Yumi akhirnya mendapatkan perawatan di rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa bayi itu mengalami dehidrasi akibat menangis terlalu lama, meskipun untungnya belum dalam kondisi yang parah. Kini, dia tertidur lelap dengan infus di tangannya. Wajah mungilnya tampak lebih tenang, meski sesekali isakannya masih terdengar samar dalam tidurnya.Egar duduk di sofa yang ada di kamar perawatan, matanya terpejam. Rasa lelah mendera tubuh dan pikirannya.Suara langkah sepatu hak tinggi yang menghentak lantai terdengar mendekat. Nyonya Bira baru saja tiba di rumah sakit, menyusul setelah memastikan bahwa Yumi telah dipindahkan ke ruang perawatan yang lebih nyaman. Wajahnya penuh ketidakpuasan."Kan dia bisa diam. Harusnya sejak semalam langsung dirawat saja!" ucapnya dengan nada ketus.Egar hanya melirik sekilas ke arah ibunya, lalu kembali memejamkan matanya. Dia tidak ingin berdebat sekarang. Kepalanya terasa penuh.Tapi Nyonya Bira belum selesai. "Tidak perlu Ilona, dia menangis bukan karena wani
Egar menghela napas panjang, berdiri di depan gerbang sekolah lamanya. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di sini, dan sekarang dia kembali—bukan untuk bernostalgia, tapi untuk mencari seseorang yang mungkin menjadi satu-satunya harapan bagi putrinya.Saat memasuki gedung administrasi, ia langsung menyampaikan tujuannya."Maaf, kami tidak bisa memberikan data pribadi alumni," ujar petugas administrasi dengan nada tegas."Tapi, saya sangat butuh. Ini demi keselamatan anak saya," katanya pelan. Ia tidak ingin memaksa, tapi jika tidak segera menemukan Ilona, Yumi bisa kembali jatuh sakit.Egar menjelaskan panjang lebar tentang kondisi Yumi, wanita itu akhirnya mengalah."Baiklah, tapi ini hanya informasi terbatas," ujarnya sambil membuka dokumen di komputer kemudian menyerahkan secarik kertas kepada Egar.Egar segera melihatnya, namun wajahnya mengerut. Alamatnya tidak lengkap. Ilona hanya menuliskan daerah tempat tinggalnya, tanpa nomor rumah atau jalan yan
Duaar!Guruh menggelegar, disusul hujan yang turun dengan derasnya. Jalanan yang sebelumnya kering kini berubah menjadi genangan air, membuat banyak orang terpaksa berteduh di depan toko. Egar, yang sudah lelah setelah seharian mencari Ilona, hanya bisa mendesah dan memutuskan untuk menyerah.Lagi-lagi, pencariannya berakhir dengan tangan kosong.Dengan langkah berat, ia berjalan pulang, hujan membasahi tubuhnya, seakan mencerminkan perasaannya yang hancur. “Di mana kau, Ilona?”Sementara itu, di dalam toko pakaian, Ilona sibuk di meja kasir. Hujan yang turun membuat pelanggan membludak, banyak yang membeli baju atau sekadar berteduh sambil berbelanja.Setelah hampir satu jam berlalu, hujan mulai mereda, dan toko pun kembali sepi. Arya, sang pemilik toko, berjalan mendekati Ilona dengan senyum kecil."Sepertinya kau memang pemikat pelanggan," ujarnya sambil melirik kasir yang penuh dengan hasil penjualan hari itu.Ilona tertawa kecil. "Ada-ada saja, ini semua karena produk yang bagus,
Hujan turun dengan derasnya, membuat trotoar di sepanjang jalan basah dan licin. Beberapa orang berlarian mencari tempat berteduh, termasuk seorang pria dengan jas hitam yang kini basah kuyup.Egar memandang ke sekeliling, matanya penuh harapan. Sudah empat bulan ia mencari, menyusuri setiap sudut daerah ini dengan penuh kesabaran. Namun, sampai detik ini, Ilona belum juga ditemukan.Sementara itu, di rumah keluarganya, suara tangisan Yumi kembali memenuhi ruangan. Gadis kecil yang kini berusia sepuluh bulan itu matanya basah oleh air mata, tangannya menggenggam boneka lusuh yang selalu ia bawa kemana-mana.“Ma, kemana Sus Yuli?” tanya Egar ketika ia masuk ke rumah dan melihat seorang pengasuh baru yang asing baginya.“Sudah Mama pecat!” jawab Nyonya Bira dengan nada ketus.“Kenapa?”“Tidak bisa bekerja! Tugasnya hanya mengasuh Yumi, tapi anak itu terus saja menangis dan lihatlah betapa kurusnya dia!”Egar menatap Yumi dengan perasaan iba. Bukan salah pengasuhnya jika Yumi menjadi sep
Langit siang itu tampak mendung, seolah ikut merasakan beban yang kini memenuhi hati Ilona. Udara di sekitar toko tempatnya bekerja terasa lebih berat dari biasanya. Namun, bukan karena suhu atau cuaca, melainkan karena pria yang kini berlutut di hadapannya.“Egar, apa yang kau lakukan?”Sosok yang dulu pernah membuat hidupnya penuh luka, kini ada di sini dengan wajah penuh keputusasaan. Matanya yang dulu penuh kebanggaan kini hanya menyiratkan kepasrahan. Dan kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya masih menggema di telinga Ilona."Aku harus menyelamatkan Yumi."Ilona menggigit bibirnya, mencoba menahan gejolak dalam hatinya. Ia telah membangun kembali hidupnya di tempat ini, jauh dari semua luka dan kenangan yang ingin ia lupakan. Tapi kini, Egar datang, membawa kenyataan pahit yang memaksa Ilona untuk menghadapi semuanya.“Tapi, kau tidak perlu menyumpahi Yumi!”“Memang itu yang dokter katakan.”Ilona menatapnya tajam, hatinya sakit mendengar kata-kata itu. “Kau tega mengatak
Suara dering bel pintu toko bergema ketika seseorang masuk, menghentikan perhatian orang-orang yang masih menyaksikan pemandangan tak biasa di depan mereka."Ada apa ini?"Suara tegas itu milik Arya, sang pemilik toko sekaligus atasan Ilona. Arya berdiri di ambang pintu dengan ekspresi heran, melihat seorang pria berlutut di hadapan Ilona dengan wajah penuh keputusasaan."Maaf, Pak," ucap Ilona sambil menghela napas berat.Arya menatapnya tajam. “Kalau ada masalah, kamu selesaikan di belakang, Ilona. Di sini banyak pelanggan, mereka terganggu.”Ilona menggigit bibirnya, merasa bersalah. Tatapan Arya tidak menunjukkan kemarahan, melainkan lebih kepada kekhawatiran. Ia tahu Ilona bukan tipe orang yang suka membuat keributan.Akhirnya, Ilona mengangguk lemah. “Maaf.”Di belakang toko, suasana lebih tenang. Hanya ada tumpukan kardus berisi barang-barang stok dan beberapa kursi untuk pegawai beristirahat. Di sana, Ilona duduk dengan kepala tertunduk, sementara Egar masih berusaha meyakinka
Ilona menghela napas panjang, menatap Egar dengan mata berkaca-kaca. Sejak awal, dia tahu keberadaannya di rumah ini tidak diinginkan oleh Nyonya Bira, ibu Egar. Namun, setiap kali dia ingin pergi, tatapan Yumi menahannya. Anak itu terlalu kecil untuk menderita.“Dia tidak boleh di sini!” suara nyaring Nyonya Bira menggema di dalam rumah besar itu.Ilona hanya bisa diam, menggigit bibirnya sendiri untuk menahan sakit di hatinya. Semua ini demi Yumi. Anak itu sudah sangat kurus, jauh dari sosok bayi sehat yang dulu ia kenal. Bahkan sekarang, kulitnya pucat, tulangnya menonjol, dan tatapannya kosong.“Di mana Yumi, di situ Ilona, Ma,” Egar menjawab tegas, mencoba mempertahankan Ilona dan putrinya.Mata Nyonya Bira membulat penuh kemarahan. “Suruh dia tinggal di paviliun belakang!”“Tapi, Ma, paviliun itu sudah lama kosong,” bantah Egar. Ia tahu tempat itu tidak layak untuk ditempati. Sejak dulu paviliun itu memang ada, sebuah rumah lama yang dulunya dihuni oleh keluarga mereka sebelum r
"Ma, itu tidak benar," suara Egar terdengar tegas, tetapi nada putus asanya tidak bisa disembunyikan.Di hadapannya, seorang wanita paruh baya berdiri dengan mata penuh amarah. Sorot matanya menelanjangi setiap inci tubuh Ilona yang berdiri di samping Egar, menggendong bayi kecil yang kini menangis ketakutan."Apa yang tidak benar?" bentak wanita itu. "Lihat anak itu! Dia seperti anak kekurangan gizi! Apa keluarga kalian tidak mampu membelikan makanan untuk bayi yang bahkan belum genap setahun?!"“Kalian yang katanya salah satu orang terkaya ternyata bahkan tidak bisa membesarkan seorang anak!” sambungnya.Ilona menggigit bibirnya, hatinya mencelos. Apakah benar Yumi terlihat sekurus itu? Apakah mereka benar-benar tidak merawatnya dengan baik? Tapi Ilona tahu, sejak awal Nyonya Asia—wanita yang sekarang menatapnya dengan kebencian—tidak pernah datang menjenguk.Dan Ilona menebak kalau wanita itu adalah ibunya Gia, atau neneknya Yumi dari pihak ibu.Apakah selama ini mereka tidak pedul
Langit siang itu masih menggantung mendung, menggambarkan suasana hati Ilona yang bergemuruh. Rumahnya yang biasanya terasa hangat dan nyaman kini berubah menjadi ruang pengakuan, tempat luka-luka lama terbuka kembali. Di sofa, terbaring seorang wanita yang baru saja mengaku sebagai ibu kandungnya — Anita.Tubuh wanita paruh baya itu tampak lemah. Ia terjatuh ketika hendak pergi, dan Ilona yang semula membeku akhirnya ikut menolong. Tapi apa yang baru saja ia dengar dari mulut sopir wanita itu, Jojo, membuat dunia Ilona seakan runtuh.“Nyonya menderita sakit jantung koroner dan osteoporosis,” jawab Jojo, cepat dan tanpa ragu.Ilona tersentak. Tatapannya langsung terarah ke wanita di sofa. Dada Ilona sesak. Rasa asing yang sedari tadi ia tahan mulai berubah menjadi sesuatu yang tidak ia mengerti&mda
“Ini alamat mama, siapa tahu kamu berkenan untuk datang,” ucap Anita pelan.“Aku tidak butuh,” jawab Ilona dengan cepat.Namun, tidak dengan Egar. Dia menerima sebuah kertas yang diberikan oleh Anita tersebut. Dia tahu, saat ini Ilona mungkin belum bisa menerima, tapi suatu saat dia akan luluh.“Terima kasih, Egar.”“Iya, Ma.”Mata Anita berkaca-kaca mendengar Egar memanggilnya “mama” rasanya begitu menenangkan, meskipun Egar hanyalah menantu. Tapi, baginya itu sudah lebih dari cukup.Ilona duduk di kursinya dengan tubuh tegap dan ekspresi yang datar, tapi hatinya bergejolak hebat. Emosi campur aduk memenuhi dadanya. Ia i
Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang nyaris tak tertahankan. Ilona duduk tegak, berusaha menahan getaran di dadanya. Ia menatap Anita yang duduk di hadapannya, wanita yang telah melahirkannya, namun sekaligus wanita yang meninggalkannya.Ada banyak pertanyaan di benaknya, tapi yang paling mendesak akhirnya meluncur dari bibirnya dengan suara yang tertahan, “Siapa ayah kandungku?”Ia baru sadar, dengan kehadiran Anita di hadapannya, berarti ia juga memiliki seorang ayah kandung. Seorang pria yang mungkin tidak pernah tahu keberadaannya. Seorang pria yang seharusnya bisa menjadi pelindungnya jika saja takdir berkata lain.Tapi, mungkin juga seorang lelaki yang juga tidak menginginkan kehadirannya di dunia ini. Dia tidak pernah tahu.Hatinya terasa berat. Jika b
“Semuanya seperti sebuah karangan yang terstruktur. Dan sangat sulit membedakan cerita ini nyata atau hanyalah fiksi,” gumam Ilona pelan, nyaris tidak terdengar.Anita tampak terus memandang Ilona, seolah ingin mengingat setiap inchi wajah anaknya, buah hati dari orang yang dicintainya. Yang kini, juga hilang kabar entah kemana. Bukan kekasihnya yang menghilang, sebenarnya dialah yang menghilang."Ketika Mama dikirim ke luar negeri, mama benar-benar merasa hancur. Mama tak bisa kembali, tak bisa mencari tahu bagaimana keadaanmu. Mama terus mencoba menghubungi orang-orang yang mungkin bisa memberiku informasi, tapi keluargaku mengawasi setiap gerak-gerikku,” ujar Anita kembali bercerita, seolah cerita itu tidak ada habisnya.Ruangan itu dipenuhi keheningan yang menyesakkan. Mata Ilona menatap Anita
Anita kembali menatap Egar yang kini sudah duduk di sebelah Ilona. Dia juga bisa mendengar suara anak-anak dari dalam.Akhirnya sebelum melanjutkan penjelasannya, Anita bertanya. “Sebelumnya, mama belum kenalan. Apakah ini suami Ilona?” tanya nya kepada Egar.Egar mengangguk. “Iya, Bu. Saya suaminya Ilona, Egar. Kami sudah menikah dan memiliki anak. Anak-anak sedang bermain di dalam. Nanti boleh kenalan dengan mereka setelah semuanya selesai,” jawab Egar.“Terima kasih, Egar. Terimakasih sudah mencintai Ilona dengan tulus.”Ilona menghela nafas berat. “Kau hanya melihat yang tampak saat ini. kau tidak melihat apa yang telah aku dapatkan selama hidupku.”“Maafkan, Mama. Mam
Udara pagi terasa hangat, namun Ilona merasa dadanya semakin dingin. Di hadapannya, berdiri seorang wanita yang seharusnya memiliki ikatan kuat dengannya, namun nyatanya, ia hanyalah seorang asing.Dari dalam mobil mewah yang terparkir di halaman, seorang pria tampak menurunkan beberapa kardus besar. Ilona bisa menebak, itu pasti berisi barang-barang mahal, mungkin hadiah dari seorang ibu yang datang terlambat untuk anaknya, dan dia tidak membutuhkannya."Mama tahu, mungkin Mama tidak pantas mendapat panggilan yang begitu istimewa darimu," suara Anita terdengar berat, mengandung penyesalan yang mendalam."Kamu tidak perlu memanggilku Mama. Kamu boleh memanggilku apa saja yang kamu inginkan, Ilona."Ilona tidak merespons. Ia tetap berdiri kaku disamping Egar, tangannya me
Tepat pukul sepuluh pagi…Suara deru mesin mobil memenuhi halaman rumah Egar dan Ilona. Sebuah mobil mewah hitam perlahan memasuki halaman itu, kontras dengan suasana sederhana di sekitarnya. Ilona yang tengah menggendong Gana, menghentikan langkahnya, menatap kendaraan itu dengan kening berkerut.Egar yang baru saja keluar dari dapur pun ikut berhenti di ambang pintu, matanya memperhatikan mobil tersebut dengan penuh selidik. Karena, selama ini tidak pernah ada mobil mewah yang bertandang ke rumah mereka, kecuali Nyonya Bira.“Apakah itu dia?” tanya Ilona, suaranya terdengar ragu dan penuh emosi yang tertahan.Egar menggeleng samar. “Gak tahu. Tapi, kan beda kota. Kalau memang beliau,berarti tiba disini langsung sewa mobil. Kirain dari bandara k
Egar mengangkat tangan ke udara dengan penuh semangat. “Kita akan beli es krim!” serunya dengan nada riang, membuat Yumi bersorak gembira.“Horee…”“Terima kasih, Papa.”Ilona tertawa kecil melihat suaminya yang tampak begitu bahagia. Begitu pula Yumi, putri kecil mereka yang hampir berusia empat tahun, melompat-lompat kegirangan di sampingnya.Hari ini benar-benar menyenangkan. Bermain di taman, menikmati makanan sederhana di pinggir jalan, tertawa bersama tanpa beban.Di tengah perjalanan pulang, mereka bernyanyi bersama di atas motor. Suara kecil Yumi yang ceria bercampur dengan suara Egar yang sengaja dibuat lucu untuk menghibur putri mereka. Ilona yang duduk di belakang ikut ter
Ilona masih menatap layar ponselnya yang kini kembali diam. Sesaat setelah memberikan alamat rumahnya kepada wanita itu—seseorang yang mengaku sebagai ibu kandungnya—hati Ilona terasa campur aduk. Ragu, takut, penasaran, dan marah bercampur menjadi satu.Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar atau justru sebuah kesalahan besar. Dia tacit, memberikan alamat rumahnya, itu artinya membiarkan orang lain masuk ke dalam rumah mereka.Egar, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan raut wajah istrinya dengan penuh pengertian. Ia tahu, Ilona pasti tengah bergelut dengan perasaannya sendiri.“Tidak, ini adalah keputusan yang tepat,” ucap Egar sambil tersenyum.Ilona menoleh padanya, menatapnya dengan mata penuh keraguan. "Kenapa?" tanyanya pelan.