Mata Baim teduh saat mendapati para karyawannya membicarkan tentang Ayu. Tapi sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah kebingungan yang tak mudah terjawab.
Telinganya dipaksa menangkap setiap kata buruk yang keluar dari mulut mereka. Tatapannya menunduk, pikirannya berputar. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Ayu?" Kelopak matanya turun, hatinya semakin dipenuhi tanda tanya. Meski para karyawannya terus membicarakan hal buruk tentang Ayu, Baim tak ikut terpengaruh. Justru, rasa penasarannya semakin dalam. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuatnya ingin mencari tahu lebih jauh. Tanpa berpikir lama, ia bergegas keluar rumah dan masuk ke dalam mobil. Mesin menderu pelan saat ia mulai berkendara menuju hotelnya. Namun, pikirannya tak tenang. Seribu pertanyaan tentang Ayu berputar di kepalanya, seakan menggema tanpa jawaban. Beberapa menit berlalu. Perasaan gelisahUmi Euis menatapnya dengan sorot penuh keraguan. Jemarinya meremas ujung kerudungnya, seakan enggan mengungkapkan sesuatu yang terlalu berat."Soal itu…" Umi menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. "Umi gak bisa cerita banyak, Nak. Sebaiknya… Nak Baim bertanya langsung saja pada Ayu."Hening.Baim menatapnya lekat-lekat, mencari jawaban lain di wajah wanita itu. Tapi Umi Euis hanya tersenyum tipis—senyum yang penuh makna, tapi juga terasa menahan banyak hal yang tak bisa diungkapkan.Baim mengepalkan tangannya di atas pahanya. "Umi… apakah benar berita yang sedang ramai di televisi itu?"Umi Euis terdiam sesaat. Matanya berkabut, seakan ada beban berat di hatinya. Lalu, dengan suara bergetar, ia menjawab,"Itu gak benar, Nak…"Baim menahan napas."Ayu…" Umi melanjutkan, suaranya terdengar begitu lirih. "Dia adalah korbannya. Bukan seperti yang ramai dibicarakan." Ia mengalihkan pandangan, seperti tak sang
Genggaman tangan Baim mengerat, jari-jarinya mencengkeram erat ponsel, seolah ingin meremas harapan yang tersisa di dalamnya. Hening menyelubungi ruangan, hanya suara detak jam yang terdengar seperti pengingat waktu yang terus berjalan—tanpa peduli pada perasaan siapa pun.Tiba-tiba, Baim berbalik. Langkahnya mantap menuju meja kerja. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di sana. Ada sesuatu yang mendesak dalam dadanya, dorongan yang tak bisa ia abaikan."Aku harus menemui Ayu."Tanpa pikir panjang, ia melangkah keluar. Perasaannya berbisik—entah kenapa, kali ini, ia merasa Ayu lebih membutuhkan dirinya daripada siapa pun.Di dalam rumah Baim, Ayu merasakan botol minum di tangannya bergetar. Suasana di dapur terasa begitu dingin, bukan karena udara, tapi karena tatapan dan sikap yang baru saja ia terima.Fatma dan Sari, yang biasanya ramah, bahkan tak menoleh ke arahnya. Indri tersenyum sinis. "Menantu Gubernur yang terhormat..
Suara Baim terdengar tegas, tak memberi ruang untuk dibantah.Ayu hanya bisa menurut, langkahnya tertatih mengikuti derap kaki Baim yang panjang dan tergesa. Jantungnya berdegup kencang—bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga kebingungan yang semakin menyesakkan dadanya."Mas… ada apa?" Suaranya lirih, hampir bergetar.Baim tak menoleh."Diam dan ikut saja."Dingin. Tajam. Tak terbantahkan.Ayu menelan ludah. Ia tidak tahu ke mana Baim akan membawanya. Tapi satu hal yang pasti—di tengah kemarahan semua orang, pria ini masih mau menggenggam tangannya.Genggaman itu erat, kuat, seolah tak ingin melepaskannya begitu saja.Tanpa sepatah kata pun, Baim menariknya keluar rumah. Langkahnya tegap, penuh ketegasan yang tak bisa dilawan. Ayu hanya bisa mengikuti, tubuhnya terbawa dalam arus yang lebih besar darinya.Langit mulai berpendar keemasan, matahari condong ke barat, mewarnai sore dengan semburat jingga
Tentang pernikahan yang Ayu jalani tanpa cinta. Tentang perlakuan keluarga Gubernur itu terhadapnya. Tentang luka yang selama ini ia pendam sendirian."Atau… haruskah aku tetap menyimpan semuanya sendiri?"Ia menundukkan kepala, jemarinya saling meremas di pangkuan. Pikirannya terus berputar, membentuk simpul ketakutan yang semakin menjeratnya.Bukan lagi cemoohan orang-orang yang ia takutkan.Tapi kemungkinan kehilangan mereka.Si kembar.Jantungnya berdebar keras hanya dengan membayangkan skenario terburuk—jika Baim lebih mempercayai tuduhan para karyawan dibanding dirinya. Jika pria itu mulai berpikir bahwa ia hanya memanfaatkan anak-anaknya untuk mendapatkan simpati."Bagaimana jika… Mas Baim memisahkanku dengan si kembar?"Bayangan itu begitu menyesakkan, menghantam dadanya dengan kepanikan yang sulit dikendalikan.Namun, di antara semua ketakutan itu, Ayu tetap memilih diam.Ia tidak menj
"Bulan ini… saya nggak usah digaji aja ya. Buat ganti bayar ponselnya."Baim meraih kembali kartu debit yang baru saja dikembalikan karyawan toko, sementara struk pembayaran masih tergenggam di tangannya. Ia menatap Ayu lekat, seakan memastikan sesuatu di dalam dirinya."Aku beliin ini buat kamu." Suaranya pelan, tapi tegas. "Kamu nggak perlu menggantinya."Ayu terpaku. Tatapan Baim terlalu dalam, terlalu lama, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan tanpa kata-kata. Jantung Ayu berdegup keras. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, menunduk, meremas tali tasnya. Tidak boleh. Ia tidak boleh membiarkan dirinya terseret lebih jauh ke dalam perasaan ini.Tak lama, Baim mengulurkan sebuah tas belanja kecil ke arahnya."Ini," katanya ringan. "Di dalamnya sudah terpasang kartu. Aku juga sudah menyimpan nomorku."Ayu terdiam sejenak sebelum akhirnya meraih tas itu den
Ayu mengepalkan jemarinya semakin erat. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Ia tidak bisa terus berada di sini. Tidak ingin terlalu lama berhadapan dengan Maharani."Mas… ayo kita pulang saja," pintanya pada Baim. Suaranya terdengar tenang, tapi ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, berniat mengakhiri semua ini.Namun, dalam sekejap, genggaman kuat menghentikannya.Baim menarik tangannya, menghentikannya di tempat."Kita nggak akan pergi sebelum membayar tas ini," ucapnya datar, tapi tegas.Ayu menoleh, matanya masih dipenuhi gejolak."Mas…" bisiknya, setengah memohon.Namun Baim tetap tak bergeming. Tatapannya dalam, menenangkan. Seolah berkata, Jangan takut. Aku di sini.Genggamannya menghangatkan jemari A
Baim mengulurkan tangannya, seakan menawarkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perlindungan."Jadikan aku kekuatanmu."Keheningan menyelimuti mereka, menciptakan ruang di mana hanya suara napas yang terdengar, beradu dengan dengung pendingin mobil.Tatapan mereka bertemu.Mata Baim penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—dorongan, ketertarikan, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa peduli.Ayu terpaku.Napasnya memburu, dadanya naik turun tak teratur. Ia seharusnya berpaling, menarik diri, tetapi tubuhnya menolak bergerak.Jantungnya berdebar semakin cepat saat Baim perlahan mendekat.Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Ayu bisa merasakan hembusan napas hangat Baim menyapu pipinya, membawa aroma maskulin yang samar.Ia ingin berkata sesuatu—apa saja yang bisa menghentikan ini. Tapi suaranya seakan menghilang, terkunci di tenggorokan.Jari Baim terangkat,
Suara Ayu bergetar, hampir tertelan oleh dengungan mesin lift yang bergerak naik."Mas... kita mau ngapain di sini?"Baim tetap diam. Rahangnya mengeras, tatapannya kosong menatap angka-angka di panel lift yang berubah perlahan.Ding!Pintu lift terbuka di lantai tiga. Tanpa menunggu, Baim langsung melangkah keluar, punggungnya tegap, langkahnya cepat.Ayu menghela napas dan bergegas mengejarnya. "Mas, tungguin…"Napasnya mulai tersengal ketika mereka hampir sampai di depan pintu kantor. Ia mempercepat langkah, memutari Baim, lalu berdiri di depannya, menghalangi jalannya."Mas…" Ayu menatapnya, mencari-cari sesuatu di wajah pria itu. "Mas marah?"Baim berhenti, tapi tatapannya tetap dingin. Tanpa menjawab, ia hanya menggeser sedikit badannya dan berjalan melewatinya begitu saja, seolah Ayu hanyalah angin yang tak layak dip
"Apaan sih, Mas..."Sentuhan itu nyaris kena, tapi Ayu lebih cepat menghindar. Tubuhnya bergeser tanpa banyak usaha, menolak Jaka tanpa perlu tenaga.Jaka menyeringai kecil. "Yakin nggak mau? Nindi aja ketagihan.""Aku nggak sebodoh dia, Mas," desis Ayu. Matanya menusuk, pandangan dingin penuh penghinaan. "Mau-maunya melayani cowok mokondo."Seketika itu juga, pintu kamar terbuka.Nindi muncul, setengah berlari, memeluk Jaka dari belakang. Kain tipis membalut tubuhnya, nyaris transparan, memperlihatkan kulit bersih yang seperti sengaja dipamerkan."Mas Jaka... Ayolah. Aku masih mau lagi," suara Nindi terdengar manja.Jaka menggenggam tangan Nindi yang melingkar di pinggangnya. Ia terkekeh kecil, seolah pamer."Sayang... Kita kedatangan tamu," katanya sambil melirik Ayu.Nindi mengerucutkan bibir. "Dia itu bukan tamu, Mas. Dia juga istri kamu, kan? Suruh aja dia masuk. Pas banget rumah kita kayak kapal pecah. Biar
"Aku gak nyangka. Hidup Ayu setragis ini," bisik Laura. Kelopak matanya jatuh. Matanya berkaca-kaca. "Tragis? Memangnya Ayu kenapa, Bu?" tanya Indri, penasaran. Laura tak langsung menjawab. Ia menurunkan surat itu sedikit, lalu membalik halaman terakhir. Di sana, stempel kepolisian tampak samar, tapi jelas. "Ini… sepertinya surat perjanjian dengan suaminya. Dikeluarkan oleh kepolisian," gumamnya. Suara Laura terdengar jauh lebih pelan. Bukan karena ragu—melainkan karena beban. Amarah yang tadi menyulut-nyulut kini seolah meleleh begitu saja. Tatapannya tidak lagi membenci. Justru ada sesuatu yang menyerupai iba di sana. "Dikeluarkan oleh kepolisian? Memangnya itu surat apa, Bu?" Laura menarik napas dalam, menggeleng pelan. "Indri…" panggilnya, dengan nada yang lebih lembut daripada sebelumnya. "Jangan pernah ceritakan soal ini pada siapa pun. Termasuk Mas Bai
"Tuhan... apa yang harus aku lakukan sekarang?"Baim menunduk, kedua bahunya turun seolah menahan beban yang tak terlihat. Tangannya meremas ujung jas, dan napas berat keluar perlahan dari sela-sela bibir. Di dalam dadanya, sesuatu terasa mengganjal, mencekik, membuat pikirannya kacau.Ia tetap berdiri mematung. Tatapan kosongnya melekat pada pintu yang tertutup rapat—sebuah jalan keluar yang terasa begitu jauh.Langkah kaki terdengar mendekat, membuat Baim menoleh pelan."Yoga..." suaranya serak, nyaris hanya bisikan. "Apa sebenarnya hubungan Bram dengan Gubernur?"Yoga berhenti beberapa langkah dari Baim, menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada telinga lain yang mengintai. Ia melangkah lebih dekat, membungkuk sedikit, lalu berbisik di samping Baim, nadanya seperti mengendap di udara."Beliau adalah salah satu donatur utama dalam pemilihan Gubernur. Setelah itu, bisnis-bisnisnya tumbuh pesat, bahkan termasuk yang tidak ter
"Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini." Suara Baim terdengar berat. Seperti menahan beban yang teramat besar.Suasana di ruang rapat Hotel Gran Mahakam ini tampak mencekam. Lampu kristal menggantung tenang di atas meja panjang yang penuh oleh wajah-wajah tegang. Dua puluh pasang mata menatap ke arah ujung meja, tempat Baim duduk, jasnya rapi tapi kerah kemeja bagian dalam tampak sedikit kusut—seperti baru saja disesuaikan dengan tergesa.Tangan seorang pria paruh baya mengetuk-ngetuk pena ke permukaan meja, semakin cepat, semakin gelisah. "Kami gak mau tau," katanya akhirnya, suaranya berat dan memotong udara yang sejak tadi pekat. "Bagaimanapun juga, Baim harus turun dari jabatannya. Dia sudah mencoreng nama perusahaan."Baim menarik napas dalam, tapi matanya tak bergeming dari lawan bicaranya. Di balik ketenangan itu, jarinya menggenggam lengan kursi sedikit lebih erat."Pak…" katanya pelan, hampir seperti memohon tapi tetap berusaha menjaga
"Itu... suara mobil Pak Baim?" kata Indri lirih, lalu melesat ke pintu.Daun pintu terayun lebar, dan sinar matahari siang langsung menusuk matanya. Panas aspal memantulkan cahaya menyilaukan. Indri menyipit, menelusuri jalan dengan pandangan gelisah."Biar aku lihat... jangan-jangan itu memang dia."Laura melipat tangan di dada, satu alis terangkat. "Benar, kan? Kamu sengaja mengulur waktu biar Mas Baim datang mencegah kamu pergi."Ayu membuka mulut, tapi tak sempat bicara. Indri masuk kembali sambil menutup pintu dengan gerakan cepat. "Bukan. Ternyata cuma taksi online," ujarnya menyeringai.Ayu menatap Laura, matanya sempit seperti bilah silet. Sebuah senyum tipis, penuh ejekan, muncul di wajahnya."Andai saya mau, saya bisa minta Mas Baim datang sekarang juga. Tapi saya cukup tahu diri."Laura mendengus. "Baguslah. Kalau begitu, cepat pergi!"Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjal
Laura menoleh cepat ke arah tangga. Matanya menyipit, napasnya tercekat. Ia menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur—seolah berharap langkah kaki itu bukan pertanda bencana."Awas aja kalau kamu berani bicara pada orang lain," ancamnya.Ayu terdiam. Wajahnya datar, matanya tak lepas dari arah tangga. Alisnya mengernyit, mencoba mengenali siapa yang akan muncul.Langkah pelan terdengar, dan sesaat kemudian, Sari muncul dari ujung tangga.Laura menarik napas tajam, lalu melempar tatapan dingin pada Ayu. "Ingat ya, jangan bicara macam-macam.""Bu Laura... Ayu. Ada apa?"Laura menyilangkan tangan di dada, dagunya terangkat sedikit. "Kamu juga. Kepo banget sama urusan orang. Udah sana!"Sari tersenyum masam. Matanya bergerak cepat dari Laura ke Ayu. "Maaf, Bu, kalau saya mengganggu. Ayu... Aku nanti balik lagi ya."Ayu hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lebih seperti isyarat terima kasih yang tidak terdengar.
"Apa kamu juga melihat pesan itu?" tanya Sari, matanya memburu wajah Fatma.Fatma mengangguk pelan. Sorot matanya berguncang, menyimpan sisa-sisa kepanikan yang belum reda.Para karyawan saling pandang, gugup, setelah mengecek ponsel masing-masing."Itu kamu, kan, Indri?" Sari menatap tajam."Aku? Kenapa harus aku?" Indri mengangkat alis, suaranya meninggi."Pesan ini dikirim ke grup karyawan rumah. Dan cuma kamu yang selama ini paling suka menguliti hubungan Pak Baim dan Ayu. Jadi... itu pasti kamu, kan?" nada Sari tajam, tak menyisakan ruang untuk menyangkal."Yeh... jangan asal nuduh, dong." Indri mengibaskan tangan. "Aku mana punya akses ke rekaman CCTV rumah." Ia terdiam sejenak, lalu mendongak, matanya menyipit. "Apa jangan-jangan... Bu Laura udah lama punya bukti perselingkuhan mereka?"Mak Ti, yang sejak tadi hanya menunduk menatap lantai, akhirnya mengangkat wajah. Guratan kekhawatiran mengukir garis di keningny
"Yu... kamu udah lihat berita hari ini?" Suara Fatma gemetar, nyaris berbisik tapi sarat tekanan.Ia melangkah cepat dari balik pintu, beberapa detik setelah Baim pergi. Napasnya memburu, matanya membelalak saat ia memasuki ruang bayi. Seolah ada sesuatu yang besar—mendesak—yang harus segera disampaikan.Ayu yang tengah hendak meletakkan Arjuna menoleh. Langkahnya terhenti."Berita apa, Mbak? Aku belum buka handphone."Tanpa menjawab, Fatma langsung meraih Arjuna dari pelukan Ayu dan memindahkannya ke boks bayi. Gerakannya terburu-buru, seperti ingin segera menyelesaikan sesuatu yang jauh lebih penting. Ayu spontan mengangkat Srikandi dan menempatkannya ke boks satunya.Fatma mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah video YouTube, lalu menyodorkannya pada Ayu. "Lihat ini."Di layar, wajah Baim muncul, disandingkan dengan judul besar dan mencolok:"Skandal Cinta CEO Gran Mahakam dan Menantu Gubernur: Perselingkuhan, Kehancu
Ayu perlahan mengangkat wajahnya. "Apa maksud pertanyaan itu, Mas?""Aku hanya ingin memastikan—yang tidur denganku semalam adalah kamu," jawab Baim dingin.Sorot mata Ayu berubah—tidak lagi lembut seperti saat menyusui, tapi tajam, terluka. Mulutnya terbuka sedikit. Pikirannya berpacu, berusaha menjahit ulang setiap detik semalam."Apa maksud Mas Baim?" batinnya bergemuruh. "Dia lupa siapa yang tidur dengannya semalam?"Tatapannya memaku wajah Baim. Ada sinis yang terselip di balik tenangnya."Semudah itukah, Mas Baim melupakan kejadian semalam?"Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada yang tajam namun terkendali:"Apa mungkin saya bisa tidur dengan Mas Baim, sementara Bu Laura terbungkus hangat dalam dekapanmu?"Baim menunduk sebentar, lalu menatap Ayu kembali—kali ini lebih dalam, seolah mencoba menggali kebenaran yang terkubur."Aku tidak sedang mabuk malam itu, Ayu. Aku sadar... setiap detiknya