sinetron saja,” sindir suara yang sangat dikenali. “Padahal hanya kembali ke ibu kota dan bisa balik lagi ke sini, tapi pelukannya seperti orang yang tidak bak
Ruang tamu yang sebelumnya penuh dengan ketegangan kini terasa jauh lebih sunyi. Setelah semua percakapan meledak dan terbongkar, yang tersisa hanyalah perasaan-perasaan yang belum terucap. Perasaan tak percaya, penyesalan, dan kegundahan menggantung di udara.Jojo, sopir sekaligus asisten pribadi Anita, kembali memasuki ruangan setelah sibuk berbicara di telepon. Dengan nada sopan dan tenang, ia melapor,"Nyonya, penerbangan jam dua siang ini sudah dikonfirmasi."Anita mengangguk pelan. "Oke. Tapi, kamu disini menjaga Ilona."“Tapi, Nyonya—““Kalau begitu, carikan seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga Ilona dan Egar disini,” potong Anita secepatnya.Dia tidak bisa meninggalkan Ilona tanpa penjagaan, dia ingin melindungi anaknya. Apalagi, dia tidak bisa mempercayai mertua Ilona.“Baik, Nyonya,” jawab Jojo patuh dan kembali sibuk dengan ponselnya, mencari seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga majikan baru mereka, Ilona, Egar dan anak-anak mereka. Karena, Jojo harus selalu menda
Ruangan itu hening, tapi ketegangannya terasa seperti bara api yang perlahan membakar udara. Di tengah suasana tegang itu, Nyonya Bira masih berdiri dengan dada terangkat tinggi, senyuman sinis menghiasi wajahnya.Pandangannya tajam tertuju pada wanita berpenampilan sederhana yang berdiri tak jauh dari Ilona. Wanita itu mengenakan gamis sederhana berwarna pastel, wajahnya pucat namun menyimpan ketenangan yang misterius."Nyonya? Jadi ini mamanya atau majikannya?" tanya Nyonya Bira dengan nada menyindir, matanya melirik ke arah Ilona yang masih belum berkata apa-apa.“Katanya ibu kandungnya, tapi dipanggil Nyonya.”Senyum liciknya mengembang seiring ia melihat ekspresi kikuk Ilona. Dalam hatinya, Nyonya Bira sudah menyimpulkan semuanya—bahwa kehadiran wanita bernama Anita ini bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh Ilona. Ia percaya bahwa Anita hanyalah bayang-bayang dari masa lalu yang memalukan, seseorang yang tak seharusnya berdiri di rumah keluarga Bira yang terhormat."Ma, tolong...
Udara pagi masih terasa dingin ketika ketegangan di ruang tengah rumah Egar belum juga mereda. Semua orang seakan berjalan di atas pecahan kaca, takut bergerak, takut bicara. Hanya Ilona yang duduk mematung, memeluk Gana dengan tubuh gemetar, seolah berusaha menyerap kekuatan dari anak kecil itu.Kehadiran Anita, ibunya yang telah lama hilang, terasa seperti sebuah keajaiban—tapi juga sebuah pertanyaan besar. Mengapa sekarang? Di saat semua tuduhan, fitnah, dan aib menyelimuti dirinya, mengapa wanita itu datang seakan siap menghadapi badai bersamanya?Namun jawaban Anita atas hinaan Nyonya Bira justru menggetarkan hati.“Mungkin saja.”Itu saja yang ia katakan, pelan, nyaris berbisik. Tapi tidak ada sedikitpun getar ketakutan dalam suaranya. Ia tak menghiraukan cercaan atau tawa sinis dari Nyonya Bira. Fokusnya hanya satu: Ilona. Anak yang telah ia lahirkan, yang kini duduk di hadapannya.“Egar…” panggil Anita lembut, matanya menatap menantunya dengan tegas tapi penuh harap.Egar meng
Matahari belum sepenuhnya meninggi, namun rumah Egar sudah dipenuhi ketegangan. Tangis Ilona masih terdengar lirih, tertahan di balik pelukan anaknya, Gana. Wajahnya sembab, nafasnya tak teratur. Tubuhnya lemas seolah tak punya daya untuk membela diri dari semua tuduhan yang dilontarkan mertuanya, Nyonya Bira.Di sudut ruangan, Yumi memeluk lututnya, bingung dengan keributan yang terjadi. Sementara itu, Egar berdiri kaku, mencoba menahan emosi yang memuncak.“Karena dia nama Mama jadi tercoreng!” bentak Nyonya Bira. “Mama kini diburu wartawan, mereka menunggu di luar rumah, mau konfirmasi apa benar pembunuh ini adalah menantu Mama! Sekarang, apa yang harus Mama jawab, Egar? Haruskah Mama mengakuinya?”Ilona menggigil. Kata "pembunuh" itu seperti pukulan berulang di dadanya. Padahal, ia sendiri baru mengetahui bahwa Romy, mantan suaminya, telah meninggal. Dan sekarang ia yang dituduh sebagai pelakunya.“Mama, Ilona bukan pembunuh! Itu semua fitnah!” Egar akhirnya bersuara lantang.Namu
“Aku bahkan tidak tahu Romy meninggal. Kini, aku yang menjadi sasaran,” gumam Ilona lemah, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Egar langsung menghampiri dan memeluknya erat. Ia tahu ini akan menghantam Ilona sangat keras, tapi ia juga tahu mereka bisa melewati ini bersama. Hatinya penuh amarah, tapi juga kesedihan. Ia tahu betul siapa istrinya. Ilona bukan pembunuh. Ia yakin itu.Bulir-bulir bening mengalir di wajah Ilona, menggambarkan betapa luka ini datang terlalu mendadak. Ia tidak pernah menyangka bahwa bayang-bayang masa lalu akan kembali menghantuinya dengan cara seburuk ini.“Romy, juga pasti tidak pernah menuduh kamu melakukan itu. Dia juga pasti sedih dengan semua ini. Dan aku yakin, mengapa hal ini baru sekarang mereka angkat, itu karena Romy telah tiada,” ucap Egar lembut, menghapus jejak airmata yang mengalir di wajah sang istri.“Romy begitu lemah untuk melawan ibunya, dan ibunya selalu memanfaatkan itu.”“Dia bukan lemah, itu karena dia sangat menyayangi ka
“Papa, mau makan lagi,” ujar Yumi membuyarkan lamunan Egar.Egar tersentak dari lamunannya, dia sadar ternyata mereka belum selesai makan. Ketika menatap ke atas meja makan, makanan masih terbuka. Dan belum setengahnya tersentuh.“Oke, Sayang. ayo, papa temani Yumi makan.”Keesokan harinya…Pagi itu rumah Egar kembali dipenuhi kehangatan yang lama terasa hilang. Aroma tumisan buncis dan telur dadar keju memenuhi udara, membuat suasana dapur terasa lebih hidup. Ilona sibuk di dapur, menyusun sarapan di meja makan dengan penuh cinta.Di kursi tinggi mereka, Yumi yang hampir empat tahun sudah duduk manis sambil menggoyang-goyangkan kakinya, Gana juga tampak duduk dengan tenang menunggu makanannya tiba.Egar keluar dari kamar dalam balutan kemeja biru dan celana panjang abu-abu, wajahnya tampak lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Hari ini ia akan kembali ke gudang pengelolaan ikan miliknya setelah beberapa hari sibuk mengurus banyak hal.Dia tersenyum melihat Ilona sedang menuangkan te