"Ilona tidak akan pergi, dia akan tetap disini, Ma."Ilona berdiri membatu di tempatnya, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Egar masih bergema di telinganya. "Ilona tidak akan pergi!"Ia tidak pernah menyangka Egar akan melakukan ini—berdiri di hadapannya seperti perisai, melindunginya dari Nyonya Bira yang sejak awal membenci keberadaannya."Apa maksudmu, Egar? Wanita ini sendiri yang tadi bilang akan pergi! Kenapa sekarang kau menahannya, biarkan dia pergi. Jangan khawatir, dunia ini begitu luas, mama pasti akan menemukan pengasuh untuk Yumi. Dan juga, Nesha pasti bisa menjadi ibu yang baik untuk Yumi," suara tajam Nyonya Bira memenuhi ruangan."Aku tidak membutuhkan Nesha, Ma!""Dia calon istrimu! Nesha yang akan disini, dan jalang itu yang harus angkat kaki dari rumah ini," jawab Nyonya Bira bersikeras.Egar tidak goyah. Ia menatap ibunya dengan dingin, lalu dengan mantap berkata, "Ilona akan tetap di sini. Tidak ada yang bisa mengusirnya, termasuk Mama. Dan aku tidak pernah m
Angin malam berhembus menusuk, membawa dinginnya penderitaan yang baru saja dimulai. Egar berdiri tegak di depan rumah mewah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, tapi kini bukan lagi miliknya. Di sisinya, Ilona menggenggam tangan Yumi erat-erat, seolah takut kehilangan gadis kecil itu."Keluar sekarang juga!" Suara penuh kemarahan Nyonya Bira masih menggema di telinga mereka."Baik, Ma."Egar menerima keputusan itu tanpa perlawanan. Ilona menatapnya, menggeleng pelan. "Kau tidak harus melakukan ini, Egar. Aku bisa pergi sendiri."Tapi Egar hanya tersenyum tipis, tatapannya penuh keteguhan. "Aku sudah memilih, Ilona. Aku tidak akan meninggalkanmu."Dengan perut kosong dan hanya pakaian di badan, mereka melangkah keluar. Egar sempat menuju garasi, ingin membawa mobilnya—satu-satunya aset yang bisa membantunya bertahan untuk sementara waktu. Tapi sebelum ia sempat masuk ke dalamnya, suara dingin ibunya menghentikannya."Aku katakan, jika kau pergi dari rumah ini, jangan membawa ap
"Kita akan tinggal disini sementara," ujar Egar kepada Ilona setelah tiba di sebuah apartemen."Tempat siapa?""Temanku. Tenang saja, kita akan aman disini. Tidak sembarangan orang bisa masuk," jawab Egar."Tapi, kita bisa masuk.""Karena aku sering kesini. Penjaga sudah kenal."Iya, dini hari itu Egar akhirnya membawa Ilona dan Yumi dari hotel pergi ke apartemen ini. Salah satu sahabat kepercayaannya.Egar bersandar di sofa apartemen Riko, tangannya terlipat di dada, matanya menatap kosong ke arah jendela. Ia pikir setelah meninggalkan rumah, semuanya akan menjadi lebih baik. Tapi ternyata, ibunya tidak akan membiarkan mereka pergi dengan mudah.Ilona duduk di lantai, sibuk menemani Yumi bermain sambil makan. Tawa kecil bocah itu menjadi satu-satunya suara yang menghangatkan ruangan. Setidaknya, untuk sementara, mereka merasa aman di tempat ini.Di dapur, Riko menatap Egar dengan alis terangkat. "Jadi, lo seriusan kabur dari nyokap lo? Sudah gede gini masih kaburan.""Iya," jawab Ega
Suasana kantor Nyonya Bira begitu hening, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan di ruangan luas itu. Egar berdiri tegak di depan meja ibunya, sorot matanya tajam, penuh kemarahan yang ditahan.Akhirnya, dia memutuskan menemui wanita paruh baya itu, berharap masih ada sedikit saja rasa sayang seorang ibu kepadanya. Berharap Nyonya Bira masih peduli pada cucunya."Ma, apa maksud Mama?" tanyanya, mencoba menahan emosinya.Wanita paruh baya itu meletakkan kacamatanya di atas meja, lalu tersenyum.Senyum yang bukan penuh kasih sayang, melainkan senyum penuh kemenangan. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Seperti catur yang sudah ia mainkan sejak awal, akhirnya Egar kembali ke hadapannya."Akhirnya kau tahu jalan pulang," jawabnya tenang, mengabaikan pertanyaan Egar.Egar mengepalkan tangannya. Ia bukan kembali untuk menyerah, tapi untuk menyelesaikan semuanya.Ibunya, kini telah menunjukkan siapa dia sebenarnya. Ibunya telah menjadi monster yang bahkan tidak punya hati terhadap an
Langit malam membentang luas di atas kota, gemerlap lampu jalanan seperti lautan cahaya yang berpendar di kejauhan. Di dalam apartemen kecil milik Riko, Ilona duduk di sudut ruangan dengan tatapan kosong. Egar berdiri di hadapannya, wajahnya penuh dengan keteguhan yang sulit dibaca.“Kenapa kamu mengambil keputusan seperti ini?” suara Ilona pelan, nyaris berbisik.Egar tidak menjawab seketika. Ia menatap Ilona dalam-dalam, seolah berusaha meyakinkannya hanya dengan sorot matanya. “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi lagi,” jawabnya akhirnya.Hati Ilona mencelos. Dia tidak pernah meminta Egar untuk ikut. Tidak pernah sekalipun ia meminta siapa pun menemaninya dalam perjalanan yang bahkan belum jelas tujuannya.“Aku bukan siapa-siapa, Gar. Kalaupun aku pergi, semuanya akan seperti biasa saja. Tidak ada yang berubah, tidak ada yang dirugikan. Kalau seperti ini, semuanya malah kacau,” Ilona berusaha menekan perasaannya, mencari celah agar Egar mengerti.“Aku tidak peduli.”Jawaban itu membu
Egar menatap layar ponselnya yang baru saja aktif. Beberapa panggilan tak terjawab dari ibunya langsung memenuhi layar. Ada juga sebuah pesan singkat dari Nyonya Bira.‘[Egar, pulanglah. Mama akan menuruti semua keinginanmu.]’Egar mendengus sinis. Tawaran itu terdengar manis, tapi dia tahu lebih baik daripada percaya begitu saja. Ibunya tidak pernah memberi sesuatu tanpa meminta balasan yang lebih besar. Dan ibunya selalu penuh manipulasi, pastinya apa yang dia tuliskan bukanlah berasal dari hatinya.Ibunya terbiasa melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya, tidak heran bahkan ayahnya tidak panjang umur, karena selalu tertekan dengan ambisi sang istri. Akhirnya, saat Egar kuliah semester dua ayahnya meninggal karena serangan jantung. Ibunya menjadi orang tua tunggal, kekuasaan dan ambisinya semakin menjadi-jadi."Ma, aku tidak akan terjebak. Tidak mungkin Mama berubah dalam semalam, sudah pasti ini hanyalah sebagai pemikat saja, maaf aku tidak akan kembali, Ma," gumamnya lirih sebe
“Kamu sangat tidak yakin kepadaku?”Suara Egar terdengar begitu tenang, namun Ilona bisa merasakan ketegangan di balik pertanyaannya.Ilona terdiam, lidahnya kelu. Dia tidak berpikir begitu—tidak pernah. Hanya saja, perasaan bersalah terus menghantui dirinya. Semua ini terjadi karena dia. Egar meninggalkan kehidupannya yang serba berkecukupan demi ikut bersamanya ke kota asing ini.Dan kini, mereka terjebak di dalam kamar penginapan sempit. Bahkan demi menghemat uang, mereka hanya menyewa satu kamar. Ilona tahu, bagi Egar, ini bukanlah sesuatu yang biasa. Selama ini, Egar pasti tidak pernah tinggal di tempat seperti ini.“Bukan seperti itu,” akhirnya Ilona bersuara. “Sekarang, semua tidak lagi sama dengan kehidupanmu yang dulu.”Egar menatapnya dengan mata tajam. “Aku tahu. Kamu pasti tidak percaya aku bisa melewati semuanya. Kamu takut aku dan Yumi hanya akan menjadi penghalang langkahmu, kan?”Ilona menggeleng cepat. “Tidak sama sekali. Hanya saja, perjalanan di depan belum pasti. K
Ilona dan Egar tampak tergagap mendengar ucapan Bu Sari."Ah, maaf. Ibu hanya memastikan. Padahal sudah jelas kalian satu keluarga," wanita paruh baya itu tersenyum ramah, tapi ucapannya justru membuat Ilona merasa semakin tidak nyaman.Ilona menghela napas berat sebelum akhirnya berkata, "Kami memang bukan suami istri, Bu."Sejenak, wajah Bu Sari berubah kaget. Matanya melebar sebelum kemudian dia menggeleng pelan. "Kalau begitu tidak bisa. Ibu tidak bisa menyewakan rumah ini kepada kalian. Ibu tidak mau mendapatkan masalah. Karena kalau ada apa-apa, ibu sebagai pemilik rumah yang akan bertanggung jawab."Jantung Ilona berdegup kencang. Dia menoleh ke arah Egar, yang juga tampak terkejut. Wajah mereka sama-sama memucat. Apa yang dikatakan Bu Sari memang benar. Jika mereka tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan, masyarakat akan menganggap mereka sebagai pasangan kumpul kebo. Meskipun mereka tidak melakukan hal yang melanggar, tetap saja orang lain tidak akan tahu apa yang sebenarnya
Sehari…Dua hari…Tiga hari…Bahkan hingga seminggu penuh, tak ada satu kabar pun datang dari Anita. Rumah milik Egar dan Ilona yang sebelumnya mulai terasa tenang kembali tegang, seperti ada awan hitam yang menggantung di atas atapnya. Setiap denting jam seolah menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan tanpa kejelasan.Nyonya Bira tak tinggal diam. Ia hampir setiap hari datang, wajahnya dipenuhi amarah yang terpendam. Ia bukan sekadar ibu mertua yang cerewet, tetapi wanita yang merasa hidupnya penuh kendali dan kini merasa semuanya mulai goyah.“Kau masih belum dengar apa pun dari dia?” tanyanya tajam begitu melangkah masuk, tanpa basa-basi.Ilona yang tengah menyapu halaman hanya menunduk. Egar keluar dari dapur, mendengar nada tinggi ibunya dan merasa lelah menghadapi sikap yang terus menyudutkan istrinya.“Ma, bukankah sekarang tidak ada lagi berita, tuntutan, ataupun tuduhan kepada Mama. Untuk apa mencari tahu?” tanya Egar dengan nada tegas. “Semua seperti menguap. Harusnya Ma
Mobil hitam itu semakin menjauh, membawa Anita kembali ke dunia lamanya—dunia penuh gengsi, tanggung jawab besar, dan luka masa lalu yang belum sembuh. Tapi di depan rumah di kota pinggir ini, badai lain sedang meletus dalam diam.Ilona masih berdiri terpaku. Angin siang itu menyibak rambutnya yang dibiarkan tergerai. Di balik matanya yang tenang, pikirannya berkecamuk hebat. Suara Anita—panggilan lembut dan penuh cinta—masih menggema. Tapi juga, bayangan masa kecilnya kembali muncul, ketika ia harus tumbuh tanpa ibu kandung, diasuh oleh orang lain, tanpa tahu siapa dirinya sebenarnya.“Sekarang kau bangga karena ternyata punya ibu yang hebat?” tanya Nyonya Bira tajam, mengoyak lamunan Ilona.Wanita paruh baya itu tampak menatap Ilona dengan tatapan sinis, masih penuh kebencian. Meskipun sudah tahu kalau Ilona memiliki orang tua yang jelas, bahkan lebih kaya dan lebih berpengaruh darinya.Ilona menoleh perlahan, matanya kini dingin dan kosong. “Aku biasa saja, Ma.”“Pastilah, kau itu
Tangis Anita masih belum sepenuhnya reda. Pelukan Ilona, panggilan “Mama” yang begitu lama ia nantikan, kini benar-benar ia dengar dengan telinganya sendiri. Bukan dalam mimpi, bukan hanya bayangan kosong penuh harap di malam-malam panjang yang sepi. Hari ini, keajaiban itu nyata.“Terima kasih, Nak,” ucap Anita sambil menghapus air matanya, mencoba tersenyum di tengah guncangan emosinya.Ilona tidak menjawab. Hanya senyuman tipis yang ia berikan, namun di balik senyuman itu ada seribu luka yang perlahan mulai terobati. Di belakang mereka, Egar berdiri memperhatikan. Wajahnya penuh rasa lega, dan matanya pun tak mampu menahan bulir air bening yang akhirnya jatuh perlahan di pipinya.Hubungan yang awalnya penuh keraguan, kini mulai merekat, sedikit demi sedikit.Namun suasana penuh haru itu seketika diusik.“Ya ampun, seperti di sinetron saja,” sindir suara yang sangat dikenali. “Padahal hanya kembali ke ibu kota dan bisa balik lagi ke sini, tapi pelukannya seperti orang yang tidak bak
Ruang tamu yang sebelumnya penuh dengan ketegangan kini terasa jauh lebih sunyi. Setelah semua percakapan meledak dan terbongkar, yang tersisa hanyalah perasaan-perasaan yang belum terucap. Perasaan tak percaya, penyesalan, dan kegundahan menggantung di udara.Jojo, sopir sekaligus asisten pribadi Anita, kembali memasuki ruangan setelah sibuk berbicara di telepon. Dengan nada sopan dan tenang, ia melapor,"Nyonya, penerbangan jam dua siang ini sudah dikonfirmasi."Anita mengangguk pelan. "Oke. Tapi, kamu disini menjaga Ilona."“Tapi, Nyonya—““Kalau begitu, carikan seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga Ilona dan Egar disini,” potong Anita secepatnya.Dia tidak bisa meninggalkan Ilona tanpa penjagaan, dia ingin melindungi anaknya. Apalagi, dia tidak bisa mempercayai mertua Ilona.“Baik, Nyonya,” jawab Jojo patuh dan kembali sibuk dengan ponselnya, mencari seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga majikan baru mereka, Ilona, Egar dan anak-anak mereka. Karena, Jojo harus selalu menda
Ruangan itu hening, tapi ketegangannya terasa seperti bara api yang perlahan membakar udara. Di tengah suasana tegang itu, Nyonya Bira masih berdiri dengan dada terangkat tinggi, senyuman sinis menghiasi wajahnya.Pandangannya tajam tertuju pada wanita berpenampilan sederhana yang berdiri tak jauh dari Ilona. Wanita itu mengenakan gamis sederhana berwarna pastel, wajahnya pucat namun menyimpan ketenangan yang misterius."Nyonya? Jadi ini mamanya atau majikannya?" tanya Nyonya Bira dengan nada menyindir, matanya melirik ke arah Ilona yang masih belum berkata apa-apa.“Katanya ibu kandungnya, tapi dipanggil Nyonya.”Senyum liciknya mengembang seiring ia melihat ekspresi kikuk Ilona. Dalam hatinya, Nyonya Bira sudah menyimpulkan semuanya—bahwa kehadiran wanita bernama Anita ini bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh Ilona. Ia percaya bahwa Anita hanyalah bayang-bayang dari masa lalu yang memalukan, seseorang yang tak seharusnya berdiri di rumah keluarga Bira yang terhormat."Ma, tolong...
Udara pagi masih terasa dingin ketika ketegangan di ruang tengah rumah Egar belum juga mereda. Semua orang seakan berjalan di atas pecahan kaca, takut bergerak, takut bicara. Hanya Ilona yang duduk mematung, memeluk Gana dengan tubuh gemetar, seolah berusaha menyerap kekuatan dari anak kecil itu.Kehadiran Anita, ibunya yang telah lama hilang, terasa seperti sebuah keajaiban—tapi juga sebuah pertanyaan besar. Mengapa sekarang? Di saat semua tuduhan, fitnah, dan aib menyelimuti dirinya, mengapa wanita itu datang seakan siap menghadapi badai bersamanya?Namun jawaban Anita atas hinaan Nyonya Bira justru menggetarkan hati.“Mungkin saja.”Itu saja yang ia katakan, pelan, nyaris berbisik. Tapi tidak ada sedikitpun getar ketakutan dalam suaranya. Ia tak menghiraukan cercaan atau tawa sinis dari Nyonya Bira. Fokusnya hanya satu: Ilona. Anak yang telah ia lahirkan, yang kini duduk di hadapannya.“Egar…” panggil Anita lembut, matanya menatap menantunya dengan tegas tapi penuh harap.Egar meng
Matahari belum sepenuhnya meninggi, namun rumah Egar sudah dipenuhi ketegangan. Tangis Ilona masih terdengar lirih, tertahan di balik pelukan anaknya, Gana. Wajahnya sembab, nafasnya tak teratur. Tubuhnya lemas seolah tak punya daya untuk membela diri dari semua tuduhan yang dilontarkan mertuanya, Nyonya Bira.Di sudut ruangan, Yumi memeluk lututnya, bingung dengan keributan yang terjadi. Sementara itu, Egar berdiri kaku, mencoba menahan emosi yang memuncak.“Karena dia nama Mama jadi tercoreng!” bentak Nyonya Bira. “Mama kini diburu wartawan, mereka menunggu di luar rumah, mau konfirmasi apa benar pembunuh ini adalah menantu Mama! Sekarang, apa yang harus Mama jawab, Egar? Haruskah Mama mengakuinya?”Ilona menggigil. Kata "pembunuh" itu seperti pukulan berulang di dadanya. Padahal, ia sendiri baru mengetahui bahwa Romy, mantan suaminya, telah meninggal. Dan sekarang ia yang dituduh sebagai pelakunya.“Mama, Ilona bukan pembunuh! Itu semua fitnah!” Egar akhirnya bersuara lantang.Namu
“Aku bahkan tidak tahu Romy meninggal. Kini, aku yang menjadi sasaran,” gumam Ilona lemah, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Egar langsung menghampiri dan memeluknya erat. Ia tahu ini akan menghantam Ilona sangat keras, tapi ia juga tahu mereka bisa melewati ini bersama. Hatinya penuh amarah, tapi juga kesedihan. Ia tahu betul siapa istrinya. Ilona bukan pembunuh. Ia yakin itu.Bulir-bulir bening mengalir di wajah Ilona, menggambarkan betapa luka ini datang terlalu mendadak. Ia tidak pernah menyangka bahwa bayang-bayang masa lalu akan kembali menghantuinya dengan cara seburuk ini.“Romy, juga pasti tidak pernah menuduh kamu melakukan itu. Dia juga pasti sedih dengan semua ini. Dan aku yakin, mengapa hal ini baru sekarang mereka angkat, itu karena Romy telah tiada,” ucap Egar lembut, menghapus jejak airmata yang mengalir di wajah sang istri.“Romy begitu lemah untuk melawan ibunya, dan ibunya selalu memanfaatkan itu.”“Dia bukan lemah, itu karena dia sangat menyayangi ka
“Papa, mau makan lagi,” ujar Yumi membuyarkan lamunan Egar.Egar tersentak dari lamunannya, dia sadar ternyata mereka belum selesai makan. Ketika menatap ke atas meja makan, makanan masih terbuka. Dan belum setengahnya tersentuh.“Oke, Sayang. ayo, papa temani Yumi makan.”Keesokan harinya…Pagi itu rumah Egar kembali dipenuhi kehangatan yang lama terasa hilang. Aroma tumisan buncis dan telur dadar keju memenuhi udara, membuat suasana dapur terasa lebih hidup. Ilona sibuk di dapur, menyusun sarapan di meja makan dengan penuh cinta.Di kursi tinggi mereka, Yumi yang hampir empat tahun sudah duduk manis sambil menggoyang-goyangkan kakinya, Gana juga tampak duduk dengan tenang menunggu makanannya tiba.Egar keluar dari kamar dalam balutan kemeja biru dan celana panjang abu-abu, wajahnya tampak lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Hari ini ia akan kembali ke gudang pengelolaan ikan miliknya setelah beberapa hari sibuk mengurus banyak hal.Dia tersenyum melihat Ilona sedang menuangkan te