Plak! Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Ilona, sedangkan dia masih berusaha menenangkan Yumi agar tidak menangis dan duduk diam di pelukan Nesha. Ilona terkejut karena itu sangatlah tiba-tiba.
Tamparan keras itu masih membekas di pipi Ilona. Rasa perih yang menjalar dari kulitnya tak seberapa dibandingkan dengan sakit hatinya. Ia hanya berusaha menjaga Yumi, hanya ingin gadis kecil itu merasa aman, tapi justru mendapat perlakuan kejam dari Nyonya Bira.
Tubuhnya sempat oleng, kepalanya terasa seperti berputar, bahkan pandangannya juga menggelap, Ilona hampir jatuh ke lantai jika saja tak ada tangan kokoh yang menahannya. Tangan itu… milik Egar.
Entah sejak kapan Egar datang, namun yang pasti dia datang disaat yang tepat. Dan sepertinya, melihat dari pen
Nesha berjalan dengan langkah cepat, berusaha menjauh dari rumah besar itu. Matanya basah oleh air mata, tetapi bukan sepenuhnya karena kesedihan. Ini adalah bagian dari rencana. Sebuah sandiwara yang harus ia mainkan dengan sempurna. Jelas, semua itu terlihat dibuat-buat.“Nesha, kamu mau kemana?” suara Nyonya Bira yang memburu langkahnya membuatnya menghentikan laju kaki.Wanita itu menangis, tangannya gemetar saat menghapus jejak air mata yang mengalir di pipinya. “Tante, aku tidak dibutuhkan di sini. Aku bahkan tidak bisa menenangkan Yumi, bagaimana bisa aku mengambil hati Egar. Sepertinya, aku bukan orang yang tepat untuk Egar,” suaranya terdengar parau, penuh dengan kegetiran.Nyonya Bira memandangnya dengan tatapan penuh kasih sayang. Wanita paruh baya itu menghela napas panjang, mengu
Ruang makan yang semula tenang kini berubah menjadi panggung kemarahan. Piring-piring porselen yang tersusun rapi di atas meja terasa seperti saksi bisu pertengkaran yang tak terhindarkan."Mana wanita jalang itu?!" suara lantang Nyonya Bira menggema di seluruh ruangan, membuat beberapa pelayan menunduk ketakutan.Ia memutar tubuhnya ke segala arah, mencari sosok yang kini telah menghilang. Amarahnya meledak seketika. Ilona pergi tanpa seizinnya, dan itu lebih dari cukup untuk membuatnya naik pitam.Semua rencana yang telah ia susun dengan susah payah berantakan begitu saja. Padahal, betapa sulitnya mencari waktu luang bagi Nesha—wanita yang dianggapnya paling pantas untuk Egar.Nesha, anak salah satu saudara jauh Nyonya Bira yang juga seorang model yang meskipun tidak begitu terkenal, tetap merasa dirinya luar biasa sibuk. Nyonya Bira telah berusaha keras untuk menjodohkannya dengan putranya, Egar. Baginya, kehadiran seorang figur publik dalam keluarga akan menaikkan pamor mereka. Se
Suara bentakan menggema di dalam rumah, mengguncang keheningan yang sebelumnya hanya diisi oleh suara napas berat."Cukup, Egar! Cukup! Jangan membelanya lagi!" teriak Nyonya Bira, matanya membelalak penuh kemarahan.Tapi Egar tetap berdiri tegak, tatapannya tak goyah. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal di sisi tubuhnya."Karena aku tahu mana yang salah dan tidak, Ma!" suaranya tegas, menusuk seperti pedang.Ilona hanya terdiam mendengar pertengkaran itu. Dengan cepat, ia beranjak ke tempat tidur, menepuk-nepuk tubuh kecil Yumi yang mulai menggeliat gelisah."Ssst… Yumi, tidur sayang…" bisiknya pelan, berusaha menenangkan bayi itu.Yumi menggumam kecil, kelopak matanya masih berat. Tapi suara bentakan yang berulang kali terdengar dari luar membuatnya semakin rewel. Ilona menghela napas, lalu bangkit dari tempat tidur. Dengan langkah hati-hati, ia keluar dari kamar dan menutup pintunya perlahan agar Yumi tidak terganggu lebih jauh. Namun, ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya berdi
"Pikiran Mama terlalu sempit," ujar Egar kecewa."Bukan pikiran Mama, tapi pikiran kamu!" bentak Nyonya Bira, nadanya penuh kemarahan.“Ma, tolonglah demi Yumi.”“Mama tidak mau tahu, dia harus angkat kaki dari rumah ini. Dasar tidak tahu diri, babu maunya jadi ratu!” kesal Nyonya Bira yang kemudian segera beranjak meninggalkan tempat itu, kembali ke rumah utama.Di dalam kamar, tangisan Yumi sudah mereda. Gadis kecil itu kembali tenang dalam tidurnya, sama sekali tidak menyadari badai besar yang kembali menghantam kehidupannya. Dia akan kehilangan Ilona lagi. Padahal, baru tiga bulan mereka kembali bersama.Di sudut kamar, Ilona mengemasi barang-barangnya dengan tangan gemetar. Air mata deras mengalir di wajahnya, memburamkan pandangannya. Sesekali ia melirik ke arah Yumi yang terlelap di tempat tidur kecilnya. Hatinyanya remuk. Rasanya tidak tega meninggalkan gadis kecil itu. Tapi, jika ia bertahan, tubuhnya akan hancur. Ia hanyalah manusia biasa, bukan batu yang bisa terus menerima
"Lepas..." ucap Ilona lemah, tangannya mendorong dada Egar dengan sisa tenaga yang dimilikinya.Nafas Ilona tersengal-sengal, dia menatap Egar dengan penuh kebingungan. Dan tangannya memegang bibir, bibir yang baru saja dicium oleh Egar.Egar tidak bergerak. Matanya masih terpaku pada Ilona, mencoba memahami perasaan yang menggelegak dalam dadanya. Baru kali ini dia menyadari sepenuhnya—dia tidak ingin kehilangan Ilona, bukan hanya karena Yumi, tapi karena dirinya sendiri.Dia membutuhkan wanita itu. Dan kini, di matanya Ilona adalah wanita impiannya. Dia begitu lembut, penuh kasih dan yang terpenting Ilona menyayangi Yumi dengan sangat tulus."Maaf," lirihnya sambil menunduk. Dia merasa bersalah telah mencium Ilona, tapi disisi lain, bibir wanita itu seperti candu yang sulit dilepaskan. Sentuhannya masih terasa di sana, dan dia ingin merasakannya lagi.Apalagi semenjak kepergian Gia, dia seperti tanah yang tandus dan gersang. Kini, tanah itu seperti tersiram hujan. Bibir tipis itu me
"Aku tidak bisa."Ilona berkata lirih, hampir seperti bisikan yang tertahan di tenggorokannya. Dia tidak bisa menuruti permintaan Egar. Bukan karena dia tidak ingin, bukan karena dia tidak merasakan ketulusan pria itu—tapi karena dia tahu, selama dia masih di sini, Nyonya Bira tidak akan pernah berhenti mencari masalah dengannya.Egar menatapnya tajam. "Mengapa?" tanyanya, tidak mengerti alasan Ilona menolak.Ilona menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Mantan suamiku adalah orang kaya. Kami menikah tanpa restu. Dia berhasil melawan orang tuanya sekali, tapi tidak selamanya. Saat aku melahirkan dan anakku meninggal, dia tidak bisa lagi melawan keinginan mereka. Pada akhirnya, dia memilih keluarganya dan meninggalkanku. Aku tidak bisa jatuh ke lubang yang sama, Egar."Tangannya bergerak meraih koper yang sudah siap di sampingnya, tetapi sebelum dia sempat menggenggamnya, tangan Egar dengan cepat menahan pergelangannya."Aku bukan mantan suamimu, Ilona," ujar Egar tegas. Ada
"Ilona tidak akan pergi, dia akan tetap disini, Ma."Ilona berdiri membatu di tempatnya, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Egar masih bergema di telinganya. "Ilona tidak akan pergi!"Ia tidak pernah menyangka Egar akan melakukan ini—berdiri di hadapannya seperti perisai, melindunginya dari Nyonya Bira yang sejak awal membenci keberadaannya."Apa maksudmu, Egar? Wanita ini sendiri yang tadi bilang akan pergi! Kenapa sekarang kau menahannya, biarkan dia pergi. Jangan khawatir, dunia ini begitu luas, mama pasti akan menemukan pengasuh untuk Yumi. Dan juga, Nesha pasti bisa menjadi ibu yang baik untuk Yumi," suara tajam Nyonya Bira memenuhi ruangan."Aku tidak membutuhkan Nesha, Ma!""Dia calon istrimu! Nesha yang akan disini, dan jalang itu yang harus angkat kaki dari rumah ini," jawab Nyonya Bira bersikeras.Egar tidak goyah. Ia menatap ibunya dengan dingin, lalu dengan mantap berkata, "Ilona akan tetap di sini. Tidak ada yang bisa mengusirnya, termasuk Mama. Dan aku tidak pernah m
Angin malam berhembus menusuk, membawa dinginnya penderitaan yang baru saja dimulai. Egar berdiri tegak di depan rumah mewah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, tapi kini bukan lagi miliknya. Di sisinya, Ilona menggenggam tangan Yumi erat-erat, seolah takut kehilangan gadis kecil itu."Keluar sekarang juga!" Suara penuh kemarahan Nyonya Bira masih menggema di telinga mereka."Baik, Ma."Egar menerima keputusan itu tanpa perlawanan. Ilona menatapnya, menggeleng pelan. "Kau tidak harus melakukan ini, Egar. Aku bisa pergi sendiri."Tapi Egar hanya tersenyum tipis, tatapannya penuh keteguhan. "Aku sudah memilih, Ilona. Aku tidak akan meninggalkanmu."Dengan perut kosong dan hanya pakaian di badan, mereka melangkah keluar. Egar sempat menuju garasi, ingin membawa mobilnya—satu-satunya aset yang bisa membantunya bertahan untuk sementara waktu. Tapi sebelum ia sempat masuk ke dalamnya, suara dingin ibunya menghentikannya."Aku katakan, jika kau pergi dari rumah ini, jangan membawa ap
Sehari…Dua hari…Tiga hari…Bahkan hingga seminggu penuh, tak ada satu kabar pun datang dari Anita. Rumah milik Egar dan Ilona yang sebelumnya mulai terasa tenang kembali tegang, seperti ada awan hitam yang menggantung di atas atapnya. Setiap denting jam seolah menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan tanpa kejelasan.Nyonya Bira tak tinggal diam. Ia hampir setiap hari datang, wajahnya dipenuhi amarah yang terpendam. Ia bukan sekadar ibu mertua yang cerewet, tetapi wanita yang merasa hidupnya penuh kendali dan kini merasa semuanya mulai goyah.“Kau masih belum dengar apa pun dari dia?” tanyanya tajam begitu melangkah masuk, tanpa basa-basi.Ilona yang tengah menyapu halaman hanya menunduk. Egar keluar dari dapur, mendengar nada tinggi ibunya dan merasa lelah menghadapi sikap yang terus menyudutkan istrinya.“Ma, bukankah sekarang tidak ada lagi berita, tuntutan, ataupun tuduhan kepada Mama. Untuk apa mencari tahu?” tanya Egar dengan nada tegas. “Semua seperti menguap. Harusnya Ma
Mobil hitam itu semakin menjauh, membawa Anita kembali ke dunia lamanya—dunia penuh gengsi, tanggung jawab besar, dan luka masa lalu yang belum sembuh. Tapi di depan rumah di kota pinggir ini, badai lain sedang meletus dalam diam.Ilona masih berdiri terpaku. Angin siang itu menyibak rambutnya yang dibiarkan tergerai. Di balik matanya yang tenang, pikirannya berkecamuk hebat. Suara Anita—panggilan lembut dan penuh cinta—masih menggema. Tapi juga, bayangan masa kecilnya kembali muncul, ketika ia harus tumbuh tanpa ibu kandung, diasuh oleh orang lain, tanpa tahu siapa dirinya sebenarnya.“Sekarang kau bangga karena ternyata punya ibu yang hebat?” tanya Nyonya Bira tajam, mengoyak lamunan Ilona.Wanita paruh baya itu tampak menatap Ilona dengan tatapan sinis, masih penuh kebencian. Meskipun sudah tahu kalau Ilona memiliki orang tua yang jelas, bahkan lebih kaya dan lebih berpengaruh darinya.Ilona menoleh perlahan, matanya kini dingin dan kosong. “Aku biasa saja, Ma.”“Pastilah, kau itu
Tangis Anita masih belum sepenuhnya reda. Pelukan Ilona, panggilan “Mama” yang begitu lama ia nantikan, kini benar-benar ia dengar dengan telinganya sendiri. Bukan dalam mimpi, bukan hanya bayangan kosong penuh harap di malam-malam panjang yang sepi. Hari ini, keajaiban itu nyata.“Terima kasih, Nak,” ucap Anita sambil menghapus air matanya, mencoba tersenyum di tengah guncangan emosinya.Ilona tidak menjawab. Hanya senyuman tipis yang ia berikan, namun di balik senyuman itu ada seribu luka yang perlahan mulai terobati. Di belakang mereka, Egar berdiri memperhatikan. Wajahnya penuh rasa lega, dan matanya pun tak mampu menahan bulir air bening yang akhirnya jatuh perlahan di pipinya.Hubungan yang awalnya penuh keraguan, kini mulai merekat, sedikit demi sedikit.Namun suasana penuh haru itu seketika diusik.“Ya ampun, seperti di sinetron saja,” sindir suara yang sangat dikenali. “Padahal hanya kembali ke ibu kota dan bisa balik lagi ke sini, tapi pelukannya seperti orang yang tidak bak
Ruang tamu yang sebelumnya penuh dengan ketegangan kini terasa jauh lebih sunyi. Setelah semua percakapan meledak dan terbongkar, yang tersisa hanyalah perasaan-perasaan yang belum terucap. Perasaan tak percaya, penyesalan, dan kegundahan menggantung di udara.Jojo, sopir sekaligus asisten pribadi Anita, kembali memasuki ruangan setelah sibuk berbicara di telepon. Dengan nada sopan dan tenang, ia melapor,"Nyonya, penerbangan jam dua siang ini sudah dikonfirmasi."Anita mengangguk pelan. "Oke. Tapi, kamu disini menjaga Ilona."“Tapi, Nyonya—““Kalau begitu, carikan seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga Ilona dan Egar disini,” potong Anita secepatnya.Dia tidak bisa meninggalkan Ilona tanpa penjagaan, dia ingin melindungi anaknya. Apalagi, dia tidak bisa mempercayai mertua Ilona.“Baik, Nyonya,” jawab Jojo patuh dan kembali sibuk dengan ponselnya, mencari seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga majikan baru mereka, Ilona, Egar dan anak-anak mereka. Karena, Jojo harus selalu menda
Ruangan itu hening, tapi ketegangannya terasa seperti bara api yang perlahan membakar udara. Di tengah suasana tegang itu, Nyonya Bira masih berdiri dengan dada terangkat tinggi, senyuman sinis menghiasi wajahnya.Pandangannya tajam tertuju pada wanita berpenampilan sederhana yang berdiri tak jauh dari Ilona. Wanita itu mengenakan gamis sederhana berwarna pastel, wajahnya pucat namun menyimpan ketenangan yang misterius."Nyonya? Jadi ini mamanya atau majikannya?" tanya Nyonya Bira dengan nada menyindir, matanya melirik ke arah Ilona yang masih belum berkata apa-apa.“Katanya ibu kandungnya, tapi dipanggil Nyonya.”Senyum liciknya mengembang seiring ia melihat ekspresi kikuk Ilona. Dalam hatinya, Nyonya Bira sudah menyimpulkan semuanya—bahwa kehadiran wanita bernama Anita ini bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh Ilona. Ia percaya bahwa Anita hanyalah bayang-bayang dari masa lalu yang memalukan, seseorang yang tak seharusnya berdiri di rumah keluarga Bira yang terhormat."Ma, tolong...
Udara pagi masih terasa dingin ketika ketegangan di ruang tengah rumah Egar belum juga mereda. Semua orang seakan berjalan di atas pecahan kaca, takut bergerak, takut bicara. Hanya Ilona yang duduk mematung, memeluk Gana dengan tubuh gemetar, seolah berusaha menyerap kekuatan dari anak kecil itu.Kehadiran Anita, ibunya yang telah lama hilang, terasa seperti sebuah keajaiban—tapi juga sebuah pertanyaan besar. Mengapa sekarang? Di saat semua tuduhan, fitnah, dan aib menyelimuti dirinya, mengapa wanita itu datang seakan siap menghadapi badai bersamanya?Namun jawaban Anita atas hinaan Nyonya Bira justru menggetarkan hati.“Mungkin saja.”Itu saja yang ia katakan, pelan, nyaris berbisik. Tapi tidak ada sedikitpun getar ketakutan dalam suaranya. Ia tak menghiraukan cercaan atau tawa sinis dari Nyonya Bira. Fokusnya hanya satu: Ilona. Anak yang telah ia lahirkan, yang kini duduk di hadapannya.“Egar…” panggil Anita lembut, matanya menatap menantunya dengan tegas tapi penuh harap.Egar meng
Matahari belum sepenuhnya meninggi, namun rumah Egar sudah dipenuhi ketegangan. Tangis Ilona masih terdengar lirih, tertahan di balik pelukan anaknya, Gana. Wajahnya sembab, nafasnya tak teratur. Tubuhnya lemas seolah tak punya daya untuk membela diri dari semua tuduhan yang dilontarkan mertuanya, Nyonya Bira.Di sudut ruangan, Yumi memeluk lututnya, bingung dengan keributan yang terjadi. Sementara itu, Egar berdiri kaku, mencoba menahan emosi yang memuncak.“Karena dia nama Mama jadi tercoreng!” bentak Nyonya Bira. “Mama kini diburu wartawan, mereka menunggu di luar rumah, mau konfirmasi apa benar pembunuh ini adalah menantu Mama! Sekarang, apa yang harus Mama jawab, Egar? Haruskah Mama mengakuinya?”Ilona menggigil. Kata "pembunuh" itu seperti pukulan berulang di dadanya. Padahal, ia sendiri baru mengetahui bahwa Romy, mantan suaminya, telah meninggal. Dan sekarang ia yang dituduh sebagai pelakunya.“Mama, Ilona bukan pembunuh! Itu semua fitnah!” Egar akhirnya bersuara lantang.Namu
“Aku bahkan tidak tahu Romy meninggal. Kini, aku yang menjadi sasaran,” gumam Ilona lemah, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Egar langsung menghampiri dan memeluknya erat. Ia tahu ini akan menghantam Ilona sangat keras, tapi ia juga tahu mereka bisa melewati ini bersama. Hatinya penuh amarah, tapi juga kesedihan. Ia tahu betul siapa istrinya. Ilona bukan pembunuh. Ia yakin itu.Bulir-bulir bening mengalir di wajah Ilona, menggambarkan betapa luka ini datang terlalu mendadak. Ia tidak pernah menyangka bahwa bayang-bayang masa lalu akan kembali menghantuinya dengan cara seburuk ini.“Romy, juga pasti tidak pernah menuduh kamu melakukan itu. Dia juga pasti sedih dengan semua ini. Dan aku yakin, mengapa hal ini baru sekarang mereka angkat, itu karena Romy telah tiada,” ucap Egar lembut, menghapus jejak airmata yang mengalir di wajah sang istri.“Romy begitu lemah untuk melawan ibunya, dan ibunya selalu memanfaatkan itu.”“Dia bukan lemah, itu karena dia sangat menyayangi ka
“Papa, mau makan lagi,” ujar Yumi membuyarkan lamunan Egar.Egar tersentak dari lamunannya, dia sadar ternyata mereka belum selesai makan. Ketika menatap ke atas meja makan, makanan masih terbuka. Dan belum setengahnya tersentuh.“Oke, Sayang. ayo, papa temani Yumi makan.”Keesokan harinya…Pagi itu rumah Egar kembali dipenuhi kehangatan yang lama terasa hilang. Aroma tumisan buncis dan telur dadar keju memenuhi udara, membuat suasana dapur terasa lebih hidup. Ilona sibuk di dapur, menyusun sarapan di meja makan dengan penuh cinta.Di kursi tinggi mereka, Yumi yang hampir empat tahun sudah duduk manis sambil menggoyang-goyangkan kakinya, Gana juga tampak duduk dengan tenang menunggu makanannya tiba.Egar keluar dari kamar dalam balutan kemeja biru dan celana panjang abu-abu, wajahnya tampak lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Hari ini ia akan kembali ke gudang pengelolaan ikan miliknya setelah beberapa hari sibuk mengurus banyak hal.Dia tersenyum melihat Ilona sedang menuangkan te