Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang nyaris tak tertahankan. Ilona duduk tegak, berusaha menahan getaran di dadanya. Ia menatap Anita yang duduk di hadapannya, wanita yang telah melahirkannya, namun sekaligus wanita yang meninggalkannya.
Ada banyak pertanyaan di benaknya, tapi yang paling mendesak akhirnya meluncur dari bibirnya dengan suara yang tertahan, “Siapa ayah kandungku?”
Ia baru sadar, dengan kehadiran Anita di hadapannya, berarti ia juga memiliki seorang ayah kandung. Seorang pria yang mungkin tidak pernah tahu keberadaannya. Seorang pria yang seharusnya bisa menjadi pelindungnya jika saja takdir berkata lain.
Tapi, mungkin juga seorang lelaki yang juga tidak menginginkan kehadirannya di dunia ini. Dia tidak pernah tahu.
Hatinya terasa berat. Jika b
“Ini alamat mama, siapa tahu kamu berkenan untuk datang,” ucap Anita pelan.“Aku tidak butuh,” jawab Ilona dengan cepat.Namun, tidak dengan Egar. Dia menerima sebuah kertas yang diberikan oleh Anita tersebut. Dia tahu, saat ini Ilona mungkin belum bisa menerima, tapi suatu saat dia akan luluh.“Terima kasih, Egar.”“Iya, Ma.”Mata Anita berkaca-kaca mendengar Egar memanggilnya “mama” rasanya begitu menenangkan, meskipun Egar hanyalah menantu. Tapi, baginya itu sudah lebih dari cukup.Ilona duduk di kursinya dengan tubuh tegap dan ekspresi yang datar, tapi hatinya bergejolak hebat. Emosi campur aduk memenuhi dadanya. Ia i
Langit siang itu masih menggantung mendung, menggambarkan suasana hati Ilona yang bergemuruh. Rumahnya yang biasanya terasa hangat dan nyaman kini berubah menjadi ruang pengakuan, tempat luka-luka lama terbuka kembali. Di sofa, terbaring seorang wanita yang baru saja mengaku sebagai ibu kandungnya — Anita.Tubuh wanita paruh baya itu tampak lemah. Ia terjatuh ketika hendak pergi, dan Ilona yang semula membeku akhirnya ikut menolong. Tapi apa yang baru saja ia dengar dari mulut sopir wanita itu, Jojo, membuat dunia Ilona seakan runtuh.“Nyonya menderita sakit jantung koroner dan osteoporosis,” jawab Jojo, cepat dan tanpa ragu.Ilona tersentak. Tatapannya langsung terarah ke wanita di sofa. Dada Ilona sesak. Rasa asing yang sedari tadi ia tahan mulai berubah menjadi sesuatu yang tidak ia mengerti&mda
Seminggu kemudian…Hujan gerimis membasahi kaca jendela ruang tamu, menciptakan bayang-bayang yang mengaburkan pandangan Ilona. Di tangannya, ponsel bergetar pelan. Sebuah pesan singkat baru saja masuk. Ia membacanya cepat, namun kalimat demi kalimat itu menghantam pikirannya bagai gelombang besar yang menghantam karang.Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak tegang. Alisnya mengernyit, bibirnya mengatup rapat. Pesan dari rumah sakit itu singkat: “[Hasil tes telah tersedia. Harap diambil langsung oleh pihak yang bersangkutan.]”Egar, yang sedang menyuapi Yumi di dapur kecil rumah mereka, melirik ke arah istrinya. Tatapan Ilona cukup membuatnya tahu—ada sesuatu yang mengusik jiwa wanita itu. Ia segera menghampiri.
Anita—wanita paruh baya dengan tubuh ringkih yang tampak begitu tenang, seolah apapun hasil dari kertas di dalam amplop itu tak akan menggoyahkan keyakinannya. Dia hanya tersenyum mendengar apa yang Ilona katakan.Egar berdiri di samping Ilona, menatap wajah istrinya yang pucat dan tegang. Di sepanjang koridor rumah sakit, langkah Ilona terasa berat, nyaris seperti menyeret beban masa lalu yang selama ini ia pendam dalam diam.Udara di ruangan itu dingin dan sunyi. Ilona duduk dengan pandangan mata menerawang. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sesak yang mendesak dari dalam dadanya.Egar menoleh dan sangat terkejut ketika mendengar keputusan Ilona untuk tidak membuka amplop itu. Padahal mereka sudah melalui semuanya. “Sayang…” ucapnya, suaranya pelan namun sarat emosi.
“Maaf. Mama tidak akan memaksa kamu untuk menerima Mama, Ilona. Dan sekarang, Mama sudah bisa tenang, sekalipun Tuhan ingin mengambil nyawaku.”Waktu seolah berhenti ketika Anita mengucapkan kalimat itu. Suaranya lembut, penuh ketulusan, namun mengguncang dunia Ilona hingga ke akar hatinya.Ucapan itu meluncur tenang, seperti angin senja yang menusuk dingin. Namun bagi Ilona, itu terdengar seperti tamparan keras. Matanya yang sejak tadi sudah berkabut air mata kini benar-benar tumpah. Tubuhnya bergetar, dadanya sesak seolah terhimpit sesuatu yang berat dan tak bisa diurai dengan kata-kata.Ilona mendongak perlahan, menatap wanita yang duduk di sebelahnya. Wanita yang… seharusnya menjadi ibunya. Wanita yang selama ini hanya menjadi bayangan samar, kini nyata di depannya. Dan dengan entengnya berkat
Ilona masih duduk diam di tepi ranjang ketika suara langkah kecil terdengar dari luar. Nafasnya masih berat, sisa dari tangis yang belum benar-benar reda. Matanya sembab, pikirannya bercampur aduk.Sejak membuka hasil tes itu, seluruh dunia serasa berubah. Hidupnya yang sudah ia susun sedemikian rupa kembali kacau, seakan Tuhan membongkar semua rahasia hanya dalam sekejap.Kriet!Pintu kamar terbuka perlahan. Suara decitnya seolah menjadi pengingat bahwa dunia terus berjalan, meski hati Ilona sedang karam. Seketika itu pula, sosok mungil berlari masuk ke dalam kamar dengan langkah kecil penuh semangat.“Mama!” seru Yumi, gadis kecil berusia hampir empat tahun itu. Di belakangnya, Gana, si kecil yang baru merangkak dengan cepat, mengikuti dengan semangat tak k
“Kenapa? Kau sedih?” ucap Nyonya Bira tiba-tiba, sinis. Suaranya menembus ruang dan membuat suasana menjadi dingin. “Masih mencintainya?”Ilona menoleh, keningnya berkerut. “Ma, apa yang Mama katakan? Mas Romy meninggal?”Nafasnya tercekat. Dia bahkan tak menggubris nada sarkastik dari pertanyaan sebelumnya. Hanya satu hal yang tertangkap jelas—berita tentang Romy, mantan suaminya. Dan itu sangat mengejutkannya.Egar menegakkan tubuhnya, menatap ibunya dengan ekspresi bingung. “Meninggal?” ulangnya lirih. Mereka pastinya tidak menyangka dengan berita ini, seminggu ini mereka sibuk dengan Anita yang dirawat di rumah sakit dan menunggu hasil tes kecocokan antara Ilona dan Anita, tidak tahu berita tentang kematian Romy—mantan suami Ilona.
“Ilona...” panggil Egar lembut sambil menepuk pipi istrinya yang masih terpejam, pucat dan tak bergerak.Namun, tidak ada jawaban. Ilona tetap diam, napasnya pelan dan wajahnya dingin. Wajah Egar menegang, panik mulai merayapi dadanya.Ia segera mengangkat tubuh Ilona, membawanya ke kamar dengan hati-hati. Di belakangnya, Yumi yang memegangi bonekanya berlari kecil mengikuti langkah ayahnya, disusul oleh Gana merangkak karena tidak ada yang menggendongnya, dan terakhir, Nyonya Bira yang masih membawa bara amarah di wajahnya.Egar membaringkan tubuh Ilona di pembaringan. Ia duduk di sisi ranjang, mengusap dahi istrinya yang dingin, penuh keringat. Yumi berdiri di sisi lain sambil menggenggam tangan Ilona yang lemas.“Mama…” panggil Yumi lemb
Tangis Anita masih belum sepenuhnya reda. Pelukan Ilona, panggilan “Mama” yang begitu lama ia nantikan, kini benar-benar ia dengar dengan telinganya sendiri. Bukan dalam mimpi, bukan hanya bayangan kosong penuh harap di malam-malam panjang yang sepi. Hari ini, keajaiban itu nyata.“Terima kasih, Nak,” ucap Anita sambil menghapus air matanya, mencoba tersenyum di tengah guncangan emosinya.Ilona tidak menjawab. Hanya senyuman tipis yang ia berikan, namun di balik senyuman itu ada seribu luka yang perlahan mulai terobati. Di belakang mereka, Egar berdiri memperhatikan. Wajahnya penuh rasa lega, dan matanya pun tak mampu menahan bulir air bening yang akhirnya jatuh perlahan di pipinya.Hubungan yang awalnya penuh keraguan, kini mulai merekat, sedikit demi sedikit.Namun suasana penuh haru itu seketika diusik.“Ya ampun, seperti di sinetron saja,” sindir suara yang sangat dikenali. “Padahal hanya kembali ke ibu kota dan bisa balik lagi ke sini, tapi pelukannya seperti orang yang tidak bak
Ruang tamu yang sebelumnya penuh dengan ketegangan kini terasa jauh lebih sunyi. Setelah semua percakapan meledak dan terbongkar, yang tersisa hanyalah perasaan-perasaan yang belum terucap. Perasaan tak percaya, penyesalan, dan kegundahan menggantung di udara.Jojo, sopir sekaligus asisten pribadi Anita, kembali memasuki ruangan setelah sibuk berbicara di telepon. Dengan nada sopan dan tenang, ia melapor,"Nyonya, penerbangan jam dua siang ini sudah dikonfirmasi."Anita mengangguk pelan. "Oke. Tapi, kamu disini menjaga Ilona."“Tapi, Nyonya—““Kalau begitu, carikan seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga Ilona dan Egar disini,” potong Anita secepatnya.Dia tidak bisa meninggalkan Ilona tanpa penjagaan, dia ingin melindungi anaknya. Apalagi, dia tidak bisa mempercayai mertua Ilona.“Baik, Nyonya,” jawab Jojo patuh dan kembali sibuk dengan ponselnya, mencari seorang yang bisa dipercaya untuk menjaga majikan baru mereka, Ilona, Egar dan anak-anak mereka. Karena, Jojo harus selalu menda
Ruangan itu hening, tapi ketegangannya terasa seperti bara api yang perlahan membakar udara. Di tengah suasana tegang itu, Nyonya Bira masih berdiri dengan dada terangkat tinggi, senyuman sinis menghiasi wajahnya.Pandangannya tajam tertuju pada wanita berpenampilan sederhana yang berdiri tak jauh dari Ilona. Wanita itu mengenakan gamis sederhana berwarna pastel, wajahnya pucat namun menyimpan ketenangan yang misterius."Nyonya? Jadi ini mamanya atau majikannya?" tanya Nyonya Bira dengan nada menyindir, matanya melirik ke arah Ilona yang masih belum berkata apa-apa.“Katanya ibu kandungnya, tapi dipanggil Nyonya.”Senyum liciknya mengembang seiring ia melihat ekspresi kikuk Ilona. Dalam hatinya, Nyonya Bira sudah menyimpulkan semuanya—bahwa kehadiran wanita bernama Anita ini bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh Ilona. Ia percaya bahwa Anita hanyalah bayang-bayang dari masa lalu yang memalukan, seseorang yang tak seharusnya berdiri di rumah keluarga Bira yang terhormat."Ma, tolong...
Udara pagi masih terasa dingin ketika ketegangan di ruang tengah rumah Egar belum juga mereda. Semua orang seakan berjalan di atas pecahan kaca, takut bergerak, takut bicara. Hanya Ilona yang duduk mematung, memeluk Gana dengan tubuh gemetar, seolah berusaha menyerap kekuatan dari anak kecil itu.Kehadiran Anita, ibunya yang telah lama hilang, terasa seperti sebuah keajaiban—tapi juga sebuah pertanyaan besar. Mengapa sekarang? Di saat semua tuduhan, fitnah, dan aib menyelimuti dirinya, mengapa wanita itu datang seakan siap menghadapi badai bersamanya?Namun jawaban Anita atas hinaan Nyonya Bira justru menggetarkan hati.“Mungkin saja.”Itu saja yang ia katakan, pelan, nyaris berbisik. Tapi tidak ada sedikitpun getar ketakutan dalam suaranya. Ia tak menghiraukan cercaan atau tawa sinis dari Nyonya Bira. Fokusnya hanya satu: Ilona. Anak yang telah ia lahirkan, yang kini duduk di hadapannya.“Egar…” panggil Anita lembut, matanya menatap menantunya dengan tegas tapi penuh harap.Egar meng
Matahari belum sepenuhnya meninggi, namun rumah Egar sudah dipenuhi ketegangan. Tangis Ilona masih terdengar lirih, tertahan di balik pelukan anaknya, Gana. Wajahnya sembab, nafasnya tak teratur. Tubuhnya lemas seolah tak punya daya untuk membela diri dari semua tuduhan yang dilontarkan mertuanya, Nyonya Bira.Di sudut ruangan, Yumi memeluk lututnya, bingung dengan keributan yang terjadi. Sementara itu, Egar berdiri kaku, mencoba menahan emosi yang memuncak.“Karena dia nama Mama jadi tercoreng!” bentak Nyonya Bira. “Mama kini diburu wartawan, mereka menunggu di luar rumah, mau konfirmasi apa benar pembunuh ini adalah menantu Mama! Sekarang, apa yang harus Mama jawab, Egar? Haruskah Mama mengakuinya?”Ilona menggigil. Kata "pembunuh" itu seperti pukulan berulang di dadanya. Padahal, ia sendiri baru mengetahui bahwa Romy, mantan suaminya, telah meninggal. Dan sekarang ia yang dituduh sebagai pelakunya.“Mama, Ilona bukan pembunuh! Itu semua fitnah!” Egar akhirnya bersuara lantang.Namu
“Aku bahkan tidak tahu Romy meninggal. Kini, aku yang menjadi sasaran,” gumam Ilona lemah, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Egar langsung menghampiri dan memeluknya erat. Ia tahu ini akan menghantam Ilona sangat keras, tapi ia juga tahu mereka bisa melewati ini bersama. Hatinya penuh amarah, tapi juga kesedihan. Ia tahu betul siapa istrinya. Ilona bukan pembunuh. Ia yakin itu.Bulir-bulir bening mengalir di wajah Ilona, menggambarkan betapa luka ini datang terlalu mendadak. Ia tidak pernah menyangka bahwa bayang-bayang masa lalu akan kembali menghantuinya dengan cara seburuk ini.“Romy, juga pasti tidak pernah menuduh kamu melakukan itu. Dia juga pasti sedih dengan semua ini. Dan aku yakin, mengapa hal ini baru sekarang mereka angkat, itu karena Romy telah tiada,” ucap Egar lembut, menghapus jejak airmata yang mengalir di wajah sang istri.“Romy begitu lemah untuk melawan ibunya, dan ibunya selalu memanfaatkan itu.”“Dia bukan lemah, itu karena dia sangat menyayangi ka
“Papa, mau makan lagi,” ujar Yumi membuyarkan lamunan Egar.Egar tersentak dari lamunannya, dia sadar ternyata mereka belum selesai makan. Ketika menatap ke atas meja makan, makanan masih terbuka. Dan belum setengahnya tersentuh.“Oke, Sayang. ayo, papa temani Yumi makan.”Keesokan harinya…Pagi itu rumah Egar kembali dipenuhi kehangatan yang lama terasa hilang. Aroma tumisan buncis dan telur dadar keju memenuhi udara, membuat suasana dapur terasa lebih hidup. Ilona sibuk di dapur, menyusun sarapan di meja makan dengan penuh cinta.Di kursi tinggi mereka, Yumi yang hampir empat tahun sudah duduk manis sambil menggoyang-goyangkan kakinya, Gana juga tampak duduk dengan tenang menunggu makanannya tiba.Egar keluar dari kamar dalam balutan kemeja biru dan celana panjang abu-abu, wajahnya tampak lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Hari ini ia akan kembali ke gudang pengelolaan ikan miliknya setelah beberapa hari sibuk mengurus banyak hal.Dia tersenyum melihat Ilona sedang menuangkan te
Ruangan itu hening, hanya terdengar suara detakan jarum jam yang menggantung di dinding dan nafas lirih dari tubuh yang terbaring lemah di atas ranjang.Egar duduk di tepi tempat tidur dengan wajah penuh kecemasan, memegangi tangan istrinya yang dingin dan tak bergerak. Di sampingnya, dua sosok kecil, Yumi yang hampir empat tahun dan Gana yang masih bayi, merangkak gelisah, ikut merasakan kekhawatiran dari ayah mereka.Ilona masih belum sadar.Egar menatap wajah pucat istrinya. Nafasnya teratur, tapi ringan, seolah tubuh itu kehilangan daya hidupnya untuk sejenak. Hatinya remuk melihat Ilona seperti ini. Ia hampir saja membawanya ke rumah sakit, jika lima menit lagi tak ada tanda-tanda kesadaran. Khawatir terjadi sesuatu kepada Ilona.“Bangunlah, Ilona…” bisiknya lirih, nyaris putus harapan.Seolah mendengar suara itu dari dalam tidur yang dalam, kelopak mata Ilona perlahan terbuka. Dia mengerjap pelan, bingung, sebelum tangan kirinya naik ke kening, meraba rasa sakit yang menghantam
“Ilona...” panggil Egar lembut sambil menepuk pipi istrinya yang masih terpejam, pucat dan tak bergerak.Namun, tidak ada jawaban. Ilona tetap diam, napasnya pelan dan wajahnya dingin. Wajah Egar menegang, panik mulai merayapi dadanya.Ia segera mengangkat tubuh Ilona, membawanya ke kamar dengan hati-hati. Di belakangnya, Yumi yang memegangi bonekanya berlari kecil mengikuti langkah ayahnya, disusul oleh Gana merangkak karena tidak ada yang menggendongnya, dan terakhir, Nyonya Bira yang masih membawa bara amarah di wajahnya.Egar membaringkan tubuh Ilona di pembaringan. Ia duduk di sisi ranjang, mengusap dahi istrinya yang dingin, penuh keringat. Yumi berdiri di sisi lain sambil menggenggam tangan Ilona yang lemas.“Mama…” panggil Yumi lemb