Baim mengulurkan tangannya, seakan menawarkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perlindungan.
"Jadikan aku kekuatanmu."Keheningan menyelimuti mereka, menciptakan ruang di mana hanya suara napas yang terdengar, beradu dengan dengung pendingin mobil.Tatapan mereka bertemu.Mata Baim penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—dorongan, ketertarikan, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa peduli.Ayu terpaku.Napasnya memburu, dadanya naik turun tak teratur. Ia seharusnya berpaling, menarik diri, tetapi tubuhnya menolak bergerak.Jantungnya berdebar semakin cepat saat Baim perlahan mendekat.Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Ayu bisa merasakan hembusan napas hangat Baim menyapu pipinya, membawa aroma maskulin yang samar.Ia ingin berkata sesuatu—apa saja yang bisa menghentikan ini. Tapi suaranya seakan menghilang, terkunci di tenggorokan.Jari Baim terangkat,Suara Ayu bergetar, hampir tertelan oleh dengungan mesin lift yang bergerak naik."Mas... kita mau ngapain di sini?"Baim tetap diam. Rahangnya mengeras, tatapannya kosong menatap angka-angka di panel lift yang berubah perlahan.Ding!Pintu lift terbuka di lantai tiga. Tanpa menunggu, Baim langsung melangkah keluar, punggungnya tegap, langkahnya cepat.Ayu menghela napas dan bergegas mengejarnya. "Mas, tungguin…"Napasnya mulai tersengal ketika mereka hampir sampai di depan pintu kantor. Ia mempercepat langkah, memutari Baim, lalu berdiri di depannya, menghalangi jalannya."Mas…" Ayu menatapnya, mencari-cari sesuatu di wajah pria itu. "Mas marah?"Baim berhenti, tapi tatapannya tetap dingin. Tanpa menjawab, ia hanya menggeser sedikit badannya dan berjalan melewatinya begitu saja, seolah Ayu hanyalah angin yang tak layak dip
"Terlepas dari semua tuduhan orang-orang di rumah. Entah aku tahu banyak tentang Mbak Laura atau tidak, tapi ini—" Ayu menarik napas panjang, suaranya bergetar, "ini memang seharusnya tidak terjadi, kan, Mas?"Matanya redup, menatap Baim dengan kesedihan yang tak terbendung. Bahunya turun, seolah beban yang ia pikul terlalu berat.Baim membalas tatapannya. Tenggorokannya terasa kering, kata-kata seakan tersangkut di kerongkongan. Ia ingin menyangkal, ingin berkata bahwa semua ini salah. Tapi kenapa hatinya justru berdebar? Kenapa setiap kali melihat Ayu, ruang kosong dalam dirinya terasa terisi?"Bolehkah…" suaranya nyaris berbisik, "... jika aku berkata bahwa aku menginginkan semua ini terjadi?"Ayu membelalak. Napasnya tercekat. Bibirnya terbuka sedikit, seakan hendak berkata sesuatu, tapi tak satu pun kata berhasil keluar. Dadanya naik turun, jari-jarinya meremas kain rok yang ia kenakan.Diam. Hanya ada tatapan yang saling mencari
"Aku sudah sangat berusaha untuk menahannya." Suara Baim terdengar pelan, hampir seperti gumaman.Dulu, saat mengetahui kenyataan Ayu adalah ibu susu bayinya—dan lebih dari itu, seorang wanita bersuami—ia segera menetapkan batas. Ia menulis poin dalam kontrak kerja sama mereka, seolah itu cukup untuk menjaga jarak.Agar mereka tidak saling terlibat emosi.Agar ia tidak semakin jatuh hati.Namun kenyataan berkata lain."Tapi apa yang terjadi?" Baim terkekeh kecil, pahit. "Perasaanku padamu justru semakin besar. Aku pikir, aku hanya bersimpati. Tapi semakin aku melihatmu tertindas, aku semakin marah."Baim menoleh, menatap Ayu yang masih berdiri di tempatnya. Mata pria itu meredup, tapi di baliknya, ada kobaran api yang tak bisa ia sembunyikan."Aku tidak rela siapapun menyakitimu."Ayu terdiam. Napasnya tercekat. Kata-kata itu menghantam dadanya begitu keras.Ini bukan sekadar simpati. Bukan sekadar kepedulian
Baim tersenyum. Tipis. Samar."Aku akan melakukan apa pun agar kamu gak selalu bersedih, Ayu," katanya lembut. "Kamu harus menjaga kualitas ASI-mu untuk anak-anakku." Ia mengangguk seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu adalah alasan yang tepat. "Yah… itu alasanku membantumu."Bohong.Tapi setidaknya, itulah satu-satunya alasan yang bisa ia berikan saat ini. Alasan yang paling masuk akal. Meskipun jauh di lubuk hatinya ia ingin mengatakan, "aku melakukan ini karena mencintaimu."Ayu mengepalkan tangan di depan dadanya, sorot matanya kini tegas. "Saya janji nggak akan bersedih lagi, Mas. Saya juga akan melawan… siapa pun yang menindas saya," suaranya mantap, tanpa ragu.Baim menatapnya sejenak, lalu bibirnya melengkung dalam senyum tipis. Ada sesuatu di matanya—kelegaan. Namun, seolah baru teringat sesuatu, ia tiba-tiba meraih tangan Ayu. Jemarinya hangat, menggenggam erat."Ayu… Ikuti aku."Ayu terhenyak. Jantungnya
Sari terperanjat, lalu buru-buru menarik tangan Ayu dari rambut Fatma. "Ayu! Kamu apa-apaan sih?! Lepasin!"Napas Ayu memburu, jemarinya masih mencengkeram erat. Di belakang mereka, Arjuna terus menangis, tangisannya menusuk telinga, mencerminkan luka yang sama di hati Ayu.Ayu akhirnya melepaskan rambut Fatma dengan kasar. Napasnya masih tersengal, matanya menatap tajam ke arah dua pengasuh itu."Gendong Arjuna. Sekarang!" suaranya dingin, nyaris seperti perintah. "Kalau kalian masih memperlakukan si kembar seperti ini, aku gak akan segan-segan kasih pelajaran."Fatma mengusap kepalanya yang masih terasa nyeri, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan sekaligus ketakutan."Ayu... Kamu kok jadi begini, sih?" tanya Sari, suaranya melemah.Ayu menatap mereka tanpa ragu. "Kalian yang memaksa aku jadi begini," ujarnya, suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena penuh tekad. "Aku gak pernah berbaik hati pada orang yang zalim. Da
Sari menggeleng pelan, alisnya berkerut dalam. "Iya. Dia bukan seperti Ayu yang kita kenal dulu," gumamnya, suaranya sarat kebingungan. Jemarinya mengetuk meja dapur, seakan berharap menemukan jawaban di sana."Ayu yang kita kenal, bukankah dia lemah lembut dan polos?" lanjutnya, kali ini lebih pelan. "Kenapa dia tiba-tiba jadi seganas itu ya?"Di sudut meja makan, Indri yang tengah menyendok sarapannya terhenti. Ia menegakkan punggung, matanya membesar. "Ada apa? Pagi-pagi wajah kalian udah kayak awan mendung gitu," tanyanya, menatap mereka bergantian.Sari duduk di meja makan, mengaduk sendoknya tanpa niat makan. Fatma di sebelahnya masih sibuk mengelus rambutnya yang tadi dijambak Ayu."Ini si Fatma," kata Sari akhirnya, suaranya sedikit pelan tapi penuh arti. "Baru aja abis dijambak sama Ayu."Indri yang sedang menyeruput kopi spontan berdiri. Cangkir nyaris terjatuh saat tangannya menggebrak meja. "Apa?! Serius kalian?""Ngapain juga ak
Fatma dan Sari saling melirik, tapi tak ada yang berani buka suara.Indri, sebaliknya, malah menyeringai. Tatapannya tajam, penuh tantangan. "Iya. Kami membicarakanmu. Kenapa?"Ayu tersenyum miring, nada suaranya ringan, tapi menusuk. "Nggak apa-apa, sih. Pasti kamu mulai suka sama aku, ya? Makanya selalu kepo sama kehidupanku."Sari menahan napas, Fatma menggigit bibir. Mereka tahu betul Indri tak akan membiarkan sindiran itu berlalu begitu saja.Dan benar saja.Indri mendengus tajam, wajahnya seketika berubah masam. "Ih… najis! Aku justru makin gak suka sama kamu!"Ketegangan kembali mengisi ruangan. Hanya suara Bi Imah yang sibuk mengaduk panci yang terdengar, seakan menjadi satu-satunya hal yang masih berjalan normal di dapur itu.Bi Imah datang membawa mangkuk berisi rebusan daun katuk, lalu meletakkannya di meja dekat Ayu."Indri… cukup." Suaranya tegas, tapi tetap lembut.Indri mendengus, menyilangka
Seperti api tersulut bensin, wajah Indri memerah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Hei, Ayu!" suaranya melengking. "Gak tahu diri banget kamu, ya! Pak Baim itu masih punya istri! Kamu juga punya suami!"Ia melangkah lebih dekat, hampir menudingkan jari ke wajah Ayu. "Teganya ya kamu jadi pelakor!"Udara di dapur seketika menjadi lebih panas. Fatma dan Sari menahan napas, mata mereka melebar, sementara Bi Imah yang baru kembali dari sudut ruangan hanya menggeleng pelan, menghela napas panjang.Ayu masih diam, tapi kali ini tatapannya mulai berubah. Tidak lagi penuh sindiran, tapi lebih tajam. Seolah dalam kepalanya, ia sedang memutuskan apakah akan membalas... atau membiarkan Indri tenggelam dalam amarahnya sendiri.Ayu menyandarkan satu tangan di pinggang, bibirnya melengkung tipis. Tatapannya menusuk langsung ke mata Indri."Indri... Indri," suaranya terdengar pelan, tapi penuh ejekan. "Kasihan kamu ya. Gak dapet respon dari Mas Baim. Makanya
"Dasar wanita munafik!"Laura membalikkan badan, lalu menuruni tangga dengan langkah cepat. Tumit sepatunya menghentak setiap anak tangga, menciptakan gema tajam yang mendahului kehadirannya.Di dapur, suara riuh para karyawan sontak mereda. Percakapan terputus, piring berhenti berbunyi. Semua kepala menoleh serempak. Keheningan seolah menggantung di udara saat sosok Laura muncul di ambang pintu.Indri berdiri di barisan terdepan. Matanya membulat, berbinar seperti menyala oleh harapan yang akhirnya menjadi nyata. Tanpa ragu, ia melangkah cepat dan memeluk Laura erat—seolah ingin memastikan wanita itu benar-benar kembali, bukan sekadar bayangan dari masa lalu."Bu Laura..." suaranya gemetar, tercekat oleh rasa haru. "Saya... saya benar-benar senang. Akhirnya Ibu kembali ke rumah ini."Laura membalas pelukannya, gerakannya lebih tenang namun kaku. Tangannya meny
Langkah Baim terhenti. Bahunya menegang, namun ia tetap membelakangi Laura."Laura…" Suaranya rendah, nyaris hanya desiran di udara. "Aku mengerti alasan kepergianmu… tapi itu tidak berarti aku sudah memaafkan. Rumah tangga kita sudah terlanjur retak, dan itu kesalahanmu sendiri."Tanpa menunggu jawaban, Baim melanjutkan langkahnya."Mas! Aku masih istrimu, Mas!" teriak Laura.Namun hanya keheningan yang menjawab. Baim terus berlalu, menuruni tangga menuju lantai dua. Begitu tiba di lantai dua, matanya langsung menangkap sosok Ayu yang baru saja keluar dari lift.Kepalanya tertunduk, langkahnya lunglai, seolah beban di pundaknya terlalu berat untuk dipikul. Cahaya lampu koridor memantulkan bayangan sendu di wajahnya, membuat dada Baim semakin sesak."Ayu..." panggilnya, suaranya lirih namun penuh penyesalan.Langkah Ayu terhenti. Perlahan, ia menoleh. Matanya yang basah bertemu dengan tatapan Baim—ada luka di sana,
Ayu tidak menjawab. Matanya tetap lurus ke depan, seolah Indri tak lebih dari bayangan yang tak layak dipedulikan. Tanpa sepatah kata pun, ia melanjutkan langkahnya ke lantai atas.Di dalam kamar, ia dengan hati-hati mengangkat si kembar dari stroller, lalu mendekap mereka erat-erat, seakan ingin menyembunyikan mereka dari dunia."Arjuna... Srikandi..." suaranya lirih, hampir serupa bisikan. "Jangan pernah tinggalin Ibu, ya..."Bibirnya bergetar, dan setetes air mata jatuh tanpa bisa ia cegah. Dada Ayu terasa sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeramnya erat.Ia menggigit bibir, berusaha menahan isakan yang ingin pecah. Tapi tetap saja, lengannya semakin erat melingkupi bayi-bayinya.Seakan mereka adalah satu-satunya yang masih bisa ia genggam.Sedetik kemudian, langkah tergesa-gesa menggema di ambang pintu. Laura muncul dengan napa
Baim membeku. Napasnya tertahan, pikirannya berputar tak percaya. Laura... wanita yang selama ini menghilang dari hidupnya, kini berdiri nyata di hadapannya."Mas Baim!" suara Laura memecah kebisuan. Tanpa ragu, ia melompat ke tubuh Baim, melingkarkan lengannya erat-erat di sekeliling pria itu.Pegangan Baim pada Ayu seketika terlepas.Ayu menatap mereka, sorot matanya dipenuhi tanda tanya. Tapi di dalam dadanya, sesuatu bergemuruh liar. Ia mungkin belum pernah bertemu Laura sebelumnya, tetapi ia mengenali wajah itu—wajah yang pernah ia lihat dalam foto pernikahan yang tersimpan di gudang."Mas... Aku kangen banget," suara Laura terdengar bergetar di antara dekapan yang tak kunjung ia lepaskan.Baim menghela napas panjang sebelum perlahan melepas pelukan itu. Tangannya turun dari bahu Laura, sementara rahangnya mengatup rapat. "Apa yang kamu lakukan di sini, Laura?" suaranya dingin, nyaris tanpa emosi.Laura menatap matanya. Dulu
Ayu menggigit bibirnya, menahan senyum yang perlahan merekah di wajahnya. "Mas Baim..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, seolah hanya untuk dirinya sendiri."Sebentar lagi, Mas!" serunya, kali ini dengan nada lebih ceria.Tangannya kembali bergerak, merapikan helai terakhir rambutnya sebelum meletakkan catokan. Ia berdiri, menatap bayangannya di cermin. Gaun selutut berwarna merah muda membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekuknya tanpa berlebihan. Ia berputar pelan, ujung gaunnya melayang ringan seiring gerakannya.Dengan cepat, ia meraih tas di atas ranjang, menarik napas panjang, lalu melangkah menuju pintu.Gagang pintu berputar. Saat pintu terbuka, sinar matahari pagi menyelinap masuk, memperjelas rona bahagia yang terpancar di wajahnya."Mas..." ucapnya pelan, lalu tatapannya jatuh pada si kembar yang duduk manis di dalam stroller. Kaki-kaki mungil
Hayati mengangguk, jemarinya meremas ujung gaunnya dengan kuat. "Aku akan mencoba mencarinya di rumah Jaka. Mungkin saja dia tidak membawanya."Sambo tak berkata lagi. Ia hanya mengangguk singkat, lalu berbalik menuju kamarnya dengan langkah berat.Di sisi lain, Ayu duduk di atas tempat tidurnya, ponsel tergenggam erat di tangannya. Cahaya layar menyorot wajahnya yang penuh kepuasan.Berita yang bertebaran di media sosial benar-benar menguntungkannya. Setiap komentar yang mendukungnya terasa seperti angin segar yang membebaskannya dari cengkeraman keluarga Jaka.Senyumnya mengembang. Matanya berbinar."Alhamdulillah…" bisiknya pelan, penuh rasa syukur. "Akhirnya. Aku akan segera lepas dari keluarga iblis itu."Jarinya kembali menggulir layar, membaca seruan masyarakat yang memintanya untuk menceraikan Jaka. Dukungan itu membanjiri kolom komentar, membuat hatinya semakin mantap."Ini berarti kei
Sambo meremas ponselnya, rahangnya mengatup rapat. Sorot matanya menajam saat membaca komentar-komentar yang membanjiri berita daring. Ia melangkah cepat mendekati Hayati yang baru saja melempar gelas, jemarinya masih menggenggam remote televisi."Apa yang terjadi, Ma?" suaranya terdengar berat. "Masyarakat justru menyerangku. Kalau begini, reputasiku bisa hancur."Hayati mengangkat wajahnya. Matanya memerah, napasnya tertahan sesaat sebelum ia menghembuskannya perlahan. Bibirnya melengkung tipis, nyaris seperti sebuah senyum."Tenang aja, Pa," katanya, suaranya rendah, terukur. "Kita cuma perlu membalik pendapat mereka."Tiba-tiba, suara langkah cepat menggema dari koridor. Maharani muncul dengan wajah panik, ponsel tergenggam erat di tangannya."Ma… kacau!" suaranya meninggi, hampir histeris. "Akun sosmedku penuh hinaan. Kalau kayak gini, followers-ku bisa turun!"Hayati tak langsung menjawab. Mat
Ayu menyeringai sinis, lalu berbalik. Tanpa kata lagi, ia melangkah pergi, meninggalkan pesta dengan kepuasan yang berpendar di matanya.Setelah usai melakukan misi di pesta itu, Ayu bergegas keluar ballroom. Ia bertemu dengan Baim yang mengawasinya sedari tadi. Ayu mengangguk memberi kode, Baim membalasnya dengan anggukan yang sama. Ayu kemudian berlalu dari pesta itu, kembali masuk ke dalam Limosin yang menjadi sorotan awak media. Kilatan lampu kamera masih berusaha menembus kaca gelapnya, tapi Ayu sudah tak peduli. Ia menyandarkan kepala, menatap langit-langit mobil dengan napas masih memburu.Tangannya menggenggam erat gaunnya yang sedikit kusut. "Ya Allah… akhirnya aku bisa melewati ini. Aku gak percaya bisa seberani itu di depan umum," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Bagus, Ayu."Suara itu datang dari belakang
Maharani mengangkat tangan, gelagapan. "Aduh… Rani lupa mau kasih tahu Mama! Pokoknya bukan itu intinya!"Ia menarik lengan ibunya, suaranya semakin mendesak."Sekarang apa yang harus kita lakukan? Gimana kalau Ayu bicara aneh-aneh ke wartawan?!"Hayati terdiam sesaat, napasnya mulai memburu.Di luar ballroom, kilatan kamera dan suara sorakan masih terdengar.Ayu ada di sini.Dan itu hanya bisa berarti satu hal—badai akan segera datang.Mata Hayati membesar, nyaris keluar dari rongganya. Rahangnya mengatup rapat, garis-garis kemarahan terukir jelas di wajahnya. "Kamu gak diundang," suaranya tajam seperti pisau. "Rakyat jelata dilarang ikut pesta orang kaya."Tawa Ayu meledak, nyaring dan penuh ejekan. Ia melangkah santai, tubuhnya condong ke depan, mendekati Hayati. "Mama… Mama…